Disukai
4
Dilihat
1,100
I Have Nothing
Aksi

“Satu …!”

Wasit tinju menepuk-nepuk matras di depan wajahku, aku sudah tersungkur akibat pukulan telak di bagian wajahku.

Tidak kusangka di awal karirku, aku akan langsung bertanding dengan seorang petinju andalan yang terkenal sudah banyak membuat lawan KO. Tubuhku memang besar, otot menonjol di mana-mana, tapi pada saat wasit berteriak menghitung, napasku sudah di ujung.

“Dua …!”

Wasit terus menghitung, jujur saja aku sudah tidak kuat, penglihatanku sudah mulai kabur, sulit untuk melihat dengan jelas. Sorakan-sorakan semakin bergemuruh, lawan sudah merasa di atas angin, dan sudah berlari-lari mengelilingi ring tinju merayakan lebih awal kemenangannya, bersama pendukung-pendukungnya.

“Tiga …!”

“Bangun, Brent!” teriakan seseorang di luar arena.

Aku tidak bisa meresponsnya, jantungku berdebar, adrenalin terpacu dengan begitu ganas, menyebabkan napasku tersengal-sengal. Pertandingan ini berlangsung sangat panjang, aku juga tidak mengira akan bertahan hingga detik ini.

“Brent, nasib kami ada di tanganmu!” teriakan lainnya.

“Brent, kau bisa!” teriakan laki-laki yang amat kukenal terdengar, membuat aku sedikit termotivasi lagi untuk bangkit dan melanjutkan pertandingan.

“Brent, ingatlah negara ini membutuhkanmu!” teriakan lainnya terdengar, membuat aku teringat tentang tujuanku naik ke atas ring ini.

Negaraku di ambang kebangkrutan, katanya aku menjadi satu-satunya pilihan untuk menarik minat negara lain. Karena itu, aku langsung bertanding dengan lawan yang sulit ditumbangkan, mereka bilang aku si kuda hitam. Terdengar egois memang, tapi aku tidak bisa menolak, karena dengan kata lain, aku sejatinya memang asuhan negara, setelah orangtuaku dengan keji membuangku di tempat sampah.

“Empat …!”

Orang-orang semakin melompat-lompat, siap merayakan kemenangan dari lawanku, aku masih saja tertungkup di bawah. Dari awal pun, semua orang sudah banyak yang skeptis dengan pertandinganku, karena menurut mereka, aku sudah pasti bukan lawan yang seimbang, tapi aku berhasil membungkam mereka dengan memenangkan poin di awal pertandingan.

“Lima …!”

“Brent, ini kesempatan bagus! Kau harus bangun, kau berjanji padaku, kau berjanji untuk melawan semuanya! Ini kesempatan bagus! Ini jalanmu, Brent ayo bangun!” teriakannya lagi.

“Enam …!”

Baiklah, ini untuk negara dan masa depanku, aku mulai mencari sisa tenagaku, dengan susah payah aku mencoba bangkit. Perlahan-lahan aku berdiri, memukulkan tanganku yang berlapis sarung tinju berwarna hitam, kesukaanku.

“Bagus, Brent! Tumbangkan dia! Kau bisa!”

Aku kini bisa melihat semua orang, termasuk lawanku yang kembali berhadapan denganku. Wasit mendekatiku, bertanya, apa aku masih kuat untuk bertanding lagi atau tidak, aku menganggukkan kepala sebagai jawaban, aku tidak bisa menjawab secara langsung, mulutku terhalang dengan karet pelindung gigi.

Suasana semakin panas, keriuhan di dalam ruangan menggetarkan arena, bahkan juri yang duduk di bawah ring, berdiri melihat aku yang kembali berdiri. Aku siap, jika ini menjadi pertandingan terakhirku aku tidak akan menyesal, karena aku sudah berjuang mati-matian, meskipun, pastinya satu negara akan kecewa kepadaku.

“Hadirin sekalian, pertandingan akan dilanjutkan setelah bel dibunyikan!”

“Ayo, Brent! Lanjutkan, kau pasti menang! Abaikan semua kekhawatiranmu!”

Aku ingat semua teknik-teknik yang aku pelajari saat latihan yang hampir membunuhku. Lawanku memang kuat, tapi stamina yang ia miliki tampaknya sudah mulai menurun, ini jadi kesempatan bagus untukku yang mendapat tenaga baru, yang entah dari mana datangnya.

“Bagus, Brent! Pertahankan!”

Aku maju mengejar, pukulan-pukulan samping mengenai tubuhnya, juga wajahnya, lawanku terdorong mundur, aku berlari, ini kesempatan emas bagiku. Lawanku sudah terpojok, tinggal mencari celah, aku perhatikan baik-baik, hingga aku melihat satu celah yang janggal, kemudian…

Bugh!

Satu pukulan keras melayang padanya, lawanku tersungkur, dan berakhir terlentang, wajahnya babak belur sama sepertiku. Napasku tersengal-sengal, tapi aku senang melihat lawanku tak berdaya. Aku masih memburu tubuhnya, tapi wasit segera memisahkan kami.

Pendukungnya seketika diam, tak perca...

Baca cerita ini lebih lanjut?
Rp3,000
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Aksi
Rekomendasi