Bandung, Desember 2010.
Hujan masih saja mengguyur kota ini dengan romansa yang tiada pernah bisa kutolak akan presensi kehangatan sosok yang begitu kucintai.
Enggan rasanya aku beranjak, namun ketika ekor mata ini menyapu layar ponsel besutan Swedia yang tergeletak di atas meja kecil di sampingku. Tanggal yang tertera di sana langsung menyadarkanku.
Cyllia, lagi-lagi nama gadis itu yang terlintas di kepalaku. Dan hari ini adalah hari ulang tahunnya.
Seluruh senyumnya seolah tidak dapat disingkirkan dari dalam pikiranku. Semakin lama kucoba untuk menghempasnya, semakin lama pula aku terus memikirkan betapa jiwa ini selalu berharap untuk dapat segera berlabuh di hatinya.
Entah apa yang kupikirkan, sejurus setelah mandi aku langsung memimpin langkah ke kediamannya.
Sebuah bingkisan dengan motif hati dan warna merah muda berisi hadiah kecil juga sudah dipersiakan, untuknya belahan jiwa yang selalu memberikan kebahagiaan kepadaku.
Dan semuanya benar-benar terendap di dasar asaku, memberikan kehangatan yang selalu didambakan oleh banyak laki-laki yang juga menaruh hati pada bidadari itu.
Mega masih begitu gagah menahan bobotnya, menghalangi semburat Sang Sol yang tiada terlihat, dikalahkan oleh barisan kelabu, betengger memenuhi cakrawala bersama dengan basuhan air langit yang tiada lelah membasahi Sang Gaia.
Waktu masih menunjukkan pukul 06.15.
Embusan udara pegunungan akrab menyapa bersama dengan butiran hujan yang terasa dingin, menusuk ke seluruh tubuhku. Mantel yang dikenakan bahkan tidak terasa melindungiku dari tajamnya hawa Bandung di pagi ini.
Namun, segalanya bahkan tidak menjadikanku sebagai penghalang untuk tetap menuju ke wilayah Dago saat ini, meskipun aku harus bertempur dengan cuaca yang tidak bersahabat.
Aku diberikan kepercayaan oleh gadis itu, dengan kunci duplikat yang kumiliki, raga ini dapat dengan mudah masuk, tanpa penghalang ke kamar gadis itu.
Cklek!
Seperti yang kuduga, ia masih terlelap dalam tidurnya ketika kubuka pintu kamar ini.
Sungguh, wajahku terasa amat panas walaupun dinginnya udara di ruangan yang terembus dari penyejuk udara ini sangat menusuk ke kulitku.
Sungguh, gadis ini masih menutup tubuhnya dengan selimut, dan aku tahu benar apa yang ada di balik selimut tersebut.
Kuhela napas panjang saat melihat ada cheesecake berdiameter dua-puluh-sentimeter lengkap dengan lilin yang sudah ditiup dengan angka 20 di sebelah mejanya yang tiada utuh lagi.
Sementara, di dekatnya ada dua buah piring kecil dan juga beberapa remah potongan kue tersebut tersebar di sekitarnya.
Terakhir kulihat, ada sebuah kotak kecil yang dibungkus kertas berwarna merah muda, tampaknya gadis itu belum membuka hadiah tersebut.
Alfarizi, pasti dia yang sudah berada di sini terlebih dahulu.
“Sani?” panggilnya dengan suara yang amat parau, ia begitu cantik apa adanya, dan sungguh aku begitu tertegun.
“Ngapain pagi-pagi ke sini?”
“Pacar kamu kan Aya, bukan aku.”
Aku hanya bisa menghela napas, menyadari bahwa gadis itu adalah kekasih orang lain, dan bukan milikku.
“Selamat ulang tahun yang kedua puluh, Cyllia.”