Seminggu paska gempa 27 Mei, aku masih tinggal di kamp pengungsian. Begitupun dengan puluhan warga lain di desaku. Kami membentuk kamp di lapangan sebuah kampus seni di dekat desa kami. Rumah kebanyakan dari kami hancur lebur dan tidak ada pilihan selain tetap tinggal di kamp sampai ada bantuan tenda pribadi, selebihnya hanya ingin supaya makan kami terjamin. Ditambah lagi dengan masih adanya gempa susulan, membuat yang rumahnya masih utuh pun enggan untuk pulang ke rumah.
Setiap hari suasana kamp begitu hiruk pikuk dengan kegiatan yang diharapkan dapat menghilangkan kesedihan pengungsi. Masak bersama bagi ibu-ibu, gotong royong membetulkan tenda-tenda bagi bapak-bapak, juga ikut dongeng dan permainan-permainan bagi anak-anak dan remaja. Umurku 15 tahun, namun aku tidak begitu tertarik dengan permainan-permainan itu. Aku lebih tertarik memikirkan suasana kamp dan kejadian aneh setiap malam hari.
Malam hari selalu sepi di kamp pengungsian. Setiap orang seolah sudah sepakat untuk berdiam di tenda dan merenungkan nasib mereka selanjutnya. Hanya sesekali saja keluar untuk buang air. Tidak heran jika sebelum pukul sembilan hampir seluruh penghuni kamp sudah terlelap dalam tidurnya. Kecuali aku.
Aku hampir tidak pernah berhasil tidur cepat. Tengah malam aku baru bisa memejamkan mata. Banyak hal yang ada dibenakku. Bagaimana kabar Meong, ikan peliharaanku? Bagaimana kondisi sepedaku? Apakah aku masih akan punya televisi untuk melihat film kartun kesukaanku? Dan sudah sampai mana cerita film kartun itu sekarang? Sudah hampir satu minggu aku tidak melihat rumahku. Atau mungkin sekarang sudah tidak cocok lagi disebut rumah karena pasti hanya tinggal puing-puing dan gundukan batu bata bekas tembok yang roboh. Tiba-tiba perasaan kangen rumah itu menyeruak lagi.
Di kejauhan terdengar suara kokok ayam jantan yang begitu nyaring membelah kesunyian malam. Tengah malam begini mendengar ayam jantan berkokok selalu membuatku takut. Dulu mamak pernah cerita, katanya kalau ada ayam berkokok tengah malam bakal ada yang meninggal dunia. Aku belum pernah menemukan buktinya, setidaknya sampai saat ini. Namun begitu fakta bahwa mitos tersebut ada, selalu membuatku takut. Di tambah dengan suasana paska gempa seperti sekarang, aku beranggapan kematian akan lebih mudah menghinggapi masing-masing dari kami, tak terkecuali aku.
Fakta bahwa ada 14 korban meninggal di kampung kami membuatku merinding juga. Tetangga meninggal tidak pernah spesial di benakku sebelumnya, karena aku tahu setiap manusia pasti akan mati. Namun jika kematian itu datang secara bersamaan, itu lain cerita. Apalagi salah satunya ada si Bayu, teman dekatku yang seumuran denganku.
Aku sudah berteman dengan Bayu sejak TK. Aku selalu berangkat sekolah bersama dengan membonceng di belakang sepedanya. Seolah-olah itu baru terjadi kemarin. Dia meninggal tertimpa atap kamar mandi saat sedang bersiap berangkat sekolah. Aku sendiri harus mengakui bahwa saat itu aku masih tidur. Mungkin kalau saat itu aku sedang mandi aku juga akan bernasib sama seperti Bayu, mengingat rumah bagian belakang kami ludes dilalap gempa. Setiap kali ingat Bayu aku langsung sedih dan rasanya ingin memangis. Tapi bolehkah anak laki-laki yang sudah berusia 15 tahun menangis? Aku rasa tidak.
Aku tidak akan menangis. Aku ingin kuat menghadapi ini semua. Guruku pernah bilang cobaan adalah salah satu bentuk sayang Tuhan kepada hamba-Nya. Jadi aku anggap Tuhan begitu sayang kepada kami. Walaupun begitu aku tak henti-hentanya merengek minta pulang. Terutama sejak kejadian malam itu. Malam keduaku di kamp ini.
Malam itu kabut turun perlahan di sekitar tenda-tenda pengungsian, membawa hawa dingin yang mencekam. Waktu itu mungkin sudah lewat tengah malam, mungkin sekitar jam dua dini hari. Entahlah, kami tidak punya jam. Mungkin jam dinding berbentuk kubah masjid di rumah kami sudah hancur berkeping-keping tertimpa batu bata, kembali ingatanku melayang ke rumah. Aku menggeliat bangun dengan enggan karena ingin buang air. Aku kucek mataku dan beringsut ke selimut di sebelahku untuk membangunkan kakakku supaya mau menemaniku ke kamar kecil yang jaraknya cukup jauh dari tendaku. Tapi ternyata kakakku tidak ada di tempatnya. Dan saat aku mengedarkan pandangan menyapu seisi tenda besar itu, aku tidak menemukan seorangpun di sana. Tiba-tiba bulu kudukku meremang.
Aku berteriak-teriak memanggil-manggil keluargaku. Perlahan aku merayap keluar tenda dengan perasaan was-was. Namun tak kudapati seorangpun di sela-sela kabut yang mulai menebal. Sementara itu kebutuhanku untuk membuang cairan dikantung kemihku semakin mendesak. Sembari terus memanggil-manggil kakak, ayah, dan ibuku, aku bergerak menuju satu-satunya kamar mandi di dekat situ.
“Paaaak. Maaaak. Kaaak,” suaraku mulai parau. Udara yang begitu dingin seolah membekukan tenggorokanku. Ditambah dengan suasana yang begitu mencekam membuatku sadar bahwa sebaiknya aku balik ke tenda dan bersembunyi di bawah selimut. Namun pikiran bahwa orang-orang juga sedang pergi ke kamar mandi—cuaca yang begitu dingin sering kali membuat proses pembentukan urin semakin cepat—membuatku melanjutkan perjalananku ke kamar mandi.
Sekonyong-konyong aku berteriak histeris saat ada yang menabrakku dari belakang. Aku segera berlari sekencang-kencangnya kembali ke tenda sambil berteriak-teriak “Ada hantu”, sekaligus batal ke kamar mandi karena urinku sudah terlanjur keluar di celana.
Saat aku balik ke tenda aku lihat kakakku sudah berdiri di sana. Aku segera menabraknya seolah minta perlindungan. Tapi kakakku tampaknya sedang linglung.
“Kamu kenapa lari-lari?” tanyanya akhirnya setelah merasa pulih kesadarannya.
“Ada hantu Mas,” jawabku ngos-ngosan.
“Ah, mana mungkin,” Kakakku tampak tidak percaya. Orang dewasa memang seringnya tidak percaya hantu, padahal kalau melihat film horor wajahnya ditutupin bantal juga.
“Beneran. Aku tadi ditabrak hantu,” kataku mencoba meyakinkan.
“Di mana emang?” tanya kakakku. Tanpa berniat menjelaskan lebih banyak lagi aku seret kakakku ke tempat kejadian. Aku sendiri entah kenapa jadi penasaran. Dengan enggan kakakku mengikuti tarikkanku.
Di sana, di tempat aku tadi di tabrak sesuatu, ternyata memang tidak ada hantu. Yang ada hanya Pak Dikir yang terkapar di tanah, tidur nyenyak di atas lantai batako.
“Hloh, ngapain Pak Dikir tidur di sini?” aku dan kakakku sama-sama bingung. Namun kebingungan kami langsung terjawab saat kami lihat puluhan orang berjalan sempoyongan dalam tidur mereka, seperti orang mabuk. Mereka berjalan secara acak ke segala arah, sambil mengigau tidak jelas. Kabut berhasil menyamarkan tubuh mereka yang tersorot redupnya sinar bulan, membuat mereka tampak seperti boneka-bonekaku yang berjalan dengan menggunakan batu batrei.
Aku merinding. Dan mungkin kakakku juga, karena kami sama-sama bergeming. Untuk sesaat kami tidak tahu harus berbuat apa. Aku mengusulkan untuk membangunkan mereka semua. Tapi kakakku bilang orang yang berjalan dalam tidur tidak boleh dibangunkan, nanti bisa kaget dan linglung. Rasanya bisa seperti kehilangan kepala. Jadi kami memutuskan untuk menuntun mereka satu persatu kembali ke tenda masing-masing.
Kejadian itu terulang lagi malam berikutnya, dan berikutnya.
Lalu malam ini, setelah siang tadi kami akhirnya mendapatkan tenda pribadi, akhirnya aku bisa tidur dengan nyenyak. Namun lagi-lagi kejadian setiap malam di kamp pengungsian ini terulang kembali. Kali ini lebih parah karena ada yang memanjat pohon. Ada yang menyalakan kompor dan ‘memasak’, ada yang mencoba mengendarai mobil ambulan, dan macam-macam lagi. Tadinya aku mau membantu mereka kembali ke tenda. Tapi kakakku tampaknya juga ikut mengalami hal serupa karena sekali lagi tidak ada satu orang-pun yang tersisa di tenda kecuali aku. Jadi aku urungkan niat baikku dan kembali meringkuk di balik selimut sambil mendengarkan igauan-igauan di luar tenda.
Tiba-tiba ada yang masuk ke dalam tenda. Beberapa orang. Tadinya aku pikir mereka akan kembali tidur. Tapi nyatanya tidak. Mereka mengincarku sambil terus menceracau tidak jelas. Aku lihat sebagian besar dari mereka membawa pisau seraya mengigau,” ayo cepat potong anak kambingnya.” Beberapa pasang tangan berusaha meraihku. Aku sadar akulah anak kambing itu. Segera aku berlari sekuat tenaga keluar dari tenda, naik ke gedung terdekat, berusaha menghindari tetangga-tetanggaku yang berusaha menyembelihku.
Di lantai teratas aku sudah tidak bisa kabur lagi. beberapa pasang tangan mulai menelikungku. Aku memberontak dan berusaha membangunkan mereka. Namun sia-sia saja. Sebuah pisau daging sudah berada tepat lima senti dari leherku. Aku lihat yang memegang pisau itu adalah Bapakku sendiri. Aku akan disembelih oleh Bapakku sendiri, seperti kisah Nabi Ismail. Tapi kali ini tidak akan ada malaikat yang mau membawakan domba sebagai penggantiku.
Pisau itu mulai mengiris leherku, begitu keras, begitu panas, membuatku sekonyong-konyong tersentak dari mimpi burukku. Lalu tidak sampai satu detik berikutnya aku baru sadar bahwa aku sedang berada di atas atap dengan posisi tubuh condong ke depan, siap terjun dari ketinggian gedung tiga lantai.
Aku masih sempat melihat orang-orang berkerumun di belakangku, berusaha menolongku. Aku juga masih sempat mendengar kakakku melarang mereka membangunkanku. “Jangan bangunkan orang nglindur! Nanti dia bisa kaget dan linglung, Raasanya seperti kehilangan kepala,” begitu katanya.
Tapi terlambat. Aku sudah sadar beberapa detik lalu, dan yakin akan segera kehilangan kepalaku beberapa detik lagi akibat benturan dengan aspal di bawah sana.