Seharusnya Aku Tidak....

“Kak, tangkap kucingnya!” seorang gadis berseru pada gadis lainnya yang sepertinya adalah kakak kandungnya. Wajah mereka sangat mirip.

Yang ia maksud kucing adalah sebuah robot kucing yang sederhana. Robot kucing itu hanya bisa berjalan maju. Sang kakak tidak merespon, ia fokus kepada buku yang ia baca. Berdiri di dekat tepian, bersandar pada kursi kayu yang telah hilang alas duduknya, menyisakan kerangkanya saja.

Aku menyesap kopi. Kuamati mereka dari rooftop bangunan tempat tinggalku. Hanya bangunan 4 lantai. Satu lantai terdiri dari 3 flat. Sementara dua gadis itu ada di rooftop salah satu gedung sekolah menengah pertama, yang tidak memiliki pagar pembatas.

Aku memang duduk menghadap bangunan sekolah, bangunan tempat tinggalku bersebelahan dengan sekolah tersebut.

“Ayah.” Si adik melambai ke arahku.

Saat aku menengok, ternyata ada seorang lelaki berkumis berdiri tidak jauh dari ku. Kusimpulkan bahwa dua gadis itu tinggal di bangunan yang sama denganku.

Sang ayah balas melambai sambil tersenyum tipis.

Si adik kembali mengejar kucing. Sang kakak masih sibuk dengan bukunya.

“Kakak tangkap aku!” si adik berlari ke arah kakaknya, sambil merentangkan tangan.

Ketika si adik sudah dekat, tinggal selangkah lagi, sang kakak menepisnya, dan menghindar. Naas, si adik tidak siap.

“Aaaarrrggghhh.” Aku berteriak histeris.

Braaakkk.

Suara yang memilukan.

“Aaaarrggggghhh” suara histeris terdengar bersautan di sana.

Si adik terjatuh dari rooftop. Kepalanya membentur vas bunga besar. Darah merembes dari tubuh dan kepalanya.

Kini sang kakak hanya terdiam. Masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia tak bermaksud menyakiti si adik.

Sang ayah yang berdiri di dekatkupun membeku untuk beberapa saat. Hingga akhirnya ia tersadar dan berlari turun. Aku mengikutinya. Meninggalkan gelas kopiku begitu saja.

Di tempat si adik terkapar, sudah ramai orang mengerubungi. Termasuk sang kakak yang masih menggenggam bukunya. Aku tidak tahu seberapa parah si adik. Namun darah yang keluar sangatlah banyak. Aku memalingkan wajah karena tidak sanggup melihatnya.

Sang ayah membebat luka di kepala si adik dengan kain yang entah ia ambil dari mana.

“Aku punya mobil. Biar kuantarkan ke rumah sakit.” Tawarku tanpa pikir panjang.

Kampung ini sangat jauh dari kota. Tidak ada dinas kesehatan yang memadai, juga tidak ada ambulans.

Sang ayah langsung membopong tubuh putrinya menuju mobilku. Aku yang akan menyetir.

Kami pergi berempat saja. Aku, sang ayah, kakak, dan adiknya yang berdarah-darah.

Aku menyetir dengan sedikit gemetar. Saat di tengah jalan, sang ayah memitaku berhenti. Ada satu bangunan di depan, samping kanan kiri hanyalah persawahan. Sang ayah membopong putrinya keluar dari mobil menuju rumah tersebut. Sang kakak mengikuti dengan bingung. Aku lebih bingung lagi.

Kutunggu beberapa menit, mereka tak kunjung kembali. Kuputuskan untuk menyusul. Meninggalkan mobilku yang jok belakangnya sudah tercecer banyak darah.

Di dalam bangunan yang terlihat tua itu tidak ada sang ayah. Tubuh si adik tergeletak di lantai begitu saja. Dan sang kakak terkapar tidak jauh darinya. Dengan perut yang sudah terkoyak isinya.

Kututup mulutku dengan kedua tangan, sambil berjalan mundur. Air mata ketakutan sudah menggenang. Aku sebenarnya tak mengerti.

.

Seharusnya aku tidak terlibat, seharusnya aku tidak pernah menawarkan diri mengantarkan mereka ke rumah sakit. Seharusnya aku pura-pura tidak tahu saja.....

1 disukai 2 komentar 4.1K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@anandaulia24 : Thanks 🙏💕
Cemungut kakak buatnya♡♡♡
Saran Flash Fiction