Disukai
5
Dilihat
1246
Kisah Andini
Drama

“Yang hilang tetaplah hilang. Yang pergi tetaplah pergi. Mau bagaimana pun jam

tetap berdetak ke arah kanan. Tidak peduli siapa yang sedih, siapa yang kecewa,

siapa yang salah, siapa yang terdzolimi.”

***

Tercipta menjadi anak seorang buronan bukanlah kehendak dirinya. Gadis malang yang ditinggal oleh bapaknya adalah gadis yang elok rupa nan baik hatinya. Andini Gumelar namanya. Putri pertama dari tiga bersaudara. Ibunya merupakan janda ayu setelah pria brengsek itu menghilang. Iya, Gumelar kabur setelah menjadi tersangka pencucian uang. Entah kemana. Sang ibu yang kini mengidap penyakit depresi, ekonomi keluarga sekarat, dikucilkan oleh masyarakat, adalah hasil dari tingkah bodoh si bapak. Gumelar juga secara tidak langsung menjadikan Andini tulang punggung keluarganya. Ibu sudah rapuh lahir dan batin. Bisa disebut sengsara karena menikahi pria jahanam itu. Belum lagi kedatangan lintah darat yang menjijikkan. Merampas, menagih, mengancam keluarga Andini setiap pekannya, menyihir Andini lalai terhadap kewajibannya sebagai mahasiswa semester akhir. Andini menduakan skripsinya dan menuhankan kerja, kerja, dan kerja. Di kala petang semakin pekat, pikirannya kisruh dan semakin runyam. Semakin matanya terpejam semakin payah ia untuk berpikir jernih. Mengingat tanggungan biaya sekolah Rania dan Sandi, adimas dan adinda tercinta dan terpuja, menebus uang berobat ibu, membayar cicilan tagihan rentenir, uang kontrakan, dan kebutuhan rumahnya. Andini berharap menjadi mayat secepatnya atau majenun sekalipun tak mengapa barang sekejap. Sekedar merehatkan daya pikir dan mentalnya saja.

“Dini, si Bejo datang menagih utang bapakmu!”

“Kak Dini, Ibu Guru marah lagi. Rania belum bayar spp,”

“Kak Dini, apa kabar? Uang bulanan belum ditransfer, ya?”

“Dini! Sampaikan kepada ibumu, uang kontrakkan sudah tiga bulan belum dibayar. Niat sekali hidup enak tanpa menunaikan kewajiban!”

“Din, obat ibu sudah habis. Bisa tolong belikan?”

Secuil percakapan diatas adalah hantu sekaligus penyekap nadi bagi Andini. Dekapan kuat seolah menyerang jantung dan hati. Menjadikan dunia bak penjarah legal dari Tuhan. Tapi mengapa harus Andini? Adakah dosa dari leluhurnya yang membuat ia terhukum oleh karma keji ini? Menangis pun tak dapat memeluk tubuh ringkihnya. Sekedar menenangkan jiwanya pun Andini tiada mampu.

***

Di suatu senja yang cahayanya mengkilap keemasan di ufuk barat. Di atas perjalan aspal hitam yang mengepul asapnya tanpa kasih. Berkicau suara klakson angkot, sepeda motor, dari mobil kuno hingga paling mutakhir berlomba ingin dituhankan. Merasa paling penting dan terburu-buru. Langkah Andini tergesa-gesa menapaki wajah trotoar. Handphone-nya bergetar kencang. Seolah menjerit keras menyuruh Andini untuk segera mengangkat panggilan. Andini tahu, ibu selalu merasa khawatir yang berlebihan jika ia terlambat pulang ke rumah. Menjadi bencana jika magrib tiba dan Andini tak kunjung tiba. Penyakit ibunya kambuh di jam-jam seperti ini. Andini mempercepat langkahnya dengan berlari kecil.

Brukk!!

Lutut Andini bercumbu dengan trotoar sangat keras. Andini merintih kesakitan. Ia mencoba untuk bangkit namun gagal. Celana casual panjang berwarna abu-abu terang sobek di bagian dengkul kanan. Mengucur darah merah dari luka yang lumayan menganga. Andini sungguh kesakitan. Hiruk pikuk pejalan kaki lainnya tidak ada yang menghiraukannya. Semuanya mengejar magrib agar tidak dulu melaju sebelum bersua dengan sanak keluarga di rumah. Kejam sekali dunia. Andini masih berusaha untuk berdiri meskipun tetap saja tiada daya.

Tiba-tiba sosok pria mengulurkan tangannya ke arah Andini yang masih tersungkur. Dengan sekejap tanpa ingin tahu milik siapa tangan indah itu Andini meraihnya. Sedikit terpincang Andini berusaha berdiri dibantu oleh pria itu. Sungguh! Untuk berdiri saja Andini meringis menahan sakit. Pria itu memapah Andini menuju sepeda motor yang menepi di pinggir jalan.

“Naiklah,”

“Kuantarkan pulang,”

“Rumahnya arah mana?”

Motor hitam besar itu membawanya ke kontrakan. Pria ini mengemudi secepat kilat. Menyalip puluhan pengendara yang sedang melaknat macet kala itu.

“Peganglah dengan erat,” sambil menarik kedua tangan Andini mendekap kuat tubuhnya yang kekar. Andini merasa tenang memeluk pria asing ini. Dia berhasil menyihir Andini menjadi ratu paling beruntung di dunia. Membunuh rasa takut, lelah, dan gelisahnya. Tiba di halaman rumah kontrakan Andini, pria itu membantunya untuk turun dari sepeda motornya. Kemudian, ia berpamitan untuk pulang. Ibu Andini menyambut mereka di teras rumah menahan perasaan gusar.

“Saya pamit.”

Andini pun menatap malaikat yang dikirim oleh Tuhan kepadanya hari ini. Raut wajah yang sejuk, pesona yang indah, perangai elegan nan santun. Andini berharap ini adalah filantropi dari Tuhan hasil dari kesabaran dan ketegaran yang disuguhkan kepada dunia selama ini. Kini ia percaya bahwa malaikat tanpa sayap benar adanya.

“T-terima kasih banyak,”

Dia tersenyum manis sekali. Terpancar ketulusan yang begitu dalam dari lubuk hatinya. Bagi Andini, senyumannya adalah senyuman terindah. Hatinya telah terhantam suatu rasa yang datang tanpa permisi. Tertembus kekaguman yang menyerang tanpa ampun. Kelu lidahnya untuk bersyukur kepada Raja dunia setelah menyadari dengan sepenuh hati bahwa pria itu adalah malaikat baik yang dikirimkan untuknya pada suatu sore yang paling elok.

***

Alansyah Putra namanya. Petinggi di salah satu perusahaan tembaga di kotanya. Umurnya baru 27 tahun. Masih sangat belia sebagai seorang pengusaha sukses. Lima tahun lebih tua dari Andini. Kejadian senja itu adalah takdir Andini untuk berkenalan baik dengan Alan. Pria rupawan yang kaya raya. Sudah hampir tiga bulan hubungan mereka semakin langgeng. Alan yang menerima Andini apa adanya. Dia juga tidak mempermasalahkan keadaan keluarganya. Termasuk tentang si bajingan Gumelar. Dia yang dengan tulus mengulurkan bantuan-bantuan berupa materi untuk Andini tanpa meminta imbalan sepeserpun. Iya, Alan adalah malaikat terbaik bagi hidup Andini.

“Spp bulanan Rania dan Sandi sudah ku transfer, Din. Bisa kau cek saldomu,”

“Bagaiamana keadaan Ibu? Kabari aku jika obat ibu telah habis,”

“Jangan terlalu bekerja keras, istirahatlah sejenak. Aku mengirimkan makanan untukmu lewat driver online. Tunggulah,”

Dan masih banyak percakapannya dengan Alan yang menenangkan relung hatinya. Kedatangan Alan berhasil melukis senyum Andini yang sempat punah. Membasahi jiwa yang sempat mengering dehidrasi akan kasih sayang. Membasuh air mata dan terganti dengan harapan-harapan baik saban harinya. Menghias malam Andini dengan jenaka-jenakanya sebelum tidur melalui telepon seluler. Menyuguhkan kehangatan bagi sukmanya yang hampir mati beku kedinginan oleh tusukan rasa kecewa.

***

Di suatu pagi tepatnya hari Minggu, hari libur kuliah dan kerja, cuaca sedang murung, awan kelabu membungkus kota Andini. Sedikit gemerlap cahaya matahari yang menembus sela-sela gegana. Usai mengerjakan peranannya di rumah, mencuci dan menjemur baju, menyapu dan mengepel lantai, dan langit masih saja kelam, ia memaksakan diri untuk mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Kemudian meneduhcoklat panas untuk dua gelas. Iya, untuknya dan sang ibu. Ibu sedang terlelap pulas ketika Andini menyuguhkan hidangannya ke atas meja kamar. Ia pun menutup pintu perlahan khawatir sang ibu terbangun.

Duduk di teras rumah adalah bentuk perlawanannya terhadap rasa dingin yangmembelenggu kulit hingga menusuk tulangnya. Ia menghisap aroma coklat panas yang asapnya lamat-lamat terbang menuju angkasa. Satu, dua, tiga orang berlalu lalang dengan pekerjaan yang harus diemban di waktu weekend menjadi pemandangan energik yang membuatnya bersyukur diberi waktu rehat dari ribuan beban yang dipikulnya sendirian.

“Diniii!!!” suara ibu mengejutkan ketenangannya pagi itu. Lagi-lagi karena Gumelar ibu tidak pernah lagi memanggil Andini dengan nada lemah lembut. Andini tergopoh-gopoh menuju kamar ibu. Dengan ribuan tanda tanya ada apa dengan ibu seramai ini di pagi hari?

Ibu sudah duduk di sisi ranjang dengan ponsel zadul di genggaman tangannya.

“Bisa ibu meminjam uangmu dulu? Sore ini ada setoran arisan ke bu RT,” Andini tercekik oleh kerongkongannya yang kering.

“B-berapa, Bu?”

“Lima juta saja,”

Andini tidak pernah memiliki pilihan untuk menolak permintaan ibu. Tidak akan pernah. Meminjam uang tanpa ingin tahu ihwal ekonomi putri sulungnya. Dikembalikan atau tidak, Andini tidak berniat untuk menagih utang sang ibu. Anggap saja sebagai sedekah bakti untuk istri si Gumelar.

“Ada tidak?” Ibu meyakinkan dengan makna yang tersirat seolah berkata,

“Harus ada, ya!”

“A-ada, Bu, Ada.”

Hatinya yang sempat tenang sekejap menjadi kalang kabut. Kisruh tidak karuan. Bagaimana mendapatkan uang lima juta untuk sore ini?

***

Tuhan memang benar-benar baik tiada tanding. Mencegah air mata jatuh dengan mengirimkan kasih dan sayang melalui kehadiran Alan bagi hayat Andini. Di tengah kerisuan yang teramat dalam, tiba-tiba Alan meneleponnya di saat hujan sedang asyik menghujam bumi. Di saat melangitnya doa-doa Andini memohon pencerahan dan jalan keluar. Menengadah ke atas, Tuhan pun memberinya Alan. Seperti biasa, menanyakan kabarnya, kabar ibunya, dan kedua adiknya. Sangat menenangkan. Satu, dua, tiga Andini terpatah-patah bertutur menyampaikan maksud dan kehendakanya. Alan mengangguk, memahami, dan mengerti. Dia justru tertawa kecil seraya berkata,

“Kau pasti belum mengecek saldo rekeningmu, ya? Sudah kukirim uang untukmu, jika digunakan untuk arisan Ibu, itu sudah lebih dari cukup.” Mata Andini berkaca- kaca usai mendengar apa yang disampaikan oleh malaikatnya. Ia memegang ponselnya erat-erat di depan dadanya.

“Hanya saja..” Andini menunggu untaian Alan selanjutnya.

“Hanya saja aku rindu. Bisakah kita berjumpa nanti malam?”

***

Gemerlap bintang menjadi atap sekaligus saksi bisu pertemuan dua insan menawan. Malam itu, Andini berdandan sangat elok sekali. Bak cucu Hawa yang terlahir dari butiran South Sea Pearl, mutiara terbaik di seluruh jagat raya. Tatapan maut Alan menusuk hati Andini terpana. Rambut hitamnya ia biarkan tergerai menutup bahunya yang sedikit terbuka. Gaun abu-abu mengkilap membungkus tubuhnya yang menarik.

“Aku hampir tidak mengenalimu, Din!” yang dipuji justru tersipu malu-malu. Mereka berdua ibarat pangeran dan putri dari negeri dongeng. Alan yang memang tampan rupawan, menjadi tiada lawan dengan kemeja monokrom yang bagian lengannya terlipat rapih. Parfum yang ia pakai membius siapa saja yang menghirup aroma kesultanannya. Alan menyuguhkan sebotol minuman berwarna merah maron. Menuangkannya ke dalam gelas flute milik Andini.

“Minumlah,”

Entah mengapa, perkataan Alan terakhir atau minuman merah me-nina bobok-kan Andini sehingga ia merasa pening sekaligus terserang kantuk yang amat berat. Tidak banyak cakap diantara keduanya. Tidak lama itu, Andini terlelap tak sadarkan diri.

***

“Alan?” Andini terkejut seketika melihat Alan duduk membelakanginya di sisi ranjang tempat ia bangun dari tidurnya.

“Kau sudah sadarkan diri, Sayang?” suaranya serak. Pria itu merapihkan kemeja yang tidak terkancing sama sekali. Perasaan Andini mulai gelisah tak karuan. Gaun yang ia pakai tadi malam kusut. Kain pengikat kedua bahunya lepas sebalah kanan. Ia pun segera menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang hampir bugil.

“Alan, apa yang terjadi?”

Alan menyeringai seperti sosok iblis yang menjelma sebagai manusia. Tatapannnya yang tajam memancarkan aura yang Andini sendiri tidak pernah merasakannya selama bersama Alan.

“Tidak ada yang terjadi, sayang,”

Alan benar-benar menjelma menjadi serigala yang haus akan darah kemudian menemukan mangsanya. Mengelus lembut helaian demi helaian rambut suci Andini. Gadis yang terserepah oleh kesengsaraan itu mulai ketakutan tak tertahan. Menjerit pun tiada arti. Di ruangan jahanam itu hanya ada mereka berdua.

“Daku hanya saja mengambil peruntungan baik darimu,”

“Peruntungan baik apa maksudmu?” suaranya tercekik menahan isak.

“Tidak ada hal baik yang datang secara konyol, Andini. Semua kebaikan yang Tuhan berikan untukmu, itu semua tidak cuma-cuma. Kamu harus mengorbankan apa saja yang kamu miliki, termasuk jika kamu harus kehilangan harga dirimu, ha ha ha!!” suaranya mengaung bahagia diatas penderitaan si putri yang malang.

“Kamu jahat, Alan!” Andini menangis sejadinya-jadinya. Memegang erat selimut yang membungkus tubuhnya.

“Dengan semua pemberianku, kamu masih saja berani beranggapan bahwa aku jahat??”

Plakk!!

Tamparan keras itu menimbulkan suara yang nyaring. Alan berhasil menggores luka lahir dan batin. Andini mengelus pipinya yang panas bak sengatan matahari sekaligus arang neraka. Air mata yang jatuh tidak mengurani rasa sakitnya.

Namun ia bisa apa? Selain menyerapahi Alan yang biadab bagai dedemit si biang kerok kerusakan bumi. Alan yang menjelma menjadi malaikat maut bagi gadis nestapa. Merenggut asa baik masa depannya. Membuatnya segan untuk hidup pantang untuk mati.

***

Berita kehamilan keji itu mengaung gaung di seantero kompleknya. Hampir lima hari ia mengurung diri di kamarnya usai mendapat keputusan dari dokter bahwa ia positif hamil. Menghubungi si bajingan itu jua tak ada maknanya. Kalang kabut Andini menghadapi situasi ini sendiri. Tidak ada ia dengar dari bilik kamarnya suara ketukan pintu dari dua adiknya, yang ada hanyalah teriakan ibu yang sewaktu-waktu mengejutkan dirinya. Ia melaknat dirinya sendiri, menyumpah serapah bergemuruh rasa sesal. Dia merasa dikutuk oleh Tuhan berkat perbuatan hinanya. Dia sudah tidak bisa menangis. Hatinya sesak tersekat oleh takdir buruk.

Malam Jumat tepat malam ke-enam Andini mengeram di dalam kamar tanpa pangandan minum. Pukul sepuluh lebih lima menit ia mendengar suara ketukan pintu. Dengan tubuh yang ringkih, wajah putih pucat, tubuh gemetar lunglai, Andini membuka pintu.

“I-ibu?” Ia memandang perempuan di hadapannya dengan tatapan penuh harap. Berharap dikasihi, berharap diampuni, berharap diberi pangan walau dengan sesuap nasi.

“Adakah rencana lain untuk menghancurkan hidupku?”

“Atau sekiranya kau sedang membangun jahanam untukku?”

“Kau mengunci diri di dalam kamar berlindung diri dari hujatan para tetangga,”

“Kau pasti tidak mendengar ucapan mereka yang berkata,

Rupanya anakmu itu adalah jalang kelas kakap. Bermuka dua. Sama seperti

bapaknya.”

Andini menjatuhkan badannya ke atas lantai. Semakin lemah ia menopang beban hidup. Tidak ada lagi air mata yang menetes. Tatapannya kosong. Entah kepada siapa ia berharap memohon naungan kedamaian. Pasrah dan kecewa. Dimana malaikat tulus yang ingin membawaku ke pelukan Tuhan??

“Andini! Menjadi ibu itu tidak mudah. Jangan kau buat semakin susah!” Ibu membentak dengan suaranya yang meninggi. Matanya melotot sempurna. Amarahnya berkoar seolah ingin memakan darah dagingnya sendiri.

“Ibu, menjadi anakmu juga bukan pilihanku.”

Plakkk!!!

Tangan ibu mendarat keras ke pipi kanannya. Mewarnai putih pucatnya menjadi kemerah-merahan. Panas sekali. Andini meringis kesakitan seraya mencoba untuk menatap kedua bola matanya. Mencari sebuah penyesalan apakah ada di dalamnya. Ternyata nihil.

“Ibu. Kalau tamparan ini dapat mengurangi dosa kedurhakaanku, maka tamparlah aku sebanyak-banyaknya.”

***

Hari Jumat pagi bendera kuning berkibar di depan rumah mungil yang penuh duka. Entah berduka karena apa. Sejatinya, keluarga itu sudah berduka sejak lama. Dosa turunan leluhur yang mana yang tega bertandang di keluarga penuh nestapa ini. Dua anak remaja menangis tersedu di samping jenazah. Satu persatu para tetangga mengelus bahu dan rambut mereka dengan penuh iba. Menenangkan. Meskipun upaya itu tidak berarti sama sekali. Yang hilang tetaplah hilang. Yang pergi tetaplah pergi. Mau bagaimana pun jam tetap berdetak ke arah kanan. Tidak peduli siapa yang sedih, siapa yang kecewa, siapa yang salah, siapa yang terdzolimi. Saatnya jasad itu istirahat beserta ruhnya yang sengsara. Saatnya ia mengadu kepada Tuhan tentang siapa dan apa yang terjadi. Siapa dan apa yang jahat. Siapa dan apa yang harus diberi karma. Dua sirene meramaikan orang-orang yang berbelasungkawa pada hari itu. Sirene yang mengantarkan mayat wanita menuju liang lahat, dan sirene yang membawa tubuh wanita menuju bui para bedebah. Hanya sebilah sabit di tempat kejadian yang menjadi saksi bisu paling kuat atas kebengisan rasa putus asa yang tega memutus nadi putri kandungnya sendiri.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi