Disukai
0
Dilihat
598
Zeus Telah Kembali
Drama

Langit Jakarta cemerlang, benarkah Zeus telah kembali? Viral, video detik-detik Zeus memanggil hujan. Jakarta keluar dari daftar kota paling berpolusi, berkat Zeus? Muka Sri terlihat angker bila sudah marah-marah. Kepala Gama sampai layu, takut berbalas mata dengan ibunya itu. Kemudian menuruti perintah tanpa membantah lagi. Tetapi sekarang berbeda. Keberanian Gama tidak bergeming. Bahkan terang-terangan menatap ibunya hingga omelannya mandek sejenak. Sri mempersoalkan kelakuan Gama yang semberono. Ialah memperlihatkan kekuatannya di depan khalayak. Videonya memanggil hujan tengah viral. Gama layak seorang superstar lantaran namanya diberitakan di mana-mana. Media sosial maupun televisi sibuk menayangkan aksinya.

“Kamu mau, nasibmu seperti kakek buyut? Dimanfaatkan bak sapi perah sampai kekuatannya menghilang lalu mati?”

Ketika Gama bertanya mengapa kekuatan kakek buyut bisa lenyap, Sri menjawab tidak tahu pasti sebab yang diucapkannya juga berasal rumor. Itu bukanlah sebuah kebohongan. Karena Gama pandai mengeja gelagat jujur maupun dusta manusia. Keributan ibu dan anak itu selesai lantaran Sri mesti menyiapkan makan malam.

Meja makan makin lengang sesudah adik laki-laki Gama meninggal. Ia menderita infeksi saluran pernapasan akut selama tiga minggu. Malaikat maut menjemputnya di minggu keempat. Gama pun menggeram. Mempersalahkan kabut butek yang mengalingi Jakarta sepanjang Juni ini. Mata Gama terpejam. Batinnya berkomat-kamit meramu mantra. Lalu lengannya merentang, menyeru kulit merasakan angin. Tiga ratus detik kemudian, langit mulai menyemburkan rintik. Terus begitu hingga melebat. Nyatanya sehari belum cukup. Udara Jakarta masih terasa menyesakkan. Sampai hari ketujuh, Gama baru bisa menghirup udara sejernih mata air.  

Gama dan Sri menyantap makan malam tanpa obrolan. Seolah persediaan kata-kata mereka telah habis. Sri masuk kamar sebelum piringnya bersih. Nasi dan lauknya sisa separuh. Bola mata Gama bergerak penasaran sebab tingkah ibunya yang tidak biasanya itu.

“Baca ini!”

Buku catatan bersampul kulit milik kakek buyut diterima oleh Gama. Sri dilarang membukanya sebab ia bukan Zeus, gelar bagi sang pemilik kekuatan mendatangkan hujan. Gama membacanya begitu selesai mengisi perut. Mengurung diri di kamar, memenuhi rasa ingin tahu tentang masa lalu kakek buyut sebagai Zeus.

Tahun 1963, petualangan Zeus pertama bermula. Pegawai negeri berusia empat puluh tahun dan berkumis itu membekukan kemarau panjang. Zeus pertama bagaikan magnet. Dengan gampangnya menarik keluar air yang malu-malu, dari langit. Hujan yang tetiba bertebaran, memuaskan dahaga seluruh tanah dan tanaman. Maka, gagal panen bukan lagi masalah. Para petani riang menggarap sawah. Berkat kebajikannya, Zeus pertama dianugerahi tanda kehormatan bintang jasa oleh presiden. Ia bersanding dengan presiden, menatap semringah kamera para jurnalis. Nama dan gelarnya menjadi headliner dalam setiap surat kabar. Serta topik utama berbagai pemberitaan televisi.

Kemasyhuran Zeus pertama cukup membuat konglomerat gila tertarik. Ia bahkan mengajukan perusahaan miliknya sebagai mitra asal Zeus pertama menjalin kontrak dengannya selama sepuluh tahun.

“Jadi, tidak hanya negara ini, kamu bisa membantu negara lain yang mengalami kekeringan.”

Kontrak bertanda tangan dan jabat tangan menandakan kerjasama telah terbentuk, antara si konglomerat gila dan Zeus pertama. Tak seperti sangkaan Zeus yang memang memiliki niat murni membantu sesama, si konglomerat gila justru hanya memedulikan dolar, bayaran Zeus dari negara lain atas jasanya. Tubuh Zeus kekurangan istirahat, menyebabkan kekuatannya melemah, dan berujung lenyap. Pertahanannya hanya sampai tahun kedua, setelahnya Zeus pertama ambruk. Jantungnya berhenti berdetak.

***

“Kakek kami memang gila, tapi saya berbeda.”

Terulang kembali. Kini keturunan konglomerat gila yang mendatangi rumah Gama. Namanya Abu. Sebanyak itu memang ketertarikannya pada Zeus kedua hingga menemuinya langsung. Ia memperkenalkan diri sebagai pemilik sekolah The Generations. Menawari Gama beasiswa penuh bila ia bersedia meneruskan pendidikan menengah atas di sana. Semua orang termasuk Gama tentu tahu The Generations, sekolah untuk para calon peneliti. Negara membutuhkan berlipat-lipat peneliti, sehingga upaya Abu mendirikan The Generations didukung pemerintah. Bukan pemuda-pemudi sembarangan yang terdaftar di sana. Otak mereka encer, berjiwa ilmiah, dan nasionalis.

“Bapak sepertinya salah sasaran. Di SMP, saya tidak terlalu pintar. Ekskul yang saya ikuti pun pecinta alam dan lingkungan, bukan KIR. Jadi sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan The Generations. Oh, apa karena saya Zeus kedua?”

Bila tebakannya benar, maka Gama bakal paham mengapa pak Abu sampai mengesampingkan kenyamanan, menyambangi sendiri rumah Gama yang sederhana. Lantas duduk di kursi keras, lantaran bantalannya masih dijemur di muka rumah.

“Perkiraanmu tidak sepenuhnya salah. Tapi saya juga terkesan dengan kegiatan yang kamu lakukan di luar jam pelajaran sekolah. Tampaknya kamu menaruh perhatian besar pada lingkungan. Selain itu, kamu pandai mempengaruhi seluruh warga sekolah. Itu sebabnya kepedulian mereka pada lingkungan sekolah makin meningkat.”

Tidak hanya sekolah Gama sendiri, gerakan “Sekolah Bersih” rupanya juga menulari sekolah-sekolah lain. Anak-anak remaja yang mau meluangkan waktu menonton video Gama dkk di media sosial, turut merawat lingkungan tempat mereka belajar dengan lebih baik.

“Saya ragu itu semua cukup untuk lolos kualifikasi sebagai siswa The Generations. Saya juga tidak ingin menimbulkan kecemburuan sosial. Siswa-siswa lain pasti tidak akan senang begitu tahu alasan saya lolos di The Generations, yaitu hanya karena saya Zeus kedua dan inisiator gerakan kecil. Siswa berkemampuan rata-rata seperti saya sudah seharusnya tidak tergabung di The Generations. Saya sudah cukup puas dengan sekolah negeri.”

Berkekuatan seperti Zeus memang mengagumkan. Gama mengakuinya. Namun dirinya benci jika keunggulannya itu direncanakan untuk dieksploitasi habis-habisan. Pengalaman kakek buyut memaksanya agar senantiasa menghidupkan alarm kewaspadaan di hadapan siapapun, terutama manusia-manusia yang gampang meneteskan air liur jika mencium bau uang. Soal apakah pak Abu masuk dalam kategori itu atau tidak, Gama belum menemukan petunjuk. Dengan demikian ia akan terus bersikap kritis demi membuktikan celanya.    

“Di negara kita, masih banyak permasalahan lingkungan yang belum terselesaikan. Sebagai pemerhati lingkungan, apakah kamu tidak termotivasi untuk mengatasi salah satu atau bahkan banyak permasalahan lingkungan dengan cara berinovasi? Sebenarnya, The Generations bukan hanya tentang layak atau tidak layak, tetapi juga kemauan. Kamu sudah punya pondasi berupa kepedulian besar akan lingkungan, menurut saya itu sudah cukup. Kamu bisa mengembangkannya nanti, saat menjadi siswa The Generations, dengan memaksimalkan pikiran dan tenaga untuk membuat lingkungan menjadi sepuluh kali atau bahkan seratus kali lebih baik.”

Pandai sekali mulutnya berbicara, batin Gama. Lelaki remaja itu jadi kesal karena kecurigaannya tidak terbukti. Di matanya, pak Abu tampak sebagai orang tua yang dapat dipercaya.

“Akan saya pertimbangkan kembali.”

Kebimbangan Gama rupanya meluntur. Yang awalnya menolak, bersilih menjadi mempertimbangkan kembali. Abu berhasil menggoyahkan keteguhan Gama walau secuil.   

“Kalau begitu, datanglah sebelum upacara penerimaan siswa baru.”

Pungkas Abu percaya diri. Seratus persen yakin bahwa Gama akan menyepakati tawaran beasiswanya cepat atau lambat. Badannya bangkit dari tempat duduk untuk menjabat tangan Gama sebelum pulang. Lantas memasuki mobil yang pintunya sudah dibukakan sekertaris pribadinya.

***

“Selamat datang The Generations! Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Hari ini, di tahun ajaran baru 2023/2024, saya teramat senang dan bangga karena para calon peneliti tahun ini mengalami peningkatan jumlah dibandingkan tahun sebelumnya.”

Lebih-lebih, ia menyaksikan Gama berbaris di tengah-tengah kerumunan, makin girang hati Abu. Ia tersenyum sebentar sebelum melanjutkan kalimat-kalimat sambutan.

Datang ke sekolah bukan perkara enteng bagi Gama. Sri menerjangnya dengan ombak kemarahan yang mengerikan usai mendengar kejujuran anaknya. Pipi kanan Gama kena tampar karena kepala batunya. Ngotot menerima tawaran beasiswa dari keturunan konglomerat gila kendati ibunya melarang. Padahal Gama tahu siapa penyebab utama kakek buyut meninggal, namun tampaknya ia memiliki pemikiran lain, yang sama sekali berbeda dengan ibunya. Sri muak jika keluarganya terus terlibat dengan segala hal yang bertalian dengan konglomerat gila, apalagi keturunannya. Gama lantas meminta maaf, akan tetapi tidak kapok meminta izin.

“Gama mohon Bu.”

Sangat berat untuk menyetujui. Naluri keibuan Sri mendominasi tubuhnya saat ini. Anaknya itu terlalu nekat. Ketimbang Gama sendiri, Sri yang lebih memikirkan keselamatan Gama.

“Kalau sampai ada apa-apa segera hubungi Ibu!”

Mereka saling mengeratkan pelukan. Gama kembali ke kamar, menurunkan sebagian pakaiannya dari lemari. Sri menyusul untuk membantu anaknya berkemas. Dua jam lagi Gama bakal menetap di asrama The Generations. Tinggal Sri seorang yang menempati rumah. Kawannya cuma benda mati. Album kenangan mendiang suami, mendiang si bungsu, dan sulungnya.

***

 

 

 

 

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi