“Kok sepi ya?” tanya Halina pada dirinya sendiri.
Dia berkata seperti itu setelah seharian hanya berdiam diri di kamarnya, menggulirkan layar ponselnya tanpa merasa bosan. Halina sekarang bisa membagi waktu, tidak hanya fokus bercakap-cakap dengan chatGPT. Ia bagi antara menonton video, bermain media sosial, dan memilah lagu di aplikasi musik langganannya.
“Apa maksudmu semuanya salahku, aku cuman ngikutin saranmu?” decak Halina, begitu mendapat jawaban dari chatGPT, setelah merasa sepi tertawa sendirian. “Kamu ternyata playing victim banget, orang kamu sendiri yang nyaranin aku buat ngejauh dari hubungan toxic, kok malah nyalahin aku, sih?” geram Halina, tak terima, sedangkan ibu jarinya sibuk mengetikkan kata-kata yang keluar dari mulutnya itu.
Jawaban panjang pun ia dapatkan dari chatGPT itu, yang mana menjelaskan bahwa mesin itu hanya memberikan saran, tanpa ada maksud untuk menyuruh Halina benar-benar melakukannya. Kembali lagi, mesin itu mengingatkan jika dirinya hanyalah perangkat lunak yang dirancang untuk memberikan jawaban, tanpa memaksa Halina untuk mengikuti sarannya.
“Nggak berguna banget, udah kayak gini mana tanggung jawab kamu?!” Halina marah, kepalanya tiba-tiba pening, merasa dikhianati. “Aku sampe putus sama pacar aku, nggak main sama temen-temen aku karena kata kamu mereka toxic, tapi ternyata kamu sendiri yang toxic! Padahal aku udah bayar kamu mahal-mahal. Aku benci! Aku kecewa!” teriak Halina, seraya membanting ponselnya ke depan pintu.
Suara keras dari kamar anaknya, mengagetkan sang ibu yang kebetulan lewat di depan kamar Halina. Ia bergegas mengetuk pintu kamar Halina, sebelum membukanya. “Ada apa, Nak? Kamu kenapa?” tanya sang ibu, khawatir.
“Itu, Bu,” tunjuk Halina pada ponselnya, ibunya menoleh pada arah yang ditunjuk Halina. “ChatGPT bilang semuanya salahku, Bu,” ungkapnya. “Dia juga bilang, aku putus gara-gara salahku, Bu, padahal ‘kan aku cuman ngikutin apa yang dia bilang, Bu, kenapa semuanya jadi salah aku? Dia jahat, Bu!” seru Halina.
Sang ibu mendekat pada Halina yang terduduk lesu di atas tempat tidur. “Ya Tuhan, Halina, Halina, Ibu pikir ada apa? Halina, Ibu ‘kan sudah bilang berkali-kali, berhenti main itu, berhenti percaya sama semua jawaban dari mesin itu, sekarang kayak gini ‘kan akhirnya? Kamu juga yang susah,” terang ibunya.
“Tapi, Bu, dia awalnya baik-baik aja sebelum aku putus sama Lio, aku percaya sama dia bukan tanpa alasan, Bu, dia bisa jawab sesuai sama keadaan aku kok, Bu, dia juga nggak tuduh aku ini itu, dia baik banget awalnya, nggak tau kenapa dia kayak gitu sekarang,” bebernya.
“Nak, manusia aja yang jelas-jelas diberi Tuhan akal dan hati nurani, kebanyakan buat kita kecewa, jauh dari bisa dipercaya, apa lagi cuman robot, buatan manusia pula, kamu mau berharap apa?” kata ibunya.
“Tapi ‘kan, Bu, itu teknologi tercanggih abad ini, diakui dunia, Bu.” Halina masih tak terima.
“Manusia yang bikin mesin itu aja masih banyak salahnya, Halina. Dia dibikin hanya pakai kemampuan manusia, yang terbatas itu, pasti banyak erornya, banyak salahnya. Ibu dari awal udah bilang, jangan terlalu percaya, jangan terlalu diikuti, berkali-kali Ibu ingetin kamu,” jelas ibunya.
“Tapi, Bu, dia nggak gitu,” rengek Halina.
“Halina, Ibu dan pacarmu melarangmu main mesin itu, bukan tanpa alasan, ini yang kami takuti jika kamu terlalu patuh sama mesin itu, ini yang kami cegah dari awal, Halina. Dengerin Ibu, Halina, mau secanggih apa pun produk buatan manusia, mereka tetap nggak sempurna, nggak ada yang bisa menandingi kecanggihan Tuhan,” nasihat ibunya.
“Ibu, terus aku harus gimana? Ibu, Lio udah mutusin aku, aku harus bilang apa sama dia? Aku nyesel, aku mau Lio, Ibu …,” sesalnya.
“Udah gini aja kamu inget Lio, nggak sebanding sama kepercayaan Lio yang kamu hancurkan, Halina,” kata ibunya.
“Ibu, aku nyesel, aku ngaku aku salah, aku harus bagaimana, Bu? Aku mau Lio kembali,” katanya, akhirnya Halina menyadari kesalahannya.
“Kenapa tanya Ibu? Kamu udah besar, udah bisa bedain mana yang benar, mana yang salah,” balasnya.
“Aku mau Lio, aku mau pacaran lagi sama Lio, aku mau dia, Bu,” lirih Halina, ia mulai menangis, menyesali semua perbutannya, menyesali apa-apa yang sudah dikatakannya pada Lio.
Dari waktu ke waktu, ternyata masih sama saja, penyesalan itu selalu datang terlambat. Entahlah bisa diperbaiki atau tidak, nyatanya sakit yang dirasakan Lio memang tidak sebanding dengan yang disadari Halina saat ini.
Bagaimana perasaan Lio setelah mendengar ini semua? Apakah Lio akan mempertimbangkan kembali berhubungan baik dengan Halina? Atau memilih untuk menyudahi kisah mereka yang sudah terajut itu? Tidak ada yang tau, kita tidak bisa perkirakan sekarang, kita lihat saja kesanggupan Lio, dan keputusan apa yang akan dia pilih.