Disukai
0
Dilihat
2
HARDARIYAM
Misteri
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

BAB1

PERMULAAN

Sudah 3 tahun Bapak terbaring di ranjang, tidak bisa bergerak, tidak bisa beraktivitas tanpa bantuan orang lain. Entah penyakit apa yang menggerogoti tubuhnya, sehingga ia terkapar lemah tak bisa apa-apa. Badannya yang dahulu kuat, sekarang habis seolah terisap angin, menyisakan tulang dan kulit yang kering, seperti sebuah pohon yang tak lama lagi akan mati. Semenjak tubuh Bapak melemah, ia meninggalkan semua yang ia gandurungi termasuk mendaki, semua gunung dan tanjakan ia lewati, tidak ada kata menyerah dalam kamus Bapak, hal itu sudah dilakukan sebelum menikah dengan ibuku bersama teman-teman sependakiannya. Dadaku bergetar saat melihat foto Bapak yang banyak terpampang jelas dan nyata di ruang tamu, senyum lebar dan mata monolid yang selalu tenggelam saat tertawa. Aku sangat rindu akan kehadiran Bapak mengisi hari-hari kami.

Ketika aku menginjak kelas dua dibangku menengah pertama, Bapak mendaki Gunung Hadrariyam bersama empat teman sependakiannya, saat kembali pun ia bercerita betapa indahnya matahari dilangit perawan atas pegunungan itu, tidak seperti matahari di ibukota yang seperti kelabu tidak dicuci sepuluh tahun, udara sejuk yang tidak terkontaminasi dengan polusi dan hamparan hijau gunung yang memanjakan mata mampu membuat semua orang betah berlama-lama disana namun, hari demi hari tubuh Bapak berangsur melemah hingga seperti sekarang, bahkan teman seperjalanannya mendaki pun tidak pernah terlihat lagi batang hidungnya setelah pendakian terakhir mereka, seolah hilang ditelan bumi.

Tidak pernah terbesit dalam pikiranku untuk menanyakan kondisi Bapak selama ini, sikapku yang terkesan egois dan tak acuh kepada orang tuaku sendiri kadang membuat sebagian orang merasa jengkel dengan respon seadanya dari diriku. Bagiku, Bapak pantas mendapatkan apa yang ia tabur, hukum tabur tuai itu nyata, mungkin saja itu teguran Tuhan akibat lalai dengan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga dan selalu saja melakukan kegiatan yang bahkan bisa saja mengancam nyawanya. Bapak menentang keras siapapun yang melarangnya mendaki, baginya alam adalah rumahnya.

Jujur saja, jauh didalam lubuk hatiku, tersimpan begitu banyak amarah, kekesalan yang hampir meledak seperti nuklir yang sanggup menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki namun semenjak aku kian beranjak dewasa, keingintahuan ku tentang apa yang terjadi pada bapak, rasa penasaran itu mulai tumbuh menghantuiku dan mengerogoti pikiranku satu-persatu.

Apa yang sebenarnya terjadi di Gunung itu dan apa yang menyebabkan Bapak seperti ini, Pikirku batin selalu menyiksa dan meronta-ronta mencari jawaban pasti tentang apa yang terjadi di gunung itu.

Semalam, aku bermimpi sedang mendaki gunung bersama Bapak, yang memunggungi diriku, di mimpi itu bapak terlihat masih muda seperti usia tiga puluh tahunan, namun kulit yang terlihat begitu pucat, saat pandangi wajahnya, bibir tipis yang kering dan terkelupas, dan pandangan kosong mengarah ke langit, ketika hendak menyapa ada gumpalan kabut berbentuk tangan dari dalam tanah berusaha menarik Bapak masuk kedalam jurang hingga aku tidak bisa mengapainya.

 Aku tersentak dan membuka kedua mataku yang ku tatap hanyalah langit kamar yang berwarna abu-abu dan matahari yang telah eksis menunjukan sinarnya, Aku menyeka keringat yang mengalir dipelipis mengunakan punggung tanganku, tubuhku serasa mengigil kedinginan, ada rasa cemas menggerogotiku perlahan.

Mimpi buruk itu lagi.

Semakin ingin ku tahu. Aku masuk kedalam ruang hampa yang penuh tanda tanya dan kebingungan mencari jawaban namun tidak ada jawaban pasti. Tanpa melipat selimutku Aku bergegas keluar kamar dan memeriksa setiap ruangan untuk mencari ibu, kudapati aroma masakan dari arah dapur mengugah selera. Tumis kangkung dan ikan goreng asem manis buatan ibu, menjadi menu andalan setiap pagi di hari yang cerah ini. Dengan langkah mantab aku harus menemukan jawaban dari segala pertanyaan yang sudah mengakar di kepalaku saat ini.

 Apa yang sebenarnya membuat Bapak seperti ini?

Tanganku teerasa dingin, aku menarik salah satu kursi yang ada di meja makan dan duduk memperhatikan tang...

Baca cerita ini lebih lanjut?
Rp1.000
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)