Disukai
3
Dilihat
3,069
NENEK MOYANGKU SEORANG PERAUT
Aksi

KAPAL itu mengarungi lautan buas dengan tangkas. Kaptennya, seorang pria tua berkostum baja, berseru-seru memerintah anak buahnya untuk menaikkan layar dan menjaga keseimbangan kapal dengan benar. Sementara dirinya sendiri duduk-duduk saja menikmati teh sorenya yang hangat kuku, di atas kursi goyangnya yang begitu nyaman. Matanya yang tinggal sebelah menatap tajam ke semua anak buahnya di dek, memastikan tidak ada satupun yang tidak bekerja sesuai perintahnya. Ha ha ha, tawanya nyaring penuh gairah. Semakin menantang suatu lautan, semakin bahagialah ia.

Lautan itu memang sudah terkenal akan keganasannya. Belum pernah ada pelaut yang mampu mengarunginya. Selain ombaknya yang membadai, penghuninya pun aneh-aneh. Ada sotong mirip lontong, ada kerang bercangkang benang, ada gurita berkaki pita, dan semakin dalam penghuninya semakin aneh-aneh. Ada duyung berambut payung, ada paus yang bernyanyi blus, dan macam-macam lagi. Tapi dari semua itu yang paling dicari adalah harta karun Firaun yang konon tidak ikut terangangkat bersama jasadnya, dan terseret ombak sampai sejauh antah barantah. Entah apa bentuknya, belum ada yang menemukan, kan?

“Kapten Sharp, geladak belakang sudah hancur!” seorang anak buah cebol datang melapor.

“Kapten Sharp, dapur ikut hancur!” seorang anak buah berkaki pedang ikut melapor.

“Ha ha ha, gampang itu,” sang Kapten bangkit dan mengambil tongkat saktinya. Namun saat ia hendak menggoreskan tongkatnya ke bagian kapal yang merapuh karena basah, ia melihat bahwa ujungnya tumpul. Ia lupa meraut tongkat pensilnya. Pensil besar yang bisa menggambar apapun menjadi nyata. Akibatnya, kapal kertasnya karam ditelan lautan tinta kelam, dan seluruh penghuninya menjadi santapan cumi-cumi api bergigi besi.

“Kamu tertawa?” Ayahnya masuk tepat pada bagian paling seru yang hendak Piko gambar. Sial, pikir Piko. Ayah pasti punya alasan lebih kuat lagi sekarang untuk menghentikan mimpiku menjadi komikus, atau meminjam istilahnya, pengkhayal. Dari dulu dia memang yakin kalau dunia seperti itu tidak baik, bukan saja untuk finansial dan masa depan, tapi juga mental Piko. Dan terutama, alasan dia tidak ingin Piko menjadi komikus, karena dia ingin putra semata wayangnya itu menjadi penerusnya.

“Tidak,” jawab Piko singkat. Sunyi sesaat. Awkward moment.

 “Ada apa, Yah?” tanya Piko sejurus kemudian, memecah sunyi yang janggal barusan.

“Ayah mau pergi. Mengantarkan pesanan. Kamu jaga toko. Jangan lupa rawat Daisy baik-baik,” kata Ayah sekaligus hendak pamit.

Mengantar pesanan berarti mengantar pensil-pensil yang sudah diraut. Toko yang dimaksud adalah toko kecil kami yang menjual jasa meraut pensil—konyol memang kami masih bisa bertahan hidup dengan itu. Dan lebih konyol lagi Ayah memberi nama alat rautannya. Daisy.

“Oke, berapa lama?” tanya Piko, seperti lumrahnya anak yang mendengar Ayahnya akan pergi. Di sisi lain, Piko akan tahu berapa lama dia akan bebas dari gemblengan Ayahnya yang benar-benar menginginkannya menjadi peraut ulung, seperti yang sudah tersemat di keluarga mereka.

“Mungkin, lama,” jawab Ayah. Ini yang tidak biasa. Ayah biasanya tahu berapa lama dia akan pergi. Sehari. Seminggu. Sebulan. Setahun. Seabad. Bisa saja, tapi tidak pernah lama. Lama adalah hal yang tidak pasti, dan Piko tahu Ayahnya tidak suka hal yang tidak pasti—bukankah itu yang jadi alasan Ayah melarangnya menjadi komikus.

“Oke,” hanya itu yang keluar dari mulut Piko. Dan Ayahnya pergi. Dan Piko menggambar lagi.

Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bisa jadi sudah menahun Piko menggambar. Tidak sekolah, hanya makan dan minum. Bahkan tidak buang air besar. Dia terlalu malas melakukannya. Mandi pun tidak, hingga kutu dan lalat menjadi teman siang-malamnya.

Suatu pagi yang berawan, terdengar suara ketukan dari arah toko. Ia abaikan dan kembali menekuni kertas-kertas usangnya, menggambar cerita bajak laut yang semakin kalut setelah si kapten menyadari rautan tongkat pensilnya hilang ditelan paus yang bisa bernyanyi blus itu. Tapi suara ketukan di pintunya tidak berhenti, bahkan cenderung semakin liar dan membuatnya tidak tenang.

Malas, Piko beranjak dari tahtanya diikuti prajurit lalat hijau dan kutu-kutu berwarna abu. Ia buka pintu, dan seorang pria tua berjenggot setanah menatapnya ringkih. Tanpa berbicara sepatah kata jua si pria bangka menyerahkan sebuah amplop tua berisi berita. Ayahnya meninggal, dan ia mewarisi seluruh toko dan seisinya.

Anehnya Piko tidak merasa sedih. Bahkan cenderung bahagia, akhirnya bisa hidup bebas. Menjadi komikus gimbal, bukan peraut kumal.

Seperginya pria tua pembawa berita, Piko berdiri mematung melihat seisi ruangan yang kecil itu. Bisa dibilang ruangan itu memakan seluruh rumahnya, dan toko jasa raut itulah rumahnya. Ayahnya tidur di toko, pikirnya akan ada yang datang meraut pensil tengah malam. Piko mendengus. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan toko itu. dia jarang sekali membaca berita, tapi dari yang jarang itu dia pernah membaca bahwa akan diciptakan alat peraut pensil portable yang mudah dibawa, tidak seperti Daisy yang lebih mirip mesin penggilingan padi alih-alih rautan pensil.

Daisy adalah kebanggaan keluarga, setidaknya begitu yang Ayah Piko rasakan. Dia diwariskan turun temurun dari jaman penjajahan Portugis. Kalau dihitung-hitung, Ayah Piko adalah generasi ke sekian—entah, jari tidak bisa menghitungnya—yang tetap menjaga tradisi meraut pensil. Pensil, sebagaimana adanya, sangat istimewa sehingga tidak semua orang punya, sehingga secara otomatis peraut juga menjadi istimewa. Dan sekarang ia yang mewarisinya.

Oya, apa sebab Ayah mati? Apa jasadnya akan dibawa ke sini sehingga aku harus membuat upacara sederhana untuk mengantarnya ke nirwana? Bodohnya aku tidak menanyakannya ke si pria tua, gerutu Piko.

Sesaat ia seperti melihat Ayahnya duduk ditempat biasanya pria paruh baya itu meraut pensil-pensil pelanggannya—tempat yang sama dia menghabiskan mimpi-mimpinya. Dan tiba-tiba sebuah kesadaran merasuk ke dalam otaknya yang sudah menciut, bahwa selama ini dia tidak pernah memahami Ayahnya sebagaimana ia tidak memahami alat peraut itu. Daisy. Ia terlalu malas setiap Ayah mengajarinya ini itu. Lihat, mata Daisy mulai pudar dimakan karat. Sudah berapa lamakah ini?

Piko, untuk pertama kalinya memikirkan hal selain gambarnya. Apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Harus diakui, Daisy sudah menyelamatkan hidup mereka selama ini. Tidak banyak, tapi cukup. Apa ia tukar Daisy dengan pena dan tinta untuknya menggambar, dan berharap dia bisa hidup dari gambarnya? Tapi, lakukah? Atau dia bekerja saja serabutan. Dia sudah hampir delapan belas. Harusnya. Entahlah, Piko tidak punya konsep waktu yang jelas.

Apa yang harus ia lakukan dengan Daisy Ayah tersayang? Piko tidak tahu. Nasibnya berubah dalam sehelai surat saja. Begitu cepat, bahkan pelangi pudar dalam waktu yang lebih lama dari itu.  Meneruskan tradisi dan menjadi generasi peraut selanjutnya? Menggambar dan menjadi komikus? Bekerja? Berhibernasi? Bertapa? Berkelana ke ujung langit? Tapi pertama-tama dia harus mencari makan. Tidak ada apa-apa lagi di rumahnya, dan naga dalam perutnya sudah murka. Mungkin jalan tercepat memang menjual Daisy dan menukarnya dengan sekarung dua karung singkong untuk, mungkin, selamanya? Memang berapa lama lagi ia akan hidup?

Benar, begitu saja lebih mudah. Lagi pula tidak ada bakat peraut dalam darahku, begitu pikir Piko. Dan hari berikutnya, dengan sisa tenaga yang dipunya, Piko menarik-narik Daisy keluar ruangan. Seolah enggan meninggalkan rumah, Daisy tetap bertahan. Lapar, dan Daisy yang ngambek, membuat Piko marah.

“Oke, sekarang apa maumu?!”

Tentu tidak ada jawaban. Ini bukan dunia fantasi di mana sapu bisa terbang, labu bisa menjadi kereta kencana, dan perut bisa kenyang dengan simsalabim.

Dalam keadaan putus asa berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bisa jadi sudah menahun itu, pintu karatan rumahnya diketuk. Keras dan tidak sabaran. Ngesot, Piko menuju ke pintu. Mungkin itu Izrail, pikirnya. Lebih cepat lebih baik. Anehnya dia bisa membuka pintu dengan sekali ayunan. Tapi bukan Izrail yang berdiri di sana. Atau, senyentrik itukah Izrail?

“Peraut?” tanya pria tua berbaju besi itu sambil menunjukkan tongkatnya yang berupa pensil besar berujung tumpul. Matanya yang tinggal sebelah menatap Piko nyalang. Seluruh tubuhnya seperti dicelup dalam tinta bak raksasa. Tanpa menunggu jawaban Piko yang terlalu terkesima dengan sosok yang dilihatnya, kapten bajak laut itu masuk setelah melihat alat rautan di dalam, meninggalkan jejak hitam di lantai kayu.

“Kamu benar-benar Kapten Sharp?” tanya Piko dengan suara bergetar saking bahagianya. Matanya yang layu tiba-tiba bersemi kembali.

Sang Kapten tidak menjawab, hanya tampak berpikir sambil menatap rautan di depannya.

“Bolehkah? Bolehkan saya bergabung dengan Anda? Menjadi anak buah Anda? Saya bisa apa saja. Beneran, saya bisa apa saja,” kata Piko memohon. Baru sang Kapten mengalihkan pandangannya dari rautan ke sosok Piko yang memelas tapi tampak bercahaya seperti dikerubuti jutaan kunang-kunang.

“Boleh.”

“Yeah!” seru Piko dengan tenaga bahagia. Sisa tenaganya sudah ia habiskan untuk merayap dan mengerjap.

“Dengan satu syarat,” tambah Kapten Sharp.

“Apa?! Apa?! Katakan saja Kapten! Saya bisa lakukan apa saja! Serius! Sumpah! Samber geledek!” begitulah tekad Piko.

“Rautkan pensil ini,” kata Kapten. Piko girang. Perkara gampang. Meskipun dia tidak menaruh minat pada dunia perautan, tapi sejak kecil Ayahnya sudah mewariskan teknik-teknik meraut kepadanya, yang saking seringnya, meskipun dia tidak suka, dia tetap ingat sampai sekarang. Mau model apa, ha? Runcing seperti Piramida Giza? Bulat seperti pantat kucing? Atau setengah runcung setengah bulat?

Tiba-tiba bahu Piko yang sempat terangkat karena bahagia, merosot. Pun dengan kakinya yang sempat tegar berdiri, jadi sepeti bocah kena polio.

Demi apa alat raut sebesar gajah lubangnya cuma seliang semut?!

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@semangat123 : :)
Maksud saya hanya sepenggal kalimat di dalam naskan Vampire, Kak, bab 1 'Nenek Moyangku Seorang Pelaut'😁 @rianwidagdo
@semangat123 : Mungkin harus mulai banyak bergerak ya dia haha
@semangat123 : Wah mana coba saya baca. Sama-sama ya, saling suport 💪
Atau Piko yang badannya gede/besar😂
Wkwkwk, jadi teringat naskah saya sendiri Nenek Moyangku Seorang Pelaut 🤣. Btw, terima kasih, Kak, untuk supportnya 🙏😀
@arieindienesia : Wah terima kasih banyak🐣
Sama-sama mas, sepertinya aku harus meluangkan waktu untuk menghabiskan semua karyamu 👍🏿
@arieindienesia : Wah, imajinasinya bagus sekali Kak 😃 btw, terima kasih sudah baca cerpen saya 🦁
Ya ampppuunnnn, visual gue di kepala seperti lagi nonton film animasi Pinocchio ♥️👍🏿👏🏿
Rekomendasi dari Aksi
Rekomendasi