Ini, kisah tentang Ujang. Mahasiswa usia 23 tahun, semester 10, dan masih takut menyentuh mata kuliah skripsi. Meskipun begitu, Ujang sudah punya pacar, pacar pertama pula. Namanya Siska, teman satu jurusan Ujang yang baru saja lulus. Menurut Ujang, Siska tidak begitu cantik, namun entah kenapa tawa nyaring dan lepas milik Siska memikat Ujang sejak pertama kali dia mendengarnya.
Pada hari wisuda Siska, Ujang memberikannya bunga dan ucapan selamat. Sang kekasih tersenyum lalu meminta bertemu setelah sesi foto selesai. Ujang mengangguk dan bilang akan menunggu di tempat teduh. Sambil duduk-duduk, Ujang berpikir akan diberi kejutan, padahal, dia sendiri hanya membelikan Siska bunga pinggiran jalan.
Siang pukul dua mereka akhirnya berjumpa. Siska datang dan benar-benar memberi kejutan ke Ujang, Siska bilang: Aku ingin kita putus!! Ujang terbelalak kaget. Seketika Siska diserbunya dengan pertanyaan: Kenapa? Ujang merasa perlu penjelasan lebih. Namun yang ditanya hanya menggeleng bilang tak tahu alasannya.
Ujang kesal, bagaimana bisa sang kekasih yang sudah menemaninya selama sepuluh bulan 13 hari tega minta putus secara sepihak, tanpa alasan pula! Ujang ingin marah, tapi Siska tampaknya sudah mau menangis.
Akhirnya, dengan nada setengah putus asa, Ujang minta dikembalikan potongan hati yang diberikannya saat pertama kali mereka berpacaran. Tapi mantan kekasihnya itu telah berlari pergi, melempar sembarang potongan hati milik Ujang. Meninggalkan Ujang yang termangu memandangi hatinya terkapar di tanah.
Marah Ujang memuncak jadi benci! Benci sampai tak sudi dirinya pakai hati bekas dibuang sang mantan kekasih! Mulai detik itu, Ujang bertekad akan mencari potongan hati yang baru untuknya. Malamnya dia membuat beberapa kriteria untuk kekasih barunya nanti. Standarnya naik: harus cantik, harus punya tawa yang manis dan tentunya, harus punya cara putus yang lebih baik jika nanti berujung pisah.
Selang tiga puluh hari dari patah hati pertamanya, Ujang sudah dapat pujaan hati baru. Namanya Minawarti, oleh sang pujaan, dia minta Ujang memanggilnya Dek Nawa. Ujang menurut saja. Diberikannya Dek Nawa potongan hatinya yang berharga. Berharap kali itu hati tersebut terjaga dengan baik.
Sama seperti sejoli yang sedang kasmaran pada umumnya, keseharian Ujang dan Dek Nawa ini diisi dengan gombalan-gombalan basi hingga senyum malu-malu lalu kesengsem sendiri. Bagi Ujang, Dek Nawa amatlah cantik. Ujang suka melihat lesung di kedua pipi Dek Nawa yang berlomba menarik perhatian tiap kali ia berbicara. Suaranya merdu, dan seakan ada kicau burung ikut bernyanyi saat Dek Nawa tertawa. Dalam hatinya Ujang yakin hubungan itu akan bertahan lama.
Namun, pada malam hari jadi mereka yang ke-99, saat sedang asyik berteleponan ria, Ujang yang lelah sepulang kerja paruh waktu pamit ingin tidur duluan. Diluar dugaannya, Dek Nawa malah marah besar. Katanya, Ujang baru boleh tidur saat jam menunjukkan pukul 00.00 itupun disaat mereka sudah selesai mengucapkan ucapan selamat hari jadi ke 100 dan doa bersama untuk kelanggengan hubungan mereka.
Ujang yang malas berdebat akhirnya mengiyakan saja permintaan itu. Dek Nawa yang sudah tenang mengingatkan agar Ujang jangan sampai ketiduran dan mulai melanjutkan ceritanya yang terpotong amarah. Tapi, belum juga lima belas menit berlalu, Ujang yang matanya sudah tak kuat melek tanpa ambil komando langsung terbuai negeri kapuk, ternina bobo oleh suara Dek Nawa di ujung sana yang sudah mencak-mencak.
Besoknya, saat bertemu dengan Ujang, Dek Nawa minta putus. Alasannya karena Ujang sudah berubah jadi laki-laki tidak bertanggung jawab, egois dan mementingkan keinginan sendiri. Ujang protes, bagaimana mungkin Ujang yang tertidur karena kelelahan sehabis bekerja adalah hal yang egois dan tidak bertangung jawab? Ujang yang masih protes menambahkan kalau bukan usia mereka lagi yang harus merayakan hari jadi setiap 100 hari. Sungguh kekanak-kanakan!
Namun, Dek Nawa yang tidak mau mendengar keluhan diatas keluhannya hanya melangkah pergi. Meninggalkan Ujang dan pertanyaannya begitu saja. Mengembalikan potongan hati Ujang yang kembali patah hingga serpihannya terbang terbawa udara.
Ujang yang lagi-lagi patah hati memutuskan pulang. Di rumah, tak juga ada kawan bercerita, akhirnya dia meluapkan keluhnya ke media sosial. Dibuatnya akun khusus berisi keluhan dan curahan hatinya saat itu. Ujang bercerita tentang ketidakpahaman dirinya dengan orang-orang yang telah diberikan hati, namun dengan mudahnya membuang dan meninggalkan hati tersebut. Ujang menulis dengan perasaan meluap-luap, menumpahkan apa saja yang dapat melegakan perasaannya saat itu.
Malam setelah patah hati keduanya, Ujang memilih untuk mematikan ponsel dan tidur lebih cepat. Namun siapa yang menyangka, malam disaat Ujang terlelap dengan bantal setengah basah karena air mata, curahan hatinya yang menggebu-gebu itu justru membuat keramaian di media sosial. Orang-orang yang tersentuh dan setuju dengan Ujang membalas dan membagikan cerita Ujang ke laman media sosial mereka. Cerita Ujangpun menyebar bagai wabah flu saat musim pancaroba. Membuat orang lain yang membaca secara tidak sadar membagikannya kepada orang lain pula.
Pagi hari, saat bangun tidur, Ujang dikagetkan dengan ratusan notifikasi dari media sosialnya. Ujang melihat banyak yang membalas ceritanya dengan ikut menceritakan kisah pribadi mereka, Ujang merasa terhibur. Digesernya notifikasi ke arah pesan pribadi, tak sedikit yang mengirim pesan ingin berteman dengannya, Ujang pilih ‘mengikuti’. Lalu, beberapa dari mereka mencoba untuk mengajak Ujang berkenalan, bahkan ada yang secara terang-terangan menyatakan suka. Ujang heran, apakah dia salah memasang foto profil?
Tulisan iseng Ujang tentang keluh kesahnya soal cinta malah membawa Ujang menceritakan cerita-cerita cinta dan patah hatinya yang lain. Tenang, Ujang tidak berbohong atau mengarang cerita demi panjat sosial. Tetapi Ujang memang butuh pengalaman baru untuk menulis cerita-ceritanya yang lain. Kisah cinta Ujang baru berlabuh dua kali, dia butuh lebih!
Maka muncullah sebuah ide dari pikiran Ujang yang mendambakan hati namun tak ingin jatuh kembali. Ujang berpikir, bagaimana jika dia mengumpulkan sepotong demi sepotong hati dari banyak orang lain? Ujang bahkan tak perlu menumbuhkan dan memberikan lagi hati miliknya sehingga dia tak akan lagi patah hati. Senyum Ujang mengembang akan ide jeniusnya itu....dan inilah awal mula dari segala bencananya dimulai.
Karena tak pakai hati, Ujang jadi mudah saja bilang putus dengan para kekasih dan pujaan hatinya yang baru. Tidak cocok sedikit dengan Mira, Ujang minta putus. Ada salah paham dengan Hana, Ujang tak mau menyelesaikan dan berujung pisah. Rina ketahuan jalan dengan Udin, Ujang juga jalan dengan Dina. Hingga akhirnya Ujang putus dengan Rina, juga Dina. Bahkan, saat Ujang membuat kesalahannya sendiri, dia juga minta putus, entah dengan siapa lagi yang namanya berakhiran huruf ‘a’.
Setahunpun berlalu begitu saja. Mantan pacar Ujang sudah lebih dari 20. Itu juga karena dia berhenti menghitung saat semua jari tangan-kakinya masing-masing terisi dengan nama. Namun, dari jumlah yang sekian banyak itu, Ujang merasa belum menyempurnakan potongan hatinya. Ujang selalu merasa ada yang kurang, meskipun dia tidak tahu di bagian yang mana.
Curahan hati Ujang dalam media sosialnya pun membuat ia jengah. Orang-orang hanya mau bercerita tentang dirinya saja, tidak ada lagi yang mau membaca tulisannya. Hingga akhirnya Ujang keluar dari media sosial dan menolak semua nama yang dijodohkan dengannya.
Dalam rehat itu, Ujang mencoba menemukan potongan hatinya dengan cara lain. Ujang mencoba mendengarkan lagu-lagu sendu, hatinya semakin tak tenang dan malah bertambah gamang. Ujang mulai membaca novel-novel klasik tentang pencarian cinta sejati, dia malah tertidur karena tidak mengerti bahasanya. Ujang juga menonton film romansa, romansa-drama, romansa-komedi, komedi, aksi, horor, fiksi sains, Ujang malah ketagihan nonton film-film lain dan lupa tujuan utamanya mencari potongan hati.
Pernah juga Ujang kumpul bersama teman-teman mainnya semasa sekolah dulu. Menertawakan cerita hidup mereka di masa lalu sampai larut malam. Pulang ke rumah, Ujang merasa kesepian lagi dan tak tahu bagaimana maunya hati sendiri. Ujang merasa keadaannya sekarang seperti dalam sebuah film, atau mungkin kutipan novel klasik, kalau dirinya sekarang sedang terasing di pulau terpencil karena tak punya labuhan hati untuk kembali.
Hingga suatu hari, Ujang bangun pukul 7 pagi. Cahaya matahari masuk ke jendela melalui gorden kamarnya yang setengah terbuka. Saat itu pula Ujang tak sengaja melihat pantulan wajahnya di cermin. Di situ Ujang melihat wajah kusutnya sebangun tidur, mata belekan dan rambut ikalnya yang setengah berantakan. Semakin lama Ujang melihat pantulan wajahnya di cermin, semakin banyak pula cermin itu memperlihatkan diri Ujang yang sebenarnya.
Ujang memandang lekat ke dalam matanya. Tiba-tiba saja, Ujang seakan melihat dirinya saat diputuskan cinta oleh Siska, sang kekasih pertama. Ujang terlihat sangat patah hati, wajahnya yang tidak terlalu buruk itu tampak sendu menahan jatuhnya air mata. Begitu juga dengan kisah 99 harinya bersama Dek Nawa, Ujang melihat hatinya yang luruh itu tercerai-berai melayang tak berdaya dibawa angin.
Setelah itu, mata Ujang berganti memperlihatkan deretan kekasih pujaan hatinya selama setahun ini. Dari dalam mata itu, Ujang baru melihat dengan jelas wajah yang kecewa, sedih ataupun marah dari mereka saat diputus cinta dengannya. Ujang juga melihat telah berapa banyak hati yang dia lempar, injak, koyak di depan mata mantan-mantannya tanpa berperasaan. Membuatnya tersadar, apa yang dilakukan oleh dirinya saat ini, tak ada bedanya dengan yang Siska maupun Dek Nawa lakukan padanya dulu.
Setelah puas menyadarkan Ujang, cermin itu membawanya masuk ke dalam hatinya. Namun Ujang tidak melihat perubahan apapun di sana. Hati Ujang masih rusak dan hilang dibanyak bagian. Seakan memang tak pernah ada yang mengisinya lagi.
Tak terasa air mata Ujang jatuh ke pipi. Ada perasaan yang teramat sakit dalam dirinya saat setetes air mata itu tiba-tiba menjadi sederas hujan pertengahan bulan Desember. Entah karena apa, entah akibat perbuatan siapa. Pagi itu, Ujang, 24 tahun, yang mengakunya lelaki dewasa, menangis tersedu-sedu di depan sebuah cermin dalam kamarnya. Meringkuk memeluk lutut. Sendirian.
Baru saat matahari sudah mulai tinggi, Ujang yang duduk meringkuk di depan cermin akhirnya bangkit. Dia menghapus bekas air mata, mengelap ingus dari hidung, mencuci muka dan makan menjelang sore. Semua rencananya untuk keluar rumah, ia batalkan. Dia tak mau bertemu siapapun di hari yang menyedihkan itu.
Saat cahaya senja mulai masuk ke kamarnya, Ujang kembali menatap cermin kamar dengan sebuah tekad baru. Ujang menatap wajahnya yang nampak kuyu. Kedua matanya bengkak, rambut ikalnya awut-awutan dan dia lupa mandi seharian ini. Namun, terpantul pada wajah itu sebuah keyakinan diri dan janji untuk kembali mencintai. Dia berjanji tak akan lagi mengumpulkan potongan-potongan hati dari orang lain. Nanti saja, pikirnya, ternyata masih ada yang lebih penting dari itu. Tentunya selain mengerjakan skripsi. Ujang ternyata juga lupa untuk memberikan hati kepada dirinya sendiri. Ujang lupa untuk mencintai dirinya, menjadikan dirinya pribadi yang lebih baik lagi dari Ujang-Ujang yang sebelumnya.
Setelah tekadnya membulat, tanpa Ujang duga, di dalam hatinya juga tumbuh potongan-potongan hati yang baru. Beberapa memperbaiki bagian dari hati Ujang yang rusak, sebagian lainnya menyusun kembali yang telah patah. Hanya menunggu waktu, untuk hati itu kembali sembuh. Utuh.