Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
2,623
Jati Diri
Aksi

Dunia kini berputar dengan serius. Orang-orang bahkan berjalan dengan tergesa dan hampir berlari seolah tak pernah melihat keberadaan ku diantara mereka. Padahal aku hanya ingin bertanya sedikit saja. Setidaknya bahkan pertanyaan ku ini tak ada hubungannya dengan luka atau bahkan permasalahan mereka. Jadi tak akan menyakiti siapapun. Namun mereka memilih bergeming dan cepat-cepat berpaling kembali melangkah menuju jalan masing-masing.

Jadi, aku hanya terdiam sendiri. Menelan kembali pertanyaan bulat-bulat, lalu kembali mengamati setiap orang yang lewat tanpa permisi.

Mereka terlalu sibuk dengan kehidupan yang realistis, tak ubah seperti diri ku yang sibuk mempertanyakan banyak hal yang imajinatif. Sebenarnya berada di persimpangan itu membingungkan. Dan tampaknya memang kehidupan muda seperti ini sulit untuk ku jalankan. Karena selain tak mengerti jalan yang pasti, aku juga kebingungan akan jati diri.

“Kak, sebenarnya arah yang benar itu ke mana?”

Lantas aku terpaksa bertanya dan menjegal lengan seorang wanita muda usia dua puluhan tahun yang masih berjibaku dengan ponselnya meski sedang berjalan sekalipun. Ia langsung menoleh dan menghujamiku dengan menampilkan raut wajah yang tak ramah sama sekali. Aku tersadar dan segera melepaskan cekalan tangan ku seraya meminta maaf dengan sorot pandang penuh rasa sesal.

Sebenarnya aku tak sengaja melakukan tindakan spontanitas yang mengganggu. Namun seperti ada paksaan yang membelenggu. Pikiran di kepala pun kian tak waras mempertanyakan arah yang benar yang harus aku lalui.

“Memang kamu mau ke mana?” tanyanya balik dengan sorot tajam dan wajah yang kaku seperti sedang mengintimidasi musuh.

“Nggak tau,” ujarku pelan dan hilang dalam sepersekian detik menyatu dengan suasana yang kelabu.

“Bodoh!” makinya dengan segera. “Percuma tanya jalan yang benar, tujuan saja nggak ada. Sana, buang-buang waktu aja!”

Aku lantas melangkah mundur. Membiarkan wanita muda itu pergi dengan gaya dominan yang cukup angkuh. Terkadang aku heran, kenapa aku selalu mendapati makian, padahal pertanyaan ku sama sekali tak menyakiti luka mereka. Bahkan aku hanya berkata jujur jika aku memang tak tau mau ke mana.

Namun seiring berjalannya waktu, langit pun mulai kelabu menandakan akan datangnya malam yang sayu. Tapi mirisnya, aku belum menemukan jawaban yang pasti tentang arah yang benar yang harus ku lalui. Aku memang masih berada di sini, di depan persimpangan jalan yang tak pasti. Hanya memandangi orang-orang yang berjalan ke sana-ke sini sibuk sendiri-sendiri. Bahkan tak ada satupun yang tau, bahwa seiring berjalannya waktu aku frustasi dengan diri ku sendiri.

Sungguh ironi, tidak adakah yang peduli di sini?

Rasanya aku ingin berteriak saja sekarang ini. Semua orang terlalu apatis untuk diri ku yang masih imajinatif.

“HAH! SEMUANYA BRENGSEK! HIDUP INI BRENGSEK!”

Aku lantas memilih berlari ke segala arah yang tak pasti, seraya meneriaki orang-orang yang tak pernah mengerti. Mereka melihati ku, mereka jadi berdecih dan tak suka kepada ku. Bagi mereka aku biang kerusuhan. Bagi mereka aku adalah pengganggu yang tak tau aturan.

“Dasar urakan!” ujar sebagian orang yang semakin tak senang dengan apa yang ku lakukan.

Lantas aku berteriak kalau aku bukan urakan.

“Tak tau aturan.”

Lagi, mereka melabeli tanpa mengerti. Sungguh aku bukan urakan atau pun tak tau aturan. Hanya saja aku belum mengerti jalan yang benar. Berlari ke segala arah sebagai pilihan karena tak ada yang bantu memahami. Supaya kelak aku bisa paham dengan diri sendiri dan menemukan jati diri.

19/11/2023

By : Diyanti Rita

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Aksi
Rekomendasi