Disukai
3
Dilihat
1369
Takhayul
Komedi

Jufri masih tidur pulas di ranjang, ia tidak sadar ketika selimutnya ditarik seseorang. Jufri malah berguling ke sisi dan merentangkan tangan hingga terjulur ke tepi. Meong. Si Manis kucing oranye masuk kamar, lalu menjilat-jilat jari Jufri yang bau ikan asin. Jufri meringis-ringis kegelian, tapi matanya masih terpejam rapat. Ketika si Manis menggigit jarinya, Jufri langsung berteriak kesakitan dan terbangun dengan mata merah. 

Kini Jufri sudah duduk di ranjang, ia mengucek mata dengan malas, lalu memelotot pada si Manis yang duduk mengeong di lantai. “Lu punya dendam apa, sih, sama gue, Nis?”

Terdengar suara misterius menyahut dalam baby talk, “Dendam kesumat, Bang. Manis ini punya majikan, tapi serasa kucing terlantar. Manis ini kurang kasih sayang, juga kurang dibelai. Makan, pun, suka dileletin! Salah apa Manis jadi kucingnya Bang Jufri?”

“Salah pilih majikan, Nis!” timpal suara normal seorang perempuan.

“Kampret! Pagi-pagi sudah bikin Abang merinding! Dasar Julid!” Jufri memarahi adiknya, Juliarti yang masuk kamar sekonyong-konyong. Rupanya si Julid‒begitu Jufri memanggil adiknya‒yang mengerjai dia dengan memasukkan si Manis untuk membangunkannya. Jufri melempar bantal dan disambut Juliarti dengan tangkas. “Ish! Makanya jangan molor mulu, Bang. Ntar rezeki Abang dipatok ayam!”

“Cerewet, ah! Mimpi indah Abang keputus, tauk! Gara-gara kamu!” omel Jufri. Ia kembali merebahkan diri membelakangi Juliarti yang kini bercekak pinggang di sisi ranjang. Tak lama kemudian, bokongnya dipukul sang adik dengan bantal.

“Juliiid!” Jufri seakan tidak rela mengangkat tubuh, ia hanya menoleh sebentar ke belakang. “Bokong Abang ini investasi, Dodol!” Ia lantas kembali merebahkan kepala berusaha tidur.

Juliarti menggeleng seraya berdecak. “Buruan bangun, Bang! Dipanggil Mamak, tuh!”

Jufri hanya bergumam tanda malas, apalagi untuk bergerak.

“Bang, Mak suruh Bang Jufri tangkap yuyu di sawah yang banyak! Buat nangkep tuyul!” Juliarti langsung menyatakan maksud kedatangannya karena diutus oleh ibu mereka untuk menyampaikan titah yang harus dilaksanakan oleh Jufri secepatnya. 

Jufri berguling pelan dan wajahnya tampak bodoh dengan mulut terbuka lebar. “Hah? Apa? Yuyun?” tanggapnya heran luar biasa. 

“Cari yuyu! Bukan Kak Yuyun kembang desa! Salah apa, sih, Juli punya abang lemot gini?” Juliarti menepuk jidat kesal. Jufri pun terkekeh canggung karena tertangkap basah memikirkan yang tidak-tidak. Namun, ia kembali bertanya tidak paham. “Yuyu tadi buat apa, Jul?”

“Nangkep tuyul!” Juliarti ogah meladeni kakaknya terus, ia pun keluar kamar. Tinggal Jufri seorang diri kebingungan masih ditemani oleh si Manis. Ia menimbang ragu sambil memandangi kedua telapak tangan. “Yuyu … buat tuyul?”

“Ada-ada aja!” Jufri bangkit dari ranjang. Bujang bongsor dengan rambut cepak ala taruna itu berjalan ke jendela untuk menghirup udara segar, lalu tertarik dengan obrolan Mamak dan ibu tetangga di luar. Ia menguping.

“Zaman makin edan, ya, Jeng? Orang-orang udah mulai nekat nyari rezeki! Adaaa aja yang masih pake pesugihan zaman now. Kalau tiap hari ilang sepuluh dua puluh ribu, lama-lama bokek juga, nih, Bandar!”

Ibu tetangga tertawa mendengar gaya bicara Mamak yang gaul abis. Yah, Mamak siapa dulu, dong …. Mamaknya Jufri. Tiap hari kebanyakan nonton sinetron dan drakor alay, beginilah jadinya. Jufri, sih, tidak ambil pusing. Perutnya sedang keroncongan walaupun sudah ia belai-belai untuk ditenangkan. Tadinya, Jufri berpikir untuk langsung menyerbu dapur, tetapi obrolan antara Mamak dan ibu tetangga di luar lebih menyerobot perhatiannya.

“Sejak Tante Minah pindah ke kampung sini, duit kita pada raib dimaling tuyul. Udah liat belum dia gendong-gendong peliharaannya itu di belakang punggung? Ini minggu kedua laki saya menyaksikan, loh, Mak.”

“Tuyulnya keliatan?”

“Iya, lah, Mak! Laki saya, kan, punya mata batin!”

“Trus, buat kita-kita yang nggak punya mata batin ini, gimana caranya, coba, biar bisa liat itu tuyul?”

“Nggak diliat, Mak. Tapi dirasain.”

“Apanya yang dirasain?” tanya Mamak makin bingung.

“Dia suka jilat-jilat tangan bekas makan gitu, Mak.”

“Kampret!” Jufri mengumpat pelan. Serius, nih, ceritanya? Jangan-jangan, si ibu tetangga cuma fitnah, tetapi belakangan ia turut merasakan keanehan karena seperti ada yang menggelitiki jari-jemarinya pas malam, secara Jufri malas cuci tangan setelah menyamil, apalagi kalau bokongnya sudah menempel di ranjang. Jangan-jangan pelakunya …. Hiii, Jufri awowo, tetapi ia jadi merinding lantaran menduga-duga.

Lalu, tanpa sengaja Jufri melihat selimut yang sudah berada di lantai. Jufri sama sekali tidak ingat kapan ia menendang benda itu dari ranjang. Astaga, kadar merindingnya jadi berlipat-lipat. Si tuyul bukan hanya beraksi mengambil duit, tetapi sudah mengganggu ketenteraman tidurnya!

Ini tidak bisa dibiarkan. Lama-lama, keberadaan Yuyun pujaan hatinya juga terancam bakal diembat sama tuyul. 

***

Tampak ekspresi antusias Jufri saat melakukan riset kecil-kecilan ala Mbah Gugel tentang tuyul di laptop. Ia sedang menggulir laman tips menangkap tuyul secara sederhana, tapi terbukti manjur berdasarkan pengalaman berabad-abad. Perintah dari Mamak untuk mencari yuyu ternyata ada dalil kuatnya, bukan omong kosong macam info hoaks tetangga.

“Pinter juga, nih, Mamak suruh-suruh aku cari yuyu! Pasti ketangkep nih tuyul!” Jufri menepuk meja penuh semangat. Rambutnya yang cepak jadi berdiri lantaran kena sugar tangannya.

“Gimana bisa ketangkep tuh tuyul kalo yuyunya aja belum ada, Abang Jufri nan lemot nian ….” Wajah Juliarti muncul di balik bahu Jufri. 

Jufri pun mengumpat. “Buset aje gileee! Bisa ketok pintu dulu, kagak?” Jufri pun mengusap-usap dadanya yang berdebar dan Juliarti langsung keluar kamar. Tangkas betul pergerakan adik semata wayangnya itu, padahal perawakan Juliarti tidak kurus sama sekali. “Si Julid lebih horor daripada tuyul eh, datang nggak diundang, pulang nggak diantar!” omelnya.

Daripada diganggu Juliarti melulu, mending ia langsung cabut saja ke sawah. Sengaja Jufri memintas lewat pekarangan belakang rumah Yuyun, berharap gadis perawan itu sedang menjemur baju. Namun, harapan tersebut langsung musnah ketika melihat tali jemuran sudah digantungi oleh beragam rupa … ehm. Betul, kata Juliarti. Rezekinya dipatuk ayam karena ia bangun kesiangan. Kalau Jufri bangun subuh buta, mungkin saja ia beruntung bisa melihat wajah Yuyun yang basah oleh air wudu. Amboi, pasti elok nian. Sudah cantik, masih tingting, salihah pula. 

Dasar Jufri, ia terkecoh lagi dengan mudahnya oleh khayalannya sendiri. Saat itu, hanya ada satu motivasi Jufri untuk menangkap tuyul. Bukan karena suruhan Mamak, apalagi kejulidan mulut Juliarti, tetapi ia hanya ingin dikenal sebagai penangkap tuyul di kampung agar makin berkibarlah namanya di hadapan Yuyun kelak. Mungkin ia memang tergolong anak muda zaman sekarang yang mencari ketenaran lewat jalan instan. Mumpung sedang ramai rumor tuyul, Jufri bisa pansos dari sana untuk naik ke hati Yuyun.

Tidak sia-sia Jufri senang bermain di sawah saat kecil. Jufri jadi tahu bagian gigir sawah mana saja yang menjadi bungker tuyul di perut tanah yang gembur. Dengan mata awas, tidak sulit menemukan pintu masuk hewan tersebut dari lubang-lubang udara kecil di dinding gigir. 

Jufri pun berbelok ke sawah milik Juragan Kardi, orang paling pelit di kampung yang istrinya tadi mengobrol sama Mamak di pekarangan. Meskipun pemiliknya pelit, sawahnya subur dan panennya berlimpah ruah. Dunia tidak adil, memang. Senantiasa berpihak pada kapitalisme. Untung kecerdikan tidak pandang bulu. Seperti dirinya, misalnya. Jufri merasa sudah jadi orang paling hebat sedunia karena mengetahui rahasia persembunyian yuyu. 

“Heh, ngapain kamu?” 

Jufri sedang asyik menyodok-nyodok tanah berlumpur di tepi gigir, lantas Juragan Kardi telah berdiri mengamatinya di sana. Tatapan lelaki itu kelihatan tidak senang terhadap apa yang Jufri lakukan di sawah miliknya. Belum sempat Jufri menjelaskan secara baik-baik, Juragan Kardi menggerutu. 

“Pasti nyari yuyu. Sudah saya kasih peringatan kalian semua jangan masuk ke sawah saya, rusak jadinya gara-gara kalian. Cari saja di tempat lain! Kalau tidak, saya tuntut kalian bayar upeti satu karung beras. Sanggup?”

Juragan Kardi terus menggeleng, meskipun Jufri langsung pergi. Dasar orang pelit! Kalau begini, di mana ia harus mencari yuyu? Jufri tidak punya banyak waktu untuk menyisir setiap gigir sawah. Ia harus pulang ke rumah sebelum petang. Jufri tidak mau jatah makan siangnya dihabiskan oleh Juliarti si pemakan segala-galanya–termasuk hati.

***

Menjelang malam, Jufri membawa baskom ke dalam kamar. ia tertawa penuh kemenangan. Setelah sempat tersandung perkara dengan Juragan Kardi, dapat juga Jufri yuyu yang ia butuhkan. Sudah Jufri bilang, walaupun tidak pintar-pintar amat, tetapi ia cerdik. Dinaungi oleh keberuntungan, tepatnya. Modalnya hanya satu: niat yang kuat untuk memperoleh hati Yuyun jika misi ini sukses. 

“Hahah, Mamak kuno. Ngapain cari-cari yuyu ke sawah. Di abang-abang pengkolan depan SD juga ada,” ujar Jufri penuh aura kemenangan.

Ia letakkan baskom itu di lantai, lalu mengangkat seekor yuyu dalam posisi terbalik. Ia berdecak lalu bersiul senang seraya bergumam dalam hati. “Makan nih yuyu, dasar tuyul botak. Berkat ketuyulan kalian, modal noceng aku udah bisa nangkep kalian semua. Mayan daripada manyun.”

“Jufriii!” Terdengar teriakan Mamak, lalu perempuan itu masuk kamarnya. “Lha? Kok semua yuyu ada di sini? Taruh juga di kamar Mak sama Juli, Juf!” Titah Mak pun turun. Perempuan itu kelihatan tidak senang.

“Siap, Mak Bos! Tapi buat Juli nggak usah. Baru liat mukanya aja, tuyul udah pada lari.”

Mamak geleng-geleng kepala. “Terserah kamu, lah. Yang penting tuyulnya ketangkep!” Perempuan itu kemudian menabur kacang hijau di lantai kamar Jufri. Jufri mafhum karena ia yang meminta tadi setelah baca di internet. 

Waktu tidur pun tiba. Jufri mematikan lampu. Ia ketiduran. Tahu-tahu, hari sudah siang. Jufri terbangun karena mendengar ribut-ribut di kamarnya. Dua ekor ayam sedang asyik mematuki bulir kacang hijau yang disebar di lantai. Jufri mengusir ayam-ayam itu keluar jendela yang terbuka dengan kesal. 

“Mak, Juliii!” Jufri keluar kamar, lalu terdengar percakapannya dengan seorang perempuan di luar. 

“Mak buka jendela kamarku?”

“Enggak.”

“Kok bisa terbuka, Mak? Jul, kamu, ya!”

“Urusan buka tutup jendela kamar Abang bukan tanggung jawab Juli, yah. Abang, kan, suka kebiasaan buka jendela malam-malam, nyari penyakit.”

“Trus, siapa yang buka?”

“Ta-uk!”

Jufri masuk kembali ke kamarnya. Ia mengusap tengkuk, merinding. Tak lama kemudian, terdengar ratapan Juliarti di luar. “Beha Juli hilang!”

***

Jufri mengunci kamar, lalu bicara sendiri di depan cermin.

"Malam ini pokoknya harus ketangkep! Gila juga nih tuyul embat beha segala. Tunggu saja kamu, Yul. Aku masih punya jurus terakhir!" 

Jufri melepaskan kaus dari tubuhnya, lalu memasang beha Juliarti yang sempat ia ambil kemarin sore, tapi tidak bilang-bilang adiknya. Pinjam sebentar. Kabarnya, tuyul suka menyusu pada perempuan. Jadi, Jufri sumpallah beha itu dengan berlembar-lembar kaus kaki bau ikan asin yang ia yakini pasti mengundang selera tuyul. 

Mantap. Jufri serasa tuyul whisperer karena telah berpikir secerdik ini, walaupun awalnya Jufri sempat mengkhayal tidak-tidak kalau beha yang sedang ia pakai adalah kepunyaan Yuyun yang sempat ia lihat di jemuran. Namun, tidak tega rasanya Jufri menyumpal beha Yuyun dengan kaus kaki bau ikan asin. Bisa-bisa pujaan hatinya bakal bersin-bersin sehari semalaman. Jufri tidak sampai hati. Kalau properti milik Juliarti, mah, bebas. Mau disumpal dengan jengkol dan pete juga sah-sah saja. Sekalian saja tuyul-tuyul itu mabuk daratan kena serangan ganda gas beracun rumahan ala Jufri

Setelah beres dan memastikan beha yang ia kenakan tidak bakal berputar tiga ratus enam puluh derajat macam kamera panoramic, Jufri pun mematikan lampu. Ia bergelung ke ranjang dan tidur pulas seperti malam sebelumnya. Malam di mana harusnya ia berjaga menangkap tuyul, tetapi malah keenakan terbuai semilir angin yang berembus lewat jendela yang lupa ia tutup. 

Maka, sudah bisa diduga, keesokan harinya jendela itu kembali terbuka tanpa Jufri tahu sebabnya lantaran ia mulai menderita pikun akibat kebanyakan tidur dan malas bangun pagi. Ayam-ayam Tante Minah yang baru pindah ke kampung mereka kembali masuk lewat jendela, berharap menemukan kacang hijau lagi di kamar Jufri. Bunyi riuh paruh unggas-unggas itu tidak mengganggu fokus si Manis yang sedang bersiap-siap meluncur ke arah majikannya. Sama seperti dua ekor ayam tadi, kucing oranye itu mengendap masuk lewat jendela, tertarik oleh bau ikan asin yang menguar keluar dari kamar Jufri. 

Bisa dibayangkan selanjutnya apa yang terjadi. Si Manis menyambar dan menggigit ujung selimut tipis lurik yang membungkus tubuh Jufri seadanya seperti bungkus kado dari plastik, bahkan beha yang melekat erat di dada Jufri pun tampak berkilau bagai bukit emas di mata si Manis. Selimut terjatuh lantas tergeletak di lantai, tetapi tidak berhasil menarik perhatian si Manis. Biasanya, kucing oranye itu senang bermain dengan teman selimutnya, bergulung-gulung dalam kain yang baunya sama seperti jemuran ikan asin itu, tetapi tidak hari ini, wahai Saudara-saudara! Bau beha Jufri lebih menggoda selera iman. 

Si Manis pun mengambil ancang-ancang, bersiap kembali menerjang, lalu … hop! Jeritan Jufri membuat burung-burung yang hinggap di tiang listrik depan rumah, terbang. Ayam-ayam berkotek berhamburan keluar jendela. Mamak dan Juliarti di luar ribut mengetuk pintu kamar Jufri yang terkunci. 

"Bujaaang! Kamu kenapa?" tanya Mamak cemas mendengar jeritannya. Sesuatu yang gawat pasti telah terjadi karena suara Jufri melengking nyaring seperti jeritan perempuan.

Tidak terdengar jawaban dari dalam, justru jeritan Jufri kian kencang dan bertambahlah kekhawatiran mereka. Juliarti menggoyang-goyang gagang pintu yang biasanya tidak terkunci dengan gusar. Rahasia apa, sih, yang disembunyikan oleh kakaknya hingga harus menutup akses dari dunia luar? 

Mata Juliarti dan Mamak memelotot lebar ketika tangan Juliarti memegang engkol pintu yang tercabut paksa dari engselnya. Harapan untuk bisa masuk menolong Jufri secepat mungkin pun sirna. 

“Juliiid!” Mamak meneriaki Juliarti seperti Jufri. 

“Kagak sengaja, Mak. Bener!” Rona wajah Juliarti memucat seperti kertas. 

“Jufriii bertahanlah, Nak!” seru Mamak panik, sementara Juliarti mulai mendorong-dorong pintu dengan bisepsnya yang terasah oleh pekerjaan rumahan. Kebetulan, saat itu Juliarti mengenakan lengan kaus pendek hingga keyakinan Mamak bangkit demi menyaksikan kontur bergelombang di lengan putrinya.

“Ayo, Jul. Cepat tolong Abang kamu! Bisa habis bujang Mak dimakan tuyul lama-lama,” tuntut Mamak sambil mencengkeram pinggiran kaus Juliarti.

“Ya Allah, Mak. Kenapa baju Juli yang ditarik-tarik? Juli bukan Samson. Mending Mak ambilkan linggis sekarang buat congkel nih pintu!”

“Linggis itu kek gimana, Jul?”

“Maaak! Juuul!” Jufri kembali berteriak, sementara dua orang perempuan di luar sibuk bertengkar sendiri. Lolongan kesakitan Jufri terbawa angin sampai jauh. 

Kala itu, Juragan Kardi tengah berpatroli di sawah, tiba-tiba telinganya mendengar kata maknyus. “Kecolongan lagi, ada orang nangkep yuyu di sawahku,” umpat lelaki itu. Sementara itu dalam pendengaran ibu tetangga teman gosip Mamak, redaksinya menjadi ya’juj ma’juj. Seketika, pucatlah wajah perempuan itu. Belum tuntas masalah tuyul, sudah runtuh tembok pelindung dari segala biang kerusakan di muka bumi. 

Di telinga Yuyun beda lagi. Ia sedang memandangi seorang ustaz muda yang terkenal mengajar TPA di kampung mereka. Diam-diam, Yuyun menaruh perasaan terhadap pemuda salih tersebut. Apa pun di kata orang, pemuda ini bagai langit dan bumi dengan pemuda-pemuda lainnya di kampung mereka yang kerjaannya hanya ongkang-ongkang menetek pada orang tua. Sebagai kembang desa, sudah sepantasnya Yuyun beroleh calon pendamping hidup setara dengan dirinya. 

Seolah ada yang membisiki ia dengan kata-kata pendorong “maju”, Yuyun pun memberanikan diri menyapa sang ustaz yang melintas dengan sepeda di depan rumah. 

Assalamu’alaikum, Bang Ustaz.”

Sang ustaz segera turun dari tunggangannya. Bukan karena terpikat mampir gara-gara dihadiahi senyum si kembang desa, tetapi ustaz itu takut jatuh dari sepeda seperti tempo hari karena ia menengok ke belakang gara-gara berpapasan dengan perempuan yang sama. Klop sudah perasaan dua insan yang diam-diam bersambut itu. “Wa’alaikumussalam, Neng. Ada apa, ya?”

“Mau tanya tentang sesuatu, Ustaz. Ustaz tau kabar soal tuyul–”

Kembali ke Jufri yang masih terperangkap di kamarnya sendiri lantaran persoalan tuyul. Mamak dan Juliarti seakan telah pasrah menyalahkan pintu yang terkunci, tetapi lupa pada kebiasaan buruk Jufri yang senang membiarkan jendela terbuka hingga teriakan bujang itu bergema satu desa, bahkan bunyi truk singgah di depan rumah mereka pun masih kalah dengan suara Jufri.

"Kenapa ini?" Seorang lelaki menegur mereka tiba-tiba saja muncul, masuk dari pintu depan.

"Abaaah!" Mamak sejenak hilang fokus karena suaminya yang sopir truk antarprovinsi pulang hari itu. Mamak langsung melapor cemas. "Jufri, Bang! Diserang!"

"Diserang sama siapa?"

"Tuyul!" jawab Mamak dan Juliarti serempak. 

Abah adalah lelaki konservatif penuh logika, meskipun para awak rumah tangganya semua drama. Sorot mata Abah terlihat remeh awalnya, tetapi Jufri kembali menjerit seperti anak gadis kemarin sore–entah teriakan yang keberapa kali, Mamak dan Juliarti tidak menghitung lagi. Merasa emosi akibat mendengar anak lelakinya berteriak selembek itu, Abah menendang pintu tanpa ancang-ancang. 

Pintu dengan engsel dan gagang sudah karatan itu akhirnya terbanting terbuka. Tampaklah di mata mereka pemandangan ganjil di dalam kamar–dua ekor ayam, sepasang jantan dan betina yang masih belum dewasa, asyik mematuki lantai, sementara di ranjang, Jufri menggeliat melepaskan diri dari cakar si Manis yang hinggap di dadanya. Seketika, Juliarti tertawa. "Makanya, Bang Juuuf, si Manis dipiara, dikasih makan–beha Juliii!" Tawa Juliarti berubah menjadi jerit histeris manakala melihat benda kembar miliknya tengah ditancapi oleh sepasang taring si Manis dengan brutal. 

***

Kehebohan yang berasal dari rumah Jufri telah usai. Entah apa yang terjadi selanjutnya tatkala Abah menginterogasi seisi rumah, yang penting kondisi kampung lantas menjadi tenang. 

Tak lama berselang, seorang perempuan memakai setelan bertabrakan warna  melenggang di jalan dengan langkah gelisah. Ia sudah terlambat untuk memulai siaran langsung dalam rangka endorse pakan ternak. Lehernya memanjang untuk menengoki halaman semua tetangga seakan sedang mencari sesuatu, tetapi ekspresi kecewa di wajahnya belum juga pudar hingga ia tiba di rumah sebelah Jufri. Di teras depan, seorang lelaki sedang asyik mengopi sambil membaca koran dengan santai. Kemunculan mendadak perempuan itu di hadapannya membuat si lelaki terlonjak beberapa senti dari kursi. Tante Minah tidak menyadari kejanggalan reaksi lelaki tersebut.

"Permisi, Pak. Saya mau tanya. Bapak ada liat Cupu dan Cupita berkeliaran dekat sini, tidak?"

"Hah?"

"Eh, maaf. Maksud saya, anak ayam saya, Pak!" Tante Minah bertanya lebih spesifik, tetapi lelaki itu tetap tidak paham. 

"Ayam?"

"Iya, Pak."

"Yang sampeyan pernah gendong di punggung itu ayam? Ayam ras opo?"

Tante Minah tertawa cengengesan. "Hehe, iya, Pak. Bekisar, Pak. Segini ukurannya.” Tante Minah membuat jarak sempit dengan kedua tangannya. Ekspresinya kembali serius. “Tapi, itu hanya sekali, buat saya ngonten doang."

"Ooo," tanggap lelaki itu sekenanya padahal tidak paham sama sekali. Dalam hati, ia berpikir, ada-ada saja orang zaman sekarang. Tuyul pun dieksploitasi sebagai bahan konten. Jangan-jangan konten tentang cara jadi orang kaya versi lokal. Pelanggan konten pesugihan pasti menyerbu konten semacam itu bak remah rengginang di pinggir jalan.

“Ckckck.” Lelaki pemilik rumah kian larut dalam kehaluan. 

"Maaf, Bapak liat, tidak?"

Lelaki itu menggeleng cepat hingga dagunya seolah mau lepas.

"Okelah kalau gitu, Pak. Saya coba cari ke tempat lain. Permisi, Pak!" Tante Minah tampak kecewa. Lelaki itu lekas memanggil istrinya yang langsung tergopoh-gopoh menyongsong dari dalam rumah.

"Opo toh, Pak?"

"Bu, si tuyul punya Minah itu ternyata punya nama Cupu dan Cupita."

"Kok ucul gitu namanya, yah? Haha."

"Kok malah ucul, sih, Bu? Namanya tadi Cupu dan Cupita!"

"Ish, Bapak nggak paham bahasa gaul mah! Gimana juga Bapak paham, itu koran aja Bapak bacanya kebalik loh!" Ibu tetangga menertawakan kelakuan suaminya, tetapi mendadak ekspresinya berubah serius, seolah sedang menelusuri sesuatu yang salah. 

Si lelaki pun mendesah sambil membalik koran, ia berkomentar lelah, "Pantesan dari tadi nggak bisa baca, harus mulai pakai kaca mata, aku."

***

Jufri masih suka molor kesiangan walaupun ia kini lebih rajin mencuci tangan setelah makan, terutama sebelum tidur. Juliarti lebih berhati-hati menyimpan properti pribadinya. Mamak jadi sering disambangi Tante Minah karena Cupu dan Cupita seringkali kabur ke rumah mereka. Ibu tetangga tidak berani bergosip macam-macam lagi setelah kasus kekeliruan suaminya. Ia buru-buru membawa suaminya ke gerai kacamata. Kabar uang raib dimaling tuyul di kampung mereka entah cuma legenda urban atau memang fakta, belum terbukti kebenarannya. Namun yang jelas, uang Mamak ternyata digondol si Manis yang suka bermain-main dengan uang kertas. Siapa suruh taruh uang sembarangan macam daun pisang. Uang kertasnya bau ikan asin, pula.

Jufri tidak peduli. Ia sedang patah hati mendengar kabar Yuyun dan ustaz TPA kian akrab. Kabar baiknya, ia kini beralih profesi dari pemuda nolep pengangguran menjadi pemburu yuyu musiman. Juragan Kardi tobat dari sifat pelit lantaran mendengar kabar ya’juj ma’juj sudah keluar dari tembok raksasa. 

TAMAT

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi