Warung sebenarnya memiliki banyak fungsi untuk sebagian orang. Di Warung Pojok, - mereka menamai Warung Pojok karena letaknya yang berada pada ujung gang dan berada di samping warung kopi bernama warkop pojok. Sebenarnya juga penamaan warung ini asal-asalan saja karena kebetulan pemilik warkop seringkali membeli kantung plastik disana, dan ketika ditanyai, ia akan menjawab “Sebentar mau ke Warung Pojok beli plastik.” – mereka tidak menggunakan warung hanya sebagai tempat bertransaksi. Seringkali pelanggan-pelanggan disana mengisi kekosongan ketika menunggu Mbak Sri menjumlah belanjaan mereka, mereka membicarakan banyak hal. Tak sedikit pula yang sampai menghabiskan beberapa jajanan untuk menemani obrolan-obrolan ringan tersebut.
Warung Pojok memiliki makna tersendiri bagi warga Kampung Juwada. Sebagian besar dari mereka menumpukan pada WarJok – sebutan Warung Pojok – untuk kebutuhan sehari-hari mereka. Ibu-ibu disana akan pergi kesana minimal sehari sekali meskipun paginya telah ke pasar. Warung Pojok selalu ramai setiap harinya. Mulai dari pagi hingga malam hari tak akan pernah sepi pembeli, mungkin hanya waktu-waktu tertentu seperti sehabis dzuhur saja warung ini nyaris kosong, sisanya akan penuh dengan pembeli. Pelanggan warung ini berasal dari berbagai macam gang, bisa dibilang Warung Pojok adalah warung paling terkenal di seluruh desa. Mereka mengenal Warung Pojok sebagai warung yang murah dan lengkap dari seluruh pelosok desa.
Pagi ini, seperti biasa, Warung Pojok dibuka dengan obrolan-obrolan ringan pengunjungnya. Dimulai dari harga cabai yang semakin naik hingga merambat ke obrolan-obrolan yang lebih serius.
“Tahun kemarin itu harusnya kita pakai kostum yang lebih heboh.” Bu Marni, salah satu pelanggan yang setiap harinya selalu mampir meskipun hanya membeli permen itu berbicara sambil melotot.
“Kurang heboh gimana? Kita sudah pakai daun dan tali-talian begitu masa kurang heboh? Menurutmu kita harus pakai baju ondel-ondel biar heboh?” Sergah Bu Ratna yang tidak mau kalah. Biskuit yang dimakannya telah bercecer di hadapannya.
“Ya, pokoknya yang hueboh dan tidak biasa, gitu lho, Rat.” Bu Marni menyambungkan. “Kan sejatinya diadakan karnaval itu untuk menyambut hari tertentu, gitu toh. Nah salah satunya itu ya dari kreativitas yang mok tuangin gitu loh, Rat. Zaman-zaman sekarang ini apalagi banyak anak muda, tapi di kampung kita ini yang keluar waktu acara cuma orang-orang tua sama anak kecil saja.”
Bu Ratna yang disampingnya hanya mendengarkan sambil mengangguk-angguk dan menghabiskan sisa brondong jagung yang dibukanya tadi. “Aku tambahin jahe seperempat, Mbak Sri.” Ujarnya pada Mbak Sri yang sedang mengambil barang pembeli lain. “Ya siapa tahu Mbak Mar mereka punya kesibukan lainnya. Ndak bisa disamaratakan juga. Lagipula seperti Ara anak Mbak Sri itu juga bekerja.”
“Tapi setidaknya menunjukkan rasa nasionalisme, gitu loh, Rat. Ini kan juga agustusan, masa sama negara sendiri nggak peduli. Besok-besok mau jadi apa.” Sergahnya kembali. “Ya, toh, Sri? Kan mereka tuh banyak yang berpendidikan katanya. Seharusnya menerapkan gotong royong.”
“Iya juga, Mbak Mar. Tapi semuanya tidak bisa dipukul sama rata. Kalau aku setuju dengan Mbak Ratna. Menurutku lagi, yang penting acara ini berjalan terus setiap tahunnya. Meskipun banyak juga hitungannya yang memilih untuk menjadi penonton, itu juga penting. Coba bayangkan kalau seluruh dari warga kampung ikut partisipasi dalam karnaval? Siapa yang mau nonton nantinya? Siapa yang mau menyiapkan keperluan-keperluan make-up, mobil, atau perlengkapan lain? Memangnya sampeyan mau kalau disuruh siap-siap begitu? Aku sih enggak. Lebih enak jadi partisipan, cuma jalan, keliling, kalau menang dapat hadiah. Hitung-hitung juga ngisi waktu luang.” Jelas Mbak Sri panjang lebar.
Mbak Sri selalu menjadi penengah di antara diskusi-diskusi panjang di warungnya. Ia dikenal sebagai penyuara paling netral di seluruh kampung. Pembawaannya memang terkenal cerewet – orang bilang warga Kampung Juwada semuanya cerewet. Kalaupun tidak cerewet, mereka juga tidak pendiam – dan ceplas-ceplos. Mungkin itu juga yang menjadikan warungnya terkenal di antara ibu-ibu kampung sebagai warung pembawa informasi. Ia selalu terbuka kepada siapapun, tidak pernah tidak menjawab apabila ditanyai tentang apapun. Sewaktu-waktu jika ada perdebatan hebat di warungnya, diskusi-diskusi panjang, atau se-sepele kabar burung, ia selalu berhasil menggiring pembicaraaan rersebut menjadi suatu hal yang netral.
Pernah sekali, warga di kampungnya berdiskusi tentang siapa yang mencuri kotak amal musholla. Beberapa warga yang datang terbelah menjadi dua kubu, satu kubu menuduh salah satu warga mantan narapidana yang terkena kasus pencurian, satu kubu lagi menuduh tukang bersih-bersih musholla. Keduanya berdebat dengan menyuarakan pendapat dan teori masing-masing. Mbak Sri sebagai pemilik warung yang berlaku sebagai hakim di antara dua kubu tersebut kemudian mengambil jalan tengah. Ia menyarankan untuk memeriksa kamera pengawas yang terpasang di salah satu rumah warga di depan musholla dan berhasil menangkap pelaku yang nyatanya bukan warga kampung itu.
Mbak Sri merasa ia memiliki satu tanggung jawab yang tak kasatmata. Baginya, warungnya harus menjadi salah satu tempat yang nyaman untuk semua pembelinya. Bukan dengan menyajikan dagangan yang lengkap dan murah, namun juga dengan melayani mereka sepenuh hati. Ia selalu menganut prinsip bahwa rezeki datang dari mana saja. Salah satu yang harus ia lakukan adalah tetap membuat warungnya se-kondusif mungkin, tidak boleh ada pertengkaran atau kabar buruk tentang warungnya.
“Tadi malam si Maya datang kesini, dia tanya apa saja kebutuhan yang kurang buat karnaval besok. Aku bilang kemarin sudah ditotal semua sama si Azam, jadi aman sejauh ini.” Jelas Mbak Sri final.
Ibu-ibu itu hanya manggut-manggut saja dan menunggu belanjaannya dihitung. Biasanya, mereka akan menghabiskan waktu di Warung Pojok minimal setengah jam. Mengobrol, kemudian apabila obrolannya sudah habis, mereka akan menguraikan pesanannya, kemudian sembari menunggu belanjaan mereka dihitung dan dikemas, mereka akan mengisi lagi dengan obrolan-obrolan lain. Begitu sampai mereka kehabisan bahan obrolan atau ada suatu kepentingan lain.
Seminggu terakhir, Warung Pojok dipenuhi oleh warga yang mengikuti karnaval tujuh belas agustus di kampungnya. Mayoritas dari mereka mencari bahan untuk menghias sepeda anak-anaknya. Karnaval itu memang diadakan setiap tahun. Pada siang hari, karnaval akan berlangsung dengan pawai warga desa dengan sepeda hias yang diikuti oleh anak-anak. Malamnya, setiap kampung memiliki kebiasaan yang berbeda. Di Kampung Juwada, mereka akan mengisi malam tujuh belas dengan pembacaan juara dan pembagian hadiah dari lomba yang diadakan seminggu terakhir dan acara puncak tahun ini adalah orkes musik. Orkes itu akan diadakan dengan sangat meriah, mengundang beberapa penyanyi dan dihadiri oleh warga dari beberapa kampung, tidak jarang juga yang datang dari desa sebelah.
***
Bulan agustus selalu menawarkan kemeriahan tersendiri. Baliho-baliho terpasang sepanjang jalan, pengeras suara telah memutar musik kencang-kencang. Anak-anak dengan riangnya bangun pagi dan antusias menunjukkan sepeda hias mereka. Siang ini, semua warga desa berkumpul menjadi satu di lapangan. Bersiap untuk berkeliling dengan pertunjukan kostum dan properti terbaiknya. Terlihat beberapa anak muda yang menunggangi unta besar lengkap dengan udeng sorban di kepalanya. Ada lagi yang membawa serupa kuntilanak raksasa dengan bayi di gendongannya. Suasana berlangsung begitu meriah hari ini. Senyum-senyum dan gelak tawa merekah di wajah semua orang. Layar-layar handphone diangkat tinggi-tinggi guna menangkap objek yang dimau.
“Nanti rutenya seperti biasa, ya. Lewat depan sekolah, kemudian lurus terus belok kiri depan masjid. Nanti berhenti sebentar di lapangan sebelah masjid, atraksi. Atraksinya satu per satu, jangan bareng-bareng. Nanti ada intruksi dari panitia. Setelah itu rutenya naik ke jalan gang Asri. Terus saja, kemudian belok buat balik kesini lagi.” Suara panitia mengarahkan lewat pengeras suara yang hanya benar-benar didengar oleh beberapa orang saja. Sisanya sibuk dengan dirinya masing-masing.
Karnaval itu berlangsung dengan meriah. Warga-warga yang mengiringi berjalan di belakang barisan pawai. Anak-anak dengan sepeda hiasnya di belakang. Di antara begitu banyak kampung yang berpartisipasi, ada salah satu barisan yang menarik perhatian warga sekitar. Barisan dari Kampung Juwada. Mereka mengusung tema flora khas Indonesia. Ada yang berkostum bunga raflesia arnoldi. Menariknya, ia juga berbau agak busuk yang membuat beberapa orang di sebelahnya menutup hidung. Ada juga yang mewarnai dirinya dengan warna putih kekuningan demi mendapatkan warna yang sempurna seperti anggrek bulan bintang. Ia juga mengenakan pakaian yang dimodifikasi sedemikian rupa seperti layaknya kelopak bunga. Warga semakin takjub tatkala mereka menunjukkan aksinya saat pertunjukan. Warga Kampung Juwada memang tidak membawa properti besar layaknya warga kampung lain, namun setiap pesertanya menggunakan kostum masing-masing dan menunjukkan bagaimana flora-flora tersebut tumbuh dan bertahan hidup.
Bu Marni yang memutuskan untuk menjadi anggrek menunjukkan bagaimana ia tumbuh sebagai parasit di pohon lain. “Hei, Maya! Kau ini jangan geli-geli lah kalau kupeluk. Nanti kita kalah gimana, hah? Mau kau kalau kita kalah?” Semprotnya kepada Maya yang menjadi pohon inangnya. “Haduh, Bu. Kalau mau jadi benalu yaudah nempel aja jangan gelitik-gelitik.” Pungkas Maya akhirnya.
Karnaval itu berlangsung dengan meriah dan lancar. Semua bertepuk tangan ketika sudah kembali ke lapangan. “Eh, tahu tidak, Sal? Tadi itu kayanya Si Ita ga pake pembusuk tambahan waktu jadi bunga busuk itu, apa namanya ya aku lupa.” Ucap Marni sambil bisik-bisik ke Salma di sebelahnya. “Rafflesia Arnoldi, Bu.” Jawab Salma.
“Iya, itu. Itu ‘kan baunya busuk, ya, bunganya. Kemarin kata panitia di kampung itu suruh pakai ramuan pembusuk yang sudah disiapkan sama panitia. Atau mungkin panitianya sudah tahu, ya, kalau si Ita itu memang punya bau badan. Jadi sekalian aja disuruh jadi bunga busuk. Duh duh. Lagipula dia setiap hari baunya sudah sebelas dua belas dengan bau bunga itu tadi. Jadi sepertinya gak pakai pembusuk tambahan memang busuk.” Terang Marni panjang lebar.
Mendengar hal itu, Salma di sebelahnya hanya manggut-manggut kemudian pamit pergi. Seluruh warga kampung telah kebal dengan omongannya yang seringkali mencelos seolah isi otaknya memang transparan.
Pengumuman pemenang karnaval itu berlangsung dengan cepat. Juara tiga besar mendapatkan uang tunai dan juga kenang-kenangan. Juara favorit yang juga sekaligus juara pertama mendapatkan tambahan hadiah uang tunai dan juga voucher liburan. Warga Juwada yang tahu mereka memenangkan hadiah tersebut bersorak riang dan melambungkan bendera kampung mereka tinggi-tinggi sambil sesekali berteriak “Juwada! Juwada! Juwada!” dengan bangganya.
Keceriaan itu dibawanya hingga ke kampung. Malam harinya, ketika mereka mengadakan orkes musik dengan mengundang beberapa penyanyi kabupaten, acara juga berangsung sangat meriah. Warga-warga dari berbagai kampung dan desa datang. Tua, muda, laki-laki, perempuan, semua berkumpul jadi satu.
Acara dimulai dengan pengumuman pemenang lomba yang diadakan di kampung selama satu minggu. Azrin, yang bertugas menjadi pemandu jalannya acara dengan antusias mengumumkan nama-nama pemenang lomba.
“Ayo! Siapa yang sudah gak sabar sama pemenangnya?” Tanyanya begitu memasuki panggung dan disoraki oleh banyak orang. “Sabar, sabar. Langsung saja, ya? Kampung Juwada tahun ini lombanya sangat variatif. Kalau tahun lalu kita fokus dengan lomba anak-anak, tahun ini kita merambah ke emak-emaknya. Dan tahu tidak? Ternyata emak-emak Kampung Juwada ini gak kalah kerennya sama anak-anaknya” Azrin tertawa, meskipun tidak ada yang perlu ditertawakan sebenarnya. “Ayo tepuk tangan!”
“Woi, Azrin! Cepetan lama sekali kau ini mau ngumumin aja kaya mau ngelamar pacarmu banyak basi-basinya!” Teriak salah satu warga dengan tidak sabarnya.
“Loh. Iya, iya pak. Sabar-sabar. Yasudah intinya Kampung Juwada ini keren sangat!” Warga yang merasa dipuji lantas bertepuk tangan dengan antusias.
Seusai pembacaan pemenang lomba, acara yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang itu berlangsung dengan sangat meriah. Warga-warga yang hadir ikut bernyanyi bersama. Sesekali mereka menggoyangkan tubuh mereka sesuai irama, berteriak kecil-kecilan. Sesekali sang penyanyi menarik salah satu penonton untuk bernyanyi bersama di panggung. Saat itulah banyak penonton yang berebut ingin menaiki panggung. Meskipun begitu, acara tetap berjalan dengan kondusif dan tenang.
Ketika mendekati lagu-lagu terakhir, Ratna, salah satu warga Kampung Juwada ditarik oleh penyanyi dan menaiki panggung. Ia agak gugup sebenarnya, namun hal itu dengan cepat ia atasi dan kembali menyanyi dengan irama yang agak tidak karuan. Dengan hanya berbekal kepercayaan diri, ia bernyanyi dengan antusias, menggoyangkan tubuh seiring irama, dan menerima saweran dari beberapa warga. Melihat hal itu, banyak warga yang menyoraki dirinya dan berujung nada tinggi yang dicapainya dengan sekuat tenaga berakhir dengan menyesakkan.
“Haduh, Ratna ini sudah tahu suaranya nggak enak kok pede sekali maju nyanyi. Apa telinganya itu gak dibuka lebar-lebar? Sudah tahu suaranya memekakkan sekali gitu. Bisa-bisa kita semua ini besok ke dokter THT. Lagipula penyanyinya juga tahu kalau suara orang yang ditarik itu gak ada enak-enaknya sama sekali. Kalau aku jadi dia, sih, sudah aku ambil lagi mic-nya, atau ganti narik orang lain.” Protes Marni, yang lagi-lagi hanya dibalas anggukan semata oleh orang di sebelahnya. Merasa tak ada yang menyetujui ucapannya, ia meneruskan ucapannya.
“Apa ganti aku saja, ya, Sur? Suaraku juga lebih enak daripada si Ratna itu. Yah, meskipun tidak seenak penyanyinya, tapi setidaknya aku bisa meneruskan nyanyiannya dengan nada yang benar. Iya, toh, Sur? Kamu ini ditanyai orang tua kok malah diam saja, Sur, Sur. Gak punya mulut, kamu?” Marni semakin sebal lantaran perkataannya tidak digubris sama sekali oleh Suryani di sebelahnya.
“Iya, bu.” Ujar Suryani singkat, padat, namun tak jelas bagi Marni. Merasa sebal, ia akhirnya pergi ke belakang menuju area sound system. Ada beberapa orang kampung yang dikenalnya disana. Memang sebenarnya sound system itu disewa dari salah satu warga kampung, namun yang mengoperasikannya sebagian dari luar kampung.
“Al, ini acaranya kurang berapa menit lagi?” Tanya Marni pada Aldi, salah satu soundman disana. “Kira-kira setengah jam lagi, Bu. Kenapa? Sampeyan kalau sudah ngantuk pulang saja.” Sarannya kepada Marni yang memang terlihat sayu.
“Kata siapa aku ngantuk? Orang masih segar bugar gini, kok. Telingaku cuma pekak aja gara-gara dengar si Ratna nyanyi gitu.” Mendengar itu, Aldi hanya tertawa, usahanya agar terlihat menyetujui perkataan Marni.
“Menurutmu lebih bagus aku atau si Ratna, Al, suaranya?” Aldi terlihat berpikir sejenak. “Bagusan Ibu.” Finalnya. “Iya, ‘kan? Itu si Ratna kok bisa pede banget naik panggung tapi suaranya jelek banget. Mana diterusin sampai tiga lagu itu biar apa, coba? Kayanya kalau isi kepala penontonnya bisa dibaca pasti sudah banyak yang pingin dia turun”
“Ya, sudah, toh, bu. Biarkan saja. Kalau Ibu pingin naik ya pergi ke depan sana. Atau mau saya panggilin pihak penyanyinya kalau Ibu mau nyanyi di panggung?” Marni berdecak kesal mendengar jawaban Aldi, bukannya menyetujui perkataannya, ia malah balik menyerangnya. Dasar anak muda, pikirnya.
***
Orkes musik itu selesai pukul setengah tiga pagi. Meskipun larut, masih banyak warga yang bertahan hingga akhir acara, beberapa di antaranya bahkan tetap disana sampai si penyanyi pulang. Untungnya, hari ini adalah hari minggu, dengan begitu, warga yang bersekolah maupun bekerja tidak perlu repot-repot bangun pagi dan merelakan jam tidurnya.
Namun tidak dengan satu orang. Warga menyebutnya dengan sebutan Pak San. Namanya Pak Hasan. Ia adalah seorang ustadz kampung yang biasanya mengisi pengajian sehabis subuh di surau kampung. Ia tidak pernah absen dalam pengajian rutinnya yang biasanya dihadiri oleh satu hingga empat orang itu. Setiap harinya, ia membahas mengenai topik keagamaan yang berbeda, sesuka hatinya saja. Pagi ini, ia membahas mengenai adab wanita.
Suaranya yang terbilang pelan namun melengking itu kini telah memenuhi seluruh kampung. Speaker yang dipasang di surau itu sengaja ia minta untuk dikeraskan dengan maksimal. “Biarpun yang datang di surau hanya empat orang, tujuan dari pengeras suara ini adalah agar yang tidak bisa hadir bisa juga mendapatkan ilmu yang bermanfaat.” Ujarnya kala itu, meskipun sempat ditentang oleh sebagian orang, karena kadang isi pengajiannya yang ngalor ngidul.
“Wanita itu harus bisa menjaga martabat dan kesopanannya. Bapak-bapak sekalian, kita semua disini pastilah mempunyai kerabat perempuan di rumah, entah itu ibu, saudara, istri, maupun anak. Semua itu menjadi tanggung jawab kita sebagai laki-laki untuk selalu mengingatkan dan membimbing mereka ke jalan yang benar.”
“Bagaimana menjaga martabat dan kehormatan wanita itu? memang benar adanya, perlunya kesadaran dari setiap diri masing-masing wanita itu harus. Percuma saja kita mengingatkan sampai berbusa, kalau mereka tak sadar dan tidak mau berubah, sia-sia semuanya.”
“Apalagi di zaman sekarang ini. Banyak wanita yang tidak bisa memakai baju dengan benar, terbuka sana-sini. Memamerkan paha dan perutnya. Beruntungnya, di kampung kita ini tidak ada wanita yang seperti itu, alhamdulillah. Tapi bapak-bapak sekalian, pakaian itu juga sebenarnya bukan satu-satunya hal yang mencoreng kehormatan wanita. Sifat dan perilaku misalnya.” Ia menyeruput kopinya sejenak.
“Saya ambil contoh tadi malam. Perempuan-perempuan berjoget sampai lupa waktu, berteriak sana-sini. Tidak usahlah seperti itu. Tidak ada untungnya. Yang ada malah nambah dosa. Iya tidak, pak?” Warga disana hanya manggut-manggut sambil matanya setengah terpejam.
“Tidak ibu-ibu, tidak gadis. Sama saja semuanya. Seharusnya perempuan itu menjauh dari hal semacam itu, cukup diam saja di rumah. Contohlah salah satu wanita di kampung kita, yang rumahnya sebelah surau ini. Dia tidak pernah maksiat-maksiat macam itu. Cukup diam di rumah, ibadah, melakukan kewajiban.”
“Apalagi saya lihat kemarin ada janda yang naik ke atas panggung sambil nyanyi-nyanyi keras. Janda loh itu! Astaghfirullah. Saya gak habis pikir. Sudah pula tidak punya suami, malah main-main di depan banyak suami orang seperti itu.”
Pengajian yang biasanya tidak pernah dihiraukan oleh warga kampung itu kini berubah menjadi salah satu isu terpanas yang dibicarakan dimana-mana. Semua warga tidak ada yang tidak membicarakan hal ini. Mulai dari bisik-bisik hingga sindiran-sindiran terlontar dari setiap warga yang mendengar.
Seperti biasa, di Warung Pojok, semua informasi terkumpul. Mulai dari alasan kenapa Pak San berceramah seperti itu, sampai hal ekstrem bagaimana caranya menggulingkan ustad gadungan itu.
“Sudah kubilang, kan. Memang orang itu bukan ustad. Mana ada ustad yang jelek-jelekin warganya sendiri?” Topik pagi ini diawali oleh Andini yang tiba di warung setengah jam yang lalu.
“Tahu tidak? Aku tadi dengar dia bilang istrinya harus dicontoh. Halah, wong istri gitu aja kok dibanggakan. Lebih baik aku, lah. Dia bergaul sama orang aja ndak bisa. Ndak pernah ikutan acara warga. Gimana mau kenal sama tetangga, iya kan, Mbak Sri?” Timpal warga lainnya.
“Memang seharusnya dia tidak boleh pindah kesini. Siapa pula dulu yang nerima orang itu? sekarang nggak ada gunanya sama sekali. Di kampung yang dulu juga nggak ada yang dengerin pengajiannya. Memang orang kaya gitu harusnya dikasih pelajaran biar tahu kalau dia salah.” Marni mulai membuka suara. Ia sudah datang pagi-pagi sekali setelah semua urusan rumah tangganya selesai.
“Aku kalau jadi Mbak Ratna pasti sakit hati. Bayangkan saja statusmu dijelek-jelekkan padahal kamu cuma sekedar bersenang-senang. Ya mana terima dia? Sekarang dia diam saja di rumah. Tadi pagi aku ke rumahnya mau antar makanan tapi yang keluar anaknya. Waktu aku tanya ibu kemana, kata dia masih tidur. Mana ada Ratna tidur habis subuh?” Ajeng yang baru datang menyala-nyala. Ia adalah tetangga sebelah Ratna.
“Iya. Dia biasanya ke pasar pagi-pagi sekali diantar anaknya. Tapi tadi aku cuma melihat anaknya saja yang ke pasar. Pasti ada apa-apa sama dia.” Marni kembali berspekulasi mengenai keadaan tetangga kampungnya itu.
“Gini jadinya kalau kita diam saja sama orang itu, memang harus dikasih pelajaran biar kapok.” Marni melanjutkan. Kali ini raut wajahnya benar-benar serius.
“Memangnya sampeyan mau ngapain, Mbak Mar? Sepertinya juga yang bisa kita lakukan cuma jangan ngikutin orang itu lagi dalam hal apapun. Jangan dengar pengajiannya, jangan mau kalau disuruh-suruh.” Andini jelas tahu, karena suaminya sendiri adalah salah satu pengikut Pak San, dan ia telah merasakan bagaimana suaminya itu terlalu mengikutinya dalam segala hal.
“Ya, ndak tahu. Pokoknya saya sudah muak sama dia. Sudah dari lama saya gak suka, terus kemarin malah dia jelek-jelekin warga disini. Maunya apa saya tak tahu. Ya jelas yang datang ke pengajiannya hanya empat orang, siapa juga yang mau dengar pengajian non-mutu begitu? Mungkin karena orangnya yang seperti itu jadi dia jarang diundang orang luar untuk ceramah-ceramha begitu.” Marrni membeberkan segala yang ada di pikirannya dan kembali menyeruput minumnya. Ia masih sibuk memikirkan bagaimana caranya agar Pak San tidak terlihat lagi di kampung ini.
Saat para warga tengah sibuk mengobrol mengenai Pak San, Ratna memasuki Warung Pojok dengan mata yang amat sembab sampai ia memakai kerudung untuk menutupi hidungnya yang memerah. Warga yang melihatnya sontak langsung menghampiri dan mendudukkannya.
“Sabar ya, Mbak Rat. Sampeyan tidak perlu khawatir, kita-kita ini mendukung Mbak Ratna sebagai sesama perempuan.” Bela Andini sambil mengelus punggung Ratna. Mendengar hal tersebut, Ratna yang awalnya sudah agak tenang kembali menangis.
“Bagaimana Rat? Menurutmu apa kita harus turun tangan langsung supaya orang itu dapat pelajaran? Setidaknya supaya dia sadar kalau merendahkan orang lain itu nggak baik.” Todong Marni yang kesabarannya sudah habis. Ia tidak peduli dengan tangisan Ratna sekarang. Yang ia pikirkan hanya amarahnya yang telah berada di puncak.
“Bagaimana, Bu? Saya ini sakit hati sekali. Saya ndak tahu harus berbuat apa. Saya rasanya ingin marah tapi ndak bisa. Nanti saya dikira malah ndak punya akhlak. Sudah janda, ndak bisa jaga martabat perempuan, sekarang malah memberontak ke ustad.” Ujarnya sambil terisak. Sebenarnya ia mendengar sendiri ceramah yang disampaikan Pak San tadi subuh. Lantas ia menutup telinga anaknya rapat-rapat, berharap agar anaknya tidak mendengar apa yang disampaikan oleh Pak San.
“Loh, jangan begitu, Rat. Perasaan kamu itu valid. Wajar kalau sakit hati. Kalau saya jadi kamu juga bakal sakit hati. Lagipula siapa manusia di dunia yang tidak sakit kalau dirinya dijelek-jelekkan di depan semua orang? Bukan cuma kamu yang marah, aku juga marah, warga-warga lain juga marah.” Warga lain mengangguk setuju mendengar pendapat Marni. lantas kembali menenangkan Ratna.
“Sudah, sudah. Mau bagaimanapun, memang Pak San salah. Tapi ibu-ibu, perbedaan pendapat memang sudah biasa di kalangan tetangga begini, kita itu makhluk sosial. Jadi sudah harus sadar kalau-kalau ada yang tidak sejalan dengan pendapat dan prinsip kita.” Mbak Sri masuk sambil membawa barang-barang pesanan pembelinya.
“Kalau benci, dendam, itu wajar, tapi jangan sampai berlaku yang melewati batas. Cukup didengarkan saj-“
“HEI, SRI! Kamu ini bagaimana? Kamu mau jadi pengikut Pak San? Jelas-jelas dia memang salah. Kamu malah setuju sama omongannya dia. Memangnya kamu nggak kasihan lihat tetangga-tetanggamu dijelekkan? Lihat ini, si Ratna sampai begini sedangkan si begajul itu malah tenang-tenang saja di rumahnya! Aku nggak terima, ya!” Potong Marni panjang lebar. Ia sudah berapi-api. Matanya menyala-nyala dan telunjuknya sudah mendarat di depan mata Sri.
***
Pagi ini, para warga Kampung Juwada dihebohkan dengan teriakan dari samping surau. Para warga kemudian berbondong-bondong menuju sumber suara. Tidak biasanya kampung ini ribut seperti ini. Kampung yang biasanya menawarkan suasana tenang dan sejuk setiap harinya berubah total seketika.
Kejadian yang tidak akan dilupakan siapapun yang datang kesana dan seluruh warga Kampung Juwada. Di rumahnya, Pak San ditemukan tergantung di kisi-kisi atap dengan wajah dan tubuh yang sudah memucat. Di bawahnya, ada istrinya yang menangis meraung-raung sambil memegang kaki Pak San yang tidak menapak lantai.