Disukai
1
Dilihat
6,281
Di Sabang Kau Kukenang
Romantis

Sebelum matahari terbit, aku sudah di jalanan. Dengan BMW X6, kulintasi jalanan yang masih sepi dari Serpong Tangerang Selatan, menuju Soekarno-Hatta. Aku harus tiba di bandara paling tidak setengah jam sebelum pukul 06.45. Minggu lalu aku telat chek in. Hangus tiket. Terpaksa kupesan tiket baru, dan ganti pesawat yang menuju kotamu, Sabang.

Aku tak bisa menahan diriku untuk ke sana. Dua bulan ini sudah ke empat kalinya setiap Minggu aku ke Sabang. Jangan tanya berapa biaya sudah kukeluarkan. Patah hati membuat diri tak peduli apapun, termasuk uang. Begitu mudah kuhambur tanpa kontrol. Berharap yang kuhamburkan, mengganti yang tercerabut dari hati. Menemukan kembali kebahagiaanku. 

Selalu saja dadaku mengosong jika mengingatmu. Betapa menyakitkan patah hati. Pikiran tak karuan, dihantam sakit bertubi-tubi, stress, serasa lumpuh, dan rasa-rasanya hampir gila. Pekerjaanku terbengkalai. Jika bukan perusahaan keluarga, aku sudah ditendang dari jajaran direksi. Dewan direksi menunjuk seorang kerabat mengganti posisiku sementara sampai aku kembali menjadi diriku. Aku hanya diserahkan mengawasi, sesekali mondar-mandir di kantor. Sementara di kampus, jam mengajar telah kuserahkan pada asistenku. 

***

Aku transit di Kuala Namu sekitar sejam sebelum diterbangkan kembali oleh Garuda menuju Maimun Saleh. Aku tiba di bandara kotamu sekitar pukul 11.00. Cuaca cerah berangin sepoi mengurangi kabutnya jiwa ini. Aku disambut Mardi, sopir dari jasa rental mobil. Tiga kali sebelumnya, aku juga dijemput dan diantarnya.

Ia membawaku ke sebuah resort tepi pantai di Teluk Sabang. Tak jauh dari Tugu Nol Kilometer Indonesia. Sekitar setengah jam, sekitar 20 km perjalanan kami tempuh. Jalanan kota ini termasuk lengang. Jalannya kadang berkelok, menanjak, dan menurun. Aku banyak diam di mobil.

Kiban (gimana), Bang? Peu haba (Apa kabar)? Beres semua ‘kan?” Sopir berusia 27 tahun itu mengajakku bicara. Belum menikah. Sama sepertiku belum menikah yang sudah melebihi kepala tiga.

Ia belum menikah karena mahar terlalu tinggi. Perlu ek ue meusaboh Sabang (“mesti naik pohon kelapa seluruh Sabang”). Ia sering mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh. Awalnya aku tak mengerti, lalu ia menjelaskan maksudnya. 

“Lelaki harus naik pohon kelapa seluruh Sabang” hanya ungkapan yang mengandung hiperbola, ironi, dan satir. Lelaki harus kerja keras mengumpulkan uang agar bisa membeli mahar. Satirnya adalah pekerjaan yang dimiliki sangat payah untuk mengumpulkan uang buat mahar. Mahar rata-rata minimal harus 10 mayam* (*30 gram) emas di Aceh. Maka, bagi orang yang pekerjaan seadanya, misalnya penjual kelapa, dihiperbolkan lelaki itu harus memetik seluruh kelapa di Sabang agar bisa memenuhi syarat mahar.

Itulah ironi. Aku meresponnya dengan senyum miris. Ironinya tak sesakit yang kualami. Sudah kujalani hubungan dengan seungguh-sungguh. Sudah terisi hatiku dengan kasih sayang dan cinta padamu. Lalu kini harus tercerabut. Apakah menghilangkan cinta semudah mencabut rumput? 

Kau tahu, sepanjang hidup aku mengejar puncak karir, melupakan hubungan yang sungguh-sungguh. Wanita hanya selingan hiburan bagiku tanpa merasa kubutuhkan. Menjalin hubungan hanya untuk seks tanpa disertai hati. Begitu mudah kucampakkan wanita ketika sedikit saja menyakitiku atau tak beres di mataku. Tapi tidak denganmu.

Kau dengan kecantikan, kelembutan, kecerdasan, dan kedirianmu mampu meluluhkan hatiku. Kau hanya bisa kusentuh tangan dan kukecup bibir. Itu pun setelah aku menangis buaya dan mengancam putus. Kau memberi tangan dan bibirmu untuk kucium. Lalu kemudian kau merasa berdosa, menangis, dan tak mau menemuiku sampai seminggu (yang rasanya berbulan-bulan bagiku).

