Disukai
2
Dilihat
868
Dia Bukan Dia
Slice of Life

Dengan gemetar, aku menapaki sebuah rumah yang sudah sangat sering aku datangi semenjak empat belas tahun silam. Ini adalah rumah Winta, sahabat dekatku semenjak kami menduduki bangku Sekolah Menengah Atas.

Winta adalah gadis periang, energik dan berprestasi. Tidak ada celah sedikit pun dari dirinya untuk mencari kekurangannya. Winta selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi siapa saja yang berada di dekatnya, termasuk aku.

Namun, sejak dirinya mengabarkan tentang kehamilannya tujuh bulan lalu, Winta menjadi diri yang berbeda. Dia bukan dia.

Winta : Nis, telepon ya?

Aku membaca pesan singkat dari sahabatku itu yang dikirimkannya ke ponsel pintar milikku. Aku yang saat itu baru saja tiba di rumah selepas pulang bekerja, langsung mencari nomer telepon Winta dan melakukan panggilan tanpa menjawab terlebih dahulu pesan singkatnya.

“Halo cintaku, honeyku, darlingku, cupcup muach muachku, kenapa? Kangen, ya?” Cerocosku seperti kereta yang melintasi relnya.

Hanya senyum tipis yang terdengar dari balik sambungan telepon itu.

“Kenapa, Ta? Ada masalah?” Tembakku langsung atas dasar reaksi yang diberikan Winta barusan.

“Nis.” Panggil Winta.

“Hemmm?” Jawabku yang sudah menunggu sahabat dekatku ini bicara.

“Aku hamil.” Tukas Winta.

Tentu saja, itu adalah berita gembira yang disampaikan oleh sahabatku malam itu.

Winta, menikah dengan kekasihnya yang sudah sembilan tahun menjalin hubungan dengannya. Kedua keluarga mereka sudah sangat dekat dan saling menerima. Hingga empat bulan lalu, aku menjadi salah satu pengiring pengantin dari pihak perempuan.

Berita kehamilan itu seharusnya menjadi berita gembira, namun aku menangkap suatu yang tak lazim bagi ibu hamil itu yang seharusnya bahagia.

“Aaaarrrgh, serius, Ta? Selamat sahabatku!” Seruku mengucapkan selamat atas kehamilannya.

“Makasih, Nis. Empat minggu, ada dua kantung janin dan semuanya terisi.” Winta melanjutkan informasinya.

“Kembar, Ta? Serius?” Aku sangat antusias mendengar berita tersebut, dua janin berarti dua kali lipat kebahagiaannya.

“Iya, Nis. Murni, doa yang dikabulkan.” Aku tau Winta sedang tersenyum saat mengatakan itu.

Winta sangat menginginkan memiliki bayi kembar setelah menikah. Dan kini, sahabatku itu benar-benar mendapatkannya.

“Jaga kesehatan, jangan stress, jangan sedih kelewatan.” Pesanku seolah sangat berpengalaman, padahal aku sendirinya belum menikah.

Terdengar suara kekehan dari seberang, Winta tertawa mendengar pesan-pesan yang aku sampaikan.

“Semoga aku kuat, Nis.” Jawab Winta terdengar datar.

Tentu saja aku bingung mendengar jawaban tersebut.

“Kenapa, Ta?” Tanyaku lagi yang memang sudah merasakan sesuatu yang aneh pada Winta.

Terdengar suara Winta yang tengah menghela napas berat.

Sedangkan aku, masih menunggu sahabatku itu menceritakan apa yang sedang mengganggu dirinya.

“Tadi foto USG-ku dikirim Ayu di group obrolan keluarga, awalnya semua ngucapin selamat.” Winta diam setelah mengatakan bahwa salah satu sepupunya mengabarkan berita bahagia itu di grup obrolan keluarganya.

“Ta? Lalu?” Tegurku saat sudah setengah menit Winta tidak juga melanjutkan ceritanya.

“Wowo tiba-tiba bilang, kalau anakku sudah lahir nanti, bisa dikasih ke Mbak Winka satu. Dan yang lain ikut-ikutan bilang gitu, Nis.” Winta kembali menghela napas berat.

Wowo yang dimaksud Winta adalah kakak perempuan kandung dari mamanya Winta.

Sedangkan Mbak Winka, adalah kakak perempuan kandung dari Winta. Beliau sudah menikah sekitar lima tahun sebelum Winta menikah, namun belum juga dikaruniai seorang anak.

Aku yang saat itu tidak mengerti akan perasaan yang dirasakan oleh sahabatku, malah memberikan komentar yang sungguh aku sangat menyesalinya hingga detik ini.

“Halaaah, Bumil baper. Diemin aja, Ta. Paling juga mereka main-main.” Ibu Hamil Baper, menjadi panggilanku untuk Winta mulai saat itu.

Dia tidak menjawab, hanya terdengar kekehan ringan di ujung sambungan.

“Ya sudah, istirahat gih. Makasih lho ya, sudah mau dengerin curhatan aku.” Pamit Winta seperti biasanya jika mengakhiri obrolan kami melalui sambungan telepon.

“Sama-sama, Bumil. Sekali lagi selamat ya.” Jawabku yang kemudian mematikan sambungan tersebut.

Aku menganggap itu biasa, namun aku tidak tahu bahwa itu bisa mengubah seorang periang seperti Winta menjadi pendiam.

*

Karena kesibukan kami masing-masing, Winta dan aku sangat jarang berkomunikasi sejak saat itu, hari di mana aku meremehkan curahan hatinya yang kuanggap hanya sebagai efek kehamilannya.

Siang itu, aku kembali mendapat pesan singkat yang dikirimkan Winta.

Winta : Nis, makan siang bareng, yuk.

Aku tersenyum membaca pesan singkat itu. Segera aku mencari nomer telepon Winta untuk melakukan panggilan kepadanya.

“Mau makan siang di mana?” Tanyaku langsung saat Winta mengangkat telepon dariku.

Terdengar tawa Winta dari seberang sana.

“Mall, tempat biasa.” Sebut Winta.

“Aku jemput! Di kantor, kan?” Tanyaku.

Kantor Winta lokasinya lebih dekat dengan Mall yang akan kami datangi. Lagi pula, tidak mungkin aku membiarkan Winta yang sedang hamil di usia kandungan yang memasuki tiga bulan itu untuk pergi sendirian.

*

Aku dan Winta duduk di salah satu restoran yang ada di sebuah Mall, restoran ternama itu adalah tempat favorit kami semenjak SMA dulu. Dengan menu yang sama setiap kali kami berkunjung ke sana, menemani cerita kami siang itu.

“Yakin baru tiga bulan, Ta?” Tanyaku pada Winta saat melihat perutnya yang sudah menonjol keluar di kehamilannya saat ini.

“Yakin lah, Nis. Kata Dokter, kehamilan kembar itu memang lebih segalanya dari kehamilan tunggal, termasuk baby bump ini.” Winta mengelus perut buncitnya itu.

“Woow, tiga bulan sudah sebesar ini, Ta. Gimana kalau sudah sembilan bulan?” Aku lanjut bertanya.

“Nggak akan sampai sembilan bulan. Kata Dokter, kehamilan kembar nggak akan sampai sembilan bulan.” Jawab Winta lagi.

Kami hanyut dalam obrolan sembari menyantap makanan yang kami pesan, sebagian besar obrolan kami diisi dengan rasa penasaranku tentang kehamilan.

“Nis.” Panggil Winta saat kami sudah menyelesaikan makan siang.

“Heemm?” Jawabku singkat.

“Gimana ya, Nis, buat bilang sama Om dan Tanteku, jangan nyuruh aku buat ngasih salah satu anakku ke Mbak Winka terus?” Wajah Winta murung.

“Hemmm. Bumil baper mulai kumat.” Ledekku pada Winta.

Sahabatku itu malah mendengus lesu.

“Aku kepikiran, tau, Nis. Kadang malah sampai pingin nangis kalau inget omongan mereka. Anak-anak aku ini belum lahir, lho. Masa iya mau di suruh kasih-kasih gitu. Lagian, mereka itu mikir nggak sih, Nis, gimana perasaan Mbak Winka baca obrolan di group itu?” Aku benar-benar menangkap sebuah kesedihan di raut wajah Winta saat dia bercerita. Namun, aku masih mengabaikannya.

Jujur saja, saat itu aku masih menganggap bahwa itu hanya karena hormon kehamilan Winta saja, dan sahabatku itu menanggapinya terlalu berlebihan.

“Ya udah sih, Ta. Mbak Winka juga nggak ngomong apa-apa, kan?” Hanya itu tanggapanku yang sudah mulai jengah mendengar curahan hati Winta dalam tiga bulan terakhir ini yang selalu menceritakan hal yang sama.

Semenjak saat itu, Winta tidak pernah lagi menghubungiku.

Tepat satu bulan setelah pertemuan itu, Winta kembali mengirimkanku pesan.

Winta : Nis, Mama meninggal.

Ibu dari sahabatku yang juga aku panggil ‘Mama’, memang sudah lama sakit-sakitan. Namun berita dini hari yang aku terima dari Winta, tentu saja sangat membuatku terkejut.

Aku bergegas pergi ke rumah sahabatku itu saat pagi mulai menyapa. Saat aku memasuki rumahnya, aku melihat Winta duduk di dekat jenazah Mama sembari membaca ayat suci dengan kitab suci berada di tangannya.

Aku mendekati sahabatku itu, membelah kerumunan pelayat yang lainnya di sekitaran jenazah.

“Ta?” Sapaku.

Winta menoleh ke arahku, lalu tersenyum.

“Hey, sudah datang?” Winta membalas sapaanku.

Tidak seperti dugaanku, tidak ada gurat kesedihan sama sekali dari wajahnya saat ini. Ibu hamil yang perutnya sudah semakin membesar dalam jarak waktu satu bulan saja dari terakhir kali kami bertemu itu malah terlihat berseri.

Mungkin jika orang melihat raut wajah Winta saat itu, bisa saja salah paham jika Winta merasa bahagia atas kematian sang Mama.

Saat itu aku hanya sebentar di sana, karena ada urusan pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan. Tentu saja, aku berjanji akan mendampingi Winta malam nanti dan malam-malam berikutnya saat tahlilan Mama.

“Ta, aku kerja dulu, ya.” Pamitku.

“Iya. Tapi nanti malam datang, kan?” Tanyanya.

Aku melihat binar mata penuh harap atas kehadiranku malam itu.

Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaannya.

*

Acara tahlilan Mama dimulai, aku duduk tepat di sebelah Winta saat itu. Lagi, tidak ada raut kesedihan di wajahnya, malah senyum terus saja dikembangkan oleh Winta setiap kali tamu menegurnya dan mengajaknya berbicara.

Aku sempat berpikir bahwa benar sahabatku itu tidak merasakan sedih sama sekali. Dan aku menyesali pemikiran bodoh itu!

Puncaknya, di malam kedua tahlilan Mama. Aku kembali mendampingi sahabatku di rumah kedua orang tuanya itu.

Awalnya acara itu berjalan lancar, hingga para tamu undangan pulang ke rumah mereka masing-masing. Tinggallah para keluarga Winta di sana. Kami duduk di teras luar, sedang bercerita tentang kenangan Mama saat muda dulu. Sesekali Winta tersenyum mendengar cerita dari Nenek yang merupakan Ibu kandung Mama. Namun aku tau, Winta tidak nyaman berada di sana.

“Winta, nanti kalau sudah lahiran, salah satunya kasih ke Winka, biar diurus sama Winka. Jangan mau enak sendiri, kamu!” Ucapan Nenek membuatku tercengang.

Untuk pertama kalinya aku mendengar sendiri kalimat yang selama ini hanya diceritakan oleh Winta kepadaku. Kontan aku menoleh ke arah Winta dan Mbak Winka yang duduk berdampingan saat itu. Kuperhatikan dengan seksama raut wajah mereka dengan bola mata yang sama-sama memerah menahan tangis.

“Nek, tolong jangan ngomong begitu lagi. Winta kepikiran terus sampai nggak bisa tidur.” Suara pilu Winta terdengar sangat mengiris hati bagiku.

Semua orang di sana hanya menatap Winta dengan tatapan penuh marah. Dan di situ aku baru sadar, sahabatku itu sedang tidak baik-baik saja.

Keesokan malamnya, tahlilan malam ke tiga Mama. Aku kembali hadir untuk mendampingi Winta, namun dengan pandangan yang berbeda dari sebelumnya. Malam ini, aku bisa melihat kesedihan mendalamnya yang terselimut oleh senyuman cerianya.

Bodohnya aku tidak menyadari senyum yang ditunjukan Winta itu sangat berbeda, meski wanita itu terus tersenyum, namun keceriaannya sepenuhnya menghilang. Dia bukan dia.

Malam itu, Nenek tidak datang. Sebagian besar tamu sudah pulang, hanya tersisa beberapa orang saja yang juga tengah beranjak pulang ke rumah masing-masing.

“Winta, sini! Om mau bicara sama kamu.” Tukas Om Kido, adik kandung Mama meminta Winta untuk mendekat.

Winta yang sedang berbicara denganku saat itu lalu mengikuti Om Kido sedikit menjauh. Namun, aku masih bisa mendengar obrolan mereka dari jarak itu.

“Kamu harus minta maaf sama Nenek! Gara-gara omongan kamu kemarin, Nenek tidak mau datang malam ini. Anak-anak Nenek yang lain juga marah sama kamu. Kamu itu tidak punya perasaan!” Cecar Om Kido kepada Winta setengah menyalahkan.

Mataku membola, kuperhatikan wajah Winta yang sudah memerah dan pucat. Winta perlahan memundurkan langkahnya. Aku sudah mulai panik melihat reaksi sahabatku itu.

Benar saja. Winta langsung berlari menuju luar pagar tanpa alas kaki dan tanpa mempedulikan perut besarnya. Dan aku langsung mengejar Winta secepat yang aku bisa.

“Ta, Winta, tunggu dulu.” Aku berusaha meraih tangan sahabatku itu saat jarak kami sudah dekat.

“Mereka tega, Nis. Aku senyum bukan berarti nggak sedih Mama meninggal. Hatiku hancur, duniaku runtuh. Tapi aku berusaha mengendalikan emosi demi kesehatan anak-anakku! Dan mereka? Menyerang batinku bertubi-tubi tanpa ampun!” Winta berteriak histeris di tepi jalan dalam kegelapan malam.

Mas Adzam yang menyusul kami, langsung memeluk Winta untuk menenangkan sang istri.

Barulah aku mengerti, betapa berat beban yang tengah dipikul oleh Winta saat itu.

Sejak kejadian malam itu, Winta tidak pernah lagi bercerita kepadaku. Hanya status-status sosial medianya yang terus kubaca tentang batinnya yang begitu terasa tersiksa. Setiap kali aku bertanya, Winta hanya menjawab tidak apa-apa.

Dan, di sinilah aku sekarang. Berdiri tegak dengan kaki yang gemetar di depan pintu rumah kedua orang tua Winta, dengan berpakaian serba hitam, aku memberanikan diri memasuki rumah tersebut untuk melhat sahabatku untuk yang terakhir kalinya.

Winta mengalami Eklamsia dalam kehamilannya, diakibatkan karena stress yang berlebihan. Winta beserta bayi kembarnya lebih memilih ketenangan di dunia lain dibandingkan bertahan di dunia ini. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa memandangi para pelaku yang duduk di sana tanpa menyadari perbuatannya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@nellamuni : amiiinn.. semoga cerpen ini bisa menjadi salah satu pintu ya thor..
Sedih...
Aku harap orang-orang di luar sana sadar akan ucapan mereka akan mengakibatkan sesuatu yang fatal di kemudian hari.
Rekomendasi