Seiring melajunya kereta di angkasa, aku tertegun memandangi bumi berwarna cokelat kemerahan jauh di ujung sana. Meski pandangan terhalang kaca tipis helm yang menutupi wajah, tetapi planet yang konon katanya pernah berwarna biru itu tampak jelas memperlihatkan kerusakannya; tandus dan hangus.
Aku bergelantungan di ambang pintu kereta dengan tangan menggenggam pegangan besi di tepi dinding, mencoba memotret ujung kepala kendaraan bergerbong lima itu, yang seakan meniti bumi, agar menghasilkan foto yang sempurna. Sebenarnya aku sedang menuju ke bumi itu, untuk mencari tahu apakah di sana benar-benar sudah tidak berpenghuni lagi. Sebab, para pengasuhku memberitahu bahwa planet itu kosong, tak ada satu pun makhluk hidup di sana.
"Hati-hati! Kalau terjatuh, aku tak bisa menolongmu, Trump!"
Sesosok makhluk hologram dengan lancangnya muncul di hadapanku lalu hilang kembali. Aku terkejut, hingga membuat pegangan hampir saja terlepas. Beruntung, tanganku sigap dan masih dapat meraih kembali pegangan itu.
Makhluk hologram itu kuberi nama Andro, ia adalah hasil ciptaanku yang menyebalkan. Terkadang aku menyesal karena sudah memberi dia data berupa kosakata yang terlalu banyak, hingga menjadikannya sosok yang cerewet dan pengatur. Meski begitu, ia satu-satunya temanku yang setia dan dapat kuandalkan. Ke mana pun aku pergi, dia selalu menyertaiku.
Oh, iya. Namaku ... ah! Aku tak tahu siapa namaku sebenarnya. Para alien itu selalu menyebutku dengan bahasa mereka yang tak aku mengerti. Entah kenapa mereka tidak mau mengajariku bahasa mereka yang terdengar seperti makhluk dalam toilet yang jadi peliharaanku sejak kecil, entah dari mana makhluk itu berasal. Jadi, aku tak punya nama. Namun, robot hologramku selalu memanggilku dengan nama yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Terakhir, dia memanggilku dengan nama "Trump".
Meski para alien terkadang membuatku muak, tetapi aku peduli dengan mereka. Karena walau bagaimanapun, mereka adalah keluargaku, meski mempunyai bentuk tubuh yang berbeda denganku. Katanya, mereka berasal dari galaksi yang jauhnya ribuan tahun cahaya dari pangkalan. Aku tak pernah bisa membayangkan sejauh apa itu. Ketika aku berkata ingin pergi ke sana, mereka melarangku, terutama Poy dan Moy, dua alien yang mengasuhku. Sama seperti larangan mereka agar aku tidak pergi ke bumi, sebab di sana terlalu berbahaya.
Pada saat aku berusia 10 tahun, aku diperlihatkan sebuah tayangan berupa kehancuran bumi yang diakibatkan oleh perang besar antar manusia. Katanya, perang besar-besaran seperti itu, sudah terjadi enam kali di bumi dan banyak menyengsarakan makhluk sepertiku; manusia.
Saat menonton tayangan itu pada layar hologram yang terpampang di atas tengah pangkalan ruang angkasa milik para alien, aku merasa ngeri, takut, dan trauma sendiri. Setiap kali membayangkan jutaan manusia dibantai dalam sekali ledakan bom. Mayat-mayat bergelimpangan di atas tanah dengan tubuh hangus dan hancur menjadi kepingan-kepingan daging, yang berserakan. Belum lagi, manusia-manusia yang mati membusuk karena sebuah penyakit yang disebabkan oleh perang senjata biologi. Juga, robot-robot canggih, yang para manusia ciptakan, menyerang balik mereka sendiri. Di akhir tayangan, senjata kimia lah yang membuat manusia punah dari muka bumi. Gas-gas beracun itu masih ada sampai sekarang, seratus tahun kemudian.
Saat itu lah, para alien turun ke bumi dan menemukan aku yang masih bayi di antara puing-puing sedang menangis menggunakan masker khusus. Katanya, aku satu-satunya manusia yang selamat. Mereka membawaku ke pangkalan angkasa di dekat bumi. Aku tidak tahu jarak itu bisa dikatakan dekat, sebab planet berwarna merah yang katanya lebih kecil dari bumi itu tampak lebih besar dari bumi, dan untuk ke sana, kami hanya sekali terbang saja menggunakan kendaraan berbentuk pipih melingkar yang biasa dipakai pasukan penjaga.
Kata Poy dan Moy, kini usiaku lebih dari seratus tahun. Mereka memberitahuku bahwa seharusnya kulitku sudah keriput dan akan tidak bisa berjalan dengan baik karena punggungku membungkuk akibat tulang-tulang yang melemah. Namun, aku tak mengalami kondisi itu karena pengasuhku memberi sebuah serum, yang bernama CVD. Serum itu terbuat dari zat alami tubuh mereka, yang berfungsi me-regenerasi sel-sel jaringan tubuh agar selalu muda dan berenergi. Itulah kenapa mereka bisa hidup beribu-ribu tahun lamanya. Oleh sebab itu, kebanyakan dari para alien tidak mau berkembang biak, karena hanya akan menambah populasi yang memang sudah berjumlah miliaran dan tersebar di berbagai galaxy.
"Apa kau yakin akan ke sana, Trump?" tanyanya.
Dia memang seperti itu, tiba-tiba muncul dan hilang kembali hanya kalau akan berbicara. Aku yang sedang duduk di atas kereta, terpana memandang bumi, tak menghiraukannya. Namun, dia muncul kembali kemudian beranjak duduk di sebelahku, memandangi bumi.
Tujuanku untuk mengunjungi bumi ini sudah ada sejak, mungkin, sepuluh tahun yang lalu. Aku mencoba membuat kereta api. Entah kenapa aku begitu tertarik dengan kendaraan satu ini. Kendaraan yang pernah aku lihat pada saat menonton tayangan perang itu. Sejak saat itu lah aku mencoba membuatnya secara rahasia, jauh dari jangkauan Poy dan Moy atau pun para alien lainnya.
Selain dilengkapi pengemudi otomatis, kendaraan ini juga aku lengkapi dengan mesin invisible, yang akan membuat badan kereta sepanjang lima gerbong ini, kasat mata, agar pasukan penjaga tidak melihatnya melaju. Aku mencuri mesin itu dari gudang pangkalan dan mereplikasikannya ke dalam kendaraan. Entah untuk apa mereka menggunakan ini.
Bug!
Tiba-tiba saja, satu hantaman mengenai gerbong paling belakang. Aku segera bersiaga, lalu berlari menelusuri gerbong menuju kepala kereta. Sepertinya, para pasukan penjaga pangkalan sudah menyadari kehadiran kendaraan ini. Beruntung, mesin invisible otomatis bekerja saat mendeteksi benda asing.
Aku masuk ke ruang kepala gerbong dan langsung mengambil alih kemudi. Laju kereta aku naikkan, hingga meluncur cepat untuk menghindari para pasukan penjaga itu.
Terlihat dalam monitor, pesawat tempur berbentuk bulat itu masih berada di sekitar kereta. Mereka seperti mencari-cari keberaan kapal. Namun, tak disangka, dua pesawat itu mendarat di atas kendaraan. Sepertinya, mereka mempunyai alat pendeteksi yang lebih canggih.
Pandanganku tak lepas dari jendela di hadapan untuk memeriksa jalur sambil sesekali memeriksa monitor. Dua alien berseragam yang siap dengan senjata turun dari pesawat, lalu berjalan turun ke kabin kendaraan.
Dengan gerakannya yang khas, ia berjalan dengan senjata di tangan. Aku yakin, senjata yang ia pakai adalah senjata kimia yang pernah mereka berikan kepadaku beberapa puluh tahun lalu di sebuah ruang laboratorium. Aku sangat takut dengan efek dari senjata tersebut, di mana dapat membuat badanku terasa sangat dingin dan panas secara bersamaan, juga tenggorokan terasa perih, dibarengi lendir dari hidung yang sangat menyiksa. Aku kapok! Katanya, kalau aku tidak diberi serum CVD, aku bisa saja mati. Beruntung, itu hanya dapat melumpuhkanku.
Dua alien itu masih berjalan di gerbong keempat. Segera aku menekan tombol untuk melepaskan gerbong tersebut. Namun, setelah terlepas. Dua pesawat lain sudah berada di kanan dan kiri kepala kereta. Dari dalam pesawat mereka melihat aku melalui jendela. Padahal, kereta melaju sangat cepat, tetapi pesawat itu masih bisa mengiringi. Entah kenapa mereka masih bisa melihat kereta ini, mesin invisible itu ternyata tidak berguna sama sekali.
"Hentikan sekarang kendaraanmu! Hentikan sekarang kendaraanmu!"
Para alien penjaga itu berusaha menghentikan dengan bantuan robot hologram milikku yang menerjemahkan bahasa mereka. Namun, aku tidak mau berhenti! Sudah puluhan tahun aku menantikan ini dan tidak akan membiarkan mereka mencegahku melihat tempat asalku; bumi. Maka, aku percepat laju kereta dengan kecepatan penuh.
Ada sebuah meteor terlihat di depan sana. Aku menatap benda berukuran besar itu sambil berpikir sebuah ide.
Aku arahkan kereta menuju benda itu dengan kecepatan penuh, pesawat itu mengejar. Mata aku fokuskan menatap meteor itu tepat di hadapan, yang semakin lama, semakin besar terlihat dan mendekat. Dari belakang pesawat terus mengejar. Aku tersenyum. Saat hampir mendekati dan menabrak, aku belokan kereta dan ... brag!
Pesawat hancur menghantam meteor. Aku tersenyum karena rencana itu berhasil. Aku yakin alien penjaga itu tidak akan mati, serum CVD akan selalu meregenerasi tumbuhnya. Tapi paling tidak ia tidak mengejar lagi. Namun, ternyata pesawat-pesawat lain muncul. Aku melihat pada monitor, puluhan pesawat sedang menuju ke arahku. Beberapa tembakan mereka lesatkan. Rupanya, mereka sedang berusaha menghancurkan kereta.
Aku mencoba untuk menghindari tembakan dengan meliuk-liukkan kereta di antara lesatan-lesatan cahaya laser yang dapat melelehkan kerangka dan dinding besi kereta. Namun, karena banyaknya jumlah pesawat. Satu per satu gerbong hancur.
Sempat berpikir untuk menyerah, tetapi saat melihat planet itu, ambisiku kembali muncul. Maka dari itu, dengan hanya tersisa satu gerbong kepala, aku kunci kecepatan penuh dan meluncur bebas menuju bumi. Pesawat-pesawat itu tak hentinya melesatkan laser aneka warna.
Sial! Ternyata satu alien penjaga sudah berhasil melekat di dinding atas kemudian masuk tertatih-tatih karena kecepatan tinggi kereta. Hingga akhirnya ia hampir masuk dan menembakkan senjata yang ia pegang ke arahku.
Aku berhasil menghindari. Akan tetapi, kereta sempat bergoyang, bergerak tak tentu arah karena tembakan mengenai kemudi. Alien penjaga itu berlari ke arah kemudi, ia tampak akan menghentikan laju kereta. Namun, aku tidak akan membiarkannya! Kemudian, aku berlari ke arahnya dan menendang perut makhluk itu. Ia tersungkur.
Aku tersenyum saat melihat bumi itu sudah terlihat dekat. Namun, senyum itu hilang ketika ada yang aneh dengan pemandangan di depanku. Sesuatu bergelombang seperti dinding yang transparan terlihat. Apa itu? Batinku bertanya.
Kereta terus meluncur dengan kecepatan tinggi. Hingga, tiba-tiba saja ujung kepala kendaraan menghantam sesuatu yang sangat keras, sebuah ledakan terdengar, tabrakan yang hebat terjadi membuat ujung kereta tembus pada dinding transparan hancur seketika. Menjadikan lubang yang besar pada dinding transparan itu.
Aku dan segala isi di dalam kereta terlempar ke luar, termasuk satu alien penjaga itu. Kami berdua melayang-layang di angkasa, di puing-puing kereta yang hancur lebur. Badanku terasa remuk dan hancur. sakit di sekujur tubuhku. Seiring pandangan yang semakin kabur, aku melihat bumi yang berwarna biru.
Biru? Kenapa berwarna biru? Dan ... dinding apa itu?
Aku berusaha untuk tersadar kembali, membuka mata, dan melihat diri melayang di angkasa. Kemudian aku bergerak menuju bumi, hanya itu yang aku pikirkan. Aku ingin tahu apa yang terjadi. Ada apa di sana? Akan tetapi, alien penjaga mengejarku.
Dengan senjata yang masih ada di tangannya, ia menembaku. Aku dapat menghindarinya. Satu tembakkan itu meluncur menuju bumi. Namun, tidak dengan tembakan kedua. Peluru itu tembus pakaian tebalku. Hingga membuat badanku semakin lama merasakan panas dingin yang menyiksa, dan akhirnya lumpuh. Pandanganku kabur ... lalu gelap.
°°°°°
Di depan jendela, di sebuah gedung tinggi, aku berdiri memandangi pesawat-pesawat berbagai bentuk beterbangan di antara terakota pangkalan angkasa. Sudah lama berlalu sejak kejadian itu. Aku masih mencari-cari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.
Aku sedang menunggu pengasuhku datang. Hari ini mereka akan memberiku jawaban atas permintaan yang aku ajukan kepada pemimpin pasukan pangkalan secara resmi, yakni; aku ingin mengunjungi bumi.
Akhirnya, Poy dan Moy datang bersama alien utusan pimpinan. Sekilas, mereka tampak mirip satu sama lain, tetapi aku tahu dua makhluk alien di depan adalah para pengasuhku. Aku dapat membedakannya, mungkin karena sudah sangat lama tinggal bersama, jadi mengetahui gerik wajah dan gerakan tubuh mereka. Seperti sekarang, ada gurat sedih dan kekecewaan yang tergambar di wajah kedua pengasuhku itu saat melihat ke arahku. Seakan ada hal pedih yang akan mereka sampaikan.
Aku berjalan menemui mereka dan memeluk satu per satu. Lalu berdiri berhadap-hadapan, sesuai kebiasaan kalau ada hal serius yang harus dibicarakan–khususnya di antara alien–. Mereka pun berbincang. Robot hologram sudah siap sedia di belakangku menerjemahkan bahasa mereka.
Dari sana lah aku mengetahui kenyataan, bahwa; sebenarnya usiaku bukanlah seratus tahun seperti yang pengasuhku sebut-sebut selama ini, melainkan lebih dari dua ratus ribu tahun. Hal itu terjadi serum yang sejak dahulu mereka berikan padaku, sehingga aku bisa hidup selama itu.
Mereka juga mengatakan bahwa sebenarnya, bumi sudah lama pulih. Planet biru yang aku lihat waktu dulu itu memanglah bumi yang asli. Mereka menyembunyikan semuanya dariku karena aku adalah manusia uji coba, yang hasilnya akan digunakan para manusia yang sedang memulihkan bumi. Secara sembunyi-sembunyi, para alien membantu manusia yang dahulu pernah hampir punah akibat peperangan dahsyat, sebab mereka ingin para manusia mandiri dan berusaha atas apa yang telah diwariskan pada mereka; bumi.
Sekarang, atas keputusan pemimpin pangkalan angkasa, mereka memberikan pilihan kepadaku: tinggal di bumi tetapi aku akan ikut menua dan pasti mati; atau hidup abadi di pangkalan asal senantiasa menjadi manusia uji coba untuk membantu manusia.
°°°°°
Aku terbangun di sebuah ruang laboratorium. Sebuah masker dengan selang yang tersambung pada tabung berisi cairan bening kehijauan terpasang di wajah. Aku sama sekali tidak terkejut saat melihat beberapa alien ilmuan sedang menyayat-nyayat dadaku dengan pisau bedah. Anehnya, aku tidak merasa sakit sama sekali. Ini bukan pertama kalinya mereka melakukannya pada tubuhku. Entah sudah berapa banyak eksperimen yang mereka lakukan yang memerlukan tubuhku sebagai uji coba.
Pada akhirnya, aku memilih menjadi manusia uji coba. Selain karena itu untuk kebutuhan penduduk di bumi, juga karena aku dapat hidup lama.
Selan itu, sebenarnya aku juga masih bisa mengunjungi bumi sekali-kali dengan kereta invisible buatanku. Pemimpin pangkalan angkasa memutuskan untuk memberi kesempatan padaku mengenal planet tempat tinggal asalku.
Setelah melalui segala serangkaian eksperimen, akhirnya aku dapat ijin berkunjung menuju bumi dengan kereta tak kasat mata buatanku.
"Apa kau siap, Putin?"
Sekali lagi, robot hologram itu memanggilku dengan nama yang berbeda. Belakangan, aku tahu bahwa nama-nama itu merupakan nama para pemimpin di bumi. Rupanya dia sering mendengarkan para pasukan pangkalan angkasa berbincang tentang keadaan bumi. Aku menjadi penasaran, apa yang sedang terjadi di bumi sekarang?
Tanpa berlama-lama lagi, aku menyalakan mesin invisible, mengendarai kereta keluar dari gerbang dinding invisible yang selama ini mengurungku, dan melaju menuju bumi yang kini tampak berwarna biru.
Cerpen ini dibuat saat perang Rusia sama ukraina 2 tahun lalu. Juga pada saat pandemi. Kalau kakak cermat, cerita ini ada hubungannya dengan dua kejadian itu.