Disukai
1
Dilihat
2477
Keabadian yang Kau Inginkan
Romantis

KEABADIAN YANG KAU INGINKAN

 

Kabupaten Bandung Barat, Juli 2021

 

Apa yang terpikirkan ketika mendengar frasa cinta?

Setiap insan pasti memiliki definisi tersendiri terkait lima huruf itu, membiaskan miliaran makna, menyuratkan seluruh arti keindahan nan elok, meruntuhkan segenap elegi, dan membenamkan sekujur kebencian dengan sentuhan lembut nan menggetarkan.

Lalu, apa yang terpikirkan saat mendengar kalimat mantan kekasih?

Tentunya haru biru kisah semara akan menyeruak, memutar segenap imaji tentang pahit dan manis, merundung hati yang terluka akan kesalahan di masa lampau, dan mungkin tidak pernah diinginkan oleh sesiapapun.

Begitu pula dengan asa ini, ketika sosok mantan kekasih, wanita yang menemani ketika kegundahgulanaan hati pekat menyelimuti setiap sudutnya, dan ia berada di sana, ketika kisah manis itu teruntai.

Di senja yang kunikmati bersama Cauthelia, wanita yang paling kucintai, sebuah pesan dari seorang mantan terkasih tampil di grup alumnus kelas.

 

Assalamu’alaikum

Ada yg tau nomornya Faristama gaa?

 

Entahlah, getaran yang selama ini terpendam untuk dirinya sontak menyeruak, menjejerkan seluruh imaji indah. Segala kenangan tentang wanita yang pernah hadir di hidupku delapan-belas-tahun silam itu seolah mengisi kalbu dengan dahsyat.

Bukan karena aku pernah merasakan kehangatan yang selalu dibalut hijab bahkan sedari ia masih di sekolah menengah pertama, namun karena perasaan cinta tulusnya yang dijaga olehnya, bahkan sampai aku bertemu dengan Cauthelia tiga-tahun kemudian.

Namun segalanya sekejap lalu tatkala salah satu sahabatku memberikan nomor ponselku kepadanya. Alih-alih merespons dengan membenarkan, aku malah memilih diam, tidak melanjutkan apapun, takut-takut yang dirasakan hanya kenangan semu yang berusaha mengganggu pikiran.

*****

Dua jam berlalu, tidak ada semboyan apapun yang teruntai semenjak pesan di platform besutan Meta tersebut terkirim. Logika ini langsung meruntuhkan asa yang barusan terpercik, berusaha memadamkan gelora semara, berkobar begitu dahsyat melumpuhkan sadarku.

Tidak lama ponsel ini pun menyala, wanita itu benar-benar meneleponku.

Assalamualaikum,” sapanya, suaranya begitu lembut di ujung sana.

Deg!

Ragaku seketika membeku, dihantam getaran begitu dahsyat yang menelusup di indra. Sungguh lisan ini langsung kelu, seolah tiada satu frasa pun yang dapat terlontar untuk membalas kelembutan terdengar dari ujung sana.

Sajak rindu itu langsung menggelora, suaranya bak embusan angin yang menyejukkan hati, membelai seluruh jiwa dengan keanggunan tak ternilai dari seorang wanita yang pernah singgah dan bertahan di hatiku hingga saat ini.

“’Alaikumsalam,” jawabku, setelah menghela napas panjang.

Kamu masih inget sama aku kan, Tam?” tanyanya pelan.

Sungguh frasa terlontar itu langsung membangkitkan elegi tentang bagaimana raga ini begitu alpa, meninggalkan dirinya karena ketidaktegasan hatiku pada masa itu.

“Ma-masih,” ujarku seraya memproses apa-apa yang baru saja terjadi, “kenapa?”

Aku mau ketemu sama kamu,” ujarnya pasti, “ada yang mau aku omongin.”

Deg!

Sesak itu kembali merengkuh asa, desakan adrenalin dari frasa yang terlontar dari ujung sana terdengar begitu tegas dan angkuh, menjatuhkan kepercayaan diri yang selama ini dibanggakan. Rasa yang sama, masih tersimpan untuk sosoknya, sungguh terdengar begitu mengintimidasi, menyalahkan segenap absensi asaku atas semara yang telah ia akui delapan-belas-tahun yang lalu.

“Ka-kapan?” tanyaku singkat, di antara deru degup jantung yang begitu kencang.

Sebisanya kamu lah Tam,” ujarnya dengan nada yang masih mengintimidasi, “aku butuh banget penjelasan kamu.”

Bahkan aku tidak menyangka, lisannya masih begitu santun berujar kepada diri ini. Suara lembutnya masih tetap sama, tetap seperti gadis yang kukenal sejak dahulu, segalanya tidak berubah.

Bahkan intonasinya saat menyebut namaku.

“Lusa bisa?” tanyaku singkat, mataku sedikit berputar seraya mengingat suatu hal, “kebetulan aku di Lembang, rumah kamu gak jauh dari sini kan?”

Seketika lisannya terkunci.

Tiada frasa apapun, hanya hening yang melanda di antara percakapan hangat ini. Hela napasnya terdengar begitu berat, terburu, bukan seperti dirinya yang kukenal dahulu.

Lembang,” ujarnya pelan, “sejak kapan kamu di sana, Tam?

Kuhela napas panjang, “baru sebulan terakhir kok. Aku aja yang cari tempat di deket kamu.”

I-iya,” jawabnya singkat, “berarti aku gak perlu share location ya?”

“Kita ketemuan di luar aja,” ujarku pelan, “nanti aku kasih infonya agak sorean.”

Presensinya sekejap langsung melambungkan segenap imaji yang pernah tercipta ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ia adalah gadis yang begitu populer ketika itu, bahkan sahabatku banyak yang menaruh hati kepada sosoknya.

Namun aku selalu menjadi pemenang, selalu mendapatkan apa-apa yang diinginkan, terlebih urusan semara. Bukan karena keparipurnaan fisik, ataupun elok dalam merangkai kata, aku hanyalah orang biasa dan apa adanya. Namun, aku selalu bisa mendapatkan gadis manapun yang diinginkan.

Termasuk dirinya, Karenina.

*****

Kuhela napas panjang seraya melihat instrument cluster kendaraan besutan Bavaria yang kini telah bersiap, menerima input dari tubuh ini untuk melaju ke tempat di mana akan bertemu dengan wanita itu

Sedikit banyak, aku masih menyimpan rasa bersalah kepadanya, dan semenjak perpisahan dari SMA, aku pun tidak kunjung menyatakan permintaan maafku kepadanya, padahal raga ini hanya terpaut empat-lima-meter selama enam tahun berturut-turut.

Apa kabarnya kini?

Sungguh, apabila bukan pertanyaan di grup WhatsApp tersebut, aku tidak mungkin lagi mengingat segala rasa yang tiada akan pernah kembali. Rasa yang telah mengendap lama, terkonstelasi bersama dengan kenangan bersama gadis lainnya.

Terakhir, aku mengetahui bahwa ia telah hijrah sepenuhnya, pakaiannya pun jauh lebih tertutup dari Cauthelia; ia mengenakan niqab untuk menutupi wajah cantiknya, dan tentunya menutupi lekuk tubuh jam pasirnya yang selama ini ia tiada pernah tampakkan.

Baiklah, ini adalah saatnya.

Dengan sedikit sentuhan ke belakang, tuas transmisi elektronik ini langsung memindahkan tenaganya menuju keempat roda yang saat ini langsung sigap melahap aspal yang tidak terlalu mulus di depannya. Membawa kendaraan berbobot dua ton ini meninggalkan rumah, dan menuju ke Bandung, tempat di mana aku berjanji menemuinya.

Perjalanan siang ini tidak seberapa ramai, mungkin akibat pembatasan yang dilakukan pemerintah terhadap kegiatan masyarakat di era pandemi ini. Beberapa satuan polisi bahkan tampak menjaga perbatasan, mencegah orang-orang yang tidak berkepentingan melaju, melintas area yang dilarang.

Sentimeter-demi-sentimeter ruas jalan di kota ini dibelah oleh keempat Pirelli P Zero yang tersemat, memuluskan laju kendaraan ini agar segera tiba di tempat tersebut; menemui sang pujaan hati ketika aku masih baru saja mengenal apa itu cinta.

Sejenak, setelah kuparkirkan kendaraan ini, ragu itu mulai merundungku lagi, memberikan jeda bagi hatiku untuk segera mengundurkan diri dari jeratan semara, mungkin akan terjalin dalam waktu singkat tatkala dua insan yang sudah tidak berhak bertemu ini akan saling bercengkrama.

Namun, Ablasa terus memenangkan pergolakan hati, menuntun raga untuk menghentikan kedelapan piston yang berpacu, bergerak rekursif, rakus membakar BBM RON 98 untuk membiarkan pulinya berputar, mengkompresi CF3CH2F agar bekerja mendinginkan kabin ini.

Kuhela napas panjang seraya menekan tombol start/stop yang berada di sebelah kiri setir. Kubuka pintu kendaraan yang cukup berat ini seraya memandang layar kecil yang menjadi kunci kontaknya sebelum raga ini menjauh dan layarnya berubah.

Dadaku begitu berdegup kencang, tidak kuasa menahan apa yang akan terjadi ketika aku harus bertemu lagi dengan sosok yang telah menjadi inspirasiku saat remaja, namun bukan berada di semesta Shinta yang saat itu juga dekat denganku.

Lambaian tangan penuh suka cita terlihat tatkala raga ini sudah berada di perimeternya. Seorang wanita dengan pakaian hitam, serba tertutup, hanya menunjukkan matanya, lengkap bersama kacamata Lexington yang justru membuatnya tampak menarik.

Deg!

Apa yang kurasakan kini?

Dadaku begitu sesak ketika milimeter-demi-milimeter jarak tertempuh, mempertemukan raga yang telah saling mengenal selama delapan-belas-tahun ini.

Apa yang kupikirkan saat ini?

Raga ini tiba-tiba langsung duduk di seberang wanita yang tampak tersenyum, walaupun hanya matanya saja yang tampak. Sungguh, ia benar-benar menutup tubuhnya dengan pakaian itu.

“Faristama Aldrich,” panggilnya, nadanya begitu antusias.

Aku hanya tersenyum, menganggukkan kepala pelan.

“Kamu ke mana aja?” tanyanya lagi, “lama banget ya gak ketemu.”

Kuhela napas pelan, “iya, semenjak lulus SMA.”

“Kamu gak banyak berubah,” ujarnya dengan nada masih antusias, “cuma lebih gemukan aja.”

Kubalas lisannya dengan seutas senyum, “berarti kan bahagia ya kalo gemuk kata orang mah.”

Ia lalu tertawa, “bisa aja kamu.”

“Canggung euy,” sahutku seraya beberapa kali menghela napas, “kayak ada hal yang berasa misahin aku sama kamu.”

Ia lalu menatapku dengan tatapan yang berbeda, “maksud kamu?”

Entahlah.

Aku sudah memiliki Cauthelia.

Bahkan aku punya asa lain yang mungkin tidak dapat kusebutkan.

Namun entah mengapa, aku masih saja gugup di depan Karenina?

Sejenak kenangan tentangnya terputar, alih-alih menerima pernyataan cinta gadis itu, aku malah pergi menjauh. Bukan tanpa alasan, sahabatku yang begitu dekat denganku juga mencintainya.

Aku ingin ia bahagia bersama Karenina, namun ternyata gadis ini tidak menaruh rasa sedikitpun kepadanya, meskipun banyak hal telah terlampaui bersama, dan waktu juga sudah bergulir untuk mengukuhkan perasaan yang ternyata tiada kunjung berpagut.

“Ada satu hal,” ujarku pelan, memulai ini semua, “aku gak yakin kamu mau dengerin aku.”

Tiba-tiba, sorot mata wanita itu berubah, ia menatap begitu tajam seraya dadanya tampak naik turun, tidak dapat disembunyikannya dari balik pakaian yang saat saat ini ia kenakan.

“Udah 18 tahun Vir,” kataku pelan, “dan aku yakin sekarang udah gak berguna lagi.”

Ia lalu memajukan tubuhnya, “ngomong aja Tam, aku mau denger.”

Deg!

Sungguh, seumur hidupku, aku tidak pernah segugup ini di depan seorang perempuan. Aku dapat menaklukan mereka dengan mudah, membuai mereka dengan cinta, menjanjikan mereka kenikmatan dan kelezatan yang selalu didapatkan, namun tidak dengan perasaan ini.

Perasaan bersalah, karena telah mencampakkan gadis yang seharusnya hidup bahagia bersamaku.

“Inget kan,” ujarku pelan, “kita deket dari kelas 1 SMP?”

Tidak ada jawaban, hanya anggukan kepala pelan dari wanita itu.

“Kamu tahu, perasaan aku ke kamu saat itu, sama dengan perasaan kamu ke aku.”

Hening.

Suara riuh frasa insan yang tidak seberapa banyak di ruangan ini seolah menjadi elegi, mengolok dan mencemooh ketidaktegasan hatiku saat itu. Sesekali deru mesin Otto juga terdengar bak simfoni minor, menjatuhkan harga diriku terlalu tinggi kunilai.

Matanya terus mengulitiku, aku benar-benar bisa melihat air wajahnya yang begitu terdistorsi, namun tiada getaran amarah yang ditranslasikan dari sana, meskipun pada akhirnya matanya tergenang, dan hilang tatkala ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Isakan minor langsung menyeruak, menyayat indraku seraya menancapkan luka begitu dalam di asa ini, melambungkan rasa bersalah yang tiada pernah lagi terasa hingga kini. Hingga wanita itu menghubungiku terlebih dahulu dua hari yang lalu.

