Disukai
0
Dilihat
987
Esok Masih Akan Terus Berjalan
Slice of Life

Awal perjalanan dari sebuah kehidupan selalu diiringi oleh mentari hangat yang menyapa dari ufuk timur. Membangunkan ayam untuk berkokok sebagai alarm alami bagi jiwa yang lelah terhadap kehidupan ini. Belum lagi dengan bising kendaraan yang telah memenuhi jalanan padahal para pedagang masih mempersiapkan diri untuk mengejar rezeki. Para pengamen jalanan pun masih menyetel senar ukulele yang selalu menemani mereka bernyanyi walau dengan suara cempreng. Jangan lupakan angkutan kota yang sudah berebut penumpang. Meski mereka tahu jika tiap pagi pasti akan ada para pekerja kantoran yang membutuhkan kendaraan untuk sampai tepat waktu. Namun, namanya kehidupan pasti memiliki banyak cerita tersendiri.

            Begitu pula yang dilalui oleh Rania Putri, gadis 27 tahun kurang satu bulan dengan segala cerita pasang surut kehidupannya. Rania yang mulai beranjak dewasa kini telah berada jauh dari keluarga. Merantau ke ibu kota yang katanya ingin mencari jati diri. Gadis berambut hitam, berwajah oval, dan bermata bulat indah itu terlihat sedang membenarkan letak kaca mata yang bertengger di atas hidung. Dia sesekali melihat sekitar sebelum melangkah mengikuti para pejalan kaki lainnya menuju halte bus.

            Rania memang seorang pekerja kantoran yang sering dibanggakan oleh ibunya. Namun, di saat dia mulai memasuki fase dewasa, ternyata cerita masa lampau masih turut menghantui. Gadis itu masih ingat dengan betul bagaimana sejak kecil tidak pernah memiliki pilihan sendiri. Rasanya seluruh hidup Rania hanya diatur oleh bagaimana para tetangga menilai. Bahkan semua itu seperti sudah menjadi hukum alam dan tidak bisa begitu saja diubah.

            “Wah! Gambar Rania bagus. Pasti nanti mau jadi guru, ya?” puji seorang wanita paruh baya yang menjadi guru taman kanak-kanak.

            Di meja panjang yang berisi dua siswa sekolah itu terlihat sepasang mata bulat tengah mengerjap pelan. Gadis kecil dengan nama dada Rania Putri itu lantas tersenyum senang dan memamerkan hasil karyanya ke seluruh sudut kelas. Semua memuji, tetapi tidak dengan para wali siswa yang sedang menunggu di luar ruangan. Pandangan menakutkan mereka dengan bibir komat-kamit membuat Rania menurunkan karyanya dan segera menyimpan di laci meja.

            “Duh! Bagus dari mananya. Cuma gambar pohon gitu aja kok bagus,” cibir salah seorang wanita paruh baya dengan setelan daster dan rambut dicepol.

            Rania kecil mendengar hal itu dengan wajah perlahan muram. Dia mencoba menahan isak tangis, tetapi tidak mudah. Hingga perlahan gema dari suara lengkingan tangis Rania mulai memenuhi ruangan. Sampai gadis kecil itu pulang ke rumah, jejak air matanya masih tersisa.

            “Enggak apa-apa. Gambar Rania udah bagus kok,” ujar wanita paruh baya lain yang merupakan ibu Rania.

            Gadis kecil itu tidak begitu saja percaya. Namun, saat sang ibu memberikan senyuman, Rania langsung luluh dan merasa bangsa dengan gambarannya. Dia berlari kecil menuju ke kamar untuk menyimpan tas. Ada bahagia terselip walau sempat dipatahkan oleh ucapan sederhana, tetapi menusuk di dalam hati.

            “Ha ha ha, dulu lucu sekali,” ucap Rania yang saat ini masih berdiri menunggu kedatangan bus.

            Ingatan yang sempat berkelana itu membawa Rania menuju cerita fase hidupnya. Jika dulu ketika kecil dia mudah bersedih karena dicibir atau memilih menurut saat tetangga mengatakan dirinya nakal, berbeda dengan sekarang. Rania dewasa sudah jauh lebih kuat dan pandai memilah ucapan orang lain terhadap dirinya. Namun, tantangan hidup di fase dewasa juga tidak kalah berat. Banyak beban hati yang harus ditanggung untuk tetap terus berjalan melalui alur hidup ini.

            “Tidak pernah semudah yang kupikirkan,” ujar Rania dengan senyuman tipis terlukis pada wajah cantiknya.

            Jalanan padat ibu kota sudah menghiasi bingkai jendela bus yang Rania tumpangi. Mata bulat gadis itu menatap lekat ke arah kendaraan yang saling mencari celah untuk mengejar waktu berharga. Bunyi klakson juga ikut meramaikan suasana pagi yang ramai.

            “Kayaknya dulu aku enggak pernah memikirkan akan merantau sampai ibu kota. Mau pergi ke mana-mana saja harus ditemani.” Rania berujar lirih dengan pandangan enggan beralih dari jalanan.

            Pikiran Rania kembali berlari pada setiap waktu yang telah membawanya sampai di titik sekarang. Dia memutar ulang setiap perjalanan hidupnya. Terkadang tertawa kecil, tersenyum tipis, kesal, hingga merasa pusing bercampur menjadi satu dalam otak gadis itu. Rania selalu merasa senang dengan mengingat bagaimana alur kehidupan yang dilalui.

            “Dulu waktu SD aja tiap kali dapat peringat satu pasti ada yang bicarain.” Rania terkekeh pelan saat mengingat itu.

            Gadis dengan mata bulat itu masih ingat bagaimana dia begitu bangga menunjukkan rapor hasil belajarnya. Dengan senyuman cerah, Rania berlari kecil ke rumah sambil membawa buku rapor dalam genggaman.

            “Ibuk, aku dapat ranking 1!” seru Rania.

            Wanita paruh baya di hadapan gadis kecil itu tersenyum hangat.

            “Bagus sekali. Sekarang Rania makan, gih. Pasti laper, kan?” Wanita yang terlihat sama cantiknya dengan Rania itu langsung menggandeng tangan sang putri.

            “Ibuk, mau hadiah, dong,” pinta Rania.

            Sang ibu tidak menjawab. Sudah dipastikan hadiah yang diminta Rania tidak akan didapat. Dia seperti sudah biasa dengan hal itu. Mendapatkan peringkat pertama hanya sebuah pencapaian yang tidak akan diberikan apresiasi berlebihan. Bukan perihal merasa keberatan, karena memang kondisi saat itu tidak memungkinkan Rania mendapatkan hadiah. Gadis kecil yang tengah melahap nasi dan sayur itu cukup menampilkan senyuman senang ke arah sang ibu. Sudah cukup dengan makanan enak yang dimakan hari ini.

            “Rania, kamu dapat peringat berapa tadi?” tanya teman sepermainan Rania.

            Mereka kini sedang bermain gundu di pelataran rumah Rania yang luas.

            “Satu, dong,” jawab Rania dengan bangga.

            Di tempat yang berbeda, lebih tepatnya di pelataran rumah lain, sekumpulan ibu-ibu sedang duduk bersama sambil memilah setiap helai rambut dari telur kutu. Jika beruntung, mereka bisa mendapatkan anakan kutu yang sering membuat rambut terasa gatal. Pandangan mereka tertuju pada sekelompok anak kecil yang sedang bermain dengan senang. Awalnya memang mereka hanya duduk bersama, tetapi perlahan bergulirlah obrolan-obrolan tetangga yang asyik untuk menemani menghabiskan siang hari.

            “Rania ranking satu lagi? Dia pinter, tapi enggak nyontek, kan?” tanya salah seorang wanita paruh baya dengan rambut tergerai.

            “Hush, ya mana mungkin. Rania itu emang pinter anaknya,” timpal ibu-ibu lainnya.

            Sepertinya segala sesuatu yang menyangkut kabar baik tidak selalu mengundang senyuman bagi orang lain. Rania kecil masih belum memahami hal itu. Dia hanya berpikir untuk belajar dan bermain dengan menyenangkan. Tidak ada dalam benak gadis itu memikirkan omongan orang lain menyangkut dirinya. Kecuali hukuman dari sang ibu ketika Rania berulah. Namun, gadis itu malah memilih untuk merajuk dan enggan untuk masuk ke rumah hingga petang menyapa. Dia juga pernah nekat untuk pergi dari rumah hingga berakhir bermalam di tempat sang nenek.

            Itu Rania kecil, sekarang gadis yang telah beranjak dewasa malah mengenang semuanya menjadi sesuatu bermakna. Menjadi cerita tersendiri yang menemani perjalanan. Rania kembali melukiskan senyuman saat mengingat perjalanan hidupnya ketika kecil. Dulu banyak sekali warna-warni menghiasi waktu ketika dia berada di sekolah dasar. Tidak hanya perihal omongan tetangga, tetapi pertengkaran dengan teman sebaya pun Rania pernah mengalaminya.

            “Dulu meski denger cukup jelas omongan tetangga, kok aku enggak sakit hati, ya? Beda banget sama sekarang. Aku aja kadang suka enggan pulang karena mereka,” ujar Rania dalam hati.

            Perjalanan bus terasa melambat untuk Rania. Namun, sebenarnya dia baru meninggalkan halte selama lima menit. Memang mengenang perjalanan hidup itu selalu membuat waktu terasa berjalan melambat. Rania kembali tersenyum tipis. Dia menikmati setiap perjalanannya menuju kantor dengan sedikit suara bisik-bisik dari penumpang lain. Sepertinya hidup tanpa membicarakan orang lain itu terasa kurang lengkap.

            Rania bisa menangkap cukup jelas obrolan mereka yang membahas tentang salah satu orang menyebalkan. Menyindir orang tersebut dan menunjukkan nada kesal karena merasa tertipu dengan sikapnya.

            Sangat manusiawi sekali. Rania menimpali dalam hati setiap apa yang didengarnya.

            Mata bulat jernih itu kembali memandang jalanan yang semakin ramai oleh lalu-lalang kendaraan penyumbang polusi udara. Klakson yang cukup nyaring juga terdengar saling bersahutan karena kemacetan. Waktu memang semakin berjalan, tentunya mereka ingin segera sampai kantor atau harus menerima gaji terpotong karena terlambat.

            “Katanya hidup selalu berjalan, tapi kenapa seringnya memiliki cerita yang hampir sama?” ujar Rania pada dirinya sendiri.

            Gadis dengan pakaian rapi itu segera berdiri dari tempat duduk. Dia bersiap di dekat pintu karena halte tujuan telah ada di depan mata. Rania membenahi bajunya yang terlihat sedikit kusut. Perlahan bus mulai berhenti di halte yang sudah dipenuhi oleh penumpang. Setelah melakukan transaksi pembayaran, segera gadis itu turun untuk melanjutkan perjalanan menuju ke kantor. Setiap langkah yang Rania lalui membuatnya tersenyum tipis. Di sebelah kiri dan kanannya banyak pejalan kaki yang turut merasakan pagi sibuk seperti saat ini.

            “Dorrr!” seru seseorang yang berhasil mengejutkan Rania.

            Di belakang Rania sudah berdiri seorang gadis yang tengah memamerkan gigi putihnya. Gadis dengan nama dada Liana itu terlihat tidak merasa bersalah karena telah berbuat ulah di pagi hari.

            “Selamat pagi, kesayangan bapak-bapak di kantor,” sapa Liana dengan sedikit bercanda.

            Sementara itu, Rania hanya memutar kedua bola matanya dengan malas. Sudah sangat terbiasa dia mendengar ungkapan serupa dari para karyawan lain. Pernah juga satu waktu beberapa karyawan memberikan sindiran langsung di hadapan Rania. Namun, dia jarang menggubris karena memang nyatanya jauh menyenangkan berinteraksi dengan bapak-bapak yang jauh dari obrolan tentang gosip terhangat.

            Terkadang Rania merasa miris dengan kehidupan ini. Rasanya seluruh kehidupan adalah bahan menarik untuk diulas. Mungkin jika berkomentar tentang hal baik, itu akan menjadi sesuatu yang menyenangkan, tetapi semua tidak gampang. Kehidupan yang pada sudut tertentu menjadi hal menarik untuk menjatuhkan atau sekadar bergosip ria sambil mencari pembenaran.

            Rania sudah menjalani satu alur itu. Merasakan bagaimana hidupnya tidak pernah tenang dari bisikan tetangga. Bahkan ketika Rania mulai mengenyam dunia mimpi yang indah. Masa-masa anak Sekolah Menengah Pertama dengan banyak cerita di dalamnya.

            “Berapa nilaimu, Ran?” tanya seorang siswa dengan memegang buku tugasnya.

            “80,” jawab Rania singkat.

            Bisa Rania lihat raut semringah dari wajah temannya itu. Dia tidak mengerti kenapa teman di hadapannya itu merasa senang karena sebuah nilai. Kemudian, baru Rania memahami tentang persaingan ketika sang teman memamerkan hasil ujiannya.

            “Kamu yang salah di bagian apa aja emangnya?” tanya yang lain.

            Gadis berseragam putih biru itu hanya bisa tersenyum tipis sebelum memilih beranjak dari kerumunan siswa yang ingin tahu seberapa bagus nilai ujian. Rania menenangkan diri di depan papan buletin sekolah yang menampilkan beberapa tulisan sederhana hingga tentang gosip terkini di sekolah. Mata bulat gadis itu memicing tajam ke arah tulisan di pojok atas yang menampilkan sederet kalimat dengan isi perihal romansa picisan berbalut gosip hangat.

            “Hah? Seriuh, nih, kakak kelas yang itu jadian sama dia? Kan enggak cocok mereka?”

            “Apaan, nih? Ada-ada aja. Bukannya dia udah jadian sama temen kelas sebelah, ya?”

            Itu hanya sebagian kecil dari aksi protes yang dilayangkan oleh siswa lain di depan Rania. Gadis berambut panjang itu hanya mengerjap pelan melihat apa yang ada di hadapannya. Dia tersenyum tipis lalu menyadari karena dirinya pun pernah protes atas berita tidak masuk akal itu. Entah kenapa gosip picisan yang belum tentu benar itu sering kali menjadi penarik minat utama bagi para siswa. Padahal mereka di sekolah adalah untuk belajar, bukan mengumpulkan informasi tidak penting seperti itu.

            Langkah Rania terus menapak jalanan untuk menuju ke kantor. Dia masih bersama Liana dengan semua obrolan tidak pentingnya. Bergosip di pagi hari dengan topik paling hangat yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.

            “Sudah dulu menggosipnya. Sana kerja,” ujar Rania dengan sengaja mengusir Liana.

            Gadis yang lebih pendek dari Rania itu langsung mencebik kesal. Dia belum selesai bercerita, tetapi Rania sudah mengusirnya untuk menuju ke ruangan. Memang saat ini mereka telah sampai di kantor. Sudah waktunya seluruh cerita tidak penting itu berakhir dan berganti dengan fokus pekerjaan yang ada di meja. Rania sengaja menyudahi karena banyak pasang mata yang menatap ke arahnya. Senyuman gadis itu perlahan terukir meski terpaksa.

            Gini amat menjalani hidup. Rania membatin setelah melihat beberapa orang memandangnya berbeda.

            Hidup yang berjalan saat ini tidak pernah jauh dari penilaian orang. Seperti setiap hal yang terjadi pada diri ini akan semakin menarik perhatian orang untuk dibicarakan. Mungkin kalau beruntung hanya sekadar dikomentari atas pencapaian yang dibilang bukan bersumber dari hal baik. Rasanya Rania sudah terbiasa dengan semua itu.

            Sejak hidup Rania terus berjalan, dia telah melewati banyak hal. Tidak hanya perihal romansa picisan anak Sekolah Menengah Pertama atau sekadar berbuat nakal di kelas. Bukan juga tentang aksi saling rebutan orang yang disukai di masa Sekolah Menengah Atas. Rania bahkan masih ingat ketika dirinya diterima di universitas kedinasan dengan segala kemudahan di dalamnya. Hati gadis itu senang, tetapi tidak dengan beberapa orang di sekitarnya.

            “Bayar berapa ya dia buat masuk ke sana? Kan enggak mudah tuh buat nembus ke kampus itu,” tanya seorang wanita paruh baya dengan senyuman manis seperti tidak memiliki kesalahan.

            “Lha, katanya enggak bayar sama sekali. Cuma 150 ribu buat biaya daftar,” timpal yang lainnya.

            “Masak, sih? Bukannya kampus-kampus gitu seringnya pakai uang?” Wanita paruh baya lain turut menguatkan argumen agar mendapat dukungan.

            Yang lain hanya mengangguk kepala sambil menyimak obrolan. Padahal ucapan itu tidak mendasar. Hanya dari “katanya” orang yang tidak pernah tahu masih ada kampus kedinasan dengan seleksi murni tanpa perlu keluar banyak uang.

            Rania yang sempat mendengar gunjingan itu hanya bisa mengelus dada. Tidak tahu saja bagaimana perjuangan dia untuk kuliah. Dimulai dari kegagalan saat melalui jalur nilai, lalu disusul dari jalur ujian. Kemudian dipatahkan oleh kegagalan saat mendapatkan hasil dari ujian masuk sekolah kedinasan jurusan statistika. Lantas berakhir di universitas kedinasan yang bisa Rania terobos walau dengan nilai ujian pas-pasan. Setidaknya semua itu tetap proses panjang yang Rania lalui tanpa diketahui oleh banyak orang.

            “Kalo dipikir-pikir hidupku tuh enggak jauh dari omongan orang, ya?” ujar Rania yang sudah mendudukkan diri di kursi.

            Jemari Rania mulai menyalakan monitor di hadapan untuk memulai pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Aktivitas perkantoran yang ramai sudah dimulai dengan ketenangan. Hanya suara dari tarian jemari pada papan ketik dengan monitor yang menampilkan berkas data untuk diolah.

            “7 tahun kerja, tapi rasanya baru sebentar. Hidup ini juga tiba-tiba sudah berjalan begitu jauh.” Rania menghentikan jemarinya sambil memikirkan tentang hidup yang seolah tidak lelah memberikan banyak cerita.

            Pikiran Rania kembali mengembara menembus ingatan masa lalu yang membuatnya ingin tertawa. Tepatnya ketika baru saja dia mendapatkan gaji pertama setelah hampir satu tahun magang dengan penghasilan tidak seberapa. Sesuai yang gadis itu janjikan ketika baru saja masuk di kantor pertama, dia ingin memakai gaji pertamanya untuk renovasi rumah orang tua. Semua terealisasi, tetapi ternyata hal itu mengundang tanda tanya bagi sebagian orang yang tidak mengerti.

            “Orang-orang pada nanyain kamu dapat uang dari mana buat bangun rumah,” ujar sang ibu.

            “Biarin aja, Bu. Kan mereka juga enggak ikut biayain pembangunan rumah. Kalo mereka bicarain di belakang, ya artinya kita berada di depan.” Rania menjawab enteng sambil memandang proses pembangunan rumahnya.

            Gadis itu tersenyum tipis dan merasa bangga dengan semua pencapaiannya. Meski itu masih awal dari perjalanan pekerjaannya, tetap saja Rania merasa senang karena telah memenuhi janji yang pernah terucap. Mata bulat gadis itu memindai setiap sudut rumah yang kini hanya berbentuk pondasi dari bata dan semen. Dia sebenarnya tidak menyangka bisa mewujudkan janji melalui kerja keras selama ini.

            “Syukurlah,” ucap Rania senang.

            Pandangan Rania mengarah pada langit biru angkasa dengan awan putih yang bergerak pelan. Ada senyuman tipis terlukis ketika film yang berisi ingatan berputar dengan apik di kepala.

            “Harusnya dulu aku jawab aja itu uang dari hasil ngepet. Biar sekalian gempar satu desa,” ujar Rania sambil terkekeh pelan.

            Tidak tahu saja jika sikap Rania yang tertawa kecil menarik atensi Liana. Gadis yang lebih pendek dari Rania itu mengerutkan dahi sambil menatap aneh ke arah Rania.

            “Kenapa lo? Kesambet penunggu pojokkan kantor?” tanya Liana sambil menyerahkan berkas surat yang baru saja datang dari ruangan kepala kantor.

            “Dih, enggaklah. Cuma inget masa lalu yang lucu,” jawab Rania dengan tangan yang sigap mengambil berkas miliknya.

            “Jangan senyum-senyum gitu. Lo tau sendiri kalo kantor ini enggak aman,” titah Liana mengingatkan.

            Rania hanya menanggapi dengan menganggukkan kepala pelan. Dia sudah kembali fokus pada berkas yang baru saja diterima. Mata bulat gadis itu memindai setiap data yang mendapatkan beberapa catatan dari kepala kantor untuk diperbaiki. Jemari Rania kembali menari di atas papan ketik untuk memulai memperbaiki berkas. Gadis itu hanya tidak ingin membuang banyak waktu untuk menyelesaikannya.

            “Harus kerja keras, Ran. Biar buktiin ke mereka yang selalu ngatur hidupmu,” ujar Rania dalam hati.

            Alur perjalanan hidup Rania memang tidak berhenti ketika dia mampu membangun rumah untuk kedua orangnya dengan uang sendiri. Tidak hanya berhenti saat dia berhasil bekerja di kantor pemerintahan dengan gaji cukup besar. Kehidupan masih berjalan hingga usia Rania mencapai 27 tahun. Tuntutan lainnya turut menyertai langkah gadis itu. Bukan hanya dari kedua orang tua Rania, dari para tetangga juga turut mengatur hidupnya. Seperti tentang pertanyaan perihal kapan menikah yang Rania sendiri belum memikirkannya.

            Saat itu umur Rania masih 24 tahun. Masih menikmati dunia bekerja dan gaji dari keringat sendiri. Belum terpikirkan dalam hati Rania untuk menikah di usia itu. Meski dari orang tuanya sudah menasihati agar segera mencari tambatan hati.

            “Umur 25 tahun harus udah nikah. Itu umur maksimal,” ujar sang ibu dengan nada menuntut.

            Rania menghela napas pelan saat mendengar hal itu. Sudah cukup sering sang ibu mengatakan kalimat yang sama kepada gadis itu. Padahal kenyataannya, mencari sosok yang cocok untuk menemani sisa kehidupan tidak semudah dibayangkan.

            “Itu tetangga udah ngira kamu enggak laku.” Sang ibu kembali melanjutkan kalimatnya.

            Kini Rania hanya tersenyum miris. Dia merasa heran kenapa tetangga di desa berpikir jika umur 25 tahun belum menikah itu artinya tidak laku. Entah teori dari mana yang mereka pelajari. Yang jelas semua itu telah merasuk di pikiran ibu Rania hingga berakhir menuntut putrinya untuk segera menikah.

            “Enggak perlu didengerin, Bu. Toh mereka enggak ikut merasakan hidupku kayak gimana,” jawab Rania cukup santai.

            Gadis dengan setelan sederhana itu memang tidak mematok harus menikah pada umur berapa. Dia saja masih mencari yang cocok dan bisa menerima segala kekurangannya. Tidak mungkin Rania memilih sembarang orang asal bisa segera menikah. Bagi gadis itu, menikah untuk seumur hidup, jadi harus dipertimbangkan banyak hal, tidak kecuali dalam memilih pasangan.

            “Mau sampai kapan? Tuh lihat temanmu udah punya anak dua,” ungkap sang ibu.

            “Iya. Doain aja, Bu,” jawab Rania.

            Memilih untuk mengiyakan adalah jurus terakhir Rania agar bisa menyudahi percakapan. Dia masih harus memikirkan permasalahan pekerjaan, tidak hanya perihal tuntutan menikah dari para tetangga. Bagi Rania, ini hidupnya, bukan mereka. Jadi, yang bisa mengatur seluruhnya adalah Rania sendiri. Orang lain tidak berhak untuk ikut campur di dalamnya.

            Rania terkekeh pelan saat semua itu kembali teringat di dalam pikirannya. Sebenarnya bukan hanya ketika umur gadis itu beranjak 25 tahun. Sampai sekarang semua hal itu masih menjadi hal yang diserukan oleh banyak orang. Bukan dari segi tetangga desa Rania, karyawan di kantor pun turut mempertanyakan kapan dia menikah.

            “Umur lo udah 27 tahun. Jangan ditunda-tunda lagi.”

            Kira-kira begitulah ucapan yang diungkapkan oleh beberapa karyawan. Padahal mereka tidak tahu kesulitan apa yang Rania hadapi. Bagaimana dia harus melawan ketakutan yang semakin mengikat hati dan perjalanannya. Semua itu tidak mudah bagi gadis yang saat ini sedang menatap langit-langit ruangan. Membayangkan hidup berumah tangga dengan pasangan yang tepat. Namun, sayangnya semua itu masih sekadar angan. Kenyataannya, mencari yang pas itu tidak mudah untuk Rania.

            Gini banget hidup di dunia ini. Rania mengeluh lirih lantas meletakkan kepala di meja sambil memikirkan nasibnya.

            Rania tidak bisa memilih alur seperti apa yang akan dilaluinya. Tidak bisa menerka di hari berikutnya akan terjadi hal apa untuk menjadi cerita. Gadis itu hanya bisa berharap yang terbaik di saat hidupnya masih akan tetap berjalan terus ke depan.

            “Apa aku terima perjodohan dari Ibu saja, ya?” tanya Rania lirih.

            Gadis itu mencebikkan bibirnya. Memikirkan tuntutan menikah memang selalu mengundang pusing untuk Rania. Dia kini menyandarkan punggung di kursi setelah puas mendinginkan kepala di meja. Mata bulat Rania memandang ke arah langit-langit ruangan sambil membayangkan tentang kehidupan pernikahan. Dalam bayangan gadis itu, pernikahan akan dijalani dengan indah ketika bersama orang yang tepat. Namun, mencari sosok itulah yang masih menjadi tugas berat untuk Rania.

            Helaan napas pelan terembus begitu saja dari Rania. Dia memilih beranjak menuju ke ruangan lebih luas untuk sekadar menghirup udara untuk menghilangkan penat. Waktu memang masih terlalu awal untuk beranjak istirahat, tetapi bukan berarti harus bekerja terus-menerus. Kadang kala otak perlu didinginkan dari banyaknya pekerjaan menumpuk.

            Rania memandang hamparan gedung-gedung ibu kota yang saling menjulang tinggi. Menatap keramaian jalanan dan polusi yang menyebar hampir seluruh wilayah ibu kota. Bukan pemandangan indah memang, tetapi cukup untuk membawa pikiran Rania kembali pada beberapa minggu yang lalu. Saat itu dia tengah pulang ke rumah. Pada awalnya semua berjalan seperti biasa. Mengobrol dengan keluarga besar dan membahas banyak hal. Hingga tiba-tiba pembahasan mengarah pada diri Rania seolah mereka sangat memiliki andil dalam perjalanan hidupnya.

            “Kamu nunggu apalagi, sih? Kerjaan udah mapan, umur juga. Jangan nunda-nunda, Ran. Segera nikah daripada jadi perawan tua,” ujar salah seorang sepupu Rania yang telah memiliki satu anak.

            “Nunggu yang pas dong, Mbak. Kan nikah sekali buat seumur hidup. Kalo salah pilih, emang Mbak mau tanggung jawab?” jawab Rania dengan santai.

            “Jadi cewek jangan pemilih, Ran. Jangan ditinggikan kriterianya. Terlalu pemilih juga enggak baik,” timpal wanita paruh baya lainnya.

            “Emang belum nemu yang pas aja. Ya doain aja Bude. Semoga segera,” ucap Rania masih mencoba untuk bersikap sopan.

            Sejujurnya dalam hati Rania sudah malas meladeni setiap ucapan yang keluar dari mereka. Seolah apa yang mereka katakan itu sangat mudah untuk dilakukan. Tinggal pilih lalu menikah. Padahal mereka tidak merasakan sendiri bagaimana Rania menjalani hidupnya. Bagaimanapun itu adalah alur hidup Rania yang telah Tuhan gariskan.

            “Kenapa selalu ribet gini, sih?” tanya Rania dengan mata bulatnya masih menatap pemandangan kota.

            Rania kembali mengembuskan napas lirih. Dia juga ingin segera bertemu dengan jodohnya. Namun, Tuhan seakan-akan ingin membuat gadis itu lebih berusaha lagi agar mendapatkan sosok yang memang dia inginkan.

            Sebenarnya tidak jarang ada yang mendekati Rania. Mencoba mengenal gadis itu dan berakhir bisa keluar bersama. Beberapa kali juga ada yang langsung mengatakan suka kepadanya, tetapi semua hanya sebatas itu. Tidak ada yang berjalan hingga menuju akhir bahagia. Hal itulah yang membuat Rania semakin berhati-hati dalam memilih. Selain itu, pemberitaan bermacam-macam cerita tentang pernikahan juga memberikan dampak untuk Rania.

            “Ran, lo di sini ternyata,” ucap Liana yang menepuk pelan pundak Rania.

            “Oh, maaf. Ada apa, Li?” tanya Rania.

            “Diajak keluar anak-anak buat ngopi di depan. Ikut enggak?”

            “Skip dulu. Aku ada janji nanti siang buat ketemu temen,” jawab Rania menolak ajakan dari Liana.

            “Oke deh.” Liana beranjak pergi setelah mendengar penolakan dari Rania.

            Melihat temannya telah menghilang dari pandangan, Rania tersenyum tipis. Waktu memang berjalan dengan cepat. Tidak gadis itu sadari jika jam di dinding telah menunjukkan pukul 12 siang. Setelah puas memandangi hamparan gedung tinggi, Rania akhirnya berjalan kembali ke meja untuk mengambil tas. Dia akan menemui teman lamanya yang sempat tidak sengaja bertemu lalu berakhir terjalin komunikasi. Rania bahkan hampir melupakan sosok temannya itu jika dia tidak mengingat insiden memalukan dulu.

            Suara pemberitahuan pada ponsel Rania membuatnya mengalihkan atensi. Sebuah pesan masuk dari si teman yang telah menunggunya di depan. Dia sengaja meminta untuk dijemput agar bisa berangkat bersama mengingat temannya juga bekerja di dekat sana.

            “Hai,” sapa seorang pemuda tampan yang merupakan teman Rania.

            “Nunggu lama enggak, Bay?” tanya Rania sesaat setelah dia duduk di bangku penumpang di samping pemuda bernama Bayu.

            “Enggak. Gue juga baru nyampai kok,” jawab Bayu. “Langsung berangkat, nih?” tanyanya.

            Rania mengangguk pelan lantas kemudian mobil yang ditumpangi mulai berjalan. Mereka saling membicarakan banyak hal seakan mengisi waktu yang terlewat. Melupakan sejenak tentang beban hati dari segala omongan orang. Rania menikmati waktunya bersama Bayu. Obrolan yang mengalir membuat gadis itu larut dengan tawa bahagia tercepat pada wajahnya.

            “Gue enggak tahu kalo lo udah lama di ibu kota,” ujar Bayu saat mereka telah sampai di tempat tujuan.

            Gadis yang saat ini sedang membuka buku menu mengalihkan sebentar sebelum terkekeh. Rania tidak tahu ini karena Bayu gugup bertemu dengannya atau memang pemuda itu lupa jika mereka sudah sempat membahasnya di perjalanan.

            “Mau berapa kali kamu nanyain hal itu?” ucap Rania sedikit bercanda.

            Hal itu tentu mengundang senyuman malu dari Bayu. Mereka kembali melanjutkan perbincangan setelah memesan makan siang. Dua pasang muda-mudi itu menikmati waktu mereka dengan banyak cerita.

            “Ran, lo udah punya calon?” tanya Bayu tiba-tiba.

            Rania yang mendengar hal itu cukup merasa terkejut. Terbukti dengan jantung gadis itu yang tiba-tiba berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia tidak pernah berpikir jika Bayu akan melontarkan pertanyaan itu. Pertemuan mereka terbilang baru terjalin kembali selama beberapa hari. Meski teman lama, tetap saja komunikasi mereka baru sebentar.

            “Kenapa nanya gitu?” Rania memandang teduh ke arah Bayu.

            Pemuda di hadapan Rania itu tersenyum tipis. Dia terlihat mengaruk tengkuknya yang tidak gatal karena merasa canggung setelah melontarkan pertanyaan.

            “He he he, hanya ingin tau aja,” jawab Bayu.

            Kini giliran Rania yang tersenyum. Baru kali ini gadis itu bertemu dengan sosok pemuda yang membuatnya tersenyum tanpa alasan jelas. Rania menggeleng pelan melihat sikap Bayu. Dulu pemuda itu memang cukup pemalu untuk sekadar menyapa Rania.

            “Aku masih sendiri. Masih belum nemu yang cocok buat kuajak ngabisin sisa umur,” ujar Rania dengan sedikit bercanda.

            “O-oh kirain udah punya.” Bayu terlihat tersenyum tipis.

            Obrolan mereka terhenti saat makanan yang dipesan telah datang. Tidak ada kata yang keluar saat mereka menikmati makanan. Pikiran Rania sendiri sedang memuji rasa dari makanan yang dia santap. Sesekali mata bulatnya melirik ke arah Bayu. Sempat terlintas dalam pikiran Rania jika pemuda di hadapannya itu ingin mendekati. Mengingat pertanyaan Bayu tadi yang seolah menjurus ke arah sana. Namun, Rania memang tidak boleh berharap terlalu tinggi. Cukup sudah hidupnya penuh dengan aturan dari orang-orang sekitar yang membuat sesak di dada. Untuk perihal jodoh, biar Tuhan yang memberikan takdir baik untuk Rania.

            “Kapan lo pulang lagi ke kampung?” Bayu kembali membuka obrolan saat makanan mereka sudah hampir habis.

            Rania terlihat menyeka mulutnya dengan tisu sebelum menjawab pertanyaan Bayu.

            “Minggu depan mungkin. Sebenarnya males juga pulang. Soalnya di rumah enggak cuma Ibu yang ngatur hidupku, tapi tetangga juga,” jawab Rania sambil memamerkan gigi putihnya.

            “Ha ha ha. Ada-ada aja lo.” Bayu terkekeh gemas mendengar jawaban Rania.

            “Bener kok. Emangnya hidupmu bisa lepas dari gosip-gosip orang? Enggak ngelakuin apa-apa aja udah dijabarkan ke arah yang lain,” jelas Rania.

            Gadis pemilik mata bulat itu sudah cukup hafal bagaimana hidupnya berjalan selama ini. Rania sudah sering kali mendapatkan tatapan salah ketika dia bahkan tidak melakukan apa-apa. Rasanya apa pun yang dia lakukan pasti akan mengundang komentar dari orang-orang. Bukan hanya itu, Rania bisa membeli mobil saja sudah dikira macam-macam.

            “Gue ikut lo pulang minggu depan, ya. Rasanya udah lama gue gak main ke rumah lo,” ujar Bayu dengan spontan.

            Rania tersedak air minum yang baru saja diteguknya setelah mendengar ucapan Bayu. Dia memandang lekat ke arah Bayu untuk meminta penjelasan. Namun, pemuda itu malah terkekeh dan tidak memberikan jawaban. Bayu hanya menjawab sekadar ingin bermain dan berkeliling kota kelahiran Rania.

            Setelah itu, tidak ada obrolan lebih lanjut. Mereka memilih untuk kembali ke kantor mengingat waktu istirahat sudah habis. Di dalam perjalanan pun tidak ada lanjutan obrolan tentang bermain ke kota kelahiran Rania. Mereka kembali hanya mengulas tentang kesibukan selama di ibu kota dan sesekali menceritakan soal pekerjaan yang tidak ada habisnya.

            Perjalanan yang hampir memakan waktu setengah jam itu akhirnya berhenti tepat ketika Rania turun dari mobil di pelataran kantor. Gadis bermata bulat itu tersenyum simpul lantas melambaikan tangan saat Bayu berpamitan.

            “Habis bapak-bapak, sekarang siapa lagi?” cibir salah seorang senior Rania yang tanpa sengaja melihat Bayu.

            Tidak akan ada habisnya jika Rania menanggapi. Dia hanya menampilkan senyuman tipis sebelum menunduk hormat dan kemudian melangkah menuju ke ruangan. Sudah terbiasa bagi Rania mendapatkan gunjingan seperti itu. Seolah apa yang dia lakukan selalu salah di mata orang lain. Padahal gadis itu hanya ingin menjalin komunikasi baik dengan semua karyawan. Bedanya, dia memang lebih nyaman berbagi pemikiran dengan bapak-bapak di kantor daripada ibu-ibu karyawan yang senang menggunjingkan orang. Mungkin jika ditanyai tentang gosip terhangat artis masa kini, mereka pasti akan menjawabnya dengan cepat.

            Terkadang Rania merasa kesal dengan semua itu. Dia ingin membuat pembelaan, tetapi selalu urung dilakukan karena merasa sia-sia. Mau dijelaskan bagaimanapun, jika mereka memang tidak menyukai Rania, maka semua tetap akan terlihat salah.

            Gini amat buat nikmati hidup. Rania mengeluh saat dia baru sampai di meja.

            Gadis itu menyandarkan punggungnya di kursi. Kemudian mengingat kembali pertemuannya dengan Bayu. Seulas senyuman terukir pada wajah Rania. Selama ini tidak banyak pemuda yang mendekati Rania dengan tujuan tertentu. Meski Bayu terlihat seperti itu, tetapi Rania merasa ada hal yang berbeda. Dia nyaman berada di dekat Bayu. Terlebih dengan obrolan mereka yang selalu menyambung tanpa perlu kehilangan topik untuk dibahas. Selalu saja mereka menemukan hal yang akan diobrolkan secara panjang lebar.

            “Bayu masih single, kan? Takut aja gitu, diam-diam dijadikan selingkuhan,” monolog Rania di dalam hati. Namun, setelah itu dia terkekeh karena merasa heran atas pemikirannya.

            “Sepertinya aku udah gila,” ujar Rania sambil menggeleng pelan.

            Jemari Rania kembali menari di atas papan ketik. Dia mencoba menyelesaikan pekerjaan agar minggu depan tidak terlalu banyak. Hal itu juga dilakukan agar pikiran Rania tidak ke mana-mana lagi. Sudah cukup hari ini dia memikirkan banyak hal tentang hidupnya. Memutar semua ingatan tentang aturan hidup yang dicampuri oleh orang lain. Rania tahu jika jalan hidupnya masih akan terus berjalan. Dia memang tidak bisa mengontrol apa yang orang lain pikirkan. Gadis itu hanya bisa memastikan agar dirinya bisa menyaring atas semua ucapan orang.

            Selama ini Rania selalu mencoba menjalani hidupnya tanpa kerumitan. Dia melangkah santai, menyenangkan diri, bekerja dengan baik, hingga tidak lupa untuk memanjakan tubuhnya di kala penat menyerang. Rania selalu berprinsip jika ini hidup yang dia jalani. Orang lain bukan penentu hidup, melainkan diri sendirilah yang mengarahkan akan melangkah ke mana.

            Perjalanan itu akan terus terlalui dengan hari yang berganti dan waktu berputar seperti roda. Bahkan Rania merasa heran dengan waktu yang berjalan cepat. Buktinya dia kini sudah duduk manis di rumah sambil menyeruput teh hangat di gelas. Memang waktu seminggu itu tidak terasa. Rania benar pulang ke rumah bersama Bayu. Pemuda itu benar-benar melakukan keinginannya untuk berkunjung ke rumah. Bukan sekadar untuk melepas rindu, tetapi pemuda itu malah mengutarakan niat yang tidak pernah Rania duga.

            “Bapak, Ibu, sebenarnya kedatangan saya ke sini mau meminta Rania buat jadi pendamping hidup saya,” ujar Bayu dengan lugas.

            Gadis yang duduk di dekat sang ibu langsung membulatkan mata mendengar penuturan teman lamanya. Rania bahkan menanyakan berkali-kali tentang ucapan Bayu. Dia hanya takut jika Bayu bercanda di saat kedua orang tuanya sudah tersenyum bahagia.

            Niat itu tentu saja disambut baik oleh kedua orang tua Rania. Sementara itu, gadis yang masih duduk di dekat sang ibu hanya menjadi penonton. Tidak ada yang menanyakan pendapat Rania perihal jawaban. Semua tiba-tiba sudah diputuskan dan dia tidak dapat membantahnya.

            “Lho kok udah diputuskan? Emang Rania mau sama dia?” protes Rania di depan kedua orang tuanya.

            “Udah enggak perlu protes. Kamu tuh harusnya bersyukur dapat cowok tampan kayak Nak Bayu gini,” ujar ibu Rania dengan santai.

            “Tapi, Bu—“

            “Sssttt, udah enggak perlu ngebantah.” Sang ibu kembali memandang hangat ke arah Bayu melupakan Rania yang sudah mencebik kesal.

            Hari itu menjadi perubahan bagi hidup Rania. Keputusan yang diambil turut memberikan dampak bagi sekitar. Berita tersebar dengan cepat seperti angin yang berembus. Semua pasang mata saling menatap ke arah Rania tiap kali dia berjalan keluar. Memandang dengan banyak pertanyaan tentang berita lamaran dadakannya.

            Sementara itu, Rania tidak peduli akan hal itu. Dia sudah cukup dibuat pusing dengan keputusan yang harus diterimanya. Terlebih rencana akad nikah yang akan digelar seminggu lagi. Bukannya tidak setuju, hanya terasa terlalu cepat bagi gadis itu untuk memahami semua. Dia saja belum tahu sejak kapan Bayu memiliki rasa. Belum lagi dengan pertemuan mereka yang baru sebentar. Lalu tiba-tiba pemuda itu datang dengan niat lain yang membuat Rania terkejut.

            Hela napas lirih terembus dari Rania. Teh hangat gadis itu telah tandas. Pandangannya mengarah pada pelataran yang penuh bunga milik sang ibu.

            “Beneran nih minggu depan aku nikah?” tanya Rania di dalam hati.

            Mata bulat Rania memandang kosong. Dia masih memikirkan banyak hal tentang hidupnya yang sebentar lagi berubah. Tidak pernah Rania bayangkan jika harapan tentang jodoh akan datang secepat ini. Dia bahkan tidak menyadari waktu yang bergulir dengan cepat seperti perjalanan menembus ruang. Jika sebelumnya Rania duduk di ruang tamu dengan menyeruput teh, maka kini dia tengah terpaku melihat bingkai diri sedang dirias.

            “Aku nikah hari ini?” Rania kembali melontarkan pertanyaan kepada dirinya sendiri.

            Gadis itu berdiri di depan cermin. Menatap dirinya dalam balutan kebaya putih dengan riasan sederhana yang membuat Rania terlihat cantik. Seminggu yang terlewati rasanya hanya sekejap. Apalagi dengan seluruh gunjingan dari tetangga perihal pernikahan dadakan gadis itu. Entah sudah berapa banyak bisik-bisik yang mengatakan jika Rania hamil di luar nikah. Padahal bersentuhan dengan lawan jenis saja gadis itu tidak pernah. Dari mana bisa dia hamil di luar nikah. Memang terkadang pemikiran orang lain itu terlalu mengerikan.

            “Sah!!!” seru banyak orang yang berada di ruang tamu rumah Rania.

            Gema suara itu terdengar di telinga Rania membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Akad nikah sudah dilaksanakan, itu artinya dia telah resmi menjadi istri dari pemuda yang tidak pernah Rania bayangkan. Perlahan gadis itu menyingkap tirai kamar dan berjalan menuju ke tempat akad. Di sana sudah ada Bayu dan keluarga menunggu.

            “Halo, Istriku,” sapa Bayu dengan lembut saat Rania sudah duduk di sampingnya.

            Semua atensi terpusat kepada mereka. Kamera ponsel juga turut memeriahkan saat pasangan baru itu saling bersalaman. Semua bersorak seakan melupakan obrolan miring yang sempat tercipta. Orang-orang yang melihat juga menyunggingkan senyuman seperti merasa bangga dengan alur hidup yang Rania pilih. Mereka berseru memuji betapa serasinya Rania dan Bayu. Padahal jauh sebelum itu, mereka sering mencibir jika Rania tidak laku.

            Rania berdiri kaku sambil tersenyum menyambut ucapan selamat dari orang yang disebut tetangga dan keluarga. Dia menerima salaman itu dengan pelan. Seperti sengaja bersikap anggun untuk memberitahu kepada mereka jika gunjingan tentang gadis tidak laku itu bukan sebuah kebenaran. Buktinya Rania telah bersanding dengan seorang pemuda meski umurnya sudah 27 tahun.

            Nikah juga kan akhirnya diriku. Mana yang bilang aku enggak laku? Rania melihat sekitar sambil mengangkat dagu dan mengaitkan tangannya di lengan Bayu dengan erat.

            Gadis bermata bulat itu seolah ingin memamerkan kemesraan untuk membantah seluruh obrolan tidak jelas tentangnya. Namun, Rania sedikit lupa jika hidup masih terus berjalan ke depan. Meski kini dia berhasil membungkam mulut para mereka yang sering mengatakan hal tidak-tidak tentangnya. Rania merasa hidupnya telah berada di titik kemenangan setelah bisa mematahkan anggapan orang-orang. Hingga satu bulan setelah pernikahan, gadis itu baru menyadari sesuatu tentang aturan hidup yang tidak akan pernah berubah. Aturan yang sudah seperti hukum alam di dalam kehidupan.

            “Kapan punya anak? Disegerakan aja. Enggak perlu ditunda.”

            Rania hanya bisa tersenyum tipis. Dia ingin berteriak kesal atas aturan yang tidak pernah terhapus dari perjalanan hidupnya.

            Gini amat hidup. Rania mengeluh dalam hati sambil meratapi nasib ke depannya.

 

~ Selesai ~

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi