Disukai
1
Dilihat
861
KABUT MERAH
Thriller

Ketika berpikir kematian, aku merasa ngeri. Membayangkan bagaimana rasanya nyawa ini sedang meregang, detak jantung yang berisik sedang dipaksa untuk diam, muka memucat dan memudar. Puncak dari kesakitan yang mendatangkan suara raungan seakan sedang dikuliti hidup-hidup. Roh yang bersemayam pada jasad sedang ditarik keluar dengan tidak santun. Sisa detik yang ada dan setiap napas yang berembus menjadi sesuatu yang sangat mewah. Aku anggap mati adalah sebuah akhir yang mutlak dari eksistensi yang hidup. Kenyataan ironis, Semua orang di dunia sedang menunggu giliran. Seolah-olah kita telah memiliki nomor urutan untuk dipanggil. Berapakah nomormu? Tidak tahu? Tapi, aku tahu.

Sebut saja Pak Ahsan, ia adalah tetanggaku yang beprofesi sebagai dokter di sebuah rumah sakit swasta, seorang dokter yang andal dan berintegritas. Pak Ahsan adalah contoh orang yang sebentar lagi akan berpamitan dengan dunia ini. Tidak, aku tidak sedang membual. Sebentar lagi rohnya akan terlepas dari raganya. Itu terlihat jelas!

Esoknya, aku mendengar dari ayahku bahwa Pak Ahsan dikabarkan telah berpulang ke sisi Tuhan. Menurut keterangan, ia menjadi korban tabrak lari mobil yang melaju ugal-ugalan. Meski telah mendapatkan pertolongan medis secepat mungkin, itu sudah terlambat. Rohnya lebih dulu meninggalkan sangkarnya. Yah, seperti yang sudah kukatakan. Pak Ahsan akhirnya meninggal, bukan?

***

 

Bendera putih bergerak mengombak di depan rumah kediaman Pak Ahsan. Saat ini, aku dan keluarga tengah pergi melayat ke rumah duka. Sebagai tetangga, sebenarnya kami ingin ikut mengantarkan almarhum ke peristirahatan terakhirnya, namun tidak sempat.

Ramai orang duduk di kursi plastik yang telah disediakan di bawah terop yang memanjang. Aku melihat sanak saudara dan para tetangga terus menghibur, melakukan peran mereka sebisa mungkin.

Di saat ayahku berbicara dengan keluarga yang berduka, aku memilih duduk di pojok dekat tirai. Suasana begitu kikuk. Kuintip layar smartphone-ku di saku dan segera kumatikan nada suara yang bisa berpotensi mengganggu keheningan pilu di sini.

“Dimas, kenapa bengong?” sapa seseorang tiba-tiba.

“E-eh, Kak Tari,” aku menoleh kaget.

Perempuan yang mengenakan setelan baju hitam itu tak lain adalah putri Pak Ahsan yang paling bungsu.

“Aku turut berduka, Kak. Yang tabah ya,” sambil menggenggam tangannya.

“Terima kasih, Dim.”

Sebenarnya aku ingin memberikannya dukungan moral. Tapi, perempuan itu tenang seperti biasa, sambil sesekali tersenyum padaku. Akhirnya aku memilih untuk tak mengungkit kejadian yang barangkali ia tidak ingin mengingatnya. Di samping itu, aku lebih muda darinya, hanya seorang anak SMA yang berumur tujuh belas tahun, aku tidak mau terlihat sok bijak dengan memberikan nasihat-nasihat bodoh yang tidak terlalu berguna baginya.

“Maaf, Kak, aku sekeluarga baru pulang dari rumah Kakek, jadi baru bisa ke sini sekarang.”

“Nggak apa-apa, Dim. Kamu datang aja aku udah senang,” ucapnya.

Namun, dalam suasana berduka seperti ini, gadis itu masih bisa melepas senyumnya. Kemana perginya tangis kemarin? Aku tidak tahu jika Kak Tari setegar itu. Setahuku kaum perempuan sisi emosinya lebih tinggi, perasaannya jauh mendominasi. Tapi, apa yang kulihat dari dirinya nampak baik-baik saja. Atau... atau Kak Tari sedang menyembunyikan kesedihannya dan ia memilih untuk tidak memperlihatkan wajah lukanya? Entahlah. Pikiranku berakhir dengan menebak-nebak.

                                                                       ***

 

Saat ini aku sedang berjalan di area komplek, menapaki jalanan beton di bawah atap langit hitam dan aroma malam yang khas. Terdengar sekumpulan orang berbincang di teras rumah, gelak tawa akrab dari para orang tua paruh baya. Orang-orang berlalu lalang memasuki gang komplek perumahan. Suara-suara berisik kucing di atas genting.

Aku tidak sengaja memandang ke arah seorang kakek tua yang hendak masuk ke rumahnya. Ia mengenakan tongkat dan berjalan bungkuk.

“Kasihan. Kakek itu sebentar lagi akan meninggal. Semoga tenang di alam sana, Kek,” ujarku pelan.

Kemudian aku berjalan lagi. Dua anak kecil berlarian melewatiku dari belakang. Sambil saling memanggil satu sama lain dengan nada ceria khas anak-anak. Lalu mereka hilang setelah berbelok di persimpangan gang.

“Entah apa yang akan terjadi. Yang jelas dua anak tadi tidak lama lagi hidup di dunia ini,” aku menggeleng sedih.

Mengapa aku harus melihat pemandangan tidak mengenakkan itu lagi?

Hidupku bukanlah seperti orang biasa pada umumnya. hidupku ini abnormal, mungkin lebih tepatnya mengerikan. Aku memiliki sebuah rahasia yang tertutup rapat tidak diketahui oleh siapapun. Ya, aku yang berumur tujuh belas tahun ini, memiliki kemampuan aneh, yaitu bisa mengetahui kematian seseorang.

Aku sudah lupa sejak kapan kemampuan ini muncul. Yang pasti ini bukanlah bawaan dari lahir. Karena sebelumnya aku hanya anak-anak normal pada umumnya tanpa kekuatan aneh ini. Seperti angin yang tiba-tiba berembus padaku, kemampuan ini juga datang begitu saja.

Mudah saja, dalam pandangan mataku ini setiap orang memiliki tanda warna. Hanya ada dua warna, hijau dan merah. Warna ini berada di atas kepala setiap manusia, berbentuk kabut yang bergerak-gerak. Warna hijau adalah tanda untuk orang-orang yang masih hidup dan warna merah adalah tanda akan datangnya kematian. Ketika terjadi perubahan hijau menjadi merah, artinya orang itu sebentar lagi bertemu dengan ajal. Dan biasanya tepat. Selalu tepat.

Aku bertanya-tanya mengapa aku diberi kemampuan ini? Atas dasar apa aku dijadikan seorang anak yang berbeda? Apa tujuannya? Pertanyaan-pertanyaan dalam batin yang terus bermunculan dulu sekali. Awalnya aku ketakutan setengah mati, bahkan saking takutnya aku tak berani menceritakan pada siapapun, termasuk Ayah dan Ibu. Sampai kini pun masih membuatku bergidik melihat orang-orang mati satu persatu tanpa bisa berbuat apa-apa. Untung saja aku tidak sampai dibuat gila karena ini. Bukankah itu petunjuk yang mengerikan? Orang waras mana yang ingin tahu petunjuk kematian orang lain? Justru sebaiknya kematian tidak perlu diketahui. Sungguh aku tidak ingin tahu. Sama sekali.

Seolah-olah aku sedang dipermainkan oleh takdir. Apakah kematian adalah sebuah permainan? Aku pemainnya dan kematian adalah papan permainannya. Tapi, sebagai pemain yang mengetahui kapan seseorang mati, lantas aku bisa apa? Sang takdir seakan-akan tersenyum melihatku yang tak bisa berbuat apa-apa. Jujur saja, ini sangat menjengkelkan!

Tempo hari pun sama, ketika melihat kabut warna merah milik Pak Ahsan, aku hanya bisa terdiam. Sekali lagi, aku bisa apa? Kematian adalah kenyataan mutlak yang tak bisa dicegah. Kemampuan ini sangat menggangguku. Hidupku tak pernah tenang sejak kekuatan ini muncul.

“Mau kemana?” tanya seseorang tiba-tiba.

Sosok itu sudah di depanku, menghadangku. Aku sama sekali tak sadar dengan kehadirannya. Wajah yang ramah yang menyejukkan mata. Rambutnya tergerai panjang mempesona dan tanpa menyentuhnya pun aku tahu jika itu sangat halus. Sosok yang berdiri itu adalah Kak Tari.

“A-anu… cuma jalan-jalan malam,” jawabku. “Kalau Kak Tari baru dari mana?”

“Habis belanja dari minimarket depan,” sambil memperlihatkan tas plastik bawaannya.

“Cuma pakai kaos begitu apa nggak dingin? Nanti kena flu.”

“Wah, perhatiannya kamu, Dim. Mirip mantanku,” gurau Kak Tari. “Dingin sih, makanya ini cepat-cepat mau pulang.”

“Kalau gitu ini pakai jaketku,” serta-merta aku melepaskannya.

“Apaan sih, Dimas. Berhenti niru-niru adegan drama Korea deh. Beberapa gang lagi juga sampai, aku nggak selemah itu. Hahaha.”

Kak Tari melewatiku sambil berkata, “Aku duluan ya. Da-daah.”

Namun, bersamaan dengan itu mataku menemukan perubahan seketika. Mataku yang aneh ini kembali beraksi. Oh tidak, jangan dia! Warna kabut hijau yang melayang-layang di atas kepala Kak Tari serta merta warnanya berubah menjadi merah darah. Warna merah tanda kematian yang tak bisa ditolak oleh siapapun. Mataku membelalak serasa ingin menyangkal apa yang baru saja kulihat. Aku terkaku, mematung, melihat gadis itu berjalan dan semakin menjauh. Haruskah Kak Tari ... jangan! Jangan dulu! Tanganku langsung gemetar sendiri membayangkannya.

Entah kekuatan apa yang mendorongku, kakiku langsung melompat dan berlari mengejar mahasiswi semester empat itu.

“Kak ...! Kak Tari!!” teriakku sembari berlari panik. “Kak ......!!”

Kulihat dia menghentikan langkahnya dan menoleh.

“Iya… kenapa, Dim?” tanyanya heran. “Kok kayak ada yang gawat?”

Aku mengatur napasku. Setelah berdiri di depannya aku justru bingung tindakan seperti apa yang harus kuambil. Secara aku tidak tahu kapan dan di mana Kak Tari akan meninggal. Kemampuanku ini hanya memberikan kode, namun tidak memberi detailnya. Apa aku harus menceritakan kebenarannya pada Kak Tari? Memangnya siapa yang mau percaya? Dia hanya akan tertawa lebar atau mungkin marah karena candaanku tidak lucu. Jika dia percaya dan menjadi takut, hal itu hanya malah menambah pelik masalah. Tidak adakah jalan keluar? Aku obrak-abrik rambutku kesal.

“Lho, kok malah diam? Ada apa sih?” Kak Tari menanyakan lagi.

“A-anu ... Itu, Kak ....”

Aku tak berani menatap mata perempuan itu. Aku tak ingin memperlihatkan wajahku yang bingung, takut, khawatir, berpadu jadi satu. Sedangkan asap warna merah itu sangat nyata di penglihatanku. Yang bisa kulakukan hanya menunduk sambil berkeringat dingin. Pikiranku buntu.

“Emm ... emm… gi-gimana kalau pulang bareng? A-aku juga udah mau pu-pulang,” hanya itulah kalimat yang keluar saat ini. Aku mencari-cari alasan agar bisa bersamanya.

“Ooh, kirain apaan. Dasar Dimas aneh!” ucapnya geleng-geleng sambil menoreh senyum.

Kak Tari mengerutkan kening. Mungkin ia sedikit menyadari gelagat anehku. Ia kemudian mengembuskan napas panjang.

“Setelah Papa pergi, rasanya aku juga ingin mati,” kata-kata itu keluar begitu saja dari bibirnya.

“Ap-apaan sih, Kak!? Kok tiba-tiba ngomong gitu? Ngawur!! Jangan ngomong sembarangan!!” hardikku segera. Aku tak percaya kalimat itu bisa terlontar darinya. Jangan-jangan itu adalah isi hatinya yang sesungguhnya setelah kepergian Pak Ahsan. Ketenangannya yang terlihat adalah tirai sempurna dari perasaan tertekannya. Orang tidak akan mengucapkan kalimat itu jika tidak sangat-sangat depresi.

Namun, dengan cepat ia mengganti mimiknya lagi, tertawa geli. “Iya, maaf-maaf. Tadi cuma asal bicara.”

“Te-tetap aja! Aku nggak mau dengar kalimat itu lagi!”

“Iya, iya, maaf. Wajahmu lucu kalau serius.”

Aku jadi malu sendiri. Tapi, ini memang bukan saatnya untuk bercanda. Tidak tahukah dia jika aku gemetar mengkhawatirkannya? Jika saja Kak Tari tahu sisa detik-detik hidupnya akan sangat berharga mulai kini. Aku memang menyukainya. Namun, rasa sukaku ini bukan sebuah emosi cinta terhadap seorang perempuan. Aku peduli padanya karena dia sudah seperti kakakku sendiri. Dan sebagai adik, aku ingin melindunginya sebisa mungkin.

Aku membelalak, kabut warna merah di atas kepala Kak Tari semakin pekat. Warnanya menyala-nyala seakan mau meledak. Apakah batas hidupnya kian dekat? Apakah kini sudah saatnya? Aku semakin panik. Mataku tak berhenti menoleh kanan-kiri, melihat sekeliling. Kematian seperti apa yang akan terjadi? Bulu kudukku berkibar tak mau berhenti.

Derap sepatu yang tergesa-gesa mendekat ke arah kami dari belakang. Sosok itu terus mendekat dengan setengah berlari. Aku berhenti melangkah dan terkesiap, ada seorang lelaki mengenakan hoodie coklat tengah membawa martil besi. Ia semakin dekat dan matanya tajam bagai seorang pemburu. Ini sama sekali tidak benar. Kabut merah Kak Tari terus menyala.

 “A-awaaaas, Kak ...!!”

Saat jangkauan sudah di depan mata, ia mengayunkan martilnya bersiap memukul, dengan reflek aku menghalangi dengan mendekap orang itu. Kak Tari terhenyak melihatnya, hanya bisa mematung melihat peristiwa secepat ini. Dugaanku benar, yang ia incar adalah Kak Tari.

“Tari ... namamu Tari kan!? Kau harus mati! Mati!!” suara yang menggeram itu menakutkanku. Aku masih menahannya.

Segera saja Kak Tari menjerit antara bingung dan ketakutan, “Aaaaaaakkh!! To-tolooooong!! Tolooooong…!!”

Lelaki itu menghempaskanku ke tanah dengan kekuatannya, lalu menatap beringas ke arah incarannya. Mulutnya menyeringai senang mengetahui kelinci buruannya menggigil tak ada daya untuk berlari. Teriakan Kak Tari semakin melengking saat martilnya hendak mengenainya, di saat itulah aku bangkit dan menubruknya sekuat yang kubisa. Kepala lelaki itu berbenturan dengan tiang listrik, terdengar suara yang cukup keras. Orang itu jatuh terkapar.

“Dim-Dimas ....”

Aku mengatur napasku yang memburu. Kami berdua masih menggigil dengan keadaan ini, kemudian orang-orang pun datang bergerombol karena mendengar suara teriakan. Bibir Kak Tari belum mengatup. Ekspresi wajah yang menggambarkan ketidakpercayaan atas apa yang terjadi, sungguh tak menyangka ada orang yang entah dari mana datang mengincar nyawanya.

Orang-orang meminta kejelasan, peristiwa apa yang menimpa kami berdua sembari menunjuk siapa lelaki yang terbujur pingsan itu. Aku pun menguraikannya dengan terbata-bata. Mengapa ia ingin sekali mencelakai, ah, lebih tepatnya membunuh Kak Tari? Tubuhnya memang tidak terlalu kekar, namun tenaganya kuat sekali. Aku tak pernah melihat sorot mata sedingin itu, kupastikan siapapun yang menatapnya akan merasa terintimidasi seolah-olah nyawanya sedang terancam.

“Di-Dimas, kamu nggak apa-apa?” suara bergetar dari Kak Tari.

“Ya, aku baik-baik aja,” jawabku sambil tersenyum kaku.

Saat itu juga mataku melotot, aku terlompat kaget dengan kenyataan yang kudapatkan. Masa krisis sudah terlewati. Sepertinya aku telah menggagalkan takdir yang digariskan. Warna kematian Kak Tari sepenuhnya hilang! Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, sungguhankah ini? Warna yang kutemui sekarang adalah warna hijau yang cerah. Air mata menggenang di pelupuk. Sesuatu yang buruk itu telah pergi.

Sebuah kemajuan yang menakjubkan untuk mengetahui misteri mataku ini. Sedikit lebih banyak aku mulai mengerti.

***

 

Setiap pagi aku melihat cermin. Sekedar memeriksa apakah warna hijau di atas kepalaku masih sama. Hari ini pun tetap hijau, belum berubah, dan kuharap jangan pernah. Aku bisa menyebut ini adalah senjata makan tuan. Tidak hanya mengetahui kematian orang lain, diriku sendiri ini pun tidak luput dari itu. Sungguh menakutkan jika kita bisa tahu kapan diri ini akan mati, bukan? Setidaknya ada yang sedikit menghibur. Ya, peristiwa kemarin. Perubahan warna merah menjadi hijau kembali. Aku baru tahu itu. Aku kira indikasi warna merah adalah mutlak yang tak bisa dirubah-rubah lagi. Aku simpulkan, dengan pencegahan yang tepat, aku bisa menendang kematian itu jauh-jauh. Apakah akhirnya aku tahu cara bermain yang diberikan oleh sang takdir? Karena hanya aku yang bisa melihat perubahan itu, artinya hanya aku yang bisa mencegahnya. Hanya aku.

Di hari minggu ini kami sekeluarga tengah bersiap-siap untuk pergi menghadiri acara resepsi saudara. Terdengar suara Ayah dari bawah, “Dimaaas, ayo berangkat!!”

Aku pun segera turun dari lantai dua. Semuanya terlihat sudah siap.

Kala itu Ayah yang menyetir sambil mendendangkan lagu. Adikku yang masih balita duduk bersamaku di belakang, dan Ibu berada di depan sedang membalasi chat yang masuk di smartphone-nya. Mobil kami sudah melaju dengan kecepatan rata-rata.

Tiba-tiba aku terkinjat! Lagi-lagi apa yang kutakutkan muncul. Mata ini kembali berulah! Dua detik kemudian, mentalku kembali dibuat kacau dengan mata keparat ini. Sekejap saja warna mereka bertiga berganti menjadi merah kelam. Kabut merah kematian tampak beterbangan di atas kepala mereka. Lidahku kelu, air mataku jatuh menetes dengan sendirinya. Sisi emosionalku semuanya keluar diiringi ketegangan yang sulit diungkapkan. Bayangan ketakutan ditinggalkan keluarga tercinta tergambar jelas. Di saat aku akan berteriak, tak sengaja aku melihat kaca spion dalam, melihat diriku sendiri juga dihiasi kabut merah yang menyeramkan. Mobil terus berpacu di jalan raya membelah angin.

“Ayah! Ayah! Berhenti, Yah...!! Berhenti!!”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Thriller
Rekomendasi