“Kenapa Tam?” ujarnya pelan, “kenapa kamu gak ngomong?”

“Kenapa kamu malah biarin aku patah, layu, rusak karena nungguin jawaban dari kamu?”

Deg!

Sesak rasanya mendengar simfoni itu mengalun dari lisannya. Sungguh, aku mengepal-ngepal tanganku seraya menyalahkan absensi diriku di hatinya ketika ia membutuhkanku dahulu.

“Kenapa baru sekarang Tama ngomong sama Karenina?”

“Harusnya,” ujarnya, terisak, “harusnya ada Tama yang temenin Karenina, dampingin Karenina, dan Karenina gak akan rusak dulu.”

Deg! Deg! Deg!

Seluruh tubuhku langsung lemas, kerrngka tubuhku bahkan enggan berada lagi di raga ini, melepas segenap sendi, dan menjatuhkan beban rasa bersalah itu di atasnya, membuat mataku pun buram.

Tanpa terasa air mata ini mengalir pelan, hal yang sudah lama tidak terjadi padaku.

Mereka selalu mengatakan, aku adalah sumber kebahagiaan, kenikmatan, dan kelezatan. Aku selalu menjaga perasaan mereka, agar tidak terlalu dalam berharap dari sosok ini, dan akhirnya itu menjadi bumerang dalam hubungan bersama Karenina.

“Maafin aku Ren,” ujarku pelan, “maafin aku.

“Aku gak nyangka akan begini,” ujarku seraya mencoba menatap wanita yang masih saja melindungi harga dirinya dengan niqab hitam, menutupi kecantikannya agar tidak dinikmati laki-laki bukan mahromnya, termasuk diriku.

“Udah takdir Tam,” ujarnya pelan, “dan kamu selalu jadi kenangan indah buatku kok.”

Deg!

Rasanya bagai disayat sembilu, hati ini sudah tiada kuasa menahan gejolak emosi yang diberikan oleh perasaan bersalah, mengendap belasan tahun di dalam asa, dan semuanya meledak ketika kenyataan itu terdengar dari lisan Karenina Almira, saat ini masih terisak di seberangku.

Duniaku terasa gelap, aku bahkan tidak pernah merasakan ini sebelummnya.

Tidak sekejap pun, selama darah mengalir di tubuhku, sepanjang oksigen mengisi paru-paruku, aku merasakan sehina ini.

Entah apa yang harus kukatakan kepadanya.

Kini aku bungkam, dihajar oleh pengakuan Karenina, bertubi-tubi memojokkan keadidayaan asa yang selama ini selalu dibanggakan. Segalanya terasa runtuh ketika mendengar, seseorang tidak berbahagia, dan penyebabnya adalah ketidaktegasanku.

“Ren,” ujarku pelan, “aku bener-bener minta maaf sama kamu.”

Ia hanya mengangguk, berusaha mengalihkan ekor matanya, seperti enggan walau hanya untuk menatapku. Ia mengakhiri semuanya dengan memundurkan tubuhnya, merebahkannya di sandaran kursi seraya menggelengkan kepalanya pelan.

“Aku gak tahu Tam, harus gimana denger pengakuan kamu,” ujarnya pelan, ia lalu memandang nanar ke arahku, “aku seneng, tapi juga sedih.”

Helaan napasnya terdengar begitu pilu, aku bisa merasakan betapa ia mungkin mengharapkan pengakuan dan juga akuisisi hati yang seharusnya dilakukan pada masa delapan-belas-tahun yang lalu.

“Aku akan lakuin apa aja, asal kamu bahagia, Ren.”

Wanita itu lalu tertunduk, ia menggelengkan kepalanya, “apa yang bisa aku lakuin, sementara kamu udah beristri, kan?”

Kupandang wanita itu, masih tertunduk, nampaknya enggan baginya untuk sekadar mengarahkan ekor matanya kepada raga ini, “dan kamu juga udah bersuami, Ren.”

Ia menggeleng, “bukan jadi urusanmu, Tam.”

Aku menatapnya agak heran, “maksud kamu, Ren?”

Sekejap, ia melempar pandangannya ke arah jendela kaca besar yang memisahkan antara ruangan ini dan dunia luar. Agak lama ia menatap ke arah jalan raya, membiarkan indranya melihat beberapa kendaraan yang lalu lalang, dan akhirnya ia menatapku.

“Suami aku, bukan urusan kamu,” ujarnya pelan, “yang jadi masalah adalah istri kamu Tam.”

“Dia marah gak kalo aku ketemu kamu?”

Kulempar senyuman ke arahnya, “aku gak pernah sembunyiin semua tentang wanita manapun yang ada di hidup aku.”

“Aku tahu,” ujarnya pelan, “Nadine, Shinta, Talita, dan semua cewek yang dateng di hidup kamu, Elya pasti tahu.”

Kuanggukkan kepala pelan namun pasti, seraya tetap menguntai senyum kepadanya, “kamu bener Ren, semua tanpa terkecuali.”

Ia lalu menatapku serius, “aku mau ngomong satu hal sama kamu.”

Aku mengernyitkan dahi seraya menambatkan ekor mataku ke arahnya. Senyumannya tampak mengembang, bahkan niqab yang ia kenakan tidak dapat menutupi ekspresi yang teruntai saat ini.

“Tama mau kan bantuin Karenina,” ujarnya pelan seraya memanjukan tubuhnya.

“Apaan itu Ren?”

“Buat aku bahagia,” ujarnya pelan, “aku cuma minta itu dari kamu.”

“Maksud kamu, Ren?” aku semakin tidak paham, ke mana arah pembicaraan wanita ini.

“Kamu naik apa ke sini, Tam?”

“Aku bawa mobil sih,” ujarku pelan, “mau dianterin pulang?”

Ia menggeleng, “ajak aku jalan, nanti aku ceritain semuanya ke kamu.”

Setelah pembicaraan hangat barusan, kami memutuskan untuk menyantap penganan di sana, sebelum akhirnya kami bertolak dari tempat ini, mengajak wanita yang saat ini terpaku ketika aku mendekati kendaraan yang kubawa barusan.

“Ini mobil kamu, Tam?” tanyanya pelan.

Kuanggukkan kepala pelan, “iya Ren.”

Ia terdiam sejenak, seraya kubukakan pintu kiri belakang kendaraan ini, dan melontarkan senyum ke arahnya, “masuk Ren.”

“Di belakang?” tanyanya, sedikit heran.

“The best experience of Seven-Series is in the back seat.”

Tiada lisan, hanya pandangan matan begitu bercahaya di atas pupil matanya yang membesar tatkala senyuman mengembang di balik niqab yang dikenakanannya. Dengan hati-hati, ia menghempaskan tubuhnya di jok belakang kendaraan ini, setelah servo soft closing nya sempurna mengatikan pintunya, aku pun berjalan menuju pintu pengemudi.

Ia tampak begitu canggung di belakang sana. Center console besar memisahkan antara kursi kiri dan kanan yang dibuat permanent individual, mereka menyebutnya Rear Executive Lounge Seating. Beberapa kali ia tampak hanya memajukan tubuhnya tanpa menyandarkan punggung di sandaran tersebut.

“Santai aja Ren,” ujarku seraya memandangnya dari kaca spion tengah.

Ia hanya mengangguk pelan, dan perlahan merebahkan tubuhnya di atas kulit Merino yang terpasang di keempat joknya.

Kuhela napas panjang, seraya menekan tombol start/stop dan seketika tulisan Welcome Cauthelia muncul di Multimedia Information Display yang berada di tengah dashboard kendaraan ini; dibarengi dengan deru delapan silinder yang saling berebut membakar BBM RON 98 ini lekas-lekas.

“Baru ya Tam?” tanyanya pelan, di sela perjalanan kami pada kecepatan enam-puluh-kilometer-per-jam.

“Alhamdulillah Ren,” sahutku sekenanya, “mau ngomong apaan emangnya tadi, sampe harus berdua gini?”

Ia menghela napas, “kenapa kamu gak pernah nembak aku Tam?”

Sejenak kupejamkan mata, memandang ke arah Instrument Cluster yang menunjukkan kecepatan mesin pada seribu-lima-ratus-putaran-per-menit, lalu kembali melihat ke spion tengah.

“Tapi kamu tahu kan kalo aku juga cinta sama kamu, selama kita sekelas dari 1 SMP?”

Tiada jawaban, hanya senyuman yang terlihat dari balik niqab-nya, diafirmasi dengan anggukan, menyuratkan segenap jawaban atas pertanyaan terlontar barusan. Ia terus menatapku dari sana, begitu lekat, tanpa merasa canggung memperlihatkan kehormatan yang seharusnya hanya ditunjukkan kepada suaminya.

“Sekarang, apa yang mau kamu minta, Karenina?”

Ia lalu menyandarkan lagi tubuhnya di jok belakang kendaraan ini, “pertama aku mau cerita tentang aku.”

“Dulu pas abis lulus SMA, aku pernah sakit keras, dua pekan dirawat di rumah sakit gara-gara sakit lambung,” ujarnya memulai kisahnya, “itu karena aku sepekan gak mau makan sama sekali.”

“Kenapa?” tanyaku singkat.

“Satu karena rasa cintaku ke kamu,” ujarnya pelan, “kedua karena ada cowok yang khianatin aku.”

“Aku termasuk pengkhianat, kah?”

Ia menggeleng pasti, “Faristama Aldrich bukan pengkhiatan, tapi dia tancepin cintanya terlalu dalem ke hati aku, makanya aku gak bisa move on.

“Meskipun aku juga tahu, kalo saat aku masih mendem rasa itu, kamu tau-tau udah deket sama Shinta, Nadine, Talita, bahkan Lia. Padahal aku belum dapet jawaban apapun dari kamu.”

Sesak rasanya mendengar pernyataan itu teruntai dari lisannya.

“Terus, siapa pengkhianatnya?”

Ia menghela napas, “mantan aku, dia udah petik bunga aku, tapi gak pernah sekalipun aku ngerasa bahagia karena apa yang udah dia lakuin.”

Deg!

Sejenak, ia lalu melepas niqab yang dikenakannya, memamerkan wajah yang sudah empat-belas tahun tidak terlihat itu.

Baiklah, ia bukan berada di semesta Cauthelia, mendekatinya pun tidak. Namun namanya pernah berada di hati ketika aku baru mengenal semara delapan-belas-tahun-yang-lalu.

Namun, bagiku agak berlebihan melihatnya melepas niqab itu. Meskipun tiada air wajah sesal terukir di sana, bahkan ia tampak terus menyunggingkan senyum di atas wajah putihnya yang memerah.­

“Harus ngomong apa sama kamu tentang dia, yang udah ngebuat aku begini sekarang. Jujur, salah besar ngarepin kamu buat penuhin mau aku, karena pasti kamu akan nolak.

“Tapi, aku pernah ngarep kamu yang lakuin itu pertama kali. Karena sumpah, dia cuma ngasih aku sakit yang membekas sampe sekarang.”

Deg!

Tubuhku langsung bergetar, seraya sesak itu mendera dada, mendengar frasa yang begitu menyakitkan terlontar dari lisannya. Sebuah asa yang tiada pernah terlaksana mengandai di kepala.

kuremas kencang-kencang setir yang terbalut kulit ini.

Bukannya aku sok suci.

Aku pun beberapa kali melakukan hal itu, mencabut bunga yang seharusnya bukan hakku, namun kuberikan mereka kenyamanan; kuberikan mereka kebahagiaan, dan kulakukan itu hanya ketika mereka mau.

“Kenapa, Tam?” tanyanya pelan, seolah tahu apa yang kupikirkan.

Pelan tergeleng kepala ini mendengar pertanyaannya, “gak apa-apa. Cuma gak abis pikir, gimana orang yang udah petik bunga kamu, tapi gak kasih kamu kebahagiaan.”

Ia tertawa kecil, “emang kamu kasih kebahagiaan buat mereka yang udah kamu petik dulu?”

Pertanyaannya pelan, tapi nadanya begitu tajam, menguliti segenap asa yang sekejap langsung membucah, menyeruakkan nada minor tentang kebodohanku di masa muda dahulu.

Sejenak lampu merah di perempatan Pasteur menyala sombong menghentikan laju kendaraan yang berada di depannya. Perlahan kutekan pedal rem, langsung mentranslasikan segala energi dalam dekapan kencang kampas terhadap cakram yang terpasang di keempat rodanya.

Kuhela napas seraya menoleh ke arahnya, sejenak kuanggukkan pelan, “mereka gak pernah menyesal atas itu, meskipun aku tahu itu salah. Jelas bukan satu pembenaran kan?”

Wanita itu lalu tersenyum, “kalo gitu, bisa kan bahagiain aku juga, Tam?”

Deg!

Apa yang wanita itu pikirkan?

Mengapa ia mengatakan hal yang seharusnya tidak diutarakan?

Aku masih memandang keindahan yang terpancar dari sorot mata cokelatnya, bersembunyi di balik lensa kacamata yang sesekali memendarkan cahaya dari sekitar.

“Kenapa, Tam?” tanyanya pelan, “aku gak semenarik dulu kah?”

Kugelengkan kepala pelan, “bukan begitu Ren.”

“Jelas, aku gak secantik atau sesempurna Cauthelia, iya kan?”

Kuhela napas seraya menatapnya dari spion tengah, “bukan itu juga. Tapi kondisi kita sekarang udah bukan lagi kayak dulu. Kamu dengan suami kamu dan aku dengan istri aku.”

Hening lalu mengunci segenap lisan kami.

Hanya sesekali deru suara kendaraan, kadang dibarengi dengan teriakkan klakson bersahutan memalak jatah sejengkal aspal untuk dilalui. Suasana sore di Kota yang penuh kenangan ini memang tiada pernah lengang, selalu disibukkan dengan hiruk pikuk kendaraan.

Setelah menunggu sang waktu yang terus bergulir dalam diam, semboyan hijau pun menyala, mengusir lekas-lekas gugusan kendaraan yang sedari tadi mengantre, menanti aba-aba untuk meninggalkan persimpangan ini, menuju jalan tol yang terus menunggu limpahan besi beroda untuk menginjaknya.

Kutekan pedal gas agak dalam, melesatkan monster dua ton ini meninggalkan kerumunan kendaraan yang tentu saja tidak akan dapat mengejar lajunya. Namun Karenina masih terdiam, matanya masih menyorot ke arahku lekat-lekat.

Nyanyian merdu mesin-delapan-silinder kubiarkan mengisi hening di antara kami, menyelami tiap konsonan yang terhenti tatkala sunyi itu saling menyuratkan asa, terucap syahdu bersama bahasa tubuh yang tidak dapat menyembunyikan kegundahan dari kegelisahan sosoknya saat ini.

“Aku tahu,” ujarnya, memecah hening, “permintaanku aneh ya Tam?”

Kuhela napas, “kelewatan sih namanya, apalagi aku gak pernah mau berurusan sama istri orang, meski Nadine sekalipun, aku gak pernah ngambil kesempatan apapun. Bahkan September 2019 kemaren aku ketemu sama Nadine, nginep di hotel yang sama, tapi aku tetep gak lakuin permintaan konyolnya.

Ia lalu tertunduk, membiarkan desah putaran karet bundar di atas tarmak antara Gerbang Tol Pasteur ke Jalan Tol Padalarang – Cileunyi halus menelusup indraku, membungkam lagi lisannya dalam keheningan; dibalas merdu oleh suara mesin empat-ribu-empat-ratus-sentimeter-kubik yang tersemat di kapnya.

“Ta-tapi,” ujarnya pelan, sedikit sayup terdengar, “aku pengen lakuin itu sama kamu.”

Sekejap tubuhku bergetar mendengar frasa yang terlontar pelan dari lisan wanita itu. Ia tampak menunggu seuntai jawaban dariku, tiada kunjung dilafalkan seraya milimeter-demi-milimeter aspal tol ini digerus oleh karet bundar yang menopang kokoh keempat suspensinya.

“Aku gak mau, Ren,” jawabku singkat, “apa gak jelas segala status antara aku sama kamu?”

“Aku paham,” ujarnya, “aku gak sesempurna istrimu dari sisi manapun, gitu?”

Kugelengkan kepala pelan, “bukan di sana esensinya Ren.”

“Karena kamu gak pernah mau aneh-aneh sama istri orang lain kan?” tanyanya pelan.

Kuhela napas, sesekali melirik kembali Instrument Cluster yang sudah menunjukkan kecepatan seratus-enam-puluh-kilometer-per-jam, jauh meninggalkan apa-apa yang mengikuti dari belakang barusan.

“Kamu udah tahu kan, jadi aku gak perlu jelasin.”

Tiada lisan yang teruntai dari wanita itu, hanya suara karet Pirelli P Zero yang agak bising, terdistorsi dengan embusan angin yang semakin menguat ketika kecepatan kendaraan ini perlahan meningkat.

“Aku gak bahagia sama suamiku,” ujarnya seraya suara angin sayup mulai terdengar dari sela pintu, “itulah kenapa aku pengen ketemu sama kamu, aku tahu kamu pernah punya rasa dulu, dan jujur aku ngarep kamu bisa bantu aku keluar dari jerat itu.”

“Gimana bisa?” tanyaku seraya memutar setir sedikit ke kiri, mengarah ke Cileunyi, “kamu udah punya anak tiga sama suami kamu, tapi bilang gak bahagia?”

“Sebenernya, aku gak pernah ngarepin ini semua terjadi. Aku sebenernya mau sama kamu, Tam.”

Frasa itu kembali terlontar, sungguh tiap nada yang teralun semakin menenggelamkanku dalam elegi tak berujung, menyesali tiap langkah tercipta tanpa kehadiran sosoknya. Sungguh segalanya malah membuatku tak karuan, tiba-tiba kendaraan ini sudah mencapai kecepatan dua-ratus-kilometer-per-jam; sebelum akhirnya aku sadar bahwa aku harus mengarahkan setir ke Gerbang Tol Buah Batu.

“Kuanter kamu pulang,” ujarku.

“Ja-jangan,” pintanya, “apa kata tetangga aku kalo kamu anterin aku pulang nanti?”

Kuhela napas, “terus mau ke mana?”

“Terserah Tama,” ujarnya pelan, di atas wajahnya yang begitu merah, “yang penting jangan pulang, please.”

Frasa itu sekejap menenggelamkan segenap romansa tercipta, sejumput semara semakin menjadi-jadi, berhingar bingar dibalut keindahan bisikan Ablasa bersama dengan janji kelezatan itu.

Namun aku tidak akan terjebak akan bara yang telah padam itu, tiada inginku mengkhianati ideologiku sendiri untuk tidak menyentuh wanita bersuami. Aku berhasil melakukan itu kepada Nadine, sosok yang jelas lebih dicinta ketimbang Karenina.

Sekali lagi, bisikan itu terus saja menjajikan keindahan semu.

Aku tetap mengarahkan kendaraan ini untuk pulang ke rumahnya, menuju ke bagian selatan Bandung. Tepat di SPBU 34-40326 kuarahkan setir untuk memasukinya, bukan untuk mengisi energi utama kendaraan ini, namun untuk singgah sejenak.

“Kamu harus pulang, Ren.”

Ia tersenyum saat kumenoleh ke arahnya, “aku cape Tam.”

“Hatiku lagi kosong, dan entah kenapa aku kepikiran kamu. Beneran deh tekad aku udah bulet buat ketemu sama kamu, selagi aku mau dibahagiain.”

Hening lagi-lagi menghinggap, mengunci segala lisan seraya menyisakan lembut suara blower penyejuk udara yang menelusup dari ventilasi yang memenuhi kabin ini. Napas kami saling beradu dalam diam, menyuratkan seluruh asa yang sesungguhnya masih tersimpan rapat di relung masing-masing.

“Maksud kamu?” tanyaku, seakan tidak paham yang terjadi di pernikahannya.

“Udah lama hatiku kosong Tam. Gak ada cinta yang seharusnya bisa bikin aku nyaman saat di rumah. Semuanya cuma rutinitas yang ngebuat aku jenuh dengan hidup aku sendiri. Jujur, bukannya aku gak bersyukur, tapi aku juga butuh bahagia.

“Aku butuh lebih dari sekadar hal-hal rutin yang sama sekali gak aku butuh. Bukannya aku gak komunikasi atau gimana sama suamiku, tapi dia gak pernah mau dengerin ucapan aku.

“Dia lebih sering mikirin diri sendiri, dan lebih-lebih aku gak pernah dapetin apa yang aku mau dari dia. Maaf kalo kesannya aku ngadu, tapi sekarang cuma kamu tempat aku buat aduin segala keluh kesahku.

“Jujur, selama sejak 2010, aku nutup diri dari semua laki-laki, dan baru kali ini aku membuka diri ke kamu, Tam. Bukannya aku murahan, tapi aku rasa kamu sosok yang tepat buat aku bersandar sekarang.

“Aku cape Tam, harus lari dari ini semua.”

Seluruh simfoni minor yang teruntai dari lisannya sungguh menggetarkan hatiku. Di satu sisi, aku masih belum bisa menerima sepenuhnya penyerahan diri yang ia lantunkan barusan; di sisi lain, asa ini tidak dapat menampik keindahan yang terpancar dari tiap senyum yang mengembang. Meski bukan di semesta wanitaku yang lain.

Ia memandangku, berusaha tersenyum walau terlihat getir, mengambang bersama dengan helaan napas berat, menyisakan sesak tiada berujung yang diutarakan dari sorot mata penuh kepahitan kini.

“Kamu bahagia, dengan hidup kamu sekarang?” tanyaku singkat.

Ia menggeleng pelan, “apa mungkin kalo aku bahagia, terus aku sengaja tanya kontak kamu di grup? Padahal kamu juga pasti tahu, kalau aku selalu simpen nomor kamu?”

“Buat aku, please,” ujarnya lirih, “jangan pandang aku sebagai istri orang, tapi pandang aku sebagai kekasih yang harus kamu bahagiain.”

Kuhela napas, “Ren, tapi gimanapun aku gak mau ngerusak pernikahan kamu.”

“Ini udah rusak Tam, rusak parah. Okay, mungkin kalo aku bahagia, dan kamu yang kontak aku duluan, bangkitin rasa indah yang udah lama pergi, itu namanya ngerusak pernikahan aku. Tapi, ini udah rusak, dan justru karena kamu aku bisa semangat.

“Aku gak bisa lari lagi Tam, kamu udah terlalu jauh di dalam hatiku.”

Jebakan itu benar-benar begitu manis, ia sudah membuka hati dan jiwanya untuk kutelusupi. Namun tiada sampai hati ini merusak keindahan yang seharusnya dikecap bersama lelaki yang bertanggung jawab atas dirinya kini.

“Aidan kan namanya,” ujarku seraya menatap dari spion tengah.

Wanita itu sekejap terlihat terhentak, “da-darimana kamu tahu?”

“Kantor beliau gak jauh dari sini kan?”

“Kamu mah Tam, bikin takut deh, gak sekalian tebak plat nomer motor aku coba,” ujarnya setengah menantang.

Kuketik beberapa kalimat di ponsel empat-koma-tujuh-inci besutan Cupertino ini lalu diserahkan kepadanya, “alamat rumah kamu, nomor polisi motor kamu, sama tempat kerja kamu sama suami kamu.”

Ia menarik ponsel berwarna rosegold itu dengan tidak percaya. Air wajahnya terlihat sedikit pucat, namun akhirnya senyum itu tersungging begitu indah dari bibirnya yang merah pucat.

“Ren, asal kamu tahu, sedari tadi aku ungkapin perasaan ke kamu, hatiku terus begejolak. Kamu tahu, aku ngerasa bego banget udah nyiain perasaan kamu pas waktu itu.

“Aku inget, di telepon itu kamu ngomong suka sama aku. Tapi aku pura-pura gak denger karena aku tahu Renaldo sama Ferdi juga naksir sama kamu. Waktu itu aku juga deket sama Shinta, tapi kamu tahu kan Shinta itu temen aku dari SD.

“Karena hal itu aku gak acuhin persaanku ke kamu, kupikir seiring berjalannya waktu, kamu bakalan lupa. Apalagi pas SMA kamu juga sempet jadian sama Kak Junot, kupikir semuanya udah usai.

“Tam,” panggilnya pelan, “sejak kamu deket sama Nadine, jujur aku minder. Dibandingin dia, aku jauh gak ada apa-apanya. Apalagi di kelas kamu keliatan deket sama Talita. Bahkan pas acara akhir taun, pas perpisahan di mana kita ngumpul di api unggun, ada banyak cewek yang naksir sama kamu.

“Jelas aku minder, semua cewek yang naksir kamu bukan ada di level aku.

“Terlebih Cauthelia Nandya.”

Kuhela napas, memang tiada seoranpun yang bisa setara dengan semestanya. Ia tidak hanya cantik, ketulusannya masih tiada biasa jadi lawan kepada kaum hawa manapun yang kutemui.

Termasuk Aluna, Teana, bahkan Shinta.

“Jujur,” ujarku pelan, “aku udah gak mungkin lagi nerusin apa yang kamu mau, kamu harus bahagia Ren sama suami kamu.

“Kamu ngingetin aku ke Nadine, tiga-tahun yang lalu, dia pernah nangis ke aku tentang suaminya. Bahkan beliau maksa aku buat anterin pulang, tapi kamu tahu apa yang aku lakuin, aku malah panggil taksi online.

“Satu-setengah-tahun kemudian, aku ketemu lagi sama Nadine, jujur rasa itu masih sama, tapi aku gak pernah mikir buat ngelakuin segala godaan Ablasa yang semakin lama semakin kuat.

“Aku mohon ke kamu, bahagialah sama suami kamu, aku akan bantu apapun yang bisa kubantu, asal gak ngelakuin hal bego yang justru akan ngerusak hubungan kamu sama Aidan.”

Ia menggeleng, “kamu takut kah Tam, istri tercinta kamu bakalan marah?”

Aku tertawa kecil, “mau aku ngerayain cinta di depan mukanya dia sama kamu, dia gak akan marah. Esensinya bukan di sana, justru aku yang gak mau bikin masalah sama kamu.

“Apa yang akan dibilang sama keluarga besar kamu, keluarga Aidan, anak-anak kamu? Kamu mikir gak sejauh itu? Atau cuma nafsu sesaat yang ngebuat kamu berani ngelakuin ini semua?”

Ia lalu memandangku, sekejap lalu menunduk.

Sekali lagi, hanya deru lembut alunan langsam mesin delapan-silinder yang sayup terdengar menelusup dari windshield Laminated DOT27 besutan Saint-Gobain Sekurit.

“Kayaknya, aku udah cape Tam, makanya aku gak pernah mikirin itu semua.”

Kuhela napas, “okay, mendingan kita selesaiin ini semua.”

Kendaraan sepanjang lima-ribu-dua-ratus-enam-puluh-delapan-milimeter ini agak kesulitan mencari parkir di depan sebuah ruko tempat Aidan, suami Karenina, bekerja.

Lisannya bahkan terus terkunci tatkala ia mengetahui aku membawa raganya ke arah jalan Soekarno-Hatta. Ia tampaknya tahu bahwa segalanya harus diakhiri agar tidak berkepanjangan.

“Ngapain kamu Tam?” tanyanya.

“Ketemu sama Aidan, dan kamu tunggu di sini.”

Sebenarnya ada ragu tatkala kututup pintu pengemudi yang langsung direspons oleh servo soft close. Aku tahu risiko yang akan terjadi ketika ini semua harus dijalankan.

Kuhela napas panjang sejurus memasuki bangunan tiga lantai yang berada di depan raga ini.

“Selamat sore Mbak, mohon izin, bisa bertemu dengan Pak Aidan,” ujarku kepada resepsionis yang memandangku dengan agak heran.

“Bi-bisa Pak, tunggu sebentar.”

Ditekannya pesawat telepon PABX besutan Panasonic untuk memanggil ekstensi yang dituju. Sejurus, resepsionis itu mengantarkan raga ini untuk memasuki ruang rapat yang berada tepat di belakangnya.

Suara embusan penyejuk udara terdengar begitu menyiksa dalam penantian. Sungguh degup jantung ini berlomba, bersama dengan hela napas yang begitu terburu menanti sosok itu.

Tak lama pintu ruangan terbuka, menyajikan lelaki dengan kacamata frameless, memandang dengan penuh keheranan.

“Mohon maaf saya mengganggu jam kerja Mas, saya Faristama Aldrich.”

Air mukanya langsung berubah.

Terlihat bara di matanya menyorot ke arahku. Tangannya dikepalkan sendiri, seolah ada hal yang mendasari kegusarannya kini. Napasnya pun terburu, namun akhirnya ia menghelanya begitu panjang.

“Mau apa Anda ke mari?”

“Saya hanya mau bicara, tentang Karenina,” ujarku lalu menatapnya, “saya tahu beliau pasti banyak cerita tentang saya.”

Ia lalu mengambil posisi di seberang raga, memundurkan kursi sejurus duduk dan menatapku tajam, “lebih baik Mas urus istri Mas sendiri, gak usah ikut campur urusan rumah tangga saya.”

“Istri saya tidak ada masalah dengan ini semua, tapi omongan Karenina ke saya sore ini ngubah pandangan saya tentang gimana seorang laki-laki harus membahagiakan wanitanya.”

“Itu bukan urusan anda!” nadanya sedikit tinggi, “Karenina istri saya, dan itu bukan urusan anda!”

Kugelengkan kepala pelan, “kalau Mas mikir, saya mau rebut beliau, mohon maaf, kisah saya sama Karenina gak pernah dimulai sama sekali. Apapun yang beliau ceritakan tentang saya, itu semua cuma kenangan.”

“Justu karena Mas gak pernah mulai, makanya dia selalu ngomong itu ke saya. Mas tahu, setelah saya nikah, dia selalu bandingin saya sama Mas, gimana coba saya bisa bahagiain dia kalo dia sendiri masih bayangin Mas.

“Mas, asal Mas tahu, selama saya nikah sama Karenina, saya udah berusaha buat jadi yang terbaik, tapi dia selalu ngerasa kalo apa yang saya lakuin kurang. Apa lagi yang harus saya lakuin?”

“Masnya kalau lagi libur ngapain?” tanyaku tetap tenang.

“Ya saya istirahat, kadang main sama temen, ada masalah?”

Kugelengkan kepala pelan, sejurus kuakses sebuah portal forum lalu menunjukkan sebuah unggahan yang dibuat lelaki itu, “ini yang jadi masalah buat saya.”

Wajahnya langsung pucat.

Bahkan bara matanya yang sedari tadi galak langsung memudar.

Tampak bibirnya kelu untuk membela diri tatkala apa yang ditunjukkan saat ini menyerang mentalnya.

“Mas bisa jelasin ini ke saya, dan karena inilah Mas gak pernah bisa total buat bahagiain Karenina. Jujur, sekarang beliau ada di kursi belakang mobil saya, tapi segala rasa yang tadinya berkembang langsung sirna setelah semua ceritanya saya selesai denger.

“Orang yang Mas hubungi di portal itu adalah istri saya.”

Semesta selalu memiliki jalan yang telah ditetapkan oleh Sang Jabbar.

Aidan, kini hanya bisa bungkam menatap ke arahku dengan serba salah. Antara malu dan amarah yang terdistorsi, membuatnya hanya dapat menderu napasnya begitu cepat.

“Saya bukan hakim, gak bisa menyatakan apa yang Mas lakuin salah atau benar. Tapi saya maafkan apa udah Mas lakuin karena udah hubungi istri saya dengan cara begitu.

“Bisa dibayangin, betapa kecewanya Karenina ketika tahu Mas punya wanita lain yang Mas idamkan. Tapi balik lagi, saya bukan hakim, saya hanya pengen Karenina bisa bahagia.”

“Karenina gak pernah masukin saya di pilihan hatinya sejak awal,” ujarnya pelan, “bahkan ketika saya ngelamar dia, katanya dia lagi nunggu seseorang buat ngebales pernyataan cintanya delapan-tahun yang lalu.

“Orang itu Mas Faristama. Meskipun emang dia udah pernah pacaran sama beberapa orang, termasuk Junot yang masa itu hampir nikah. Tapi saya beranikan diri buat ngelamar Karenina.”

Kuhela napas panjang, menyadari segala hal yang terjadi sebenarnya adalah karena perasaan cinta yang dimiliki Karenina kepadaku. Sungguh cerita semara yang tiada pernah tuntas itu telah menjebak sanubari ini dalam sebuah keabadian yang tiada pernah bermula.

“Mas,” panggilku, “gimana kalau malem ini saya ajak makan malem di suatu tempat.”

“Tapi saya ke sini naik motor,” ujarnya.

“Tenang, itu nanti jadi urusan saya.”

*****

Heningnya kabin kendaraan ini masih mewarnai perjalanan menuju ke rumah. Sejatinya ingin kuajak mereka makan malam di salah satu properti bintang lima yang berada di bilangan Dago, namun pembatasan yang dilakukan pemerintah pada saat pandemi sungguh mengubah segala rencana.

Beruntung, meskipun Cauthelia amat jarang memasak di rumah, ia masih sempat mempersiapkan makan malam di halaman belakang rumah. Ia bahkan sudah mengetahui kisahku dengan Karenina yang tiada pernah bermula.

Segalanya kandas karena keegoisanku yang lebih memilih Shinta ketimbang dirinya. Namun bukan di sana esensi itu semua, delapan-belas-tahun yang lalu, tatkala usia masih menginjak empat-belas-tahun, rasanya sulit untuk mengambil keputusan.

Meskipun pada akhirnya segalanya harus berakhir tanpa pernah dimulai.

*****

Setelah beberapa hari diguyur hujan, malam ini cerah menemani makan malam yang sudah dipersiapkan oleh Cauthelia dan juga Anrika. Namun harapan Aidan harus kandas karena kularang istriku untuk bergabung, lagipula ia tidak pernah ingin bertemu langsung dengan orang dikenalnya dari portal itu.

Gugusan bintang terlihat begitu indah, berkelipan bersama dengan semburat Sang Luna yang begitu indah, menerangi malam ini walau temaram. Aidan dan Karenina duduk bersebelahan sementara raga ini hanya sendiri di seberangnya.

“Maaf, kalau harus berakhir begini,” ujarku, “harusnya kita makan di luar.”

“Eh, eng-enggak masalah, masakan Elya enak juga kok,” ujar Karenina.

“Okay, jadi sekarang, kita selesaikan semuanya,” ujarku lalu menghela napas, “pertama aku mau minta maaf sama kamu, Ren. Aku udah denger dari Mas Aidan tentang harapan kamu. Jujur, kalo ditanya apakah rasa cinta itu ada, jelas rasa itu pasti ada.”

“Tam,” panggilnya pelan, “asal kamu tahu, dua bulan terakhir aku udah gak bisa berenti mikirin ini semua. Aku juga udah berusaha sekuat hati buat gak mikirin ini semua, tapi kenangan itu muncul gitu aja.

“Aku tahu, di sini aku yang salah, cinta yang seharusnya udah kupendam tiba-tiba muncul gitu aja. Mungkin, orang bilang ini cinta lama bersemi kembali.”

Kugelengkan kepala, “cinta lama belom kelar.”

Aidan nampak tertawa lalu memandang ke arah istrinya, “aku yang harusnya minta maaf, aku tahu selama ini aku ngerasa insecure karena kamu pernah bilan gak akan pernah ada yang bisa gantiin posisi Mas Faris di hatimu.

“Itulah kenapa aku gak pernah bisa tenang sampe akhirnya aku ketemu langsung sama sosok yang begitu kamu cintai. Maafin aku, mungkin aku gak bisa kayak Mas Faris.”

“Aku yang salah,” ujar Karenina, “maaf udah ngebuat semuanya kayak begini. Aku gak tahu lagi harus gimana, aku udah gak bisa mikir lagi, apalagi akhir-akhir ini kamu keliatan beda.”

“Kamu tahu Ren,” ujarku, “buatku ketemu sama kamu seolah ngebalikin masa delapan-belas-tahun yang udah kubuang. Tapi aku gak pernah nyesel karena sebenernya Mas Aidan ini lelaki yang begitu bertanggung jawab. Apapun yang kamu ceritain tentang dia tadi, itu karena kamu kurang komunikasi.

“Mas Aidan lagi banyak kerjaan,” ujarku berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi, “beliau dingin ke kamu karena lagi fokus sama proyeknya yang sekarang, makanya lebih banyak abisin waktu sendiri sama hapenya.”

“Ja-jadi,” ujar Karenina tidak percaya, “aku pikir kamu lagi chat sama cewek laen.”

Aku tertawa kecil, “alasan aku tahu kerjaan Mas Aidan karena kita satu tim di pengadaan perangkat sekarang, dan kebetulan aku yang jadi kontraktornya, Mas Aidan ini Project Manager sebagai sub-kontraktor.”

Ini jelas sebuah kebohongan untuk menutupi kesalahan Aidan.

Wajah lelaki itu tampak lega seraya seutas senyum terkembang, bersama dengan kelegaan tersurat dari air wajahnya yang hanya diterpa cahaya temaram malam ini.

“Oh iya,” ujarku lalu menyerahkan sebuah kunci kendaraan lengkap dengan surat-suratnya, “ini bonus dari kita, semoga bisa ngebuat kalian sekeluarga lebih nyaman kalo pergi-pergi.”

“Ma-Mas Faris, i-ini apa?” suara Aidan tampak bergetar.

“Bonus kerjaan kemarin lah, apa lagi?”

Ia tidak bisa mengelak, dusta pun sudah tiada mungkin dilakukannya kini. Akhirnya ia menerima sebuah kendaraan M-Segment sengaja dipersiapkan untuk mereka, karena kebetulan adalah unit milik tim yang memang akan dijual.

Aidan lalu berdiri, menghampiriku dan mendekapku begitu erat. Terdengar isak dari seorang lelaki yang jarang sekali teralun. Ada kegelaan yang juga tersurat dari tiap embus napasnya.

Aku pun ikut lega tatkala ini semua akhirnya dapat diselesaikan tanpa harus membuka sebuah kisah baru yang pastinya tiada akan pernah berujung bahagia dari manapun ini dipandang.

“Jangan salah,” ujarku seraya menatap Karenina setelah dekapan Aidan berakhir, “cinta itu abadi, gak akan pernah bisa diciptakan atau musnah, cuma bisa berubah bentuk.

“Cintaku buat kamu, Karenina, adalah sebuah keabadian yang kamu inginkan.”

Ia menatapku, air mata menetes seraya isak minor yang terdengar menyesakkan teralun dari lisannya, “maafin aku Mas Aidan, tapi aku cinta sama kamu, Faristama Aldrich, aku cinta kamu.”

Ia menyatakannya di depan suaminya sendiri. Namun tampak Aidan berusaha menahan gejolak di dalam dadanya, sejurus ia merangkul istrinya dan menganggukkan kepala, mengamini apa yang dikatakannya barusan.

“Aku juga cinta kamu Karenina Almira, tapi cintaku bukan kayak cinta yang kita pernah mau jalin dulu. Tapi cinta seorang sahabat yang ingin sahabatnya bahagia.

“Cintaku ke kamu adalah keabadian yang kamu inginkan.”

*****

Seraya dengan gemeretak suara karet bundar besutan Dunlop terdengar menjauh bersama dengan aroma sisa pembakaran hidrokarbon yang semakin tipis, kulepas kisah cinta tiada pernah bermula itu.

Ini adalah sebuah akhir dari keteguhan filosofiku untuk tidak pernah mengganggu kehidupan rumahtangga pasangan lain. Setelah Nadine, aku berhasil melakukan ini kepada Karenina.

Kuselipkan sesuatu di glove box kendaraan itu, ada nama Karenina di sana. Sengaja kulakukan itu agar ia paham, bahwa cinta untuknya tidak akan pernah hilang.

Aku percaya hukum keabadian cinta, bahwa cinta tidak akan pernah bisa diciptakan atau dimusnahkan, melainkan berubah dari satu bentuk ke dalam bentuk yang lainnya.

Cinta adalah wujud keabadian yang paling nyata.

Keabadian yang selalu diinginkan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi