Disukai
0
Dilihat
13,204
INJURY TIME
Drama

Tidak ada satu pun manusia di dunia ini mengetahui rahasia semesta. Rahasia pencipta langit dan bumi, termasuk isinya, yaitu manusia itu sendiri. Tak terkecuali perihal usia manusia. Berapa lama mereka hidup di dunia ini, atau bagaimana mereka akan mati, tidak ada yang tahu.

Demikian juga denganmu. Kau tak pernah tahu apa yang akan menimpamu, sampai hal itu benar-benar datang dan terjadi padamu.

Apakah kau ingat, bagaimana nelangsanya hatimu dan betapa menyesalnya dirimu dua puluh lima tahun yang lalu?

Oh, tentu saja kau masih ingat. Bahkan rasanya seperti baru kemarin kau mengalaminya. Peristiwa itu tidak mungkin bisa kau lupakan. Tidak akan. Seumur hidup kau akan terus mengingatnya. Menandainya sebagai titik balik kehidupan yang sempat kau sesali, dan di saat itu pula kau menyadari semuanya.

“Kau itu istimewa.”

Kalimat itu meluncur dari bibir pria yang entah sejak kapan sudah duduk di sampingmu. Kau sedang berada di taman, menatap keindahan bunga-bunga yang baru mekar pagi itu. Di tanganmu, tergenggam sebuah ponsel pintar berwarna hitam. Layarnya menyala, menampilkan foto keluarga besarmu: istri, anak-anak, menantu, dan cucumu. Angka yang tertera menunjukkan waktu saat ini, pukul 05.55.

Kau memang terbangun pagi sekali hari ini dan tidak bisa tidur lagi. Maka, kau memutuskan untuk berjalan-jalan pagi dan beristirahat sejenak di bangku taman.

“Kau orang terpilih.” Pria berambut hitam legam itu berkata lagi.

Kau hanya bisa menoleh heran dan melihatnya menyunggingkan senyum. Benakmu kemudian berkelana jauh. Mencoba mengorek-ngorek ingatan yang sudah mulai tumpul. Mengais sedikit petunjuk hingga di relung memori yang terdalam. Namun, sia-sia saja. Kau sama sekali tidak mengenal atau bahkan mengingatnya.

Orang tua memang rentan mengalami pikun. Tapi kau merasa, kau belum setua itu. Jalan atau daerah yang baru sekali saja kau datangi, kau bisa mengingatnya dengan jelas, meski sudah bertahun-tahun berlalu. Apalagi hanya untuk mengingat wajah dan nama seseorang. Kau juga dikenal memiliki ingatan yang tajam, dan karena itu kau suka sekali berdebat dengan putra sulungmu yang mudah lupa.

Jadi, untuk hal semacam ini, rasanya aneh kau bisa lupa. Jika dia pernah hadir dalam salah satu peristiwa hidupmu, kau pasti ingat. Kau yakin itu.

“Apa maksudmu?” Akhirnya kau memberanikan diri untuk bertanya, setelah tak mampu lagi menahan rasa penasaran. 

Pria itu tersenyum hangat. Ketika bola mata cokelat itu mengalihkan pandang darimu, kau ikut menoleh. Dari kejauhan, kau melihat putra sulungmu beserta anaknya sedang berlari menghampirimu. Samar-samar terdengar namamu dipanggil. Raut wajah mereka tampak cemas.

“Putramu itu ….”

Kau menoleh bergantian pada si pria dan putramu yang kian mendekat, tanpa mengerti maksudnya.

“Kalau kau ingat ucapannya dua puluh lima tahun lalu …. Kita akan bertemu lagi.” Pria itu berdiri, tersenyum sekali lagi, lalu berbalik pergi.

“Kakek!”

“Papa!”

Seruan bersamaan dari cucu dan putramu, membuatmu sedikit terkejut. Sedikit, tapi mampu melonggarkan genggamanmu. Benda tipis di tanganmu pun meluncur jatuh ke rerumputan.

Kau membungkukkan badan dan mengulurkan tangan untuk meraihnya. Berhasil … tapi benda itu terjatuh lagi. Kali kedua kau mencoba, senyummu mengembang lebar. Hingga kau berhasil duduk tegak, benda itu aman di tanganmu. Hanya saja, getaran hebat di tanganmu, membuat telepon pintar itu berhasil meloloskan diri.

Kau tampak sedih dan kecewa. Napas yang kau hembuskan terdengar berat saat ponsel itu diletakkan kembali dalam tanganmu oleh sang putra. Dia yang menggenggam jemarimu dengan erat agar tidak bergetar dan gemetar lagi.

“Papa ke mana aja …? Pergi nggak pamit dulu. Kami cemas …. Mama sampai pingsan ….” Teguran putramu lebih mirip ratapan kesedihan daripada kemarahan karena kau lalai memberi kabar. 

Matamu yang sayu menatap sosok yang sedang menundukkan kepala pada lututmu sembari terisak. Kemudian kau rasakan tangan mungil bocah perempuan situ memelukmu.

“Kakek jangan pergi-pergi sendirian lagi, ya.” Cucumu yang berusia sepuluh tahun itu memandangmu.

Kau mengangguk sebagai jawaban. Tak lupa memberi seulas senyum untuk menunjukkan bahwa kau baik-baik saja.

"Ayo, kita kembali, Pa.”

Kau menurut saat Robin, putramu itu, membantumu berdiri dan menuntunmu berjalan. Dengan sabar, dia menyamakan langkahmu yang tertatih-tatih kembali ke ruangan tempat kau tinggal sebulan ini.

"Papa bosan, Bin. Papa capek. Papa mau pulang." Akhirnya kau mengeluarkan keluh kesahmu pada selalu menjadi teman berdebatmu.

“Nanti kita tanya dokter ya, Pa,” jawab Robin pelan.

Kau tidak berkata apa-apa lagi setelah mendengar jawaban Robin. Kau sudah tahu, hal itu tidak akan diizinkan. Kau masih harus tinggal di sini untuk sementara waktu karena kondisimu tidak memungkinkan untuk pulang. Apalagi operasi yang sudah dijadwalkan sudah dekat. Kau harus menjaga tubuhmu untuk itu. Sudah susah payah kau mendapat kamar dan jadwal operasi, masa tidak bisa bersabar sedikit lagi?

Kini kau kembali terbaring di ranjang bangsal rumah sakit dengan selang infus yang terpasang di punggung tanganmu. Wajah-wajah cemas masih menatapmu khawatir di sisi tempat tidur. Kau memilih memalingkan wajah dan memunggungi mereka, meski suara istrimu yang merembet panik tidak bisa kau cegah.

“Kalian pulang aja. Papa mau tidur,” katamu sambil mengibaskan tangan yang bebas sebagai tanda agar mereka pergi.

“Ya, sudah. Kami pergi dulu. Nanti sore kami kembali,” kata Robin.

“Nggak usah sering-sering ke sini. Kalian banyak kerjaan. Di sini nanti ada Mbak Yul dan Dek Santo.” Kau berkata tegas.

“Kalau butuh apa-apa, minta Mbak Yul atau Santo aja yang telepon. Tangan Papa udah nggak kuat pegang hape.”

Kau tidak menjawab lagi.

“Kami pulang dulu,” pamit Robin.

“Kek, Via pulang dulu. Cepat sembuh ya, Kek.”

Air mata yang sejak tadi menggenang, kini luruh ketika mendengar suara manja itu. Kepalamu mengangguk samar. Tak lama, setelah memastikan mereka sudah pergi, kau membalikkan tubuh.

Satu bola matamu yang masih berfungsi, menatap plafon rumah sakit. Ketika berkedip, sebutir air mata mengalir kembali. Berbeda dengan yang sebelah kiri, bola mata itu tidak menunjukkan respon apa pun karena merupakan bola mata palsu.

Dua puluh tahun lamanya kau hidup hanya dengan satu mata akibat malpraktik. Baru lima tahun lalu kau memutuskan untuk mengisi rongga matamu yang kosong dengan bola mata palsu, yang menjadikanmu tampak seperti orang normal.

Peristiwa itulah yang menjadi titik balik kehidupanmu. Kehidupan yang sebelumnya telah kau sia-siakan dengan mengkhianati orang-orang terkasihmu. Masa di mana kau nyaris kehilangan nyawa, setelah kehilangan sebelah mata.

“Robin, maafin Papa. Tolong jaga Mama dan adik-adikmu, ya,” katamu waktu itu dengan terpaksa. Hatimu tidak tega melimpahkan tugas dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga pada anak yang masih duduk di bangku SMU.

“Nggak! Papa nggak akan mati sekarang! Papa masih hidup lama! Papa masih bisa lihat Danny menikah dan punya anak! Papa nggak boleh bilang begitu!” tegas Robin berapi-api. Matanya berkilat dan ekspresinya meyakinkan.

“Nggak perlu menghibur Papa. Papa udah pasrah kalau dipanggil Tuhan sekarang.” Kau menggeleng lemah, karena tidak mau bergantung pada harapan palsu.

“Entah, kalian percaya atau nggak, sekarang ini belum saatnya. Bayangan hitam yang tadi ada di belakang Papa sudah pergi. Dia nggak akan kembali dalam waktu dekat.”

Ucapan Robin itu membuat semua orang tertegun, termasuk dirimu. Kau sama sekali tidak menyangka bahwa anakmu itu memiliki kemampuan “melihat” dan terbukti benar.

Takdir yang menyedihkan berbalik secara ajaib. Kau mendapat kesempatan untuk memperpanjang hidup meski hanya lima atau sepuluh tahun saja. Meski dalam prosesnya kau harus menunggu cukup lama, transplantasi organ itu berhasil kau dapatkan.

Kau tersenyum saat matamu kembali menatap langit-langit bercat putih itu. Ternyata, tanpa kau sadari, dua puluh lima tahun telah berlalu sejak saat itu. Jika dibandingkan dengan sekarang, masa-masa itu amatlah sulit. Mencari pendonor yang cocok tidaklah mudah. Mirisnya, saat ini begitu banyak celotehan-celotehan remaja labil di media sosial yang dengan mudahnya berkata, “rela jual ginjal demi nonton konser idol favorit”, atau “dijual liver untuk tiket konser penyanyi X”.

Ah, andai saja peristiwa itu terjadi di masa kini, mungkin prosesnya akan lebih cepat.

Kau menghembuskan napas panjang sekali lagi, sebelum jatuh tertidur dan terbangun beberapa jam kemudian. Riana, putrimu satu-satunya datang bersama suami dan anak-anaknya.

Ah, kau jadi ingin menangis lagi ketika menyadari Riana yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Pengkhianatan yang kau lakukan, membuat Riana sangat membencimu. Membenci semua laki-laki, lebih tepatnya. Kau pun merasa sangat bersalah. Beruntung, ada seseorang yang begitu sabar dan tak pantang menyerah, hadir dalam hidupnya. Berkat itu, dia bisa menjadi seperti sekarang. Meski dia tidak lagi membencimu, dalam lubuk hatimu, kau masih menyimpan rasa bersalah itu. 

“Papa nggak usah mikir apa-apa. Rileks aja untuk operasinya. Tuhan selalu sertai dan jaga Papa,” kata Riana.

Kau mengangguk dan tersenyum. Impianmu adalah bisa kembali sehat dan berkumpul dengan keluarga di rumah. Saat ini, kau hanya perlu bersabar sedikit lagi.

Kesabaranmu akhirnya membuahkan hasil. Operasinya sukses, bibit kanker telah berhasil dibuang. Danny, putra bungsumu, tersenyum saat brankar rumah sakit keluar dari ruang operasi menuju ruang perawatan, bukan ICU seperti yang dikatakan dokter sebelum tindakan.

Tak henti-hentinya bibirmu mengucap syukur. Air mata bahagia pun mengalir deras. Bisa kau bayangkan senyuman dari istri, anak-anak, menantu, dan cucumu saat kau kembali ke rumah beberapa hari lagi. Sungguh kau sangat tidak sabar menantinya.

“Dan, Papa senang kamu bisa berhasil seperti sekarang. Papa sangat berterima kasih pada temanmu, Aldi yang sudah membantumu sejauh ini. Papa lega kamu dikelilingi orang-orang baik. Kamu udah dewasa, udah bisa mengurus keluargamu sendiri. Jaga anak dan istrimu baik-baik. Jangan mengulangi kesalahan Papa dulu.” Kau berkata dengan penuh semangat saat berada di ruang perawatan. Senyummu pun amat lebar. Rasanya kau tidak pernah merasa sebahagia ini.

“Kau sepertinya senang sekali.”

Sebuah suara membuatmu menoleh.

“Ah, kamu lagi,” katamu begitu mengetahui siapa yang berbicara. Dia orang yang sama dengan yang kau temui di taman beberapa hari lalu.

“Iya, aku datang lagi.”

“Kamu sedang menjenguk seseorang di sini?” tanyamu penuh antusias.

Orang itu mengangguk dan tersenyum.

“Sakit?”

Dia mengangguk lagi.

“Sekarang gimana keadaannya?”

Kali ini dia mengangkat bahu.

“Oh. Maaf.” Kau merasa menyesal telah bertanya hal yang mungkin tidak berkenan baginya.

Dia tersenyum. “Nggak apa-apa. Aku ke sini untuk menemuimu.”

Kali ini, kau yang terkejut. “Aku?”

“Ucapanku beberapa hari lalu … apa kau sudah mengerti?” tanyanya.

Belum sempat kau menjawab, tiba-tiba terjadi keributan kecil di salah satu kamar pasien. Kau melihat para dokter dan perawat bergegas melakukan tindakan darurat.

“Rupanya waktunya sudah habis.” Pria itu berujar saat mereka berhenti memberikan pertolongan.

Kau tertegun mendengarnya. Entah mengapa, kau merasa kalimat itu ditujukan padamu. Dugaanmu semakin kuat saat melihat Danny bergegas masuk ke kamar itu.

Pandanganmu beralih dari sana. Alih-alih mendapati pria yang sedang berbicara denganmu tadi, kau malah menemukan bayangan hitam yang besar dan menjulang tinggi. 

Seperti seutas benang tipis yang tiba-tiba putus, kau menyadari sesuatu. Satu ingatan telah muncul dan membuka kembali seluruh memori masa lalu. Ucapan Robin waktu itu … tidak hanya benar di satu hal, melainkan seluruhnya.

Kau mendapat perpanjangan waktu hidup yang lama. Kau juga telah melihat putra bungsumu menikah dan memiliki anak yang lucu. Bayangan hitam itu tidak akan kembali dalam waktu dekat. Semuanya tepat seperti yang dikatakan Robin.

Dua puluh lima tahun adalah perpanjangan waktu yang diberikan padamu, melebihi rata-rata waktu yang tercatat di jurnal kesehatan. Sekarang, bayangan hitam itu kembali datang untuk menunaikan tugasnya.

Yang perlu kau lakukan sekarang hanyalah mengikutinya dengan tenang. Tidak ada yang perlu kau lakukan lagi. Tugasmu di sini sudah selesai. (end)

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi