Dunia tidak berakhir pada tanggal 27 September 1907, tetapi alunan waktu yang kadang deras dan kadang pelan, seperti aliran air di sungai dalam mimpi-mimpi Einstein, kutemui di Hotel Celestine milik Arif Arafah. Hanya tiga rahasia yang akan mendapatkan jawaban, dan tak ada jaminan bahwa itu akan memuaskan.
Matahari sudah bergeser ke kaki langit barat saat aku, Nindy dan si Lima Tahun sampai di Resto Kepiting di lantai kedua hotel bintang tiga yang terletak di Jalan Kaliurang Nomor 331B. Kami hendak menagih janji pemiliknya yang akan meminjami kami Rp 100 juta. “Pak Arif sedang istirahat siang, silakan menunggu di resto,” kata resepsionis yang menerima kami.
Resto Kepiting berkonsep semi terbuka. Hanya sekitar sepuluh hingga lima belas meja berbentuk lingkaran yang disediakan dengan masing-masing enam kursi yang juga berbentuk lingkaran. Meja dan kursi itu hasil kerajinan tangan, warnanya hitam legam dan terbuat dari ban bekas. Payung yang menaungi meja terbuat dari bambu yang ditancapkan di tengah meja, lalu lingkaran di ujung atas bambu diberi anyaman bambu kasar sebagai penopang lembaran jerami yang ditata rapi di atasnya.
Sebenarnya payung jerami itu lebih berfungsi estetis ketimbang praktis. Ia tidak cukup lebar untuk menaungi hingga ke kursi-kursi. Justru karena itu, apabila dilihat dari lantai di atasnya, meja berbentuk lingkaran yang ditutupi payung jerami dan dikelilingi enam kursi itu mirip dengan kepiting. Dari situlah nama resto ini diinspirasi. Salah seorang staf restoran menyebutkan bahwa Gosho Aoyama menulis naskah komik Detektif Conan berjudul A Crab and Whale Kidnapping Case ketika menginap di hotel ini. Tetapi pernyataan itu meragukan, mengingat penampilan staf restoran itu terlalu rapi untuk seorang penggemar komik.
Si Lima Tahun, meskipun belum bisa membaca, sangat menggemari komik. Berbeda dengan anak lain yang minta didongengi sebelum tidur, dia hanya minta ditemani membaca komik Naruto. Kolaborasi yang menarik. Aturan mainnya, jika ada teks panjang maka aku akan membacanya keras-keras. Tetapi begitu teks berulang yang terdiri dari tiga huruf, gilirannya untuk membacanya. “Tap-tap-tap-tap!” atau “Hop-hop-hop!” atau “Dug-dug” atau “Set-set”. Jika intensitasnya makin melambat, itu tanda dia mulai mengantuk.
“Ciat... Ciat!” suara si Lima Tahun mengagetkanku. Dia sedang mempraktekkan urarenge jutsu dengan melompat dari satu kursi ke kursi yang lain. Nindy tengah berdiri membelakangi, di sisi meja yang berseberangan. Mungkin memperhatikan lalu lintas di bawah sana. Setengah berlari aku memburu untuk menahan kursi malang yang menjadi korban jutsu agar tidak terguling ke belakang.
“Aman kok, Pak,” ujar seorang pelayan dengan baki kosong yang kebetulan melintas, “ Semua kursi dipaku ke lantai.”
Semua kursi dipaku ke lantai. Refleks kuamati kursi yang menyerupai kaki-kaki kepiting itu. Benar. Setiap kakinya dipaku dengan kuat ke dua titik yang terhubung dengan potongan ban dalam. Satu paku menancap di kaki kursi dan satu paku lagi ditancapkan ke lantai kayu. Tenaga anak usia lima hanya akan menggoyangkan kursi kepiting itu sedikit. Bahkan orang dewasa pun, tanpa alat bantu, tidak akan mampu mengangkat kursi itu dari lantai tempatnya menempel.
Semua kursi dipaku ke lantai. Sepertinya pernyataan yang agak aneh, karena tadi pagi ada kursi yang terguling ketika aku secara emosional merangsek ke arah Arif. Aku ingat betul bahwa kami terguling bersama dengan kursi itu. Lalu dua orang bodyguard Arif melerai kami, dan Arif kembali duduk di kursinya.
Kubayangkan lagi adegan itu dalam gerakan lambat. Stop-stop! Ya, ada yang aneh, tetapi apa ya? Tidak ada burung merpati yang berterbangan karena kaget di latar belakangnya. Tidak ada John Woo, Joko Anwar, atau siapa pun juga, yang duduk mengamati kami di kursi sutradara. Nah.... Saat terjengkang ke belakang, rokok Arif ikut terlempar ke belakang. Bodyguard memisahkan kami. Lalu dalam hitungan detik Arif sudah kembali duduk tenang di kursinya sambil mengisap rokoknya? Bagaimana mungkin dia bangkit dari lantai, mengembalikan kursi ke posisinya, lalu mengambil rokoknya dalam waktu yang sedemikian singkat?
“Duduklah Can... Katanya kamu mau pinjam uangku? Masak sih pake galak banget seperti itu? Padahal aku sudah berniat meminjamimu lho...”
Bagaimana mungkin bisa keluar kata-kata setenang itu dari orang yang baru saja kutindih dan hampir kupukuli mukanya? Bagaimana mungkin pada akhirnya orang itu mau meminjamiku Rp 100 juta dengan syarat yang sedemikian mudah: tinggal tiga hari di hotelnya, lalu menuliskannya dalam sebuah esai saja? Tiba-tiba ingat Edi Palmerah, teman lama yang sekarang jadi jurnalis di Suara Lutherian. Nanti malam atau besok akan kutanyakan pendapatnya. Pengalaman puluhan tahun menjadi jurnalis telah mengasah kemampuan analisisnya, terutama terkait motif-motif tersembunyi manusia.
Pelayan restoran membawakan 2 gelas es teh manis dan segelas jus alpukat dan meletakkannya di meja kami. Pelayan yang sama, yang tadi berkomentar tentang kursi kepiting. Papan namanya terbuat dari bahan mengkilat berwarna keemasan. Andre/Trainee.
“Apa yang dimaksud Mas Andre dengan semua kursi dipaku ke lantai?” tanyaku hati-hati.
“Oh, iya Pak Macan, semua kursi di restoran ini, termasuk mejanya dipaku ke lantai.”
“Tetapi tadi pagi...” kataku sambil menunjuk kursi yang tadi pagi diduduki Arif, “aku yakin sekali, kursi itu sempat terguling.”
Wajah Andre menyiratkan kebingungan. “Kursi itu juga dipaku, Pak...”
Kudatangi kursi itu dan kuteliti baik-baik. Sama seperti kursi di meja kami, kursi itu juga dipaku ke lantai. Keempat kakinya sangat kokoh. Pakunya pun tidak tampak baru, bahkan sudah berkarat. Benar-benar aneh. Tetapi pelayan itu sudah berlalu dari meja kami ketika aku bermaksud menanyainya lebih lanjut.
Nindy sudah berhenti dari kegiatannya mengamati mobil-mobil yang melintas. Sekarang ia sedang membantu si Lima Tahun yang lebih tertarik dengan jus alpukat ketimbang es teh manis miliknya. “Ada apa dengan kursinya, Can?”
Aku tertawa kecil sambil mengangkat bahu, “Hanya merasa aneh saja, Nin. Tadi pagi, kaki kursinya bisa terangkat, tapi sekarang sudah terpaku erat ke lantai.”
“Pasti pakunya terlepas, dan kemudian dipasang lagi oleh mereka...”
Mungkin memang seperti itu, “Tapi kenapa harus dipaku, ya?” tanyaku retoris.
“Ada yang tidak beres dengan hotel ini Can. Aku merasakannya sejak di pintu masuk,” kata Nindy agak berbisik. “Coba dengar baik-baik, apakah kaudengar bising lalu lintas di bawah? Tidak kan? Padahal jaraknya begitu dekat dengan tempat kita sekarang...”
Tadi pagi pun aku merasa aneh tetapi melupakannya. Karena posisi meja kami paling ujung, aku hanya perlu berjalan sedikit ke tepi bangunan untuk melihat lalu lintas di bawah.
“Lihat...” ujar Nindy, “Tidak masuk akal jika kita tidak mendengar bisingnya dari sini... Dan, hei... Coba perhatikan mobil bak terbuka yang membawa karangan bunga itu!”
“Itu... Mitsubishi T120SS...”
“Dan di belakangnya?”
“Toyota Vios hitam, lalu Suzuki Carry abu-abu...”
Nindy menarik tanganku, “Ayo kita kembali duduk dan menunggu beberapa saat!”
“Apaan sih?”
Nindy tampaknya lebih suka bermain teka-teki. Si Lima Tahun masih asyik dengan jus alpukatnya.
“Kita menginap di sini ya, Pa?” tanyanya.
“Iya, Dek. Tapi nunggu Om Arif dulu ya sebelum ke kamar.”
“Enggak apa-apa, Pa. Aku suka kok di sini, tempatnya luas. Asyik...”
Sebelumnya kami menginap di Hotel Santika, lalu pindah ke Hotel Amaris. Si Lima Tahun lebih suka di Amaris. “Karena ada Disney Juniornya,” katanya. Dia selalu memiliki sudut pandang yang unik atas segala sesuatu.
“Papa, nanti kalok ada makanan enak yang banyak di meja, Papa jangan memakannya ya!” katanya dengan mimik serius. Lalu berpaling ke Nindy,
“Mama juga enggak boleh makan...”
“Iya, Dek,” jawab Nindy.
“Kenapa kami tidak boleh makan, Dek?” tanyaku penasaran.
“Aku takut Papa dan Mama berubah jadi babi kalok makan makanan itu,”
“Babi?” tanyaku makin penasaran. “Apa hubungannya...”
“Sstt, sini deh Adek ceritain...” si Lima Tahun berbisik seolah takut ada orang lain yang ikut mendengarkan. “Papa tahu kan... Chihiro?”
“Chi... siapa?” kucoba mengingat-ingat nama teman main si Lima Tahun. Nihil. Tapi Nindi memberi kode dengan tangannya. Huruf C dan telunjuk di tangan satunya yang diputar-putar. Eureka! Chihiro tampaknya salah satu tokoh fiksi dari film animasi yang ditontonnya!
“Chihiro, ya, Chihiro... Papa pernah denger namanya,” Raut kecewa di muka si Lima Tahun berubah penuh semangat. Lalu meluncurlah kisah aneh yang dialami Chihiro dan keluarganya saat pindah ke Tochinaki. Nindy hanya senyum-senyum kecil dari kursinya. Hobby nonton film animasi jelas diturunkan dari Nindy. Agak mengherankan sebenarnya, bagaimana ia mampu menceritakan ulang dengan akurasi lebih dari 50 persen padahal filmnya berbahasa Jepang dan dia belum bisa membaca subtitel.
Lima belas menit kemudian, si Lima Tahun jatuh tertidur. Nindy mengatur tumpukan kain di sandaran tangan kursi sebagai pengganti bantal. Memastikan posisinya stabil dan sedikit menggeser kaki si kecil agar tidak mudah terguling ke bawah. Lalu dengan isyarat tangan menyuruhku bergeser ke ujung pagar.
Karena posisi meja kami paling ujung, aku hanya perlu berjalan sedikit ke tepi pagar untuk melihat lalu lintas di bawah.
“Lihat...” ujar Nindy, “Masih ada mobil bak terbuka yang membawa karangan bunga itu!”
“Mitsubishi T120SS...”
“Dan di belakangnya?”
“Toyota Vios hitam, lalu Suzuki Carry abu-abu...”
Padahal kami sudah sekian lama bercengkerama di meja itu. Padahal Jalan Kaliurang saat itu kondisinya lancar. Tidak ada kemacetan sama sekali. Semua bergerak teratur dengan normal. Kecuali kebisingannya yang menguap entah kemana, tentu saja.
* * *
Di dapur resto aku mencari Andre, si pelayan yang memiliki pengetahuan seluas samudera.
“Oh, maksud Bapak, Chef Andre?”
“Bukan... Mas Andre, pelayan yang masih training.”
“Tetapi hanya satu orang bernama Andre di sini, Pak.”
Perdebatan ini tampaknya cukup ribut, hingga seorang lelaki bertopi chef menghampiri kami. Dia adalah Andre yang kucari. Si pelayan yang beberapa saat lalu mengantarkan minuman ke meja kami. Kenapa dia sekarang memakai kostum chef? Dan wajahnya seolah 10 tahun lebih tua, meski senyum tulusnya tidak berubah.
“Ada yang perlu dibantu, Pak Macan?” Ah, tentu saja banyak yang harus kutanyakan kepadanya. “Pak Arif berpesan untuk menjawab tiga pertanyaan saja.”
Kursi-kursi itu, ternyata dipaku ke lantai karena sebelumnya mereka selalu berpindah tempat sehingga menyulitkan para pegawai restoran yang berbenah setiap paginya. Tidak ada penjelasan masuk akal yang bisa diterima. Tetapi Andre yakin bahwa yang memindahkan kursi-kursi itu adalah “penghuni tak terlihat” hotel ini. Dahulu—dahulu sekali, pernah terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan seluruh bangunan hotel dan terdapat beberapa orang tamu yang terjebak dan tewas di dalam kamarnya. Mereka ini akhirnya menjadi “tamu kehormatan” abadi hotel. Sesekali mereka usil, hanya sesekali. Hanya tamu hotel yang sensitif saja yang dapat merasai keberadaan mereka.
Seandainya waktu mengalir melalui anak sungai, maka Hotel Celestine tepat menghadap danau kikisan (oxbow lake) dan diapit oleh dua aliran sungai yang arahnya bertolak belakang. Andaikan seperti itu, sebagaimana air, waktu seharusnya juga mengalir cepat dan bukan melambat. Bagaimana menjelaskan tentang arus lalu lintas di depan hotel yang justru melambat?
Andre menolak menjawabnya dengan sopan. “Sudah dua pertanyaan, Pak. Tinggal satu lagi, mohon disimpan untuk lain kali.”
Meski hati agak dongkol, aku menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih. Sebelum berbalik, Andre mengibaskan tangan kanannya untuk menghalau dua ekor kucing hitam yang mengendap-endap masuk ke dapur.
“Mereka kucing yang menginspirasi film Matrix,” katanya ringan seolah memaklumi. Cahaya memantul sejenak dari papan namanya yang terbuat dari bahan mengkilat berwarna keemasan. Andre/Chef.
Aku yakin aku tidak salah baca.
* * *
16 Oktober 2017