Saat aku ke Depok, menuju pelataran minimarket, tempat gerobak usahamu menjual kentang dan ayam goreng, kau tak di tempat. Hanya ada Ais, teman kontrakanmu. Ais tetap keukuh tak memberi alamat kontrakan kalian. Ia sudah berjanji padamu, tak mau mengkhianatimu. Kau sudah tegas melarangku menemuimu di kontrakan.

Di pelataran minimarket, di gerobak usahamu, di sanalah pertemuan pertama kita. Seterusnya bertemu di sana. Saat kau sering kuajak jalan, usahamu kau serah jalankan kepada Ais. Tak sampai perlu tutup usahamu selama kuajak jalan-jalan. Usaha yang sangat berarti bagimu karena mampu mencukupkan biaya hidupmu selama kuliah di Universitas Indonesia. Luar biasa dirimu. Karena kutahu perjuangan hidupmu pasca-tsunami hingga bisa kuliah sampai ke UI, aku semakin menyukaimu.

Lalu saat kau sakit dan tak bisa ke kontrakanmu, aku sedih sekali dan merasa bersalah. Aku menangis untuk pertama kali setelah lama sekali aku tak pernah menangis. Dari kejadian itulah aku timbul kasih sayang dan cinta padamu. Aku tak ingin menyakitimu. Aku ingin membahagiakanmu. Aku ingin menikahimu. Tak perlu merasa berdosa lagi saat kusentuh. Bersama akan kita bangun rumah tangga yang bahagia. Namun datang waktu, mengatakan tidak. Kita tidak bisa menikah. Saat itulah baru kumengerti betapa sakitnya patah hati.

Nanti kau kan merasa

Betapa sakitnya hati kecewa karena cinta

Sempat terlintas lagi lagu melayu itu. Lagu yang dikirim Sherin setelah kuputuskan.

---

“Masih belum bisa move on,” sahutku pada Mardi.

Mardi tertawa mendengar jawabanku. Aku diam saja. Baginya masalah harus ditertawakan ketika tak sanggup dihadapi.

Lama-lama kukira dia bakal gila ketika selalu menertawakan masalah. Masalahnya masih soal tak bisa mengumpulkan uang beli mahar.

Awalnya aku ikut tertawa miris setiap mendengar humor satirnya. Namun sekarang setelah kuanggap ia mengenal sedikit latar masalahku, tak kupaksakan lagi tertawa demi menghargainya. Aku memang tak bisa merasakan humor lagi dengan keadaan begini. Sudah dua bulan sejak perpisahan kita. Aku sudah mulai gejala depresi, kata psikologku.

***

Aku sudah pesan kamar untuk seorang diri. Hanya untuk semalam. Kubuka jendela-jendela kaca berbingkai kayu itu biar angin laut masuk. Resort langsung menghadap laut tenang Teluk Sabang.

Setelah mandi, aku rebahan di ranjang. Menyalakan televisi tanpa jelas channel mana yang kutonton. Merokok dengan rasa hambar. Lidah dan langit-langit mulutku terasa kering. 

Lalu listrik mati. Kulempar remot itu hingga lepas bagian-bagiannya. Entah pecah. Gerah lalu memenuhi ruangan.

Masalah listrik tak pernah selesai di Sabang sejak aku datang. Masalah listrik baru kutahu kemudian merupakan sudah masalah berlarut-larut Provinsi Aceh. Karena kekurangan energi listrik, investor lari atau menunda kerjasama dengan Aceh. Aku pun menunda. Tapi sudah kubeli sehektar lahan di salah satu tepi pantai Sabang. Di sana hendak kukembangkan destinasi wisata. Demi mengenangmu. Nama kita akan kupenuhi di tempat wisata itu jika sudah jadi.

Karena genset lama sekali dihidupkan, aku meninggalkan kamar. Kusempatkan melihat diriku di cermin. Begitu kosong hati ini. Wajahku bukan lagi wajahku. Wajah putihku tak berenergi. Pucat. Begitu malas kulihat wajahku sendiri.

Aku tinggalkan hotel. Aku telusuri jalan setapak di sepanjang taman resort. Ada pembatas tamannya. Kuberdiri di pembatasnya. Menghadap Teluk Sabang. Kulihat di bawah sana, dermaga sedang diramaikan orang yang hendak snorkeling. Di sisi kiri dermaga, pantai indah berpasir kuning dengan laut tenangnya. Ombak lembut menjilat bibir pantai. Kubayangkan bisa mandi dan berenang serasa di kolam. 

Angin ramai riuh serasa mendorong tubuhku. Kurentangkan tangan, kubuka mulut. Lembab dan terasa asin di mulutku. Langit biru, laut biru, tenang laut. Tapi tidak jiwaku. Jiwa ini hanya tertuju padamu. Mengingatmu selalu memunculkan perasaan kosong yang menyelimuti, menyapu seluruh jiwaku seperti sapuan tsunami.

Dalam kutarik rokok. Kulepaskan asap, ditangkap angin, dan dihempas ke udara. Hilang sekejap. Kau pun seperti asap. Datang menyusup mengisi dada, kemudian menghilang dengan meninggal racun cinta. Tak bisa kulepas-lepas. Masih mengakar dalam dada.

Aku berjalan sendiri menuruni undakan karang. Aku tak tahu menuju ke mana. Mungkin ke pantai atau ke dermaga. Seorang ayah memintaku memotret keluarganya. Aku sanggupi. Kuambil beberapa gambar. Sempat kuarahkan mereka menghadap cahaya dan membelakangi laut biar terang dan bagus hasil foto. Smile!

Bibirku kesulitan membalas senyum terima kasih si ayah ketika selesai foto. Aku serahkan smartphonenya lalu meninggalkan mereka.

Aku melihat sekumpulan muda-mudi sedang santai dan bercengkerama. Mereka duduk di seonggok batang pohon besar dan panjang. Batang pohon itu rebah melintang agak menjauh dari bibir pantai, mendekati semak-semak. Mereka duduk di sana di bawah naungan pohon ketapang yang berdaun lebar-lebar. Aku duduk di pasir, juga di bawah naungan ketapang. Angin bergerombol datang.

Salah seorang di antara mereka, pemuda berambut gondrong dan berpenampilan urakan, memanggilku, “Hei, Bang! Dudok (duduk) sini. Ayo kumpol sama kami. Abang keknya lagi susah. Ke sinilah. Kita bisa tertawa. Buat apa hidup dibikin susah. Hidup harus dinikmati. Enjoy, Bang. Hahaha.” Satu tertawa, semua ikut tertawa.

Kau tahu di awal-awal ke mari, aku risih dan berjarak dengan orang-orang. Begitu mudah orang-orang di sini menyapa orang asing dan mengajak bicara. Seolah sudah kenal lama. Awalnya kunilai mereka suka sekali mencampuri urusan orang lain. Belakangan kutahu mereka hanya bermaksud berbagi yang dianggap baik dan menyenangkan. Jika respon kita tak bersahabat, mereka pun tak memaksa. Dibiarkan saja. 

Aku tertarik dan berkumpul dengan mereka yang berjumlah lima orang. Mereka mahasiswa-mahasiswi dari Unsyiah yang bersama libur ke Sabang. “Kenapa susah kali wajah Abang? Apa masalahnya, Bang? Ceritalah sama kami. Lepaskan sesak di dada ke angin, ke laut, dan pecahkan di debur ombak.” Pemuda gondrong sepertinya penyair. Mereka tertawa lepas.

Seorang temannya, kurus, menimpali, “Bang, maklum ya. Ni orang gagal jadi penyair, Bang. Makanya jadi kek gini.” Si gondrong meninju bahu si kurus yang mengata-katainya. Yang lain tertawa lagi.

“Jadi ada apa, Bang?” Si gondrong masih ingin tahu.

“Belum bisa move on,” sahutku pendek. Memandang laut, menarik rokok, dan menghempasnya ke udara.

“Aaaaaa..” Dua gadis berjilbab itu kedengaran seperti histeris.

“Gileee.... Gaul kali Abang ni.” Si gondrong menepuk akrab pundakku.

“Berapa lama hubungan Abang sama dia? Dan kalo boleh tahu, kenapa bisa pisah, Bang?” tanya salah seorang gadis penasaran. Manis, putih. Bibir tipisnya mengingatkanku padamu.

"Kek wartawan aja kau tanya, Mina!" si tambun pertama kali bicara. Lagi-lagi mereka tertawa. Suasana lepas dan santai.

“Setahun. Pisah karena beda agama!” sahutku pendek tanpa keberatan. Kutatap Mina lembut.

Lagi-lagi seperti hendak histeris dua gadis ini. Mereka kaget geleng-geleng, sambil berseru,

“Wadoh!”, “ Weee!”, “Gawat!”. Lain lagi berseru yang jadi ciri khas di Aceh dan daerah Medan, “Omaaak!” (searti dengan “alamak”).

“Sudahlah, Bang. Kalo beda agama, emang susah tuh bisa bersatu.”

Aku menatap kosong ke laut.

“Siapa nama mantan Abang tuh? Anak mana, Bang?” tanya Mina, si gadis berbibir tipis.

“Naura, Anak Sabang sini,” sahutku.

Mereka terdiam. Bingung. Mencerna ulang. Kini baru menyadari siapa yang bukan Islam.

Aku menatap laut. Kubiarkan mereka larut dengan info itu. Kutarik lagi rokokku.

Si tambun mencoba memastikan agamaku apa. Tapi dipukul bahunya sama si gondrong.

“Udah, enggak usah ditanya detail kek gitu. Sori, Bang. Dia masih belajar.”

“Belajar apaan. Kee (kamu) tuh belajar bikin puisi yang betol sana!” Si tambun meringis dan kesal kepada si gondrong.

“Jadi Abang ke Sabang masih mau ketemu dia?” Mina, si gadis berbibir tipis yang mengingatkanku padamu bertanya pelan-pelan, lembut, dan dengan nada serius. Ia sepertinya berempati padaku.

“Enggak. Dia sudah 13 tahun gak tinggal lagi di Sabang pascatsunami. Dia pindah ke Aceh Besar, sekolah asrama di pesantren terpadu sampai tingkat SMA. Lalu lanjut kuliah dengan beasiswa di Universitas Indonesia, Depok. Dia cuma pernah bilang rindu mau ke Sabang. Tapi trauma karena semua keluarga intinya dihempas tsunami. Dia selamat seorang. Saya kemari karena rindunya itu.”

Gadis yang hanya tertawa dan diam saja mengikuti obrolan kami, kini meneteskan air mata. Aku tak tahu apa yang disedihkan gadis pendiam itu. Apakah masa lalunya pernah mengalami tsunami, perjuangan hidupmu, atau kisah cinta kita yang kandas, atau tentangku yang masih merindukan dan meratapimu.

“Sekarang Naura Abang tuh di mana?”

“Sudah menikah dua bulan lalu sama orang Malaysia. Pindah dan jadi warga Malaysia. Entah tinggal di Kuala Lumpur, Penang, Johor, tak tahu di mana lagi dia. Benar-benar putus kontak setelah mengucapkan salam perpisahan. Kabar ia menikah pun, saya tahu sekilas dari temannya.”

Ketika mengungkapkan fakta itu, perih lagi dadaku. Aku menarik lagi dalam-dalam rokok. Entah berapa batang sudah kuhabiskan sejak dari Serpong.

Sejak kita pisah, aku semakin gila merokok. Pernah ditawari ganja. Kuterima. Lalu untuk pertama kali selama hidup, aku menghisap ganja. Hoyong aku. Berdebar-debar jantung. Sakit dan berat kepala. Perasaan ingin tidur saja biar hilang sakit dan berat kepala. Aku kapok. Tubuhku menolak ganja. Cuma sekali itu saja kuhisap. Sisa ganja kubuang ke closet. Cukuplah rokok menjadi pengurang sakitku akanmu.

“Sabar, Bang, sudah takdir.” Si gondrong menggosok-gosok bahuku. Dua temannya, si tambun dan si kurus ikut mengusap-usap bahuku.

Para gadis cuma bisa menenangkan dengan kata. Mungkin juga mau menyentuhku seperti yang dilakukan teman-teman lelakinya, tetapi terhalang karena bukan muhrim seperti alasanmu.

“Sabar, ya, Bang,” kata Mina. Lalu lanjutnya, “Saya ingat waktu ngaji, tengku ngaji saya pernah bilang, emang gak bisa cewek muslim nikah sama pria nonmuslim. Kalo sebaliknya sih masih rada-rada bisa; pria muslim, perempuan non-muslim. Soalnya kalo nikah beda agama, si istri ini harus mengikuti keputusan dan kebijakan suami. Suami itu pemimpin, imam dalam keluarga. Kacau dan rapuh batin rumah tangga kalo dibangun dari pasangan beda agama. Akan muncul dua pemimpin, terjadi beda keputusan, beda kebijakan dalam rumah tangga. Makanya, harus satu pemimpin dalam rumah tangga.”

Aku menyimak saja. Diam. Menunduk. Tak kubantah atau kubenarkan kata-katanya.

Aku ingat padamu. Sangat ingat perbincangan terakhir kali kita di Tanjung Lesung, salah satu tempat wisata Banten. Matamu merah menangis. 

“Berat buatku, Mas. Aku juga cinta, sayang sama Mas Andre. Tapi perbedaan ini tak bisa menyatukan kita, tak bisa membawa kita ke jenjang pernikahan.”

“Dik, Naura, coba kita kompromi. Kita sudah dewasa, bisa bersikap, bisa memilih bagaimana menjalani bagaimana baiknya hidup kita ke depan. Dik, ingat, kita ini tujuannya menikah. Tidak sedang saling menyuruh ikut agama Mas atau agamamu. Tidak sedang memaksa ikut agama....”

“Aku tidak memaksa, Mas. Tidak ada paksaan dalam beragama Islam.” Kau menyela.

“Aku salah bicara. Bukan “memaksa”, tapi “mengharapkan”. Kau tentu mengharapkan aku menjadi Islam sehingga kita bisa menikah. Aku jelas tak bisa melepas agamaku. Yang mau kubilang, Sayang…,” Aku reflek hendak menyentuh pundakmu. Kau reflek juga menghindari tanganku.

“Yang mau kubilang, Sayang, aku hanya menikah denganmu. Bukan mengubahmu ikut agamaku. Atau sebaliknya. Kita urusi dan jalani rumah tangga kita tanpa menyinggung dan mengusik keimanan kita masing-masing. Aku pun sudah memikirkan, jika nanti kita punya anak, aku percayakan padamu mendidik anak kita ikut imanmu.”

“Mas, tidak mengerti. Tidak semudah yang terucap saat dijalankan.”

Kau terus menangis. Aku berair mata. Menetes. Hendak kusentuh dan kupeluk dirimu, tetapi tak bisa. Dengan suara serak, kucontohkan padamu beberapa pasangan beda agama tetapi tetap langgeng berumah tangga.

“Aku tak bisa begitu, Mas. Itu pilihan mereka. Aku hidup tidak hanya memikirkan dunia. Jika aku menikah, aku memikirkan keluargaku sampai akhirat nanti.”

Merinding aku mendengarmu. Buncah air mataku. Sampai kini aku tak bisa menjelaskan kenapa pecah tangisku usai mendengar kata-katamu itu. Yang jelas aku merasakan, jiwaku tersentuh oleh jiwamu

Smartphone-ku berbunyi. Aku permisi tinggalkan muda-mudi ini. Ais meneleponku. Suaranya bercampur isak.

“Mas Andre, saya cuma mau menyampaikan kabar….” Ais terhenti suara. Berganti pecah tangisnya. Aku berdesir darah. Tentu kabar tentangmu.

“Apa Ais? Sampaikan dulu.”

“Naura, Mas. Naura baru saja berpulang,” dipaksakan kata-kata keluar dari mulutnya.

“Maksudmu, Ais? Naura meninggal?!” bernada teriak tanyaku. Sempat kulirik muda-mudi itu ikut menoleh padaku.

“Iyaaaa, Mas. Maaf, Mas. Sabar, tabahkan hatimu, Mas.” Di seberang Ais kembali lepas tangis. 

Aku merasakan sebagian jiwaku ditarik lepas dari tubuhku. Kedua kakiku merasa melayang. Tak mampu berdiri. Lutut lemas, lalu aku jatuh tersimpuh ke pasir. Smartphone terlepas dari gengaman. 

Muda-mudi itu mengerubungiku. Yang lelaki ikut bersimpuh dan melingkariku.

“Kenapa, Bang?”

Aku meremas pasir. Bukan marah. Hanya menguatkan hati. Tubuhku terguncang tak bisa kukendali. Air mata dan ingus lepas tak bisa kutahan.

“Naura meninggal dunia.”

"Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun...."

Tanganku lemas, tak mampu kutopang kedua bahuku. Jatuh lagi. Kutopang pakai siku. Tangisku pecah lepas dan panjang. Pasir berhamburan diterbangkan angin.

Dada sakit. Mendesak-desak untuk tumpah-ruah lewat tangis. Tak habis-habis sakit ini. Tangisku melengking. Aku menelentangkan tubuh di pasir. Si gadis rebah di pasir. 

“Eh. Pitri, pingsan!”

“Kawani dan sadarkan dia.”

“Bang, sabar ya. Kuatkan hatimu, Bang."

"Setelah semua kesusahan ini, nanti pasti ada kelapangan dan kemudahan buat Abang.” 

Persis seperti kata-katamu, setelah kesusahan ada kemudahan. Tapi aku tak pernah tahu pasti kapan datangnya kemudahan itu. Lalu kau bilang kita hanya bisa bersabar dan bersabar sampai kemudahan itu tiba.

Begitulah kau menjalani sepanjang hidupmu. Begitulah hidup. Begitulah menjadi manusia. Sabar meski menerima derita mendera-dera sampai kelapangan tiba. ***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi