Disukai
0
Dilihat
481
Janji Berbalut Hazmat
Drama

Azizah terus bergerak, membantu rekan-rekannya menangani pasien pria paruh baya yang kesulitan bernapas di depan mereka. Ini adalah pasien ketujuh yang mereka tangani hari ini, dan masih ada puluhan lainnya yang menunggu penanganan. Berbeda dengan orang-orang di luar yang merasakan waktu terhenti; bagi Azizah, waktu terus memburunya.

Pasien itu semakin gawat. Tim Azizah yang berpakaian hazmat suit lengkap bergerak semakin cepat melakukan tindakan medis. Azizah selaku ketua tim memberi instruksi sambil bergerak disahut rekan-rekannya. Semuanya tetap dilakukan sesuai prosedur. Mereka berkompetisi dengan takdir memperebutkan nyawa sang pasien.

Takdir menang. Mereka kehilangan pasien itu. Semuanya melepaskan tangan dari pasien dan berdiri di tempat masing-masing.

“Waktu kematian pukul 13.07,” kata Azizah setelah melihat jam di dinding bangsal.

Pundak Azizah naik turun. Suara Azizah yang masih ngos-ngosan masih terdengar dari masker. Ia masih mencoba mengatur napasnya seraya mengamati lelaki kurus beruban yang baru saja gagal ia selamatkan. Kedua mata Azizah berkedip perlahan. Pandangan Azizah tertuju pada jenazah, tapi pikirannya menerawang ke masa yang lain.

Masa itu belum terlalu jauh, baru sekitar seminggu yang lalu. Azizah masih ingat hari-hari yang dilaluinya sebelum hari ini. Setelah pulang bertugas dari rumah sakit, ia akan menikmati waktu sebagai keluarga bahagia bersama suami dan putranya yang berusia tiga tahun. Sungguh wanita kepala tiga cekatan yang mampu membagi waktu sebagai seorang ibu dan sebagai seorang dokter.

Lalu pemberitaan tentang Covid-19 mulai ramai. Orang-orang dengan gejala terpapar virus mulai bermunculan dan tenaga medis mulai bergerak. Waktu terus berjalan, hingga akhirnya Covid-19 dinyatakan sebagai bencana nasional. Tak lama kemudian, virus itu masuk ke kota tempat tinggal Azizah dan membuatnya jadi zona merah, memaksanya dan ratusan tenaga medis lain di kota itu ikut turun tangan.

“Mama mau pergi kerja lagi?” tanya putra Azizah dengan wajah yang polos. Azizah sedang menggendong seraya menatap wajah anaknya dengan senyuman.

“Iya,” jawab Azizah, “Mama mau pergi ngobatin banyak orang.”

Dia masih kecil, belum mengerti bahwa dunia di sekitarnya sedang terhenti akibat virus mematikan. Azizah paham betul akan tugas dan risikonya, namun ia tetap berusaha menjelaskan ke anaknya dengan bahasa yang mudah dipahami. Hanya Tuhan dan suami Azizah yang tahu senyuman itu menyimpan rasa sakit.

“Mama nanti pulangnya lama. Kamu jangan nakal, ya. Nurut sama Papa.”

“Pulangnya lama?” tanya anak itu khawatir. “Kapan pulangnya?”

“Nanti kalau orang-orang sudah sembuh, Mama pasti pulang,” janji Azizah, masih dengan senyuman.

Begitulah, Azizah pamit pada suaminya dan tersenyum melambai pada putranya. Hal berikutnya yang Azizah tahu adalah ia sedang berhadapan dengan puluhan orang bergejala Covid-19 di rumah sakit, dan jumlah itu terus bertambah dari hari ke hari.

 

“Dok? Dokter!” suara salah seorang gadis rekan Azizah mengembalikan Azizah dari lamunannya.

“Ya?” respon Azizah.

“Maaf, Dok, kita harus lanjut ke pasien berikutnya,” kata gadis berhazmat itu mengingatkan.

“Oh iya, ayo lanjut!” perintah Azizah pada timnya.

Kini mereka berada di bangsal yang berbeda. Setelah mengganti sarung tangan, kini mereka menangani pasien dengan kondisi yang sama seperti sebelumnya, namun kali ini wanita. Di dekat tim Azizah ada tim lain yang juga sedang menangani pasien. Azizah harus cepat mengumpulkan konsentrasinya kembali agar bisa bekerja dengan benar. Semuanya dituntut bekerja dengan serius, cepat, dan hati-hati.

Brukk…

Seseorang dari tim sebelah tumbang, mengalihkan fokus Azizah dan rekan-rekannya beberapa saat. Dua anggota dari tim sebelah segera menggotong yang tumbang itu. Perasaan takut mulai muncul dalam hati Azizah dan dua anggota timnya. Tapi keadaan memaksa Azizah menyadarkan diri dan mengembalikan timnya ke dalam tugas.

“Fokus! Di depan kita masih ada yang harus ditolong!” perintah Azizah dengan nada yang agak tinggi, membuat gerakan medis mereka kembali bekerja.

 

 

Delapan jam sudah berlalu, urusan tim Azizah dengan pasien hari ini sudah selesai. Azizah mengisi waktu istirahatnya dengan menenangkan diri sejenak di pantry rumah sakit. Mulutnya sudah terlepas dari masker dan saat ini sedang diisi dengan roti cokelat keju, ditemani segelas air mineral di tangan kanan.  Setelah ini masih ada yang harus ia kerjakan di laboratorium, maka Azizah harus sedikit mengisi energi dan mendinginkan kepalanya di antara guyuran keringat di balik hazmat suit.

Pintu pantry tiba-tiba terbuka. Azizah menoleh dan melihat seseorang berpakaian hazmat lengkap seperti dirinya masuk dengan gestur yang agak lesu. Dari perawakannya, Azizah bisa melihat itu seorang perempuan. Perempuan itu melihat Azizah dengan agak terkejut.

“Ah, maaf mengganggu, Dok,” kata perempuan itu sungkan.

“Oh gak apa-apa,” balas Azizah mempersilakan, “ayo masuk aja.”

Perempuan itu mulai menuju pojok pantry, di mana terletak kardus berisi air mineral kemasan gelas. Sekilas Azizah memperhatikan nama yang tertulis di hazmat suit perempuan itu. Lailah, dia satu tim Azizah, dan salah satu dari dua rekan Azizah yang takut melihat tenaga kesehatan tumbang tadi siang.

Oalah, ternyata kamu, Lailah,” kata Azizah akrab.

“Iya, Dok,” jawab Lailah diiringi tawa gugup. Lailah membuka masker dan mulai minum.

“Mau roti?” Azizah menawarkan. “Saya masih punya sebungkus, nih.”

“Gak usah, Dok, makasih,” tolak Lailah dengan sopan.

Keduanya diam menikmati hidangan masing-masing. Lailah duduk di depan Azizah, sehingga Azizah cukup bisa melihat air muka Lailah.

“Kenapa?” tanya Azizah.

“Eh?” balas Lailah sambil menatap kebingungan. “Apanya, Dok?”

“Kamu kelihatannya sedang mikirin sesuatu. Ada apa?”

“Gak apa-apa, Dok.” Lailah menunduk. Azizah tidak puas.

“Setelah ini dan besok kita masih ada kerjaan. Kalau sampai kerjaan kamu tidak benar gara-gara kepikiran sesuatu, saya keluarkan kamu dari tim.”

Lailah terkejut. Ia menatap Azizah agak lama sebelum akhirnya kembali menunduk dan mulai berkaca-kaca. Perlahan isak tangis mulai terdengar dari mulut Lailah.

“Saya takut, Dok. Saya kepikiran ibu dan kakak saya di rumah. Tadi siang waktu lihat anggota tim di sebelah kita ambruk, saya kepikiran macam-macam. Bagaimana kalau itu saya? Bagaimana kalau justru saya yang meninggal gara-gara menangani pasien? Bagaimana kalau pamitan saya kemarin itu pamitan terakhir sama keluarga? Sudah banyak nakes meninggal gara-gara ketularan Covid. Belum lagi di luar sana banyak isu katanya kita sengaja bikin orang positif biar dapat cuan, padahal kita di sini kewalahan…”

Isak tangis Lailah mulai berubah jadi tangisan lepas. Azizah iba melihat Lailah dan mendengar penjelasannya. Terlebih perkataannya barusan, semua yang dikatakan Lailah pada dasarnya adalah apa yang mengganjal di hati Azizah selama ini.

Namun tugas adalah tugas. Selama Azizah ada di rumah sakit ini, ia adalah pemimpin bagi timnya. Meskipun ia juga sedang merasakan sakit yang sama, ia tidak boleh tumbang atau terlihat rapuh di hadapan orang-orang yang ia pimpin. Azizah mulai menghela napas lalu mempersiapkan kata-kata yang tepat agar bisa dilontarkan dengan lembut.

“Lailah, kita semua takut, dan itu wajar. Banyak nakes di sini juga berpikir seperti yang kamu bilang barusan. Tapi kita sedang menghadapi bencana, maka kita harus saling bantu. Semuanya harus dimulai dari diri sendiri. Kalau kamu terus kepikiran sama nakes yang meninggal, ini gak akan ada habisnya. Tapi coba deh kalau kamu berpikir, ‘Wah, ibu saya nungguin di rumah, saya harus kerja dengan benar biar bisa cepat pulang,’ itu akan jadi motivasi.”

“Dokter ngomong kayak gitu seakan Dokter gak takut sama sekali,” ujar Lailah yang masih sesenggukan.

“Saya juga takut! Tapi saya punya janji sama anak saya yang masih kecil di rumah. Itu jadi motivasi saya buat kerja dan pulang hidup-hidup.”

Azizah menatap Lailah dalam-dalam. Ia tidak berani menyentuh pundak Lailah yang masih dibalut hazmat suit karena tangannya sendiri tidak terbungkus sarung tangan. Hanya kata-kata tegas yang bisa ia keluarkan.

“Hei, lihat saya.” Lailah menoleh. “Kita bisa, kita akan pulang. Kita gak akan tumbang di sini. Paham?”

Lailah tidak menjawab, hanya menatap Azizah dengan mata sembab. “Paham?!” nada Azizah yang sedikit meninggi membuat Lailah mengangguk.

“Bagus. Kamu tenangkan diri kamu dulu. Saya masih ada kerjaan di lab.”

Azizah berdiri dan beranjak meninggalkan Lailah. Setelah keluar dari pantry lalu mengambil sarung tangan dan masker baru, Azizah berjalan menuju laboratorium. Meskipun masih merasa sakit karena merasakan kerinduan yang mendalam, di saat bersamaan sesuatu membuat dada Azizah terasa lebih ringan. Mungkin memotivasi Lailah secara tidak langsung juga telah mengeluarkan unek-uneknya.

Azizah terus berjalan. Keyakinan hinggap menyelimuti hatinya. Masih ada bencana yang harus ia tangani. Masih ada janji yang harus ia tepati.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Hai! Terima kasih telah membaca.
Cerpen ini adalah karya yang saya ikutkan lomba yang diselenggarakan salah satu institusi tahun lalu, tapi berakhir kalah.
Seperti yang kalian lihat, penyebab kalahnya bertaburan di dalam cerpen. Namun, itu akan saya jadikan bahan pembelajaran untuk karya ke depannya.
Oh iya, silakan juga untuk meninggalkan komentar, mana tahu ada lagi yang mesti saya perbaiki tapi malah terlewat oleh mata.
Terima kasih! 😁
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi