Disukai
3
Dilihat
12,481
Menembus Cicalengka
Drama

Aku berjalan tak jauh di belakang Bapak yang melangkah agak lamban dan ringkih. Ketika kami hampir mendekati pintu stasiun kereta, beliau berhenti dan berbalik, yang membuatku ikut berhenti. Beberapa saat kami saling menatap. Hal itu menjadikanku risih.

“Sudah sampai,” ucapnya canggung. Ia tersenyum.

Aku membuang pandang, kemudian segera berjalan agak cepat. “Sudah saya bilang, Bapak tak perlu ikut, saya bisa berangkat sendiri, Pak,” ucapku seiring langkahku melewati Bapak.

Seminggu sudah aku menghabiskan waktu di Kota Cimahi. Hari itu, aku harus kembali lagi ke Surabaya untuk bekerja di sana. Kalau bukan untuk melayat almarhum Ibu, mungkin aku tidak pernah lagi menginjakan kaki di kota kelahiranku, yang semenjak tujuh tahun lalu aku tinggalkan. Ada hal yang membuatku tidak betah dan enggan pulang, dan itu perihal Bapak.

Entah sejak kapan aku menjadi sangat membenci Bapak. Yang pasti, ketika masih masa-masa bersekolah, aku sudah tidak bicara padanya. Setiap kali pulang kerja, beliau selalu bermain bersama bersama adik-adikku, tetapi tidak denganku. Aku yang selalu menghindarinya. Aku tidak begitu ingat alasan kenapa bisa seperti itu.

Aku sedang berdiri di depan loket untuk menukarkan tiket, yang aku beli secara daring beberapa hari sebelumnya, ketika Bapak baru saja masuk area stasiun dan berjalan menghampiri kursi tunggu. Pria tua berpakaian batik dan berkopiah hitam itu sempat celingak-celinguk ke berbagai sudut stasiun, kemudian beranjak duduk setelah mengetahui keberadaanku.

Setelah berhasil menukarkan tiket, aku menghampiri Bapak dan duduk tepat di sampingnya. Tidak ada obrolan antara kami berdua. Aku sibuk dengan ponsel dan dirinya hanya duduk diam sambil sesekali menggerak-gerakkan tangan mengusap paha, seolah-olah ingin membicarakan sesuatu tetapi tak beliau lakukan. Hingga kereta api Parahyangan yang akan membawaku ke Surabaya tiba, tidak satu patah kata pun kami ucapkan.

Aku masuk ke salah satu gerbong kereta dan duduk di satu kursi dekat jendela, sementara Bapak beranjak untuk pulang. Aku tak begitu mengkhawatirkan bagaimana Bapak dapat sampai rumah, sebab, dari stasiun itu, hanya satu kali saja naik angkutan umum menuju tempat tinggalnya yang memang berada tak jauh dari tepi jalan, tempat biasa turun.

Sesaat sebelum melaju, aku dapat melihat Bapak berdiri ke arah kereta hingga akhirnya beliau berbalik badan dan beranjak pulang. Beliau sempat menatap ke arah kereta kembali setelah hampir tiba di pintu stasiun, tetapi wajah tua itu tidak mendapatkan apa yang mungkin ingin dilihatnya; aku.

Kereta api baru saja tiba dan berhenti di Stasiun Bandung. Beberapa penumpang berebut untuk masuk ke dalam. Termasuk seorang anak, yang mungkin berusia tujuh tahun, terlihat buru-buru naik dan berlari sambil mencari-cari kursi sesuai nomor yang tertera pada kertas tiket yang dipegangnya, dan kemudian ia duduk tepat di hadapanku.

“Sudah Ayah bilang, jangan buru-buru, Angga! Tempat dudukmu tidak akan direbut orang!” ujar seorang pria muda dengan keril di punggungnya.

Kemudian ia melepaskan ransel khusus mendaki gunung itu dan penyimpanannya di bagasi atas, lalu duduk tepat di samping anak itu. Pria berbandana hitam itu sempat menyapaku dengan senyum dan anggukkan ke atas yang aku balas dengan anggukan ke bawah. Setelah itu tak ada lagi interaksi antara kami.

Ketika kereta kembali berjalan, kursi di sampingku masih kosong. Aku rebahkan kakiku di sana dan menyandarkan punggung pada dinding kereta, memutuskan untuk segera tidur karena perjalanan masih sangat jauh.

Pasangan ayah dan anak ini tak henti-hentinya mengoceh tentang tujuan perjalanan mereka. Sepertinya, mereka akan melakukan pendakian di salah satu gunung di Jawa Tengah. Anak yang kutahu bernama Angga itu tak hentinya bertanya tentang apa pun kepada ayahnya dan dengan ramah dan sabar, pria itu menjawabnya.

Aku jadi teringat tentang masa kecilku dahulu, di mana aku juga pernah jalan-jalan naik kereta bersama Bapak. Mungkin, waktu itu aku masih berumur sama seperti anak itu, ketika aku diajak naik kereta KRD, yang memang selalu melintasi rute yang sama, yakni; Padalarang di ujung barat menuju Cicalengka di ujung timur dan sebaliknya. Kereta lokal itu beroperasi setiap hari, di mana Bapak selalu menggunakannya setiap kali pergi bekerja.

Aku tidak ingat entah berapa kali aku menaiki kereta itu bersama Bapak. Yang aku ingat, kami selalu berhenti dan turun di Stasiun Cicalengka sebelum kembali menggunakan kereta yang sama untuk pulang ke Cimahi.

****

Aku juga ingat satu kenangan di Stasiun Cicalengka itu. Waktu itu aku berdiri di ujung area stasiun, menatap ke arah rel yang panjang, sangat panjang, sampai aku penasaran di mana rel kereta itu berakhir.

“Pak, ada apa di sana?” tanyaku sembari menunjuk jauh ke ujung rel itu.

Bapak terdiam. Tak menjawab. Lalu aku menengadah, memandangi wajah Bapak yang sedang berdiri di sampingku. Aku tak mengerti kenapa Bapak tak menjawab pertanyaanku dan hanya terus menatap ujung rel itu. Sadar aku memperhatikannya, ia menoleh padaku lalu tersenyum. Senyum yang menurutku aneh. Seakan ia benar-bebar tidak bisa menjawab dan bersembunyi dalam senyum itu.

Akan tetapi aku sangat penasaran. Oleh karena itu aku meminta pada Bapak untuk membawaku pergi ke ujung sana, karena aku sungguh ingin mengetahui ada apa setelah stasiun itu. Ada apa di balik belokan di mana ujung rel itu hampir tak terlihat itu. Namun. Bapak tidak mengabulkannya, bahkan tidak menjawabnya sama sekali, dan hanya memasang senyum yang getir.

Aku tidak tahu kenapa. Yang pasti, itu membuatku kecewa ketika tahu Bapak tidak membawaku ke sana dan malah kembali menuju rumah dengan kereta yang sama. Di sepanjang perjalanan pulang itu, aku masih merengek pada Bapak, bahkan sampai menangis.

Bapak berusaha menghentikan tangisanku dengan membelikan sebungkus makanan yang para pedagang tawarkan ketika berhenti di salah satu stasiun. Dahulu kereta KRD masih dapat dimasuki para pedagang asongan.

“Indra mau buah? Atau Kue? Atau kacang?” Bapak berusaha menawariku jajanan agar aku berhenti menangis.

Wajahnya semringah memperlihatkan giginya, yang aku tahu itu hanya topeng belaka. Di baliknya, ada rasa takut dan malu. Takut bahwa aku sedang menangis dan tak akan mungkin berhenti sebelum keinginanku terpenuhi. Karena memang begitulah sifatku sedari dulu: selalu harus mendapatkan apa yang kuinginkan. Bapak tahu itu. Bapak juga mungkin menahan malu karena banyak orang-orang memperhatikan.

Selain itu, Bapak juga membelikan aku mainan berupa satu set boneka kecil satria baja hitam yang terbuat dari plastik. Namun itu tak jua menghentikan tangisanku.

Akhirnya makanan yang Bapak beli, dimakannya sendiri. Dia tampak malu oleh para penumpang lain. Dia sama sekali tidak bisa menghentikan aku yang mulai mengamuk. Tetapi, aku ingat dia hanya bisa tersenyum dan sesekali mengangguk-angguk pada para penonton tangisanku yang tak kunjung berhenti.

****

Aku pun terbangun dari tidur.

Ingatan itu menyadarkan aku satu hal, sesuatu yang mungkin menjadi alasan kenapa aku tidak bicara pada Bapak. Sepulang dari jalan-jalan naik kereta waktu itu, aku kecewa dan merajuk pada Bapak lalu memutuskan untuk tidak berbicara padanya. Aku menyunggingkan bibir, tersenyum konyol, dan mengingat kalau ternyata hal bodoh itulah yang menjadikan aku benci Bapak.

“Ayah, sebenarnya kita akan mendaki gunung mana? Sumbing atau Sindoro?” tanya anak kecil itu kepada pria di sampingnya. Perhatianku teralihkan pada mereka.

Pria itu tampak diam sejenak, seakan berpikir. Ada garis senyum tipis di bibirnya. Alisnya terangkat. “Sumbing atau Sindoro, ya?” Pria itu balik bertanya dengan nada suara seakan memberi kesempatan anaknya untuk berpikir.

“Emangnya Sumbing sama Sindoro dekat, ya, Yah?”

“Dekat.”

“Ya sudah, kita mendaki dua-duanya saja, Yah.”

“Dua-duanya?” Pria itu tampak terkejut walau sangat terlihat dibuat-buat. “Wah. Emangnya, Angga sanggup mendaki dua-duanya?”

“Sanggup.”

“Ah, yang benar,” ucap pria itu tersenyum seakan menyelidik gemas.

“Nanti kan kalau capek bisa digendong lagi sama ayah kayak waktu itu,” ucap Angga. Sontak, itu membuat pria itu tertawa. “Asalkan Ada Ayah, Angga sanggup! Ayah kan sudah pernah pergi ke mana-mana.”

Mendengar perkataan anak itu, aku jadi tersadarkan akan sesuatu. Bapak.

Bapak sebenarnya tidak pernah ke mana-mana. Hal yang seharusnya aku bisa mengerti setelah beranjak dewasa. Bapak adalah orang kampung yang tidak pernah bepergian ke mana pun, kecuali saat bekerja. Beliau hanya tahu rute perjalanan kereta KRD lokal Bandung sebab itulah yang dia sering gunakan. Selain daripada itu, beliau tidak tahu apa-apa lagi.

Aku memandang ke luar jendela, terlihat satu plang bertuliskan nama stasiun berikutnya; Kiaracondong. Aku memutuskan untuk turun di stasiun itu dan kembali ke rumah dengan menggunakan kereta lokal itu. Ada hal yang aku ingin lakukan, sesuatu yang sebelumnya tak pernah aku bayangkan untuk melakukannya bersama Bapak.

Aku ingin Bapak tahu ada apa di ujung sana. Ada hal apa saja setelah stasiun itu. Akan aku bawa Bapak jalan-jalan melewatinya. Hingga akhirnya kereta berhenti, aku pun segera turun untuk pulang kembali ke Cimahi–untuk membawa Bapak pergi menembus Cicalengka.[]

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi