Malam itu, rel memantulkan cahaya sisa hujan. Kilap logamnya bergetar seperti garis nadi raksasa yang berhenti berdetak. Kereta komuter meluncur di tengah kota yang masih menyala di kejauhan, sampai tiba-tiba, suara besi berhenti. Tidak dengan jeritan, hanya sebuah hentakan tumpul. Lalu hening.
Lampu di setiap gerbong padam serentak. Sekejap, dunia jadi ruang tanpa warna. Hanya sisa dengung arus listrik yang memudar perlahan, seperti napas terakhir mesin.
Dari luar, sirene terdengar samar. Jauh. mungkin dari arah stasiun berikutnya. Mungkin juga dari sesuatu yang lain. Beberapa penumpang menatap ponsel yang tak lagi bercahaya, yang lain memegangi pegangan besi dengan kaku. Tidak ada yang bicara.
Tidak ada suara pemberitahuan apa pun, hanya ada suara kereta yang masih panas. Desis udara, seperti tubuh yang menolak mati.
Dikejauhan, kota memantulkan cahaya merah oranye di langit berawan. Gedung-gedung tinggi terlihat seperti menara api yang menatap gerbong-gerbong gelap di bawahnya. Seseorang mencoba membuka jendela, tapi terkunci. Suara logamnya memecah keheningan sebentar, lalu tenggelam lagi.
Dalam kegelapan, setiap penumpang mendengar napas sendiri. Ada yang berbisik pelan, “Kenapa berhenti?” tapi suaranya segera ditelan udara lembap.
Waktu terasa menahan diri. Lima menit terasa seperti jam. Satu-satunya cahaya berasal dari rokok yang dinyalakan diam-diam di pojok gerbong. Cahaya kecil, berkedip seperti bintang yang kesepian. Asapnya menari di udara, perlahan, seolah mencoba mencari arah.
Air hujan masih mengalir di antara batu-batu. Satu tetes menetes dari bawah gerbong, jatuh ke genangan, menciptakan lingkaran yang tak pernah selesai.
Dari pengeras suara, terdengar suara parau, nyaris tak terddengar:
“Mohon maaf… ada gangguan sinyal. Mohon tenang.”
Lalu diam lagi.
Seperti film yang terjeda di tengah adegan penting. Kota di luar mungkin sedang kacau, tapi dalam gerbong, yang paling menakutkan justru sunyinya.
Kursi 14B berada tepat di bawah lampu yang padam. Hanya pantulan cahaya rokok dari penumpang lain yang kadang menyorot wajah Laras, memecah gelap seperti kilat yang terlalu lelah menyambar. Ia duduk tegak, memeluk tas selempang lusuh berisi naskah yang belum sempat ia buang. Di luar kaca, kota berputar seperti kilau minyak di permukaan air. Tak nyata, tak menyentuh.
Laras baru pulang dari pertunjukan yang gagal. Ia masih bisa mendengar tepuk tangan hambar itu. Bunyi yang terdengar sopan tapi tak punya nyawa. Satu jam lalu ia berdiri di panggung kecil di Menteng, menceritakan naskah tentang manusia modern yang terjebak di dalam lift. Ironi yang kini terasa terlalu dekat.
Ia tersenyum tipis pada dirinya sendiri, getir, seperti orang yang baru sadar bahwa hidup kadang meniru sandiwara paling murahan. Kereta berhenti, hidupnya juga. Macet di antara dua stasiun, dua fase hidup yang tak tersambung.
Di depannya, kaca jendela memantulkan bayangan samar: seorang perempuan berambut pendek, wajahnya setengah tertelan gelap, dengan mata yang menatap dirinya sendiri seolah mencari alasan kenapa masih di sini. Ia mengetuk kaca pelan. Suara kecil itu terdengar seperti isyarat rahasia, tapi tak ada yang menjawab.
Jari-jari yang dulu lentur mengarahkan aktor kini gemetar, mencari korek. Ia menyalakan rokok, menghisapnya pelan, lalu mengembuskan ke udara yang sudah padat dengan ketakutan.
Asap menari di udara, membentuk siluet samar panggung. Dalam kepalanya, ia mendengar dialog yang ia tulis dulu:
“Kita semua aktor yang tersesat dalam skenario kota.”
Ia tersenyum getir. “Dan aku bahkan bukan pemeran utamanya,” gumamnya nyaris tanpa suara.
Suara kecil terdengar dari arah depan. Seorang anak menangis pelan, mungkin karena takut. Laras menoleh, tapi hanya melihat punggung para penumpang lain yang diam. Suara besi bergesekan di luar, mungkin angin.
Laras menatap jendela lagi, lalu berkata dalam hati,
“Kalau dunia luar benar-benar berhenti, setidaknya biarkan aku menulis akhirnya.”
Laras terlihat seperti satu-satunya orang yang masih berpikir bahwa ini semua hanyalah latihan, padahal panggungnya sudah nyata.
Ruang kendali kereta seperti perut logam yang berdetak lambat. Panel kendali masih menyala redup. Hanya dua lampu kecil hijau, seperti mata serangga yang menatap Bagas dari kegelapan. Udara di sana hangat, bercampur bau oli, karat, dan sedikit keringat.
Bagas mencondongkan tubuh ke mikrofon komunikasi.
“Pos Stasiun Dua, di sini KA 1287… laporan, kereta berhenti di antara lintasan 23–A, mohon balasan.”
Hening.
Ia menunggu
Cuma suara statis, suara kosong yang terdengar seperti napas seseorang di ujung dunia.
Tangan kirinya mengusap panel logam yang dingin. Ia tahu kereta ini luar kepala: kapan mesin akan tersendat, kapan sinyal biasanya hilang. Tapi malam ini lain. Lampu padam serentak, sinyal mati total. Dan di luar… terdengar sesuatu seperti sirene, tapi jauh. Terlalu jauh untuk jelas, terlalu dekat untuk diabaikan.
Ia menghela napas, menatap jendela depan yang buram oleh embun. Di luar, tak ada apa-apa selain kegelapan dan kilat samar di langit Jakarta bagian timur.
“Jangan sampai ada yang panik,” katanya pada diri sendiri, pelan, hampir seperti mantra.
Di saku bajunya, ponsel mati. Ia menyalakannya, hanya muncul pesan terakhir dari istrinya, “Rafi belum pulang, katanya ikut demo. Jangan marah ya, Mas.”
Pesan dikirim dua jam lalu.
Bagas menatap huruf-huruf itu lama sekali. Keringat menetes dari pelipis, bukan karena panas. Anaknya, Rafi, berumur tujuh belas. Kepala keras, idealis. Sejak berita bentrokan di Salemba sore tadi, pikirannya sudah tak tenang. Dan kini, di antara dua stasiun, ia merasa seperti berada di ambang dua dunia: satu dunia kerja yang harus stabil, dan satu dunia rumah yang mungkin sudah hancur.
Ia mengetuk panel kendali, berharap bunyi logam itu bisa menenangkan.
“Masih di sini,” gumamnya ke mesin. “Masih hidup, kan?”
Suara dengung halus menjawab, lalu hilang.
Bahunya menegang dengan wajah yang nyaris tak berekspresi. Namun matanya gelap, campuran takut, tanggung jawab, dan kesadaran bahwa tak ada yang benar-benar mengendalikan arah malam ini.
Dari luar, suara angin membawa samar-samar gema sirene yang kian menjauh. Atau mendekat. Ia tak bisa membedakannya.
Rani duduk di kursi dekat sambungan antar-gerbong. Udara di situ lebih dingin, berbau logam basah dan debu yang lama tak tersapu. Ia menatap koper hitam di pangkuannya, permukaannya tergores halus, ada bekas tempelan stiker bandara yang setengah terkelupas.
Jari-jarinya bergerak di atas resleting seperti menghitung sesuatu, mungkin waktu, mungkin kesalahan.
Sejak kereta berhenti, Rani belum bicara sepatah kata pun. Seorang pria sempat menawarinya air minum, tapi ia menolak dengan gelengan pelan. Ia hanya menunduk, seolah takut matanya bertemu dengan siapa pun. Di dalam dadanya, degup jantung terasa lebih keras daripada suara rel yang kini membisu.
Ia berpikir tentang kantor, ruangan putih dengan AC terlalu dingin, meja-meja dengan kertas yang harus ditandatangani. Ia ingat wajah bosnya, yang siang tadi berkata:
“Koper itu bukan tanggung jawab kami kalau hilang di jalan.” Tapi koper itu tidak bisa hilang. Tidak boleh.
Rani tahu apa yang ada di dalamnya. Atau lebih tepatnya, siapa yang pernah menyentuhnya terakhir kali. Ada surat yang belum sempat dikirim, foto yang disobek, dan sesuatu yang tidak seharusnya dibawa ke dalam kereta malam.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Udara di dalam gerbong makin pekat, suara-suara kecil dari penumpang lain berbaur: bisik, helaan napas, bahkan gumaman doa yang samar. Namun di telinganya, yang paling keras justru suara pikirannya sendiri.
“Jangan dibuka di sini. Tidak di depan orang-orang.”
Ia menatap koper itu seperti menatap rahasia yang bisa meledak kapan saja. Tiba-tiba, lampu darurat menyala sebentar—cahaya merah bergetar di wajahnya. Sekilas, bayangan matanya terlihat lelah sekali, tapi juga penuh sesuatu yang tak bisa dijelaskan: rasa bersalah yang dalam.
Cahaya itu padam lagi. Kegelapan kembali menelan semua bentuk, semua perasaan. Dan di sela napasnya yang teratur, Rani mulai mengingat: malam ketika ia menutup koper itu untuk terakhir kalinya, dengan tangan yang bergetar, dan janji dalam hati untuk tidak pernah membukanya lagi.
Imam duduk di dekat jendela, kursi 9A. Tangannya menggenggam gitar kecil dengan senar putus, satu-satunya benda yang membuatnya merasa masih punya suara. Ia sudah lama tak menyanyi, bahkan sebelum kehilangan suaranya. Malam itu, ia hanya menatap embun di kaca yang perlahan menebal oleh napas para penumpang.
Setiap orang tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Laras dengan tatapan kosong ke luar, Rani dengan kopernya, beberapa remaja yang gelisah. Imam memperhatikan mereka satu per satu seperti mencatat melodi yang tak berbunyi. Baginya, semua orang di gerbong ini sedang memainkan lagu tanpa not, lagu tentang kehilangan.
Ia merogoh saku jaketnya, mengeluarkan spidol kecil yang sudah hampir kering. Dengan hati-hati, ia menulis sesuatu di kaca berembun itu:
“Setiap kota punya lagu patahnya sendiri.”
Tulisan itu kabur oleh tetesan air yang mengalir dari atap jendela. Huruf-hurufnya bergeser, seperti suara yang tak sampai. Tapi ia membiarkannya. Karena begitulah yang terjadi pada semua lagu. Selalu hilang di tengah jalan.
Di luar jendela, gelapnya bukan sekadar malam. Ada cahaya samar di kejauhan, mungkin dari stasiun berikutnya, mungkin dari api di tengah kota. Imam menatapnya lama, mencoba menebak bunyi di balik cahaya itu. Hening panjang menyelimuti gerbong, hanya terdengar suara pergeseran logam halus saat kereta sedikit bergetar, seperti napas raksasa yang tertahan.
Seorang anak kecil mendekat, memandangi tulisannya.
“Om nulis apa?” tanya si anak.
Imam tersenyum, mengangkat bahu. Ia menunjuk tulisan di kaca. Anak itu membaca perlahan, lalu diam. Setelah beberapa detik, anak itu berkata pelan, “Lagunya sedih ya, Om.”
Imam hanya mengangguk. Ia tidak bisa menjawab, tapi matanya cukup berkata: iya, sedih sekali.
Rokok di ujung gerbong padam, dan dalam kegelapan, huruf-huruf di kaca makin pudar. Namun di benak Imam, bunyinya masih ada. Samar, tapi abadi.
Sudah hampir satu jam sejak kereta berhenti. Udara di dalam gerbong menebal, bercampur dengan bau keringat, plastik, dan rasa cemas yang tak punya bentuk. Beberapa penumpang berdiri, mencoba menengok ke luar jendela, tapi yang mereka lihat hanya kegelapan dan kilat jauh di langit timur.
“Kenapa nggak jalan-jalan juga, sih?” suara seorang pria muda memecah diam. Nada suaranya tak sekedar bingung, tapi nyaris menuduh. Seorang ibu menepuk bahunya, mencoba menenangkan, tapi gagal.
Laras menoleh dari kursinya, suaranya pelan tapi tajam, “Kalau kamu mau marah, marahlah ke langit. Dia juga nggak ngasih sinyal malam ini.” beberapa orang menatapnya, sebagian orang tersenyum kecut, sebagian merasa terganggu.
Pria muda itu mendengus. “Lucu, ya. Dunia lagi rusak, masih sempat bercanda.”
Laras menaapnya lama. “Kadang cuma itu yang bisa kita lakuin supaya nggak gila.”
Sunyi lagi. Tapi kini bukan sunyi yang tenang. Sunyi yang menggantung di udara seperti uap dari mesin panas. Rani menunduk lebih dalam, tangannya makin kuat memegang koper. Imam hanya menatap dari kejauhan, matanya mengerti sesuatu yang orang lain belum sadar.
Bagas muncul dari pintu depan gerbong, seragamnya basah oleh peluh.
“Semuanya tenang, ya,” katanya. Suaranya bergetar halus, tapi tegas. “Ada gangguan sistem sinyal. Kami lagi koordinasi. Nggak ada bahaya, tolong duduk dulu.”
“Koordinasi sama siapa?” tanya seseorang dari belakang. “Dari tadi juga katanya begitu.”
Bagas menatap ke arah sumber suara, lalu menunduk. Ia tak punya jawaban yang meyakinkan.
Laras tertawa pelan, getir. “Sandiwara tanpa naskah. Bagus juga.”
Seorang pria tua menyuruhnya diam, tapi Laras justru menatap ke depan, wajahnya diterpa cahaya darurat merah yang redup.
“Kalau dunia luar mau kita panik,” katanya pelan, “kenapa nggak kita lawan dengan sesuatu yang mereka nggak punya? Ketenangan.”
Namun kata “tenang” justru mengguncang gerbong. Seseorang mulai menangis pelan. Seorang ibu memeluk anaknya. Hujan di luar turun lebih deras, mengetuk atap kereta seperti seribu jari kecil yang menuntut jawaban.
Bagas berdiri diam di tengah lorong, memandang wajah-wajah itu. Ia sadar, malam ini ia bukan hanya masinis. Ia juga penjaga kesabaran manusia yang sedang retak perlahan.
Hujan di luar belum berhenti, tapi di dalam gerbong, waktu seperti menetes lebih lambat dari air di kaca jendela. Beberapa orang masih berdiri, sebagian duduk lagi dengan wajah pasrah. Bagas telah kembali ke ruang masinis, meninggalkan sisa ketegangan menggantung di udara seperti kabel listrik yang terkelupas.
Laras menatap sekeliling. Semua orang diam, tapi diam yang bukan lagi sabar. Diam yang menunggu sesuatu pecah. Ia merasa ruangan ini seperti panggung setelah pertunjukan gagal: kursi-kursi kosong, lampu mati, dan aktor yang lupa naskah. Perasaan itu menekan dadanya, lalu tiba-tiba, keluar begitu saja.
“Kalau begini terus,” katanya pelan tapi jelas, “kita semua bakal gila bareng-bareng.”
Beberapa kepala menoleh.
“Lalu mau apa, Mbak?” tanya seorang pemuda dengan nada letih.
Laras berdiri, menepuk tangannya sekali. Suaranya nyaring, menembus dengung gerbong.
“Kita bikin pertunjukan,” katanya. “Sekarang juga. Di sini.”
Beberapa orang tertawa pendek, megira ia bercanda. Tapi Laras tidak tersenyum.
“Serius. Kita udah dikurung di sini entah sampai kapan. Dunia luar mau kita takut, kita jawab dengan sesuatu yang mereka nggak ngerti. Seni.”
Rani menatapnya, bingung antara ingin protes atau tertarik. Imam menunduk, tapi matanya berbinar kecil.
Pria muda yang tadi marah menghela napas panjang. “Pertunjukan apa? Mau nari di tengah neraka?”
“Bukan nari,” jawab Laras, tenang. “Kita mainkan hidup kita sendiri. Manual untuk Penderitaan Modern. Setiap orang pasti punya bab-nya.”
Beberapa orang saling pandang, sebagian tertawa, sebagian menggeleng tak percaya. Tapi sesuatu di nada suara Laras membuat tawa itu cepat padam. Suara hujan, cahaya merah darurat, dan wajah-wajah yang letih. Semua terasa seperti latar untuk sesuatu yang tak direncanakan siapa pun.
Laras menatap ke depan, menegakkan bahu. “Kalau kereta ini nggak mau bergerak, setidaknya biar jiwa kita yang berjalan,” ujarnya.
Tak ada yang menjawab, tapi di udara terasa perubahan kecil, seperti detik sebelum lampu panggung menyala. Mungkin mereka belum sadar, tapi malam itu, sesuatu sudah dimulai.
Lampu darurat menyala tiba-tiba. Cahaya merahnya menusuk kabut tipis yang menggantung di dalam gerbong, membuat segala sesuatu tampak seperti adegan dari mimpi buruk yang diatur dengan rapi. Wajah-wajah penumpang terlihat ganjil. Mata mereka berkilat, kulitnya tampak pucat dalam warna merah darah itu.
Tidak ada yang tahu siapa yang menyalakannya. Mungkin Bagas, mungkin sistem yang akhirnya sadar. Tapi Laras berdiri seolah memang menunggu saat itu. Cahaya itu seperti aba-aba panggung, dan tanpa sengaja, semua orang menjadi bagian dari pertunjukan yang ia janjikan.
“Selamat datang di Manual untuk Penderitaan Modern,” katanya dengan suara serak tapi penuh tenaga. Beberapa orang terkekeh gugup. Seorang ibu menepuk bahu anaknya agar diam.
Laras menatap mereka satu per satu. “Tak ada sutradara, tak ada penonton. Cuma kita. Setiap orang bawa naskah masih-masing. Hidup kalian sendiri.”
Rani menunduk, memeluk koper lebih erat. Imam menatap kaca jendela, menulis sesuatu di embun dengan jarinya yang kaku. Bagas keluar dari ruang masinis, menatap adegan itu dengan wajah bingung tapi tidak menentang.
“Ayo,” kata Laras, suaranya tenang tapi keras. “Kita mulai dari siapa yang paling butuh bicara.”
Tidak ada yang bergerak. Hanya bunyi hujan di luar, seperti tepuk tangan dari langit.
Laras menghela napas. “Kita semua sudah tersesat di sini. Setidaknya, biar tersesatnya punya arti.”
Laras menatap Rani. “Mbak, kamu dari tadi diam. Mungkin kamu yang pertama.”
Rani menatapnya lama. Cahaya merah membuat wajahnya tampak lebih muda, tapi matanya jauh lebih tua.
Ia membuka mulut, ragu. “Aku… aku nggak bisa,” katanya pelan.
“Bisa,” jawab Laras. “Kamu cuma perlu mulai dari kalimat pertama yang terlintas di kepala.”
Gerbong kembali diam. Rani memandang koper hitam di pangkuannya. Lalu, perlahan, ia berkata, “Baiklah. Tapi kalau aku mulai, jangan ada yang potong.”
Laras mengangguk. Cahaya merah bergetar, seperti jantung yang siap meledak. Malam di luar tetap hitam, tapi di dalam gerbong, sesuatu mulai berdenyut lagi, sesuatu yang terasa seperti keberanian atau keputusasaan, entah yang mana.
Gerbong diam, hanya lampu merah darurat yang berdenyut pelan di langit-langit. Rani duduk tegak, koper hitam di pangkuannya. Semua mata menatapnya, tapi ia menatap kosong ke depan. Bukan ke siapa pun, melainkan ke arah yang jauh di dalam dirinya sendiri.
***
Monolog Pertama: Rani
Aku pulang dari rumah sakit sore tadi.
Dia meninggal pagi tadi.
Bukan suamiku. Bukan saudara.
Hanya seseorang yang terlalu sering aku abaikan.
Namanya Andra.
Dulu, tiap sore dia menungguku di depan kantor cuma untuk bilang “hati-hati di jalan.”
Aku selalu jawab cepat “iya” lalu jalan tanpa menoleh.
Kupikir, ya, dia cuma salah satu orang yang nggak tahu kapan harus berhenti peduli.
Tiga bulan lalu dia berhenti kerja.
Kata orang kantor, dia mau buka usaha.
Ternyata dia cuma mau berhenti…dari semuanya.
Minggu lalu, di mejaku, aku nemu surat ini.
Aku nggak sempat baca sampai tadi pagi.
Cuma dua kalimat di dalamnya:
“Terima kasih sudah membuat aku merasa hidup, meski cuma sebentar. Aku harap kamu bisa maafin aku karena nggak cukup kuat untuk terus ada.”
Aku bawa koper ini dari rumah sakit.
Di dalamnya, baju terakhir yang dia pakai, jam tangannya, dan surat itu.
Aku nggak tahu mau kulakukan apa.
Aku cuma tahu, kalau kutinggalin, aku bakal merasa seolah aku juga ninggalin dia dua kali.
Aku dulu kerja di HR, tugasnya nyaring orang buat tetap waras di sistem yang bikin gila.
Lucu ya. Aku nggak bisa nyelamatin satu pun, bahkan diriku sendiri.
Malam ini, entah kenapa, kereta berhenti.
Dan aku… akhirnya punya waktu buat diem, buat ngerasa, buat bilang hal yang nggak sempat kubilang waktu dia masih hidup:
“Andra, maaf. Aku juga capek pura-pura kuat.”
***
Rani berhenti bicara. Koper itu masih di pangkuannya, tapi kini ia letakkan satu tangannya di atasnya. Lembut, seolah menenangkan seseorang di dalamnya. Tak ada tepuk tangan, tak ada komentar. Laras hanya menatap, lalu menunduk sedikit, membiarkan kata-kata itu larut perlahan dalam udara.
Hujan di luar makin deras, mengetuk atap seperti nada rendah di akhir lagu. Dan di antara bunyi-bunyi itu, Bagas menarik napas dalam. Berat, serak, seakan udara yang ia hirup pun punya bobot.
Ia berkata pelan, “Mungkin sekarang giliran saya.”
Lampu darurat masih berwarna merah. Hujan belum berhenti. Di luar jendela, kota tampak seperti dunia yang sengaja dipadamkan, agar yang tersisa hanya suara napas orang-orang di dalam kereta.
Bagas berdiri pelan. Topinya sedikit miring. Tangannya gemetar, entah karena dingin atau karena sesuatu yang lain. Ia menatap ke lantai, lalu ke wajah-wajah yang menunggu.
“Nama saya Bagas,” katanya pendek. “Masinis kereta ini. Dan mungkin… orang paling takut di sini.”
***
Monolog Kedua: Bagas
Saya kerja di rel ini sudah dua puluh tahun. Bagun jam empat, tidur jam sepuluh. Ngatur tuas, ngelihat sinyal, ngerem di waktu yang pas. Kata orang, kerja saya membosankan. Tapi buat saya, tiap meter rel itu doa. Biar nggak ada yang mati.
Saya punya anak laki-laki, Damar. Mahasiswa, katanya idealis. Sering ikut demo. Katanya, “Bapak kerja buat sistem yang nyiksa orang kecil.” Saya cuma bisa diam. Saya nggak tahu harus bela diri atau minta maaf. Soalnya, dia nggak sepenuhnya salah.
Kemarin sore, saya liat berita di TV ruang tunggu stasiun. Ada bentrokan di pusat kota. Gas air mata, batu beterbangan. Saya nyari wajahnya di layar, nggak ketemu. Tapi ada potongan gambar. Seorang mahasiswa terkapar, bajunya sama persis kayak yang dia pakai waktu pagi berangkat.
Saya hubungi nomor ponselnya. Mati. Saya nunggu kabar, sampai akhirnya jadwal saya narik kereta malam ini. Saya pikir, kalau saya tetap kerja, mungkin waktu akan jalan lebih cepat, rasa takutnya ikut hilang. Tapi malah keretanya yang berhenti.
Tadi waktu dengar Mbak Rani cerita, saya mikir, mungkin dunia ini memang lagi nyuruh kita berhenti. Bukan cuma kereta, tapi hidup kita semua. Kita disuruh diam, biar bisa denger suara yang udah lama kita tutup rapat. Suara kehilangan, suara takut, suara yang bilang kita ini cuma manusia.
Saya takut, tapi lebih takut lagi kalau ternyata saya udah terbiasa nggak ngerasa apa-apa. Dan malam ini, di sini, saya cuma mau bilang satu hal:
“Damar, kalau kamu masih hidup… Bapak nggak marah. Kalau kamu nggak pulang, Bapak bakal tetap narik rel sampai ujungnya, biar suatu hari ketemu kamu di stasiun mana pun yang Tuhan pilih.”
***
Bagas berhenti bicara. Tangannya masih memegang topi di dada, tapi bahunya tampak lebih ringan. Tak ada yang berkata apa-apa. Rani menatapnya dengan mata basah, Imam menunduk, Laras memejamkan mata, seolah semuanya sepakat bahwa di dunia yang kacau, satu-satunya hal yang tersisa hanyalah keberanian untuk berkata jujur.
Di luar, guntur terdengar jauh. Cahaya merah bergetar sekali, lalu stabil lagi.
Dan malam terus bernafas bersama mereka.
Hening setelah pengakuan Bagas belum sempat luruh ketika seorang pria paruh baya berdiri dari kursi dekat pintu. Ia menepuk celananya, menarik napas panjang, lalu menatap ke arah Laras seperti meminta izin. Kemejanya rapi, jasnya mahal, tapi matanya sembunyi di balik kelelahan yang bukan sekadar karena hujan.
Gerbong menjadi lebih dingin. Cahaya merah darurat menimpa wajahnya, menyorot keringat yang belum sempat mengering.
***
Monolog Ketiga: Penumpang Tak Dikenal
Nama saya Wisnu. Saya kerja di pemerintahan. Biasanya, kalimat itu cukup bikin orang berhenti bertanya. Tapi malam ini, mungkin saya nggak punya hak lagi buat diam.
(Tarik napas.)
Tiga tahun lalu saya ikut menandatangani proyek penggusuran di Bukit Duri. Kalian tahu beritanya. Rumah-rumah dibongkar, orang-orang lari sambil bawa koper, ada anak kecil yang jatuh ke selokan. Saya lihat semuanya lewat laporan di layar komputer. Bersih, tanpa debu, tanpa suara tangis.
Aku…
Seorang perempuan muda dari kursi belakang menatap tajam.
“Bukit Duri?” katanya dengan nada tak percaya. “Rumah bibiku di sana!”
Wisnu menunduk sedikit, suaranya serak. “Aku tahu. Aku ikut menandatangani perintah itu.”
Lalu dari arah tengah, seorang pria yang sejak tadi gelisah berdiri. Suaranya pecah,
“Dan Bapak tidur nyenyak setelah itu, ya?! ENAK NIKMATIN DUITNYA?”
Wisnu menatap pria itu dengan perasaan ambigu.“Aku punya istri, dua anak. Aku cuma mau mereka bisa sekolah, bisa hidup tenang, bis…”
“Cuihh! Kita juga pengen, Pak! PENGEN! Kita punya keluarga, sama kayak Bapak! Tapi rumah kami diseret sama alat berat kalian!” Gerbong mendidih. Beberapa orang berbisik marah, ada yang memukul bangku pelan. Wisnu menatap mereka dengan mata memohon, tapi tak ada keberanian untuk membela diri.
“Aku tahu kalian nggak akan percaya. Tapi waktu itu… aku cuma takut kehilangan pekerjaanku. Aku pikir kalau bukan aku, orang lain juga bakal tanda tangan. Ternyata, justru karena aku yang tanda tangan, semua itu jadi nyata.”
Suasana berubah. Tak ada lagi suara bentak, hanya dengus napas yang menahan amarah. Rani menatap ke koper di pangkuannya, seperti menemukan pantulan penderitaan yang lain di dalamnya.
Wisnu melanjutkan, pelan:
“Aku nggak minta diampuni. Aku cuma nggak mau rasa bersalah ini mati sendirian. Kalau besok kereta ini bisa jalan lagi, biar kalian tahu, ada satu orang di dunia yang rela berhenti pura-pura benar.”
***
Laras berdiri. Ia tidak menenangkan, tidak menghakimi. Hanya menatap lama, lalu berkata pelan:
“Di dunia yang selalu menuntut kita jadi pahlawan, kadang orang yang jujur tentang dosanya justru paling manusia.”
Tak ada yang menjawab. Wisnu duduk perlahan, menutup wajah dengan kedua tangan. Hujan menetes lagi di luar. Tapi kali ini, suaranya terdengar seperti bunyi penyesalan yang panjang.
Tak ada yang bicara setelah Wisnu duduk. Hujan di luar masih sama kerasnya, tapi di dalam gerbong udara seperti mengeras. Semua orang menunduk. Sebagian karena marah, sebagian karena takut melihat pantulan wajah sendiri di kaca yang berembun.
Laras berdiri di tengah lorong. Ia menatap mereka satu per satu, wajahnya lelah tapi matanya tajam, seperti seseorang yang melihat jalan di tengah reruntuhan.
“Dengar,” katanya pelan. “Kita semua sudah terlalu banyak menyimpan suara di kepala. Kalau terus begini, nanti yang keluar bukan lagi kata, tapi jeritan.”
Ia menarik napas. “Jadi, ayo kita keluarkan sekarang. Tapi bukan dengan menangis. Kita mulai dengan hal yang paling tidak masuk akal: tertawa.”
Beberapa orang menatap heran.
“Serius, Mbak?” tanya pemuda yang tadi marah.
Laras tersenyum miring. “Serius. Dunia sudah gila. Kita cuma bisa bertahan kalau kita gila sedikit lebih dulu.”
Ia menepuk tangannya. “Oke. Aku hitung sampai tiga, semua orang tertawa. Nggak peduli kenapa. Tertawakan hidupmu, nasibmu, siapa pun dirimu. Tertawa aja.”
Suasana hening sejenak. Lalu Laras mulai: satu tawa kecil, sumbang, tapi nyata. Rani menyusul, suaranya bergetar, antara tawa dan isak. Bagas menunduk, menekan dada, lalu ikut mengeluarkan tawa pendek yang terdengar seperti pernapasan terakhir.
Dalam beberapa detik, seluruh gerbong berubah. Tawa pecah di mana-mana. Tawa palsu, tawa putus asa, tawa yang membuat dada terasa perih. Penumpang muda yang tadi berteriak pun ikut tertawa, sambil memukul lutut sendiri. Wisnu ikut tersenyum pahit, lalu tertawa. Keras, menakutkan, sampai bahunya bergetar.
Dan entah kenapa, tawa-tawa itu lama-lama berubah nada.
Ada yang menunduk, suaranya pecah menjadi isak.
Ada yang berhenti tertawa tapi matanya basah.
Ada yang menggenggam tangan orang asing di sebelahnya, seperti butuh pengangan untuk tetap waras.
Ada juga yang tertawa terbahak-bahak tetapi… tawanya seperti paksaan yang begitu menyiksa dirinya.
Laras berdiri di tengah, membiarkan semuanya mengalir. Dalam suaranya yang serak, ia berbisik:
“Kita tertawa bukan karena lucu, tapi karena kalau kita berhenti, kita akan benar-benar hancur.”
Gerbong kini penuh suara campur. Tawa, tangis, napas berat, dan di antara semuanya, bunyi roda besi yang diam di rel. Cahaya merah bergetar, menorehkan bayangan wajah-wajah yang menua dalam satu malam.
Dan untuk pertama kalinya sejak kereta berhenti, semua orang merasa mereka sedang berada di tempat yang sama. Meski sebentar.
Setelah ritual tawa itu berakhir, yang tersisa hanya keheningan panjang. Satu-satu orang terdiam, menunduk. Hujan di luar sudah mereda, tapi langit masih memantulkan cahaya merah dari lampu darurat yang bergetar pelan. Gerbong berbau lembap, bercampur napas manusia yang lelah.
Imam duduk di dekat jendela. Wajahnya menatap keluar, tapi pandangannya kosong. Seperti sedang menunggu sesuatu yang belum datang. Anak kecil yang sejak tadi duduk di dekatnya, bocah laki-laki berusia sekitar sembilan tahun, kaosnya bergambar dinosaurus, menarik ujung jaket Imam.
“Om mau nulis lagi?” katanya lirih.
Imam menatap anak itu, lalu mengangguk pelan. Ia merogoh saku, mengeluarkan buku kecil yang sudah lecek dan pensil pendek. Tangannya gemetar saat mulai menulis.
Beberapa menit berlalu dalam senyap. Hanya bunyi pensil menggores kertas, diselingi deru angin lewat celah jendela. Setelah selesai, Imam menyerahkan buku itu pada anak kecil tadi.
Anak itu membaca sekilas, lalu menatap ke arah Laras, seperti minta izin.
Laras mengangguk. “Bacakan, Nak.”
Anak itu berdiri di tengah lorong. Suaranya kecil, bening, dan jujur, membuat setiap kalimat terasa seperti pengakuan dari dunia lain.
***
Monolog Keempat: Imam
“Namaku Imam. Aku pengamen. Dulu aku nyanyi di jalan Sudirman, waktu demo besar pecah. Aku ikut lempar batu ke arah polisi.”
Gerbong mulai menegang. Anak itu berhenti sebentar, menelan ludah, lalu melanjutkan.
“Batu itu kena seseorang. Aku nggak tahu siapa, sampai malamnya aku lihat berita. Seorang pemuda. Dia masih pakai almamater. Anak seorang masinis bernama Bagas.”
Hening menggantung. Anak itu menatap kertasnya, seperti ragu mau lanjut. Imam mengangguk pelan dari tempat duduknya. Suara anak itu kembali terdengar. Lebih pelan, tapi tegas:
“Sejak malam itu, aku berhenti nyanyi. Aku pikir, dunia nggak pantas lagi dengar suaraku.”
Bagas berdiri. Langkahnya berat, tapi tidak tergesa. Ia berjalan ke arah Imam. Mata mereka bertemu. Tidak ada teriakan. Hanya dua orang lelaki yang saling menatap, kehilangan kata-kata di antara beban yang sama.
Bagas akhirnya berlutut di depan Imam, menatap kertas itu, lalu menatap anak kecil yang masih memegangnya.
“Dia... anakku,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Anak kecil itu menggenggam buku kecil Imam erat-erat, lalu menunduk. Entah karena takut, atau karena memahami sesuatu yang terlalu dewasa untuk usianya.
Laras menatap mereka lama. Ia tahu tak ada yang bisa dikatakan di saat seperti ini. Tapi di tengah keheningan, ia menyadari sesuatu: kadang dunia memang butuh suara anak-anak untuk mengucapkan kebenaran yang tak sanggup diucap oleh orang dewasa.
***
Langit di luar pecah lagi. Hujan turun deras, kali ini lebih dari sebelumnya. Seperti menyalin kesedihan orang-orang di dalam gerbong. Air mulai menetes dari langit-langit, satu titik kecil di atas kepala Rani, lalu satu lagi di dekat kaki Bagas. Beberapa penumpang menatap ke atas, menggerutu lelah.
“Kereta bisa karatan kalau gini terus,” gumam seseorang.
Tapi tak ada yang bergerak sampai suara crot-crot-crot makin cepat dan air mulai menetes ke koper Rani yang terbuka.
Rani berdiri mendadak, menutup koper itu, lalu menatap ke arah lain. Bagas, tanpa pikir panjang, melepas jaket seragamnya dan menambal lubang di atap. Air tetap menetes, tapi kini lebih lambat. Laras ikut berdiri, mencari kantong plastik dari tasnya, menyerahkannya ke penumpang lain. Gerakan kecil-kecil itu seperti menyalakan sesuatu yang nyaris padam di antara mereka: naluri untuk saling membantu.
Imam, yang masih duduk di kursi dekat jendela, menatap semua itu. Anak kecil yang tadi membacakan pengakuannya ikut membantu, menampung air dengan botol bekas. Bagas menoleh ke arah mereka, lalu menatap Imam lama. Tidak ada kata, tapi di antara dua pandangan itu, ada sesuatu yang pecah. Bukan amarah, tapi lapisan beku yang akhirnya mencair.
Rani berusaha menertawakan situasi, suaranya parau.
“Lucu ya... Di luar mungkin dunia udah rusak, tapi di sini kita malah gotong royong.”
Laras tersenyum samar. “Mungkin karena di luar kita semua sibuk jadi individu, dan di sini... kita nggak punya pilihan selain jadi manusia.”
Hujan semakin keras, suara derasnya menenggelamkan semua bunyi lain. Tapi anehnya, tak ada yang gelisah. Mereka bergerak dalam diam, memindahkan barang, menampung air, menyeka lantai, seperti menjalankan ritual sederhana yang menyatukan tubuh dan batin.
Di sela-sela itu, Bagas berkata pelan, tanpa menatap siapa pun:
“Aku nggak tahu harus marah atau apa. Tapi mungkin... dunia ini memang terlalu sempit untuk dendam dan penyesalan sekaligus.”
Imam menunduk. Di kaca dekatnya, ia menulis satu kalimat:
“Hujan nggak pilih siapa yang basah.”
Anak kecil itu membaca tulisan itu pelan, dan beberapa orang tersenyum samar. Untuk pertama kalinya malam itu, senyum itu bukan sarkasme, bukan tawa palsu, tapi semacam pengakuan diam bahwa mereka semua sedang berada di tempat yang sama: di tengah hujan yang sama, dengan beban yang berbeda-beda, tapi rasa dingin yang serupa.
Hujan berhenti perlahan, meninggalkan suara tetes yang jarang-jarang. Udara di dalam gerbong lembap, tapi hangat oleh napas banyak orang. Laras berdiri di tengah lorong, di antara ember-ember dan botol-botol air yang menampung sisa bocoran. Ia menatap sekeliling, wajah-wajah yang letih, tapi sudah tidak setegang tadi.
“Sepertinya malam ini kita sudah jadi bagian dari sesuatu,” katanya pelan. Tidak ada yang menjawab, tapi semua mendengarkan.
Ia mengambil posisi, berdiri tegak seperti di panggung. Laras menutup mata sejenak, lalu mulai bicara.
***
Monolog Kelima: Laras
“Kota ini,” katanya, suaranya serak, “adalah panggung yang menelan para pemainnya sendiri. Setiap pagi, tirai dibuka: orang-orang berangkat kerja, berdesakan, berpura-pura jadi versi terbaik dari diri mereka. Sore hari, pertunjukan berakhir, tapi tak ada tepuk tangan. Hanya asap knalpot dan rasa kalah yang diulang-ulang.”
Penumpang diam. Rani memeluk kopernya, Bagas menatap ke bawah, Imam memandangi jendela yang kembali berembun.
“Aku dulu bikin teater karena percaya pada keajaiban. Bahwa di panggung, manusia bisa jujur, bisa menunjukkan siapa dirinya tanpa takut dihakimi. Tapi ternyata, di luar panggung, kita malah berakting lebih keras. Di luar sana, semua orang memegang naskah masing-masing, dan tak satu pun tahu siapa sutradaranya.”
Laras berhenti, menatap mereka satu per satu. Matanya basah, tapi bukan karena menangis, lebih seperti orang yang melihat sesuatu terlalu lama sampai tak bisa memalingkan pandangan.
“Mungkin,” lanjutnya, “kita semua sudah mati. Mati bukan karena ledakan, bukan karena kereta berhenti, tapi karena setiap hari kita hidup tanpa sadar sedang berulang di babak yang sama. Kita duduk di kursi yang sama, berpikir kita menuju tempat berbeda.”
Beberapa penumpang menunduk. Anak kecil itu menggenggam buku Imam erat-erat, seolah tahu, kata-kata ini akan berakhir tak lama lagi.
Laras tersenyum samar.
“Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, aku merasa hidup. Karena kita nggak lagi berpura-pura baik-baik saja.”
Ia menatap ke luar jendela. Di kejauhan, langit tampak kelabu. Tidak pagi, tidak malam.
“Mungkin kita cuma penumpang yang salah naik kereta. Tapi siapa tahu, justru di salah tempat inilah, kita benar-benar menemukan diri kita sendiri.”
Laras menunduk sedikit, mengucap kalimat terakhir dengan lirih:
“Torments Station. Stasiun tempat semua penderitaan berhenti jadi pertunjukan.”
***
Sunyi.
Tak ada tepuk tangan. Hanya hembusan angin yang menyelinap dari celah pintu, membawa aroma besi dan tanah basah. Dan untuk sesaat, semua orang di gerbong itu benar-benar percaya bahwa kata-kata bisa menunda hancurnya dunia, walau cuma sebentar.
Tak lama setelah kata terakhir Laras tenggelam di udara, dunia kembali diam. Tak ada yang bicara. Tak ada yang bergerak. Mereka hanya duduk, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bagas menatap jendela yang buram, Rani menutup koper dan memeluknya erat. Imam menatap anak kecil yang kini tertidur di bahunya.
Di luar, hujan sudah berhenti sepenuhnya. Untuk pertama kalinya malam itu, mereka bisa mendengar suara kota. Samar, jauh, tapi nyata. Sirine. Suara seperti tembakan. Lalu sesuatu yang lebih dalam, lebih berat: dentuman.
Gerbong berguncang kecil. Lampu darurat bergetar, cahayanya menari-nari di dinding logam. Beberapa penumpang menoleh ke arah jendela, tapi hanya terlihat kabut dan cahaya oranye samar dari kejauhan.
“Ledakan?” tanya seseorang pelan. Tak ada yang menjawab.
Bagas berdiri, melangkah ke pintu depan, mencoba membuka sistem interkom yang masih mati. “Pusat, ini Bagas. Apakah—”
Belum sempat ia lanjutkan, suara dari luar kembali terdengar. Jeritan panjang. Bukan satu, tapi banyak. Disusul suara kaca pecah, logam berderak, lalu… sunyi.
Semua orang membeku. Tak ada yang tahu apa yang terjadi di luar, tapi mereka tahu sesuatu telah berubah. Suara dunia yang tadi begitu bising kini padam seketika, seperti seseorang menekan tombol mute pada kehidupan itu sendiri.
Lampu merah di langit-langit berkedip beberapa kali, lalu mati total. Gelap. Hanya sisa embun di kaca yang memantulkan wajah-wajah mereka yang samar, bercampur seperti bayangan satu tubuh.
Laras meraba-raba kursinya, mencari cahaya dari ponselnya, tapi tak ada sinyal. Dalam kegelapan itu, terdengar bunyi halus. Ujung jari Imam menulis di kaca jendela yang basah. Tak ada yang melihat, tapi semua mendengar gesekan pelan itu.
Setelah beberapa detik, Laras berhasil menyalakan layar ponsel, menerangi tulisan itu.
Tiga kata.
Hurufnya besar, bergetar, tapi jelas.
“TORMENTS STATION.”
Laras menatap tulisan itu lama. Air matanya jatuh tanpa suara. Di belakangnya, Bagas berdiri kaku, Rani menunduk, dan anak kecil itu memeluk buku Imam erat-erat dalam gelap.
