Disukai
1
Dilihat
9
Kamu Gapapa?
Slice of Life

“Kamu gapapa?”

Hanya satu kalimat sederhana, tapi saat itu juga mata Aiza mulai memerah. Pandangannya menjadi kabur, detik berikutnya air mata mengalir deras tanpa bisa Aiza control.

“Eh?”

“Eh?”

Bukan hanya orang di depannya, bahkan Aiza sendiri kebingungan.

--

Sudah beberapa hari terakhir pemukiman tempat Aiza tinggal selalu dirundung oleh hujan. Pagi hari dan sore hari, pasti saja selalu hujan, dengan curah yang tidak bisa dibilang sedikit.

Beruntungnya, di hari minggu yang cerah ini matahari dapat memancarkan cahayanya tanpa ada gangguan dari awan kelabu. Sejak ayam mulai ramai berkokok jam 6 pagi tadi, terdengar suara anak-anak yang semakin berjalannya waktu semakin ramai. Suara iringan dari bel sepeda, teriakan informasi Lokasi layangan putus, dan suara tangis dari anak yang ditakut-takuti dengan bunglon.

Mumpung cuaca hari ini sangat bagus, Aiza memutuskan untuk mencuci kain-kain besar seperti seprai, selimut, sarung sofa, dan lainnya. Sejak pagi Wanita itu sudah menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan bebersih, dari mulai menyikat kamar mandi sampai memindahkan kulkas. Kalau tidak digeser lantai di bagian bawahnya jadi memiliki kerak coklat harus benar-benar dipel hingga bersih.

Selesai dengan pekerjaan yang menggunakan cukup banyak tenaga, Aiza menutup bebersih kali ini dengan menyapu dan pel seluruh ruangan yang tersisa. Tapi, mungkin karena sudah terlalu Lelah, saat sedang membersihkan lantai dengan kain pel, Aiza menginjak lantai yang terkena tetesan air pel dan terpeleset kebelakang. Beruntungnya, dengan refleks dan kesadaran yang ada ia berusaha mengubah arah jatuhnya ke samping sebelum tepat berbenturan dengan lantai.

“Aw!”

Aiza pikir lengan atasnya yang cukup berlemak dapat meredam benturan, sayangnya tetap saja sakit. Tapi, itu lebih baik, pikir Aiza. Dari pada kepala belakangnya yang harus berbenturan dengan lantai.

“Dih,” kakak laki-laki Aiza yang saat itu baru keluar dari kamar kebingungan melihat sang adik tiduran di lantai sambil memegang gagang pel, “Ngapain tiduran sambil melukin gagang pel gitu?”

Aiza berdecak, perlahan kedua tangannya menopang berat tubuhnya membantu Aiza untuk duduk.

“Belajar salto!” kesal Aiza, ia kemudian berdiri perlahan.

“Kepleset barusan, tuh.”

Mulut kakak membulat sambil mengangguk-angguk konstan. Setelah itu, ia melanjutkan Langkah yang hendak menuju dapur. Terlihat yang lebih tua membuka kulkas lalu mengeluarkan dua botol minuman berbeda. Yang satu minuman teh rasa blackcurrant dengan tutup botol kuning, sedangkan satunya lagi memiliki warna putih diseluruh badan botol dengan tutup berwarna biru. Minuman susu berkarbonasi yang Aiza kurang suka, selain terlalu manis ternyata juga tidak cocok untuk perutnya yang lemah.

Kakak membuka kedua tutup botol lalu kembali berjalan menghampiri Aiza yang kini sudah melanjutkan kegiatan membersihkan lantai dengan cairan karbol.

“Nih,” Kakak menjulurkan botol dengan tutup biru itu pada Aiza.

Melihat adiknya yang hanya diam saja tidak mau menyambut pemberiannya kakak kembali berucap, “susu bagus buat tulang.”

Dengan senyum yang agak canggung, Aiza memaksakan dirinya untuk tertawa. Tawa koorporat, kalau kata anak zaman sekarang. Mata dan bibir yang tersenyum palsu, sangat terlihat jelas, tapi sepertinya dengan Tingkat kepekaan sangat rendah milik kakaknya. Semua kepalsuan itu tidak terlihat.

“Makasih,” Aiza menerima botol berisi susu bekarbonasi itu. Walau entah mengapa, ada sesuatu yang terasa berat dalam dadanya.

Melihat pemberiannya diterima dengan tulus oleh sang adik, kakak Aiza kemudian beranjak dan Kembali memasuki kamar.

“Kayaknya aku lupa ngasih tau orang rumah, deh,” dengan senyum kecewa. Pandangan nanar Aiza terpaku pada botol minuman di tangan kanannya.

--

Sudah seminggu Aiza disibukkan dengan kampus dan juga pekerjaannya. Kebetulan Aiza mengambil UT agar lebih bisa fokus pada pekerjaan. Ayahnya sudah pensiun sejak Aiza kelas 2 SMA, sungkan rasanya untuk mengambil kuliah seperti biasa. Ia belum yakin bisa menjalankan 2 tanggung jawab besar sekaligus. Jadi setelah lulus, Aiza sibuk mencari kerja, lalu ditahun keduanya bekerja ia baru berani mengambil kuliah.

Saat pengumuman lulus SMA dulu, seberanya nama Aiza ada dalam daftar nama siswa yang masuk kedalam kategori SNBP atau yang dapat masuk perguruan dengan hasil nilai. Walau masih belum tentu masuk, tapi setidaknya ada sedikit harapan. Sayang, perkataan dari ayah waktu itu menjadi bayang-bayang yang tidak mau keluar dari kepala Aiza.

“Ayah udah pensiun, uang pensiunan perbulan Cuma 2jt belum tentu bisa bayarin kamu kuliah.”

Dari pada berhenti ditengah jalan hanya karena masalah biaya, Aiza memutuskan untuk bekerja lebih dulu sambil tetap memikirkan alterlatif yang bisa ia ambil masalah perkuliahan.

“Duh, kapan terakhir nyikat kamar mandi, ya. Licin banget,” keluh Aiza saat baru masuk kamar mandi.

Ia memutuskan untuk menyikat membersihkan mandi terlebih dahulu sebelum membersihkan dirinya sendiri. 5 menit atau bahkan lebih ia berjongkok untuk menyikat lantai membuat kaki kiri Aiza mulai terasa kesemutan. Aiza pun memutuskan untuk bangun. Sayangnya, ia lupa kalau di atas kepalanya saat ini ada rak yang terbuat dari keramik yang cukup tebal.

Prank!

“Aw- waw~”

Aiza terdiam sejenak, matanya saling adu pandang dengan keramik yang kini sudah sompel. Terpotong dengan tidak aestheticnya. Setengah dari pecahan keramik itu berserakan di lantai kamar mandi. Aiza tidak tau dirinya harus tertawa atau marah. Kejadian ini terlalu unik bagi dirinya.

Helaan napas kasar terhembus dari bibir yang terlihat pucat itu, “Beresin aja dulu, deh.”

Mungkin karena terkejut, bahkan kesemutan pada kaki kirinya menghilang.

Sekitar satu jam setengah Aiza menghabiskan waktu di kamar mandi. Selama mandi bahkan saat keramas, kekehan kecil selalu saja keluar dari sela ranumnya saat mengingat kejadian saat kepalanya ‘menyundul’ keramik yang biasa digunakan untuk menaruh shampoo dan kawannya.

“Bunyi apa tadi, dek?” tanya ayah saat Aiza baru saja keluar dari kamar mandi.

“Eh?- ohh, itu. Tadi kepala aku kena keramik yang buat naruh shampoo itu,” jelas Aiza diakhiri dengan tawa kecil.

Mata ayah membulat, ia segera berjalan ke kamar mandi untuk melihat bagian yang rusak.

“Kok bisa? Lagian kamu ngapain?”

“Tadi lagi nyikat di bawahnya, pas mau berdiri lupa ada di keramik di atas kepala.”

Ayah menggelengkan kepala mendengar penjelasan dari putri bungsunya, “Ada-ada aja kamu. Mau jadi astro-boy aduan kepala sama keramik?” lelucon ala bapak-bapak, tapi Aiza tetap tertawa untuk menghargai ayahnya.

“Nggak, yah. Cita-cita aku jadi limbad,” jawab riang Iza masih dengan tawa disetiap akhir kalimatnya.

--

Aiza itu ceroboh, sudah sejak kecil seperti itu. Susah untuk mengubahnya. Apa lagi ia sudah melewati angkat 20 saat ini. Kata orang, sifat yang dibawa sampai umur 20 tahun itu akan sangat sulit untuk diubah.

“Dimana, ya?” Aiza, Wanita yang kini mengenakan sweatshirt biru dengan rok jeans Panjang dan juga tas gitar di punggung mengedarkan pandangan pada jalan raya di depannya.

Sore ini, Aiza sedang mencari toko alat music yang barus aja buka. Kabarnya toko alat music baru itu dengan mengadakan discount 50% sebagai grand opening.

Masih sibuk menyamakan Langkah kakinya dengan map ada di dalam ponsel pintar, tetesan air jatuh ke atas ponsel Aiza.

“Eh? Hujan?” Aiza mendongak ke arah langit. Benar saja awan gelap perlahan berselucur menggantikan posisi si putih.

“Eh? Ehh??” panik Aiza mulai menoleh kesana kemari mencari tempat berteduh karena hujan perlahan membesar.

Di sisi kanannya, ada sebuah minimarket yang sayangnya sudah penuh dengan ojol dan para pelanggan yang habis belanja. Di sisi kirinya ada ruko yang tutup tapi sudah ramai juga dengan para ibu sepertinya baru menjemput anak mereka.

“Mba!” dari belakang terdengar suara wanita memasuki indra pendengaran Aiza. Ah, ,memang banyak suara orang saat ini. Aiza terus menolehkan pandangan mencari tempat berteduh.

“Mba yang bawa tas gitar putih!” suara lembut yang agak berteriak itu Kembali memasuki indra pendengaran Aiza.

‘Eh- gitar putih?’

Aiza mulai menoleh kebelakang, memastikan warna tas gitarnya. Itu miliknya! Ia menggunakan tas gitar warna putih!

Aiza pun mulai membalik badan ke asal suara yang sebelumnya memanggil dirinya.

Wanita asing itu kini berdiri tepat berharapan dengan Aiza. Aiza mamatung, matanya berkedip beberapa kali. Sedari tadi ia sibuk mencari tempat berteduh, ternyata selama ini dirinya berdiri tepat membelakangi sebuah halte yang hanya terdapat satu orang saja di dalamnya.

“Sini!! Sini!!! Saya neduh sendiri,” tangan Aiza ditarik oleh wanita dengan pakaian dress floral yang terlihat anggun.

Aiza hanya menurut tanpa memberi respon atau sekedar senyuman. Dirinya masih tertegun.

‘Aku dari tadi nyari tempat neduh, padahal ada dibelakng sendiri. Malu bangeettt.’

Aiza menundukkan kepalanya dalam, kaki Wanita itu tidak berhenti untuk menghentak-hentakan tumitnya secara konstan.

“Ini Mba,” sebuah handuk kecil berwarna lilac mengisi pandangan Aiza.

Aiza pun mengangkat kepala dan menoleh pada Wanita dis ebelahnya. Kedua alis Aiza menukik tajam dengan pandangan menyipit, seperti memberi sebuah pertanyaan.

“Itu, tadi baju Mba-nya sempet basah, kan. Kena hujan. Kedinginan juga lagi,” Wanita dihadapan Aiza memperhatikan kaki Aiza yang terus berguncang.

Saat itu juga Aiza menghentikan kakiknya. Dengan cepat, Aiza mengambil handuk yang diberikan padanya.

“Mba, gapapa, kah? Saya bawa penghangat tangan kalau mau,” tawar Wanita itu yang mengeluarkan benda kecil berbentuk telapak tangan kucing memberikannya pada Aiza.

Aiza menggeleng, “Nggak, saya kuat dingin,” handuk yang diberikan mulai Aiza pakai untuk mengeringkan rambutnya.

 Wanita itu mengangguk pelan, “owh.. oke,” penghangat berbentuk telapak kucing itu akhirnya ia gunakan sendiri. Lampu berwarna biru perlahan menyala dari sela-sela paws bulat.

Hachi!” Aiza bersin. Dan Aiza terdiam. Perlahan ia menoleh pada Wanita di sebelahnya yang kini sambil tersenyum kembali menyodorkan si tangan kucing pemberi kehangatan.

“Saya kurang enak badan aja,” ujar Aiza ketus. Perlahan, tangan kanannya terangkat untuk mengambil tangan kucing itu.

Terdengar kekehan kecil dari Wanita di sebelahnya, “Tapi jangan pegang bawahnya-”

“Aw!” tangan kucing yang kini lampunya berwarna merah itu terlempar, untungnya jatuh di atas rok Aiza.

“Kamu gapapa?” Wanita asing itu mengambil pergelangan tangan Aiza melihat telapak kanannya yang sedikit memerah.

“Maaf-maaf, kalau bagian bawahnya disentuh bakal naik tingkat panasnya. Sebentar, ya,” masih dengan kedua telapak tangan Aiza yang terbuka, wanita itu mengambil sebuah handcream dari tasnya.

“Ini!” Wanita itu membuka handcream dan mengeluarkannya sedikit di atas telapak tangan Aiza yang kemerahan, “ini rasa mint, jadi ada sensasi coolingnya gitu.”

Dengan telaten Wanita itu meratakan handcream pada telapak sampai punggung tangan Aiza.

“I-iya, dingin,” ucap Aiza ragu-ragu, “Tapi, kita lagi ditengah hujan.”

“Oh, iya!” Wanita itu terlihat sedikit panik. Ia dengan hati-hati mengambil penghangat yang ada di tas rok Aiza lalu mengubahnya ke mode sedang, “Ini! pakai ini!”

Aiza Kembali mengambil penghangat itu, kali ini lebih hati-hati.

‘Ah, jadi begitu. Yang mengeluarkan hangat hanya sisi kanan kirinya, sedangkan bagian pinggir digunakan untuk mengatur suhu.’

Tanpa sadar kekehan kecil keluar dari mulut Aiza. Mengingat kejadian handcream beberapa menit sebelumnya, mengingatkan Aiza pada dirinya sendiri. Sepertinya merka berdua tidak beda jauh.

“Aiza,” Aiza mengulurkan tangan pada Wanita di sebelahnya, “Kamu.”

“Zabi. Salam kenal ya!” uluran tangan Aiza diterima dengan sangat baik.

Sedang asik keduanya saling memperkenalkan diri, tiba-tiba saja datang sebuah kilat yang segera disusul oleh dentuman menggelegar di langit. Aiza refleks segera memejamkan mata rapat-rapat sambil menunduk dalam.

“Kamu gapapa?” tanya Zabi dengan nada yang sangat panik. Tangannya mengelus lembut bahu Aiza.

Seketika, perasaan berat yang biasanya ada dalam dada Aiza menghilang. Seperti terbawa oleh angin yang sedang saat ini sedang berhembus sangat kencang.

“Kamu gapapa?” lagi, Zabi terdengar semakin khawatir. Perlahan, Aiza mulai mengangkat kepala melihat ke arah Wanita di sampingnya.

Hanya satu kalimat sederhana, tapi saat itu juga mata Aiza mulai memerah. Pandangannya menjadi kabur, detik berikutnya air mata mengalir deras tanpa bisa Aiza kontrol.

“Eh?”

“Eh?”

Bukan hanya orang Zabi, bahkan Aiza sendiri kebingungan.

“Ah,” Aiza mulai mengangguk perlahan. “Kaykanya, dengar kata-kata yang langka tiga kali berturut-turut. Aku belum sanggup,” anggukan dan air mata itu tidak kunjung berhenti.

“Eh?? Kenapa? Cerita aja sini?? ” panik Zabi karena kini Aiza tidak berhenti mengangguk, airmata terus mengalir dengan bibir yang merekah lembut.

----

"Aiza, tas gitarnya gapap didudukin gitu?" Zabi menunjuk tas gitar yang masih melekat pada punggung Aiza dan bagian bawahnya Aiza duduki.

"Loh?" Aiza segera bangun, ia melepaskan tas gitarnya. Dengan cepat Aiza membawa tas itu kehadapnnya lalu membuka resleting gitarnya.

Kedua matanya terbelalak, "Loh?" Dengan kedua mata terbuka lebar dan raut wajah yang panik, Aiza menatap Zabi lekat-lekat. "Gitarku mana??"

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi