Suara hujan deras bergemuruh ketika menimpa atap seng rumah kumuh itu. Malam yang sepi di tengah pedesaan. Hanya ada aku dan Rey, kekasihku di ruangan yang gelap karena mati listrik. Cahaya bulan menyusup masuk melalui jendela tua yang terlepas dari engsel. Percikan air hujan yang terkena angin membasahi lantai.
Aku berdiri menatap Rey dengan pandangan tak percaya. Entah sudah sejak kapan, mataku mulai berair dan membanjiri pipiku.
“Jawab aku, Rey! Kenapa kamu mengkhianatiku?” Aku berteriak di tengah derasnya suara hujan. Sudah berkali-kali aku menanyakan hal yang sama, tapi laki-laki itu masih bergeming.
Aku frustrasi karena Rey tidak menjawab. Bahkan ia hanya berdiri kaku tanpa melihatku. Mata kosongnya menatap ke bawah.
Di sana, dekat kakinya, tubuhku tergolek tanpa nyawa. Sebilah pisau berlumur darah tergenggam di tangannya.
Dan aku melihatnya tersenyum.