Disukai
2
Dilihat
3,128
Day to day
Slice of Life

Tetesan air keran menggema. Lampu tidur kubiarkan tak bercahaya. Jendela pun terlalu lelah kututup hingga bias rembulan masuk menemaniku. Dingin malam berhembus, menusuk rasa indera yang perlahan mulai terasa kebas. Aku terjaga kembali malam ini.

Jam dinding juga mulai berbisik mengganggu. Perlahan aku merubah posisiku, lemah. Kantuk yang terus berkunjung tetapi kepala mengajak berdansa, berbincang, terlalu ramai untukku yang ingin semuanya berhenti. Aku lelah. Sekali lagi lelah.

Entah beberapa kali suara-suara mengganggu hingga aku tak menyadari bias cahaya merambat kakiku. Hangat tetapi juga asing. Aku membuka mata yang entah pukul berapa menutup. Matahari mulai menunjukkan diri ternyata.

“Sampai kapan kamu mau tidur?”

Teguran itu membuat aku menggerakkan kepala. Pusing. Entah karena terbangun tiba-tiba atau karena terlalu banyak tidur. Ibuku disana bersandar pada pinggir pintu, menyilangkan tangan di dada dan menatapku yang hanya memberikan gerakan kecil di atas tempat tidur.

“Bangunlah! Sarapan sudah siap.” Ucap ibuku sebelum beranjak pergi.

Hanya gumaman yang keluar dari tubuhku. Dua hari sudah aku membiarkan diriku terbaring di tempat tidur. Terlalu berat untuk mengajak diri meninggalkan tempat tidur. Terlalu sulit rasanya memulai aktivitas, untuk hal sederhana beranjak ke kamar mandi pun terasa sangat berat.

Kusapu wajahku dengan kedua tangan. Hariku dimulai dengan rasa yang tak bisa diungkapkan dengan kata sederhana. Dunia seakan berlari, dan aku berdiam diri. Layaknya ranting pohon yang terjatuh dari batangnya, menatapnya tumbuh hijau dari bawah, dan menunggu diri untuk tersapu.

Hembusan napas kukeluarkan. Hari ini aku harus mencoba setidaknya sekali lagi, untuk hidup. Tetapi, hidup untuk apa?

Kakiku kugerakkan perlahan-lahan, tubuh kuangkat hingga menjadikanku berubah posisi menjadi duduk dipinggiran kasur. Sesak. Nafasku tercekat merasakan beratnya beranjak. Tangan dan kepalaku seakan tak ada tenaga, lemas. Kepalaku menunduk, menghembuskan napas sekali lagi.

Perlahan jari-jari kakiku menginjak lantai kamar yang cukup dingin karena kubiarkan semalaman dengan jendela terbuka. Aku meringis sensitive akan sensasi yang menjalar di badanku. Rasanya hari ini akan menjadi hari yang sangat melelahkan untuk memulai kegiatan.

Aku mengangkat tubuhku, berjalan perlahan menuju kamar mandi di luar kamar. Jarak dekat yang terasa sangat jauh untuk kuberjalan. Aku biarkan waktu menghitung habis waktu yang bisa kupergunakan.

*

“Lama banget mandinya.” Komentar ibuku yang sedang mengoleskan roti dengan selai. Aku yang sudah selesai bebersih pun mendudukkan diri ke kursi di ruang makan, mencoba sebisa mungkin terlihat biasa di depan ibuku, walau gagal.

Komentar itu tak kubalas. Mataku hanya melihat sosok ibu yang sedang mengoleskan roti tersebut. Aku terus mengamati hingga teguran kesekian terlontar kembali.

“Makan nasi-nya. Kalau mau roti sehabis kamu makan nasi ya, dari kemarin makannya kamu sedikit.”

Aku mengangguk merespon ucapannya, mengambil nasi secukupnya dan mencoba mengunyah makanan tersebut sebisa mungkin.

“Hari ini aktivitasmu apa?”

Pertanyaan, kali ini aku harus menjawab.

“Di rumah aja, Bu. Cari-cari lowongan kerja lagi.”

Ibuku sebagai satu-satunya kepala keluarga dengan satu anak perempuan di rumah ini memberhentikan aktivitasnya.

“Mau jalan-jalan sama Ibu?”

Gelengan kuberikan diikuti suapan kesekian yang masuk ke mulutku, dipaksakan.

“Istirahat sejenak, Sayang.” Ucap ibuku melembut. Aku menatapnya, membuat kontak mata kami saling baradu. Tatapannya jenuh, membuat mataku berkaca-kaca hingga akhirnya kutundukkan pandangan untuk menghilangkan emosi yang mulai menaik.

“Jangan terlalu keras sama dirimu, gak apa, kamu udah berjuang dengan baik ya.”

Tetesan air mata jatuh ke piring makan. Aku mengeluarkan satu isakan sekali, lalu pura-pura tersedak untuk mengalihkan diri dari semua rasa emosional ini. Rasa lapar yang tak ada sejak awal membuatku semakin tidak berselera makan. Fokusku teralih pada emosi yang semakin tidak karuan.

“Maaf, Bu.” Maaf tidak bisa menjadi anak yang dapat diandalkan seperti keluarga-keluarga lain di luar sana. Tentu kalimat lanjutan barusan tidak kuucapkan secara terang-terangan. Ibuku hanya mengambil lenganku dari seberang meja.

Take your time.”

Anggukan aku berikan. Diam-diam aku menarik napas dan menghembuskannya untuk membuat diriku tidak jatuh menangis. Akan lucu jadinya kalau aku menangis karena perhatian yang ibuku berikan pagi ini, kalau benar masih bisa disebut pagi hari.

*

Tanpa terasa setengah jam telah berlalu. Ibu sudah pergi ke tempat kerjanya. Aku duduk di depan layar yang bernyala terang, entah harus melakukan apa dengannya. Layar monitor dari komputer hanya menampilkan sederet lowongan pekerjaan yang ku-anggurkan. Mataku menunduk, dua tahun sudah berlalu, aku jadi benalu. Tetesan air mata lagi-lagi keluar tanpa permisi.

Suara dering telepon mengalihkan perhatianku. Satu isakan keluar sebelum kuangkat telepon itu.

“Halo?” sapaku kepada seberang telepon, ragu dan penuh tanya karena nomor asing yang tak dikenal.

“Hai anak cantiknya Ayah.”

Jawaban itu membuat aku ragu. Haruskah aku menetap dan mendengar? Haruskah aku segera tutup teleponnya?

“Apa kabar?”

Pertanyaan yang disusul ini sedikit membuatku muak sesaat. Pertanyaan sederhana yang tak bisa kujawab dengan baik-baik saja.

“Baik, Ayah bagaimana?”

Bohong. Setidaknya jawaban itu bisa menghasilkan kurangnya pertanyaan lebih lanjut yang tidak ingin aku bahas.

“Baik juga, Ayah sedang ada kerjaan di dekat rumah, mau bertemu?”

Tidak.

“Hm, sepertinya kalau hari ini, aku kurang bisa, Yah.”

“Hm, Ibu ngelarang ya?”

Bukan. Selalu seperti ini. Dugaan buruk.

“Bukan kok, akunya lagi ada yang dikerjain aja.”

“Oh…. Yaudah, kapan-kapan kita ketemu ya. Semangat kerjanya, Cantik.”

Selesai sudah percakapan itu ditandai dengan panggilan yang terputus. Aku menghela napasku. Perceraian yang kudukung dulu ternyata tidak bisa membuat aku seimbang untuk memberikan waktu kepada mereka yang mungkin rindu kebersamaan dengan anak mereka satu-satunya. Bagaimana membagi waktu, untuk diri sendiri saja aku sulit.

Aku kembali menatap layar yang masih terang benderang menyilaukan mataku yang mulai terasa sensitif. Aku kecilkan cahayanya dan kumulai ritual ku kembali. Melamar pekerjaan apapun yang sekiranya dapat menyibukkan diriku.

*

Tertidur. Angin sore berhembus menyentuh kulitku. Aku bergerak, merenggangkan badan yang tidak bisa dikatakan dalam posisi nyaman saat tertidur tadi. Aku terpaku sejenak menatap jam dinding yang semakin hari, semakin terasa cepat berputar. Aku memindahkan diri ke atas ranjang. Hening. Tanda bahwa belum ada siapapun di rumah. Ibu belum pulang.

Makan siang yang tak sengaja terlewati tetap tidak membuat aku merasa lapar sedikitpun. Detik demi detik yang menggema ditelingaku memberikan sensasi cemas. Aku cemas akan apa yang terjadi esok hari. Apakah aku akan tetap tertidur di atas ranjangku? Apakah aku akan menghabiskan waktu di kamar seperti ini? Tetapi pergi keluar pun membayangkannya saja melelahkan.

Aku kembali larut akan segala kemungkinan kan beribu skenario terburuk. Hidup terasa semakin berat dijalani. Aku menghindar dari dunia, takut bertemu orang lain dan berbasa-basi menanyakan kabar serta statusku. Tentu, kuhentikan pemakaian gadget untuk bersosialisasi. Temanku tidak banyak, jadi tidak masalah seharusnya. Mereka tidak akan mencariku.

Pertemuan dengan tetangga pun rasanya enggan. Bisikan dan lirikan meremehkan seperti kembali berkunjung dalam kepalaku. Takut. Aku takut menghadapinya. Sudah cukup aku yang menyakiti diri dengan terus menerus merasa tidak berarti seperti ini. Tidak perlu ada tambahan dari orang lain lagi. Cukup.

Langit senja menembus jendela kamar. Aku melihatnya nanar. Indah tapi tak menggugah hasrat untuk kulukis ulang seperti dulu. Dulu sekali, ketika aku masih menyukai dunia melukis. Sekarang yang tertinggal hanya tubuh tanpa asa. Kalut, tentu. Tetapi semua kekalutan itu terkalahkan akan rasa yang menipis. Aku mulai lelah dan rapuh untuk merasakan keindahan dan kenikmatan dunia. Aku kehilangan diriku yang dulu.

Isakan tangis lagi-lagi mengudara. Aku lelah. Aku ingin istirahat dari semua abu-abu ini. Aku ingin menyerah. Layaknya melarikan diri ke tempat yang lebih baik. Bukan dunia ini.

Aku berbaring, menangis dengan meredam suara di bantalku. Teriak isaknya tertutupi. Tentu aku tidak tahu kalau sudah ada sepasang telinga yang mendengarnya. Ibu berdiri disana tanpa ku ketahui. Lelehan air matanya ikut turut mengimbangi irama tangisku. Aku bukan orang yang pandai berkata-kata dan ibuku memahami itu. Dirinya memahami bagaimana aku bukanlah seseorang yang mudah mengekspresikan diri. Pilu hati berbagi.

*

“Hari ini kita keluar, yuk!” ajak ibuku santai di keesokan paginya. Aku yang sedang menyantap makanan pun berhenti sejenak. Tatapan yang bertemu. Senyuman salah satunya memberikan sedikit sensasi hangat dalam hatiku.

“Kita jalan-jalan seharian dan mm-mm, tidak ada kata penolakan!”

Ucapnya valid dan penuh keyakinan diri. Aku termenung dan hanya mengangguk. Pasrahkan diri kepada ibuku dan membiarkannya bersenang-senang barang sejenak.

Tangannya mulai sibuk membereskan beberapa perlengkapan yang kutebak akan menjadi persediaan kita berpiknik. Aku tidak menanyakan kemana dan apa yang akan dilakukan. Aku hanya diam menatap gerak-geriknya setelah usai dengan sarapan yang kumakan sesedikit mungkin, tak berselera.

Ibuku menghadap diriku, menundukkan kepala sedikit dan menggenggam pundakku, meremasnya pelan.

“Sekarang kamu ganti baju, trus kalau udah cantik, kita jalan ya.”

Aku mengedipkan mata. Tetap, kuikuti perintahnya layaknya boneka, berganti baju. Cantik yang ibuku maksud bukanlah perihal make up dan segala macamnya. Setidaknya aku sudah berpakaian senyamanku dan bersiap diri untuk pergi.

Aku keluar kamar dan menghampiri ibuku yang menunggu di ruang tamu, masih dengan tatapan dan senyuman hangatnya.

“Sudah? Kalau begitu ayuk kita jalan!”

Tanganku menggapai beberapa bawaannya untuk kubantu bawa. Lalu, langkah kami berdua pun keluar, sambil menutup daun pintu, meninggalkan rumah.

*

Daun kering kutemui dengan beberapanya melayang hingga kelopak-kelopak bunga juga menghujaniku. Taman. Tempat yang sederhana untuk piknik. Taman yang cukup luas ini ibuku pilih, dan sekarang beliau sedang membuka beberapa cemilan dan makanan yang sempat disiapkannya.

“Cantika Delisha.”

Panggilan ibuku mengecoh pandanganku yang asyik menatap warna hijau disekelilingku. Ibu sangat jarang memanggilku dengan nama yang lengkap. Aku menatapnya, menunggu kelanjutan ucapan yang akan keluar dari bibirnya.

“Kamu tahu arti namamu?”

Aku berpikir. Rasanya sangat jarang aku mempertanyakan namaku dan belum pernah aku menanyakannya secara terang-terangan arti nama tersebut. Gelengan akhirnya menyusul, menjawab pertanyaan ibuku.

“Cantika itu mewakili gadis yang cantik.” ucapnya sambil mengelus rambutku lembut.

“Sedangkan Delisha…” tatapan ibuku beradu denganku, ada jeda disana yang disempatkan ibuku untuk menatapku sendu. “Delisha mengartikan kebahagiaan. Harapan Ayah dan Ibu dulu ketika memberi nama untukmu adalah menginginkan anak perempuan kami yang lahir dengan cantik, akan menjadi sosok gadis yang bahagia dan memberikan kebahagiaan untuk orang lain disekitarnya."

Aku menangis. Tidak peduli dengan orang-orang di sekitar taman, tetapi aku langsung memeluk pinggang ibuku dan menjatuhkan kepala dipangkuannya. Ibu tetap mengusap kepalaku lembut, hati-hati dan penuh kehangatan.    

“Jangan jadikan namamu ini beban ya, kamu tidak perlu harus membahagiakan orang-orang disekitarmu, yang terpenting sekarang adalah kamu bahagia, cantik.”

Aku mengangguk dipangkuannya. Kupeluk erat ibuku yang kali ini meluangkan waktunya untukku. Tangannya masih terus menyisir surai kepalaku, sedangkan aku menangis di pangkuannya hingga terhenti, terlelap, tidur dengan rasa aman.


Fin

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi