Disukai
1
Dilihat
1486
Embara Sang Kecoa
Drama

Bila hidup adalah perjalanan, selalu ada awal dan akhir. Bagaimana dengan kisah? Tidak akan pernah menemui titik akhir. 

Jika kalian bertanya siapa aku sebenarnya? Tentu kalian akan terkejut dan aku akan menyampaikan kisah turun temurun dari bangsa kami melalui mimpi seorang manusia. Dan apa yang kalian baca saat ini, ialah karena kebaikan hatinya.

Panggil aku Eco. Dan ini adalah kisah perjalanan melintasi jutaan abad dan dimensi.  

***

Manusia terkadang tidak sadar bahwa mereka sedang dalam perjalanan-perjalanan. Entah itu waktu maupun rasa. Bahkan tak sedikit dari mereka, lupa menuju titik akhir perjalanan mereka. Ialah kematian. Dan beruntunglah aku karena masa hidup lebih panjang, menyaksikan kehebatan para manusia mengarungi kehidupan. Dari mereka belum menemukan pakaian hingga kini pun mengenakan pakaian kekurangan bahan. Mungkin ada benarnya dengan Teori Evolusi Mundur yang dicetuskan oleh salah satu pemikir bangsa kami. Ia menganggap manusia memiliki titik balik, sehingga suatu saat akan kembali sebagaimana mereka sebelumnya. Jiwa-jiwa primitif yang masih melekat, salah satu tandanya.

Dan aku belajar satu hal lagi dari manusia, tidak ada kata puas dalam hidup mereka. Bayangkan bulan nun jauh di sana pun mereka datangi. Andai saja aku ikut sewaktu Neil Armstrong pertama kali menjejakkan kakinya di bulan. Sudah pasti, bangsa kami tercatat dalam sejarah. Ah, aku terlalu banyak berkhayal. 

Aaaaaaaa, kecoaaaaa!!! teriak salah satu wanita dengan sepatu hak tinggi. Melompat-lompat, padahal aku hanya diam di pojok ruangan. Aku tinggal di sebuah bandara internasional, mungkin aku dan beberapa koloni lain termasuk yang paling beruntung. Sungguh salah persepsi bila banyak yang menganggap kami tinggal di tempat kumuh. Kemudian aku terbang ke jendela, bertanya kepada diriku sendiri. Mengapa kami harus bersembunyi di saluran air, kamar mandi atau daerah kotor? Mengapa para manusia begitu terobsesi membasmi kami? Bagaimana bila kami terobsesi memusnahkan balik? 

Kadang kami merasa miris, selain kepada bangsa kecoa sesama manusia pun masih sering memandang rendah satu sama lain. Penampilan akan menjadi tolok ukur yang paling mudah dinilai dan dihakimi. Miskin, melarat, jelek, bau. Jelas-jelas akan diusir, dijauhi, seolah-olah mereka tak layak hidup berdampingan. Pun bangsa kami. Tapi ingatlah, kekurangan akan mengajari bagaimana menjaga kelebihan yang kita miliki.  

Sebagai bangsa hewan yang belum punah dari jutaan tahun silam, tentu aku tidak tinggal sendirian. Setidaknya ada ribuan jumlah kami dalam satu koloni. Tidakkah kalian bertanya-tanya bagaimana kami bisa berkembang biak amat cepat di sebuah tempat yang tak pernah terpikirkan kalian sebelumnya? Ini semua berawal dari pendahulu kami, sepasang kecoa yang tak sengaja terbawa di dalam sebuah kotak sepatu. Mereka akhirnya sampai di sebuah ruangan kecil bandara. Kotak itu dibiarkan lama, tidak ada satupun yang membukanya. Hingga akhirnya mereka berdua bekerjasama membuat celah agar dapat keluar dari kotak sepatu itu. Itulah menurut penuturan sesepuh kami sekaligus cucu generasi pertama pendahulu dari kotak sepatu.

Sesepuh koloni bandara telah membuat sebuah perkumpulan. Kami menyebutnya Perkumpulan Ras Abadi, didirikan sebelum masehi, tanpa masa kedaluwarsa. Hampir setiap malam, kami bercerita tentang apa saja yang terjadi di dunia.

Satu-satunya makhluk purba yang belum punah ialah kita. Manusia kini sudah terlahir kembali, mereka bukan seperti yang dulu lagi. ujar sesepuh kami dalam sebuah percakapan malam.

“Tidak. Aku menganggap manusia itu belum sempurna berevolusi, Tuan dan Nyonya. sahut kepala perkumpulan menimpali perkataan sesepuh.

Mengapa demikian? tanya salah seorang anggota perkumpulan.

Perbincangan semakin ramai, para kecoa muda mulai berdatangan. 

Kadang mereka tidak ada bedanya dari para pendahulunya zaman batu. Saling sikut, lupa kesantunannya sebagai manusia, alih-alih bahkan aku dengar di suatu daerah masih ada manusia kanibal. Lebih keji daripada kita, bukan? jawab kepala Perkumpulan Ras Abadi.

Para kecoa muda menggerakkan sungut-sungut antusias. 

Seharusnya manusia diberi kemampuan seperti Amoeba. Lihat mereka yang disibukkan pelbagai urusan. Melompat dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain.” ujar salah satu kecoa di luar topik pembicaraan.

Manusia itu hebat, mereka tak perlu seperti Amoeba. Sesepuh menengahi.

“Bagaimana manusia menurutmu Eco? Kepala perkumpulan tiba-tiba bertanya padaku.

Selama perjalanan hidupku, bertemu dengan manusia aku sungguhlah jarang. Tapi, kadang aku tak habis pikir. Suatu saat aku pernah melihat di sebuah ruang tunggu. Manusia dengan pakaian bagai tirai yang sering kita panjat itu menangis hanya karena kehilangan sesuatu yang dimilikinya. Apakah kita juga demikian?

Sesepuh segera menjawab, Itulah yang disebut cinta, Co. Justru rasa itu semakin kuat saat manusia tidak memilikinya lagi. Dan kita juga punya rasa itu.”

Suasana mendadak terasa tenteram. Damai. Apa itu cinta? Apakah itu semacam perjalanan jauh yang kuidam-idamkan? Lagi-lagi aku bertanya, semoga ada yang bersedia menjawabnya. Siapapun itu.

****

Hari semakin larut. Sebelum kami pulang ke sarang masing-masing, seekor kecoa yang bertugas sebagai informan berlari sambil berteriak panik. 

Tuan-tuan! Kabar buruk! Kabar buruk!

Tenangkan dulu dirimu. Jelaskan yang sebenarnya Kepala koloni berusaha menyela.

Aku baru saja dari ruangan rapat mereka, sepertinya para petugas kebersihan sedang diajari bagaimana membasmi kita. Dan lebih buruknya lagi, mereka mulai bergerak malam ini. Kita harus pindah. Kita harus pindah. Pindaaaaaaah!”

Ada kesenyapan sejenak, sebelum semuanya panik berlarian. Tak terkecuali aku. Sebelum bergerak jauh, ruangan menjadi panas. Kami semakin tak terkendali. Menyelamatkan diri masing-masing. Aku rasa mereka mulai menembakkan asap-asap beracun ke sarang kami. 

Saat tragedi pemusnahan malam itu, aku diam-diam menyelinap di salah satu tas penumpang. Aromanya wangi parfum kelas dunia, aku pasrah kemanapun tas ini dibawa. Semuanya gelap. Aku memilih diam cukup lama. Hingga perlahan cahaya dari luar mulai masuk melalui celah-celah tas. Tidak ada ruang-ruang beton, hanya ada padang rumput luas. Mungkinkah ini surga yang hilang? Sesepuh kami yang pernah tersesat dalam sebuah embara, bercerita tentang bentang alam hijau yang luas, angin-angin menggetarkan sungut, tidak ada yang mengusir bangsa kami. 

Aku keluar dari dalam tas pelan-pelan, agar tak diketahui si empunya. Dunia terasa semakin tak bertepi. Dedaunan kering, tanah, dan rumput-rumput. Pohon-pohon raksasa. Terik bola api dari langit-langit. Pemandangan asing bagiku. Beruntung aku bisa sampai kesini. Tapi aku tak tahu nasib kawan-kawan yang lain. Semoga mereka selamat. Dan untuk pertama kalinya, aku merasakan sepi, mengembara sendiri, di perjalanan aku berjumpa dengan semut.

Hai, bisakah kau tunjukkan dimana rumah manusia berada?

“Im sorry, what do you talking about?

Kamu bicara bahasa apa?

“I dont understand. Please go away. Sang semut berlalu. Aku tak memahami satupun kata yang diucapkannya. Dimanakah ini sebenarnya? 

Aku tahu rumah manusia tinggal. Ada yang menyahut dari belakang. Dari kejauhan ia begitu mirip denganku. Kepakan sayapnya menerbangkan debu-debu di sekitar kami. 

 

Hahaha, benar yang dibilang si manusia berkacamata itu. Kecoa dan semut tak pernah akur. Oh iya, perkenalkan aku Craig atau bisa kau panggil Krik.”

Salam kenal Krik. Aku Eco. ujarku kedua sungutku merendah, tanda hormat.

Bagaimana kau bisa sampai kesini? tanyanya.

Aku menyelinap di sebuah tas beraroma wangi. Mungkin salah satu teman manusia yang kau tahu rumahnya itu. Koloni kami sedang dimusnahkan oleh para manusia di bandara.”

Kau benar-benar melakukan perjalanan panjang kawan. Selamat. Untuk pertanyaanmu tadi, ikutlah denganku. Rumah manusia berkacamata itu terlalu luas untuk kutinggali sendiri. Tidak banyak bangsa kita di tempat ini. Dan kau tak perlu heran mengapa aku mengerti bahasa yang kau ucapkan. Orang tuaku berasal dari tempat yang sama dari kau berasal, mereka dibawa oleh manusia berkacamata untuk diteliti. Setidaknya kini aku masih bisa menjumpai mereka di sebuah bilik kaca. Mereka diawetkan.

Aku turut pihatin, Krik.

Santai saja, nanti aku lihatkan mereka.

Kami berdua terbang rendah, sesekali mendarat. Kami bukan bangsa burung yang tahan terbang berjam-jam. Hingga tibalah kami di sebuah rumah. Di halaman depannya ditumbuhi bunga berwarna-warni. Krik mengajak masuk melalui celah jendela dan memberikan tur keliling rumah. Di sebuah ruangan, kami melihat si manusia berkacamata itu sedang asik mengiris-iris tumbuhan. Meletakkan di bawah benda yang mirip teropong kecil. Kata Krik itu namanya Mikroskop.

Ada alasan mengapa aku mencari rumah manusia. Tak lain, aku ingin mengenal mereka secara dekat. Bandara bukan tempat yang tepat untuk menilai manusia seutuhnya. Karena mereka hanya singgah sementara. Mereka tak berdiam diri di sana.

Krik tinggal sendiri bersama orang tuanya yang diawetkan di rumah itu. Ia amat senang mendapat kawan bercerita. Nostalgia masa lalu tentang daerahku, asal dari orang tua Krik. Setiap malam aku hanya melihat keluar jendela, bertanya pada diri sendiri tentang nasib keluarga . Aku ingin kembali pulang, tapi bagaimana? 

Krik yang paham akan gelagatku mendekati perlahan.

Kau pernah cerita, bahwa sesepuhmu berkata tentang kehilangan. Percayalah Co, semakin jauh jarak dari mereka yang kau cintai. Maka semakin besar pula rasa memiliki itu sesungguhnya. Kita belajar menghadapi kehilangan, di setiap perjalanan kita bahkan manusia mereka sedang belajar kehilangan. Yang paling utama adalah kehilangan waktu.”

Waktu?

Tidakkah kau menyadari bola api di atas sana itu kadang hilang berganti gelap lalu muncul lagi. Demikian seterusnya, mereka juga berjalan. Itulah waktu. 

Dengan mengenal waktu, aku mulai mengerti dunia yang tak bertepi ini. Setidaknya tahu bagaimana manusia menjalani kehidupannya atas pergantian bola api di langit. 

****

Suatu ketika aku ditemukan oleh si manusia berkacamata di sudut ruangan. Ia memegangku dengan sarung tangan berwarna putih. Lalu meletakkanku di sebuah penampang kaca. Di sampingku tergeletak tumpukan kertas tebal, ia membolak balik. Kemudian melihatku. Berulang-ulang. Hingga akhirnya ia melepaskan kacamatanya dan menarik-narik rambutnya.

Ahhoooy!! teriaknya. 

Manusia dengan kacamata berukuran besar itu tampak gembira. Krik mendekatiku diam-diam. 

“I will give you a name Periplaneta Americana. ucapnya dalam bahasa asing, yang kuketahui artinya dari Krik. Bayangkan, kecoa yang notabene dijauhi banyak orang diberi sebuah nama.

Dan aku mulai menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang semakin rumit. Mereka menamai apa saja yang mereka temui. Apapun.

Wow, namamu cukup bagus, Co.

Tetap saja aku nyaman dipanggil Eco. sahutku.

“Aku baru saja sadar, rumah kita bukanlah disini. Sebaiknya kita pergi sekarang sebelum bola api memancarkan teriknya. Ajak Krik.

Kemana kita akan pergi?

Biarkan angin membawa nasib kita. Beruntung bila menemui bangsa kita yang lain. Membangun generasi selanjutnya, coba kau pikirkan jika semua bangsa kita dimusnahkan atau dijadikan awetan seperti orang tuaku oleh manusia-manusia berkacamata yang lain. Bagaimana jadinya nanti?”

Baiklah, aku ikut.

Kami meninggalkan rumah manusia berkacamata malam itu.

Aku diam-diam berpikir, seandainya saja aku diberikan satu permohonan untuk dikabulkan oleh yang menciptakan alam dan seisinya. Aku ingin terlahir menjadi manusia. Agar tak perlu lari pontang-panting menyelamatkan diri dari pemusnahan seperti malam itu. 

 Sungguh, kisah ini sebenarnya belum usai. Ia akan terus tumbuh dalam bunga-bunga tidur di setiap perjalanan hidup kalian. 

Jika kalian bertemu salah satu bangsa kami, lalu ia berusaha mendekatimu. Bukan berarti ia ingin mencelakai kalian. Mungkin mereka ingin bertanya bagaimana caranya untuk menjadi manusia.  

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi