Retak Yang Mengutuh (Skrip)
1. Part 1 (Scene 1 - 6)

1. EXT. TERAS, SEKITAR KAMAR KOST – PAGI.

 

Dari teras kost-an, OS terdengar suara TV yang sedang menyiarkan berita (tentang pandemi Covid 19 atau efek pandemi). Disusul bunyi ringtone ponsel. Volume suara penyiar mengecil, lalu terdengar suara seseorang menerima panggilan telepon; mengucapkan “assalamu’alaikum” atau “selamat pagi”.

 

CUT TO

 

2. INT. KAMAR KOST BAIM – PAGI.

Cast: BAIM

 

Berawal dari snapshots detil pemandangan di dalam kamar: sebuah TV, ranjang lipat, meja belajar dan lemari susun. Sebuah rak buku susun berisi buku-buku pelajaran dan tumpukan modul. Dan bagian-bagian lain yang mengesankan penghuninya seorang mahasiswa.     

 

Kamera kemudian berhenti pada seorang pemuda yang sedang bicara di ponselnya. Selanjutnya ia akan kita kenal sebagai BAIM (22 tahun).

 

BAIM

Hari ini saya ada kuliah online sore.

Ada perlu dengan saya, Mas?

 

INTERCUT:

 

3. INT. RUMAH ARMAN, RUANG KERJA – PAGI.

ARMAN

 

ARMAN (31 tahun) (kakak ipar Baim) bicara via telepon dengan BAIM. Di latar belakang nampak terpajang, agak samar foto keluarga ARMAN (Arman, istri dan seorang anak perempuan).

 

ARMAN

Tolong bisa ke kafe jam delapan nanti, Im?

 

BAIM

(Melihat jam di ponsel)  

Insya Allah, bisa. Ada apa ya, Mas?

 

ARMAN

Gantiin Oman. Ada yang mau pakai kafe kita.

Oman berhalangan, sedang nunggu istrinya

melahirkan.

 

BAIM

Memang kafe sudah boleh buka, Mas? 

 

 

 

ARMAN

Belum. Istilahnya bukan boleh buka. Tapi

dapat ijin khusus, asal pakai prokes

dari Satgas Covid 19. Waktunya juga

dibatasi. Cuma dikasih dua jam setengah.

 

BAIM 

Untuk acara apa, Mas?

 

ARMAN

Akad nikah. Yang hadir juga terbatas. Paling

banyak tujuh orang. Juga nggak boleh ada

barista dan pramusaji.  Karena tidak

diperkenankan ada acara makan minum.  

 

BAIM

Tujuh orang termasuk saya?

 

ARMAN

Tujuh orang tamu, tambah kamu. Laporannya

ke Satgas sepasang pengantin, wali nikah,

dua saksi dan penghulu. Enggak boleh

lebih. Nanti acaranya akan dipantau.

 

BAIM

Tertawa)

Diorama pernikahan unik. Pandemi mengubah

segalanya. Akad mendesak karena sudah jatuh

tempo ya, Mas?

 

ARMAN

Katanya visa pengantin lakinya hampir overstay.

 

BAIM

Ooo....cewek kita, dapat orang luar?!

 

ARMAN

Ya. Sepekan yang lalu ta’aruf mereka juga

di kafe kita.

 

BAIM

Oh ya? Wah! Kafe Mas Arman bisa dijadiin

ajang ta’aruf atau spesial akad nikah minimalis!

 

ARMAN

Ngaco, ah! Jadi sepakat ‘kan? Pukul delapan

kamu sudah ada di kafe! Jangan sampai

pengantinnya datang duluan, Im!

 

 

BAIM

Siap, Mas. Insya Alah!

 

CUT TO   

 

4. EXT./INT. KAFE ARMAN – SIANG.

Cast: BAIM, PETUGAS SATGAS

 

Berawal dari sebuah papan nama DE KAFE ARMAN. Suasana sepi di luar kafe. Seorang petugas dari Satgas berdiri di dekat pintu kafe. Di sudut teras nampak perlengkapan protokol kesehatan (tempat cuci tangan, antiseptic pembersih dan kotak tisu dan sarung tangan plastik).

 

Kamera bergerak memperlihatkan keadaan di dalam kafe. Properti kafe yang tampak ‘di-istirahat-kan’, terkesan kafe telah ditutup; kursi disusun di atas meja, dikumpulkan menjadi satu.

Namun ada bagian yang tampak masih ‘hidup’. Sebuah ruang disisakan siap pakai untuk menyambut sebuah acara. Menjadi ruang akad nikah. Delapan kursi berjarak, melingkari sebuah meja.

 

BAIM siap menerima kedatangan tamu kafe dengan prokes lengkap; bermasker dan memakai face shield dan sarung tangan plastik. Namun agaknya tamu yang di nanti terlambat datang. Tampak BAIM mulai gelisah. Beberapa kali ia melihat jam tangannya. 

 

CUT TO

 

5. INT. KAFE ARMAN - RUANG AKAD NIKAH – SIANG.

Cast: BAIM, DINDA, ODING (Adik tiri Dinda)

 

Yang ditunggu BAIM akhirnya datang juga. Tapi baru dua orang. Mereka adalah calon pengantin perempuan, selanjutnya akan kita kenal dengan nama DINDA (22 tahun). Dan wali nikahnya, ODING (20 tahun). Keduanya memakai protokol kesehatan lengkap.

 

BAIM antusias menyambut tamunya. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya di dada (isyarat berjabat tangan) DINDA dan ODING membalas dengan melakukan hal serupa. BAIM menempatkan diri sebagai ‘tuan rumah’ yang hangat dan ramah, tanpa mengurangi sikap sopan.    

 

BAIM

Membawa tamunya ke meja yang telah diatur)

Mari! Silakan! Silakan!

 

ODING, DINDA

Serempak)

Terima kasih.

 

 

BAIM

Yang lainnya mana?

 

ODING

Nanti menyusul!

(Beralih ke Dinda)

Kak, saya mau hubungi mereka. Mungkin

mereka kena macet!

 

DINDA

Ya! Coba tanya mereka, kenapa belum sampai?!

 

ODING move ke arah teras, menjauh dari DINDA dan BAIM. Sambil berjalan ia sibuk dengan ponselnya (berusaha menghubungi seseorang)

 

DINDA ketika melihat BAIM, merasakan ada magnet yang membuatnya seakan telah mengenal dekat sosok BAIM, yang membangkitkan kenangan masa lalunya. Namun DINDA masih ragu. Prokes telah menyamarkan kejelasan wajah setiap orang.

 

DINDA

(Duduk sambil terus mencuri-curi mengamati Baim)

Maaf, apakah Anda Mas Oman? Kayaknya beda,

bukan Mas Oman!  

 

BAIM

Oh ya! Saya gantiin Mas Oman. Saya Ibrahim

Arya. Panggil saja, Baim!

 

DINDA

(Terperangah. Terpana. Beberapa saat memandangi

Baim lebih teliti)

Saya pernah punya teman, namanya

Ibrahim, panggilannya juga Baim. Apakah

Anda pernah mengenal orang yang

bernama Dinda? (Yakin Baim temannya)

 

BAIM

Tersentak. Tapi masih ragu. Sesaat mengamati Dinda)    

Maaf, apakah yang Anda maksud ia bernama

Dinda Kirana? Teman saya itu (mengingat)

waktu kelas delapan pernah kena duri pohon

bidara di halaman sekolah kami!

 

DINDA

(Syok. Terhenyak. Untuk beberapa saat pandangannya terpaku pada Baim)

Jadi kau Baim yang mencabut duri

dari jari telunjukku?! Baim! Apa kabarmu?

Ke mana saja selama ini, Im?

 

BAIM

(Terduduk tak berdaya. Membuka masker hingga

nampak jelas wajahnya dibalik face sield)

Aku kuliah di Yogya....

 

DINDA ikutan membuka masker. Namun Fece sield-nya tetap ia kenakan, sehingga terlihat jelas wajahnya.

 

Sementara BAIM jadi terpesona memandang wajah Dinda. Nyaris tak percaya, bahwa DINDA yang pernah sangat ia cintai kini ada di hadapannya. 

 

BAIM (V.O)(CONT’D)

Aku tak mungkin mengenalnya, jika

ia tak memperkenalkan sebagai Dinda.

Dinda... kecantikanmu sungguh membuat

aku hampir tak mengenalmu. Alangkah

bedanya dengan Dindaku dulu!

 

DINDA

(Tak lepas juga terus menatap Baim)

Mbak Ayu, ikut ke Yogya?

 

BAIM

Mbak Ayu sudah menikah, kini tinggal di Depok...

Nyaris seperti gumam)

Dinda, jadi pengantin perempuannya itu kamu...?

 

DINDA

Baim, empat bulan sejak kau tak bisa kuhubungi,

aku tak pernah berhenti mencari kamu!

 

BAIM

Empat bulan?! Bagaimana aku tahu? Sementara

saat itu aku sudah tak bisa mengharapkanmu lagi?!

 

DINDA

Kamu tiba-tiba tak bisa dihubungi! Menghilang!

Kau tak pernah memberi kesempatan padaku

untuk menjelaskan!

 

BAIM

Kamu pernah bilang, tiga tahun lalu; malam

itu kamu memutuskan hubungan kita secara

sepihak. Aku yang tidak kau perbolehkan

menghubungimu lagi. Alasanmu, Dedi telah

menyiapkan masa depanmu dan keluargamu.

 

 

DINDA

Aku tak pernah melakukan itu! Dedi menolong

Ayahku, memang. Dan meski aku tahu dia

sangat menginginkanku. Aku tetap tepati

janjiku. Aku tetap pada ikrar kita!

 

BAIM

Ucapan itu mudah, tetapi tetap tidak

bisa mengaburkan fakta! Foto-fotomu,

lebih menjelaskan dari pada sekedar ucapan.

 

DINDA

Terus terang, aku dijebak! Aku difitnah!

Terserah, apa pendapatmu. Tapi aku ngomong

yang sebenarnya! Saat itu aku pergi ke

ultah Sella. Bahkan malam sebelumnya aku

minta izin ke kamu dan kamu memperbolehkan.

Waktu pulang, aku tak kuat lagi menahan

pusing kepalaku. Ketika pagi aku tersadar,

aku telah kehilangan ponselku.

 

BAIM (V.O)

Dulu, yang kusuka dari Dinda adalah

kejujurannya. Apakah ia masih tetap seperti itu?

 

DINDA

Saat itu aku masih menganggap kau yang

terbaik untukku. Sampai kau meninggalkan

aku dan dalam pencarianku! Ketika aku sudah

lelah mencarimu, aku limbung. Ketika Dedi

ingin memaksakan cintanya, pun aku

tetap mengabaikannya.....

 

BAIM

Aku fokus kuliah untuk melupakan kekecewaanku

(seperti ada penyesalan. Suaranya bergumam)

Sekarang aku terlambat!

 

DINDA tertunduk. Syok menghadapi kenyataan yang tak terduga, mendengar pernyataan yang tersirat dari ucapan BAIM.

DINDA menyimpulkan, bahwa ternyata BAIM juga masih menyimpan cintanya...

 

DINDA (V.O)

Andai pertemuan ini terjadi sepekan yang

lalu! Aku bisa menggagalkan taarufku.

Saat itu aku masih berpegang pada amanah Ibu...

 

BAIM

(Merendahkan suaranya)

Sebenarnya, semua yang terjadi bukan karena

aku tak menetapi amanah ibumu, Dinda.

 

DINDA (V.O)

Ibu...andai saja yang kuangankan bisa

menjadi kenyataan! Seperti keinginanmu dulu itu!

 

Mata DINDA yang basah air mata oleh kesedihan hatinya, menerawang dengan pandangan penuh kepedihan.

 

FLASH BACK

 

6. INT. RUMAH SAKIT, RUANG PERAWATAN – SORE.

Cast: DINDA, BAIM, ARUMI (ibu kandung Dinda)

 

DINDA sedang menjenguk ARUMI (45 tahun) yang sedang menjalani kemoterapi penyembuhan penyakit kankernya.

DINDA menyuapi jus buah sirsak kesukaan ibunya. Saat itu ARUMI memberi penilaian tentang pribadi BAIM.

 

ARUMI

Kenapa Baim enggak ikut kemari, Din?

 

DINDA

Baim sedang memberi les privat beberapa anak.

Tadi ia titip salam untuk Ibu. Semoga Ibu

cepat sembuh.

 

ARUMI

Amin. Entah kenapa, tiba-tiba Ibu kangen dia, Din.

 

DINDA

Kemarin ‘kan Ibu baru ketemu Baim?

 

ARUMI

Iya. Kalau Ibu lihat kalian selalu bersama,

ibu jadi senang, Din. Baim adalah pemuda

yang penuh kasih sayang dan jujur. Apapun

yang terjadi, jangan pernah putuskan persahabatanmu

dengan dia. Semoga Allah mengabulkan keinginan

Ibu, Baim menjadi jodohmu...

 

DINDA

Amin.

 

ARUMI

Kamu tahu, apa resep persahabatan itu agar

bisa langgeng?

 

DINDA

Menurut Ibu, apa?

 

ARUMI

Menjaga, memelihara, memahami dan saling

mengerti, resepnya. Persahabatan itu mirip

mengayuh biduk di luar kehidupan berumah

tangga. Tahukah, siapa sahabat sejati itu, Din?

 

DINDA

(Tersenyum dan menggeleng)

Ibu yang tahu...

 

ARUMI

Sahabat sejati itu ia yang bisa mencarikan

solusi atas kesulitan kita, tanpa kita

minta. Sahabat sejati itu ia yang bisa

ikut bersyukur ketika kita senang. Menampung

keluh kesah, gundah gulana, susah sedih

kita, sementara ia menjadi penghiburnya, hingga

yang menggelapkan dan menenggelamkan hati

kita itu berlalu.

 

DINDA

Baim hampir memiliki setiap kebaikan

yang Ibu katakan...  

 

ARUMI

Baim yang Ibu lihat lebih dari yang kau

lihat. Sesungguhnya, Ibu melihat persahabatan

kalian telah tumbuh disertai perasaan

saling menyayangi. Ibu ingin menyaksikan

kebersamaan kalian akan diakhiri dengan

kebahagiaan dalam sebuah ikatan yang sakral.

Tapi, akhir-akhir ini Ibu sering ragu, Dinda.

 

DINDA

Kenapa Ibu ragu? Ibu yang paling berharap ‘kan?

 

ARUMI

Ibu sangat berharap. Semoga bukan harapan Ibu

yang tak sampai. Ibu khawatir tak bisa

menyaksikan persahabatan kalian yang akan

di akhiri kebahagiaan, seperti harapan Ibu.

 

DINDA

Ibu jangan membuat Dinda takut! Ibu jangan

pernah ragu! Ibu akan selalu mengiringi

setiap langkah kami dan menyaksikan

kebahagiaan kami! Karena Ibu yang

dukung persahabatanku dengan Baim!

 

Terdengar “Assalamualaikum” dari luar kamar. DINDA sangat paham suara itu.

 

 

DINDA

Masuk, Im!

 

BAIM masuk, menaruh keranjang parsel berisi buah-buahan lalu menyalami ARUMI, dan mencium takzim punggung telapak tangan ARUMI.

 

BAIM

Ibu, apa kabar?! Sehat ya, Bu?

 

ARUMI

Alhamdulillah, terima kasih telah

menjenguk dan mendoakan Ibu.

 

DINDA

Katanya hari ini banyak yang les? Pulangnya

malam. Kok bisa kemari?

 

BAIM

Ada dua anak yang berhalangan. Tapi bukan karena

itu aku ingin kesini. Ada yang mengganggu pikiranku.

 

DINDA

(Menyela. Penasaran ingin tahu)

Ada apa, Im?!

 

BAIM

(Membisikkan ke telinga Dinda)

Aku ke pikiran kamu nanti akan pulang naik

angkot sendirian, Din. ‘Kan sebentar lagi malam?

 

DINDA

(Sok sebel mendapat perhatian Baim)

Ah, kamu! Lebih posesif dari Ayahku!

Bawa helm, nggak?!

 

BAIM

Bawa! ‘kan tadi aku pulang dulu ke rumah,

ambil helm untuk kamu!

 

DINDA   

Tuh, Ibu baru bilang, katanya kangen kamu, Im!.

 

BAIM

Iya, Bu? Kok sama! Saya juga kangan Ibu!

Sebetulnya saya kesini juga karena

itu. Alhamdullillah, ada anak yang berhalangan.

Jadi, saya bisa mengobati kangen Ibu.

 

 

 

ARUMI

(Tersipu)

Ternyata waktu tak mampu membatasi rasa

kangen kita, ya? Ibu mau bilang sama Baim,

titip Dinda. Tolong jaga Dinda, ya, Im....

 

Tiba-tiba DINDA merasakan suatu desiran tajam di dadanya. Rasa takut kehilangan ibunya menyeruak ke dalam dada. Perasaan DINDA menyeret pada makna sebuah firasat akan datangnya kesedihan karena kehilangan...

 

DINDA

(Wajahnya pias dan mendadak sedih)

Ibu, jangan ngomong begitu....

 

ARUMI

Kenapa, Din...? Bukankah Ibu belum pernah

menitipkan kamu pada Baim? Padahal sudah

sekian tahun kalian menjalin persahabatan?!

 

BAIM  

(Sesaat menghela nafas)

Insya Allah, saya akan menjaga Dinda. Saya

tahu kekhawatiran Ibu. Dinda anak Ibu satu-

satunya. Tapi Ibu jangan khawatir, karena

Dinda dan keluarganya adalah keluarga saya

juga. Dinda adalah sahabat terbaik saya.

Saya berjanji akan menjaganya, Bu.

 

ARUMI

(Tersenyum senang)

Terima kasih, Baim. Sekarang Ibu merasa

tenang dan lega. Nah, Dinda, kenapa tadi Ibu

lihat Dinda tiba-tiba sedih? Atau Dinda takut

Ibu akan meninggalkanmu?

 

DINDA

Ibu tak ‘kan meninggalkan Dinda! Ibu akan

segera sembuh dan sehat seperti sedia kala!

 

ARUMI

Amin. Semoga, ya, Allah.... 

 

FADE OUT

 

FADE IN

 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar