Seorang perempuan kumuh dengan bayi mungil dalam gendongannya, sedang mengorek-ngorek tong sampah di belakang ruko kami. Matahari belum terbit.
Ia ketakutan dan mencoba menghindariku dengan langkah terseok-seok. Tangis bayinya makin melengking. Dari warna kulitnya yang coklat legam dan jilbab yang dikenakan, aku bisa mengenalnya sebagai etnis Rohingya.
"Tunggu!" Seruku dengan bamaca (bahasa Myanmar lisan). Sampah yang masih kujinjing, kulempar ke tong. Tubuh tuaku masih sanggup berlari mengejarnya.
Ia jatuh rubuh karena lelah dan kesakitan. Siku dan lutut perempuan itu terkena badan jalan lorong belakang toko kami. Bayinya masih bisa dilindungi. Ia menarik diri, menyandarkan ke dinding, menyampingiku. Ekor matanya melihatku ketakutan.
Aku melihat sekeliling. Ke atas, ke jendela-jendela. Tak ada yang melihat kami. Aku pegang kedua pundaknya dengan lembut. Membangkitkannya, merangkulnya, mengajaknya masuk ke rukoku.
"Jangan takut. Segera masuk tokoku," kataku selembut kubisa agar ia percaya padaku.
Ia masih ketakutan dan pasrah. Dengan ketergesaan, kami masuk dapur sebelum para pembenci Rohingya melihat kami. Apalagi sekarang isu anti-Rohingya mencuat lagi ketika demonstran menolak rencana Pemerintah Myanmar memberi kewarganegaraan bagi etnis Rohingya.
Kami sama-sama minoritas di negeri ini. Tapi beda etnis. Kami China. Tak (atau belum) ditindas. Sebab kami bisa masuk dalam mayoritas negeri ini lewat kesamaan agama, yaitu Buddha. Tapi dulu, tahun 1998, di negeri tetangga, aku pernah merasakan yang dialaminya kini. Dikejar-kejar layaknya tikus got untuk dibasmi.
Ia kududukkan di kursi empuk. Kumuh, bau, dan bergetar dia. Bayinya yang menangis ingin sekali kugendong, tapi ia tak mau melepaskan. Aku segera tuangkan air putih untuk menghapus dahaganya.
Kuambil dot botol milik cucuku dan susu bubuk. Kulakukan dengan cepat agar bisa segera kuberikan ke bayinya. Bayinya yang penuh kotor dan goresan merah luka di wajah, langsung diam ketika dot susu diisapnya dengan lahap.
Kubuat juga teh hangat. Kuambil roti. Kuberikan padanya. "Makan dan minumlah sebagai peganjal. Nanti nasi masak, kau juga bisa makan," kataku.
Kepercayannya mulai tubuh.
"Aku mau ambil obat dan kapas. Tapi kamu harus mandi dulu. Sekarang makanlah rotinya dulu untuk menyembuhkan perut laparmu. Nanti kita obati lukamu."
Tangannya kotor. Tanah melekat di tangan dan di ujung kuku-kukunya. Di punggung tangan dan pergelangan, penuh goresan-goresan merah masih segar. Lengan baju, jilbab, celana longgarnya koyak-koyak dan lembab.
Kondisinya menunjukkan ia baru melewati lumpur, air, dan semak-semak. Mungkin ia melarikan diri melalui hutan dan sungai dari tempat mukimnya. Belum kutanya kabar suami dan keluarganya.
Ia minum dan makan roti dengan lahap. Matanya masih menerawang tanpa menatapku. Air matanya bercucuran bercampur ke roti yang sedang ditelannya.
***
Perempuan Rohingya yang terluka itu selesai mandi. Kusuruh rebahan di ranjang. Sebuah ranjang tua yang biasa kupakai rebahan saat di dapur. Ranjang rebahan untuk tubuh tuaku yang kini mudah lelah. Ranjang itu tepat di bawah tangga.
Ia telungkup. Kusteril luka-luka di sekujur tubuh dengan antiseptik. Ia meringis. "Tahan," kataku. Kemudian kuolesi obat cair dengan kapas.
Bayinya sudah tidur dalam ayunan setelah kumandikan dengan air hangat. Pakaian cucuku muat untuk bayinya. Bayi yang kuat. Tak menyusahkan ibunya. Menangisnya hanya karena lapar. Luka gores di kulit bayi yang kuolesi obat, tidak membuat si bayi menangis. Seharusnya perih membuatnya menangis berontak. Bayi itu telah menunjukkan kekuatannya. Terberkahilah kekuatannya. Amitabha...
"Kamu aman sekarang," kataku pada Ayesha, nama perempuan itu. "Kamu bisa di sini sampai keadaan tenang. Lalu kamu bisa pergi ke mana saja ingin pergi." Ia masih terisak.
Kesadarannya masih melekat pada yang sudah dilalui. Kesadarannya tidak di sini. Belum ada perasaan lega setelah kuberi keamanan dan perlindungan sementara untuknya. Tak ada kesadaran untuk berterima kasih padaku. Bukan mengharapkan ia berterima kasih padaku. Namun, jika ia mengucapkan terima kasih, menunjukkan kesadarannya di sini. Kini adalah kini.
Kesadaran akan kini. Itulah kecerdasan jiwa. Pilah semua antara masa lalu dan masa depan. Jangan bawa masa lalu yang telah berlalu atau masa depan yang belum terjadi melekat dan menganggu. Masa lalu adalah pelajaran, dan masa depan adalah pengarah.
Beruntunglah yang memiliki kecerdasan dan kekuatan jiwa; kesadaran akan kini selalu menyala. Mengenal diri dan memanfaatkan situasi kini untuk menjalani hari-hari dengan tenang. Nirvana. Tapi tidak kulihat pada Ayesha. Ia masih larut pada yang telah dialaminya itu, melemahkan dirinya, dan membutakannya akan kini, masa depannya, dan anaknya.
"Ayesha," sapaku sambil terus mengolesi.
"Ayesha, dengar saya," pintaku lembut. "Kamu bisa di sini sementara kalau belum punya tujuan." Ia masih menangis.
Aku mulai kecewa padanya. Jika tidak kupertimbangkan pengalaman buruk yang telah terjadi padanya, aku akan berkata keras padanya. Aku tak suka kecengengan. Bukan berarti tak boleh menangis. Menangislah secukupnya. Tumpahkan lewat tangis. Lalu kemudian lanjutkan hidup.
Hidup harus tegar, kuat. Sesakit apapun yang telah menimpa kita. Begitu yang kuajarkan pada dua anakku. Dengan tegar, kuat, kita bisa bangkit. Begitulah sejarah leluhur dan pengalaman mengajariku. Jika tak begitu, aku sudah mati sejak tragedi 1998.
"Hidup harus kuat, tegar, dan perjuangan tak pernah berhenti sampai nafas berkata: sudah," kataku lagi.
"Ayesha," kusentuh rambut legamnya. Kuusap bahunya. "Ayesha, dengar saya. Dengar saya. Dengar baik-baik. Ayesha kalau kamu masih larut dengan derita yang telah kamu alami itu, percuma saja kamu bersusah-susah diri menyelamatkan diri.
"Ayesha, aku tahu situasi. Aku tahu apa yang sedang terjadi pada etnismu, di kampungmu. Aku tahu kamu telah berjuang menyelamatkan diri dari yang kamu alami.
"Aku bisa tahu, kamu selamat dan bisa sampai di sini yang jaraknya berkilo-kilo meter melewati rawa, sungai, dan hutan menunjukkan bahwa dirimu kuat! Kamu pejuang, Ayesha! Kamu punya semangat hidup!" Isaknya mulai berkurang, belum reda sempurna.
Kesadarannya mulai di sini. "Aku bisa tahu, bukan insting hidupmu saja yang menggerakkan dirimu menyelamatkan diri, tapi kasih sayangmu pada anakmu, bukan? Ingat bayimu! Pikirkan masa depannya! Cukup menangis!"
Ia berhenti menangis mendadak. Kesadarannya telah pulih. Bayi itu penyemangat dan pemberi kekuatannya (sekaligus akan menjadi kelemahannya.)
"Saya tak tahu pasti apa yang telah terjadi padamu tapi bisa kuduga apa yang telah terjadi padamu. Saya sebenarnya ingin tahu apa yang telah terjadi padamu, tapi kamu bisa bercerita kalau sudah cukup tenang."
Ia bangkit dari telungkupnya. Ia memelukku. Erat. "Terima kasih atas semuanya, Nek." Ia menangis lagi.
"Kamu menangis lagi!" Aku melepas pelukannya dan menatapnya. "Saya menangis bukan karena sedih lagi. Tapi menangis karena terharu atas kebaikanmu, Nek. Terima kasih sekali lagi atas kebaikanmu, Nek. Semoga Allah membalas kebaikanmu. Saya belum bisa membalasnya."
Aku melihat matanya kini telah menyala. Aku senang. Kusuguhkan senyum untuknya. Kuhapus sisa air matanya.
Kusentuh kedua pundaknya. "Aku suka melihat dirimu sekarang. Hidup lagi jiwamu. Jangan pernah masa lalu melemahkanmu. Ingat masa depan yang masih terbuka lebar-lebar untuk kamu dan bayimu."
Ia mengangguk kuat-kuat. Aku memeluknya. Jiwanya sudah pulih, sudah kuat.
"Bagaimana tubuhmu, sudah enakan? Masih lapar? Mengantuk? Mau bercerita? Atau mau apa?"
"Roti tadi sudah cukup, Nek. Saya shalat shubuh dulu," katanya pelan dan ragu. Aku tahu kenapa ia ragu.
"Kamu jangan mendugaku melarangmu beribadah. Aku justru suka sama orang yang taat menjalankan ibadahnya. Agama mengajarkan kebaikan, menjadi manusia, menjadi baik memperlakukan manusia. Jika tak begitu, manusia itu telah gagal beragama. Sesungguhnya, yang menimpamu kini, bukan lahir dari ajaran Buddha melainkan dari jiwa buruk. Buddha tidak mengajarkan jiwa buruk."
Lagi-lagi ia memelukku. "Shalatlah. Matahari akan terbit. Tak ada sajadah di sini. Kamu bisa ganti sajadahmu dengan sarung milik kami."
Ia mengangguk. "Kemudian saya ingin tidur sebentar saja. Nanti saya cerita yang telah terjadi pada kami," katanya.
"Tak perlu dipaksakan. Kapan saja kamu siap." ***