Tak ada yang tahu apakah mereka masih hidup, atau baru saja menyeberang ke sesuatu yang lain. Yang jelas, kereta itu tetap diam, di antara dua stasiun, di antara dua dunia, di antara dua napas.
Saat cahaya kembali, warnanya bukan putih, tapi abu-abu. Lampu darurat menyala lagi, kali ini redup, seperti sisa nyala lilin di ruangan yang kehabisan udara. Beberapa penumpang masih tertidur di kursinya. Rani memeluk kopernya, wajahnya menempel di gagang logam yang dingin. Bagas masih duduk di dekat pintu masinis, matanya terbuka tapi kosong. Imam terlelap dengan kepala bersandar di kaca, anak kecil di sebelahnya masih menggenggam buku kecilnya.
Laras perlahan bangun. Ia meraba sekeliling, gerbong itu tak berubah. Hanya rasa waktu yang aneh: berat, seperti baru keluar dari mimpi panjang.
Ia melihat ke arah jendela. Kabut masih menggantung di luar, tapi samar-samar terlihat bayangan bangunan, jalan, dan langit berwarna pucat. Dunia di luar terlihat sama seperti sebelum gelap. Tak ada tanda kerusuhan, tak ada api, tak ada suara sirene.
Ia memeriksa jam tangannya. Jarumnya bergerak, tapi angka di digital kecil di bawahnya membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Sudah lewat dua belas jam. Mereka tertahan di sana semalaman.
Laras berdiri, memanggil pelan, “Bagas?” Bagas menoleh lambat, seperti seseorang yang baru belajar kembali menatap dunia.
“Mesin masih mati,” katanya datar. “Semua sistem lumpuh. Tapi... seharusnya pagi sudah datang.” Ia menunjuk ke jendela. Langit tetap abu-abu. Tidak gelap, tidak terang.
Rani ikut bangun. “Berarti... kita masih di tempat yang sama?”
Bagas mengangguk. Ia mengetuk kaca. Tak ada pantulan cahaya dari luar, seolah udara di luar tidak memantulkan apa pun.
Anak kecil itu menggeliat di kursinya, lalu bertanya polos, “Kita udah sampai, Om?”
Laras menatapnya lama. Entah kenapa, pertanyaan sederhana itu membuat seluruh gerbong terasa lebih sunyi dari sebelumnya.
Ia tidak menjawab. Hanya menatap keluar, dan untuk sesaat, ia merasa mungkin kereta ini tak pernah benar-benar berhenti atau berjalan. Mungkin mereka semua masih di tempat yang sama sejak awal: di tengah-tengah. Antara keberangkatan dan kedatangan, antara hidup dan mati.
Di kaca dekat Imam, embun membentuk garis samar. Tulisan yang semalam dibuatnya masih ada “Torments Station” tapi kini huruf-hurufnya nyaris luntur, seperti sedang dihapus oleh waktu.
Laras memandanginya lama, lalu berbisik pelan:
“Mungkin inilah pagi kita. Pagi yang tak pernah benar-benar datang.”
Suara pintu otomatis mendesah pelan. Entah kenapa, setelah berjam-jam tak berfungsi, mekanismenya tiba-tiba bekerja begitu saja, tanpa listrik, tanpa tombol. Udara luar masuk perlahan: lembap, tapi tenang, membawa aroma tanah basah yang samar.
Laras berdiri paling dulu. Ia menatap pintu yang terbuka itu lama, ragu-ragu. Rani datang mendekat, memegang koper hitamnya dengan dua tangan.
“Apakah ini… sudah waktunya?” tanyanya.
Bagas mengangguk pelan, meski wajahnya tak yakin. “Aku rasa… kita nggak bisa tetap di sini selamanya.”
Satu per satu penumpang mulai berdiri. Mereka tak saling bicara. Beberapa masih setengah sadar, beberapa menatap sekeliling untuk terakhir kalinya, kursi yang ditinggalkan, koran yang basah, tas yang tak sempat diambil. Tak ada yang ingin membawa apa pun.
Rani melangkah lebih dulu.
Ia menatap pintu, lalu berbalik sebentar ke arah Laras.
“Terima kasih, Mbak,” katanya lirih.
Laras menatapnya dengan mata yang lelah tapi hangat.
“Jaga dirimu, ya. Dunia luar masih suka pura-pura baik-baik saja.”
Rani tersenyum samar, lalu melangkah keluar.
Bagas menyusul. Sebelum pergi, ia menoleh ke arah jendela depan, tempat Imam masih duduk. “Kalau mesin bisa nyala lagi… aku akan bawa mereka pulang,” katanya seperti janji, meski tak jelas kepada siapa.
Anak kecil menggandeng tangan ibunya, lalu melangkah pelan. Sebelum keluar, ia menoleh ke arah kursi tempat Imam duduk, lalu berbisik pelan, “Om Imam, aku bawa bukunya, ya.” Tapi Imam tak menjawab. Hanya tubuhnya yang tertinggal di kursi, tenang seperti sedang tidur panjang.
Satu per satu penumpang lenyap di balik pintu terbuka itu. Laras menunggu sampai semua benar-benar hilang dari pandangan, lalu baru berjalan mendekat. Ia berhenti di depan jendela yang penuh embun. Tulisan “Torments Station” kini hampir tak terlihat, tinggal bayangan samar huruf T dan S yang mulai mengalir turun oleh air kondensasi.
Ia menyentuh kaca itu dengan ujung jarinya. “Imam,” bisiknya, “kau tahu nggak, mungkin dunia memang butuh sedikit kesunyian untuk jadi waras.”
Udara di luar terasa asing. Bukan pagi, bukan malam. Hanya cahaya datar yang membuat bayangan mereka hilang di lantai logam.
Ketika Laras akhirnya melangkah keluar, kereta itu tetap diam. Seperti menunggu bab berikutnya yang tak akan pernah ditulis.
Beberapa hari kemudian, Bagas duduk sendirian di ruang laporan stasiun akhir. Lampu neon bergetar, meninggalkan dengung halus yang mengisi setiap jeda napasnya. Di hadapannya, lembar formulir resmi terbuka di layar komputer: Laporan Kejadian Khusus – Kereta Komuter Malam, Rute Timur–Barat.
Ia mengetik pelan.
“Kereta berhenti di antara dua stasiun selama enam jam. Tidak ada korban jiwa. Tidak ditemukan kerusakan pada sistem utama. Diduga gangguan listrik dari pusat distribusi.”
Ia berhenti sejenak, memandangi kata-kata itu. Dingin, bersih, sempurna, tapi kosong. Semua terasa seperti laporan dari seseorang yang tidak benar-benar ada di tempat kejadian.
Ia menarik napas panjang, menekan save, lalu mencetak satu salinan resmi. Selesai. Tugas administratif selesai. Semua akan kembali seperti biasa: perbaikan jalur, pemeriksaan teknis, evaluasi internal, rapat yang tak akan menjawab apa pun.
Tapi malam itu menempel di dirinya seperti sisa arang di kulit. Ia membuka buku catatan kulit tua di sakunya, bukan dokumen resmi, melainkan buku kecil tempat ia dulu mencatat jadwal, nama-nama petugas, dan hal-hal remeh. Kali ini, ia menulis dengan pena, pelan, hampir seperti berdoa:
“Aku tak yakin kereta ini pernah benar-benar berjalan.”
Ia berhenti di sana. Kalimat itu terasa aneh, tapi juga paling jujur yang pernah ia tulis. Ia memandang keluar jendela ruangannya.Dari sini terlihat rel panjang membentang ke arah barat, berkilau samar di bawah matahari siang. Semuanya tampak normal.
Tapi di ujung pandangannya, ia merasa masih bisa melihat sosok gerbong itu, diam di tengah dua stasiun, seolah tak pernah dipindahkan. Kadang, saat matahari miring, ia melihat pantulan samar di kaca ruang kontrol: huruf-huruf yang seperti TORMENTS STATION, tapi segera hilang ketika ia mengedip.
Bagas menutup bukunya, berdiri, dan berjalan keluar. Di luar, suara kehidupan kota menggema seperti suara mesin yang dihidupkan lagi. Ia menatap rel yang panjang itu dan berbisik pelan, hampir tak terdengar:
“Mungkin kita memang tidak kemana-mana, hanya berpindah dari satu bentuk kesunyian ke bentuk lainnya.”
Lalu ia berjalan menuju peron, sementara kereta siang datang dengan bunyi yang sama seperti ribuan pagi sebelumnya, seolah tidak ada yang pernah terjadi.
Beberapa minggu berlalu. Jakarta berjalan lagi, seperti biasa. Orang-orang kembali berdesakan di peron, berita kembali dipenuhi debat yang sama, dan kereta malam kembali beroperasi di jalur yang dulu disebut rusak. Tak ada yang ingat kejadian itu, seolah malam panjang di antara dua stasiun hanyalah gangguan teknis biasa.
Laras duduk di ruang kerjanya yang sempit, ditemani segelas kopi dingin dan selembar naskah di atas meja. Judulnya ditulis dengan huruf besar, rapi, di tengah halaman:
TORMENTS STATION
Manual for Modern Torments
Ia menatap judul itu lama, lalu mulai mengetik. Bukan dengan naskah teater konvensional, melainkan dengan potongan kenangan. Nama-nama yang tak ia ubah: Rani, Bagas, Imam, anak kecil, dan dirinya sendiri. Ia menuliskan semuanya seperti dokumenter: hujan di atap kereta, lampu darurat merah, tawa palsu, air yang menetes dari plafon, tulisan di kaca, dan monolog terakhir tentang kota sebagai panggung raksasa.
Setiap kali ia mengetik satu dialog, ia berhenti. Bukan karena lupa, tapi karena takut kehilangan rasa sakit yang jujur itu. Ia tahu, di panggung, semuanya akan jadi indah, terukur, artistik, bisa ditepuk tangan. Padahal malam itu, tak ada yang indah. Hanya sekelompok manusia yang menunggu sesuatu yang tidak datang-datang, lalu mencoba bertahan dengan berbagi kisah.
Beberapa bulan kemudian, pertunjukan itu dipentaskan di gedung kecil di bilangan Salemba. Penonton datang: mahasiswa, pekerja, jurnalis, orang-orang yang butuh pelarian satu malam dari hidupnya sendiri. Di panggung, suara hujan direkam ulang, lampu merah menyorot wajah aktor yang memerankan Laras. Adegan demi adegan berjalan sesuai naskah. Ada yang tertawa. Ada yang menangis. Ada yang menunduk lama tanpa alasan.
Di barisan paling belakang, Laras duduk diam, memandangi semuanya. Ia tak tahu apakah yang ia saksikan itu masih seni atau sekadar pengulangan dari mimpi yang tak selesai. Ketika adegan terakhir tiba, tulisan “TORMENTS STATION” muncul di layar besar di belakang panggung, seluruh ruangan menjadi hening. Tak ada tepuk tangan selama beberapa detik. Hanya suara nafas penonton yang nyaris serempak.
Baru setelah lampu menyala, tepuk tangan pecah. Laras ikut berdiri, tapi tidak tersenyum. Ia hanya berbisik pelan, lebih kepada dirinya sendiri:
“Mungkin kita semua cuma sedang menunggu kereta yang tak pernah datang.”
Di luar gedung, malam Jakarta masih berisik: suara klakson, obrolan karyawan, bau gorengan, dan cahaya billboard yang menyorot langit mendung. Di tengah hiruk pikuk itu, Laras berjalan sendirian menuju halte. Ia menatap rel di kejauhan, dan untuk sesaat, ia merasa mendengar suara samar, bunyi rel bergetar pelan, seperti kereta yang akan datang tapi tak pernah benar-benar tiba.
Ia menoleh sekali lagi ke arah gedung teater, lalu berbisik:
“Kalau dunia ini memang panggung, biarlah kali ini kita main tanpa pura-pura.”
Lalu ia pergi, menembus malam kota yang tak henti-hentinya berlakon.
***
Ada banyak cara untuk berbicara tentang penderitaan. Sebagian orang menulis puisi, sebagian lagi menulis laporan. Aku memilih kereta.
Karena kereta, bagiku, adalah metafora paling jujur tentang manusia modern: terus bergerak, tapi jarang benar-benar sampai. Kita duduk di kursi yang sama setiap hari, menatap jendela yang sama, berpikir kita menuju sesuatu yang berbeda. Padahal sering kali, rel kehidupan hanyalah lingkaran yang tak kita sadari. Berangkat, berhenti, berangkat lagi, tanpa pernah tahu arah sebenarnya.
“Torments Station” lahir dari malam panjang di antara dua stasiun, tapi juga dari kenyataan bahwa setiap orang kini hidup di “antara”: antara bekerja dan hidup, antara berperan dan menjadi diri sendiri, antara suara keras dunia dan sunyi di kepala sendiri.
Kereta yang berhenti itu bukan mesin, melainkan simbol dari tubuh manusia yang kelelahan menanggung peran. Dan setiap penumpangnya adalah cerminan kecil:
Rani, dengan rahasia yang ia bawa dalam koper;
Bagas, yang kehilangan arah karena takut kehilangan anak;
Imam, yang memilih diam agar tak lagi menyakiti;
dan aku, Laras, yang terlalu lama menjadikan seni sebagai cara untuk melupakan kenyataan.
Malam itu, kami semua berhenti, bukan karena listrik padam, tapi karena dunia di dalam diri kami padam lebih dulu. Ketika tak ada lagi sinyal, tak ada lagi kabar, yang tersisa hanyalah satu hal: kejujuran.Dan di titik itu, aku menyadari bahwa penderitaan bukan musuh manusia. Yang menghancurkan kita justru kepura-puraan untuk tampak baik-baik saja.
“Torments Station” bukan tempat, tapi keadaan.Ia bisa muncul di mana saja: di dalam kepala, di ruang kantor, di halte, di rumah, di depan cermin. Tempat di mana kita berhenti sejenak dan bertanya, “Apa aku benar-benar hidup, atau cuma menjalani naskah yang ditulis orang lain?”
Mungkin kereta itu memang tak pernah bergerak. Mungkin ia hanya menunggu penumpangnya sadar bahwa tujuan sebenarnya bukan di ujung rel, tapi di kesadaran sederhana: bahwa sunyi pun bisa menjadi jawaban.
Dan kalau suatu hari, kamu duduk di dalam kereta dan tiba-tiba semua orang terdiam, cobalah dengarkan, mungkin yang kamu dengar bukan mesin, bukan roda, tapi suara hatimu sendiri yang akhirnya bicara.