1. EXT. TERAS, SEKITAR KAMAR KOST – PAGI.
Dari teras kost-an, OS terdengar suara TV yang sedang menyiarkan berita (tentang pandemi Covid 19 atau efek pandemi). Disusul bunyi ringtone ponsel. Volume suara penyiar mengecil, lalu terdengar suara seseorang menerima panggilan telepon; mengucapkan “assalamu’alaikum” atau “selamat pagi”.
CUT TO
2. INT. KAMAR KOST BAIM – PAGI.
Cast: BAIM
Berawal dari snapshots detil pemandangan di dalam kamar: sebuah TV, ranjang lipat, meja belajar dan lemari susun. Sebuah rak buku susun berisi buku-buku pelajaran dan tumpukan modul. Dan bagian-bagian lain yang mengesankan penghuninya seorang mahasiswa.
Kamera kemudian berhenti pada seorang pemuda yang sedang bicara di ponselnya. Selanjutnya ia akan kita kenal sebagai BAIM (22 tahun).
BAIM
Hari ini saya ada kuliah online sore.
Ada perlu dengan saya, Mas?
INTERCUT:
3. INT. RUMAH ARMAN, RUANG KERJA – PAGI.
ARMAN
ARMAN (31 tahun) (kakak ipar Baim) bicara via telepon dengan BAIM. Di latar belakang nampak terpajang, agak samar foto keluarga ARMAN (Arman, istri dan seorang anak perempuan).
ARMAN
Tolong bisa ke kafe jam delapan nanti, Im?
BAIM
(Melihat jam di ponsel)
Insya Allah, bisa. Ada apa ya, Mas?
ARMAN
Gantiin Oman. Ada yang mau pakai kafe kita.
Oman berhalangan, sedang nunggu istrinya
melahirkan.
BAIM
Memang kafe sudah boleh buka, Mas?
ARMAN
Belum. Istilahnya bukan boleh buka. Tapi
dapat ijin khusus, asal pakai prokes
dari Satgas Covid 19. Waktunya juga
dibatasi. Cuma dikasih dua jam setengah.
BAIM
Untuk acara apa, Mas?
ARMAN
Akad nikah. Yang hadir juga terbatas. Paling
banyak tujuh orang. Juga nggak boleh ada
barista dan pramusaji. Karena tidak
diperkenankan ada acara makan minum.
BAIM
Tujuh orang termasuk saya?
ARMAN
Tujuh orang tamu, tambah kamu. Laporannya
ke Satgas sepasang pengantin, wali nikah,
dua saksi dan penghulu. Enggak boleh
lebih. Nanti acaranya akan dipantau.
BAIM
Tertawa)
Diorama pernikahan unik. Pandemi mengubah
segalanya. Akad mendesak karena sudah jatuh
tempo ya, Mas?
ARMAN
Katanya visa pengantin lakinya hampir overstay.
BAIM
Ooo....cewek kita, dapat orang luar?!
ARMAN
Ya. Sepekan yang lalu ta’aruf mereka juga
di kafe kita.
BAIM
Oh ya? Wah! Kafe Mas Arman bisa dijadiin
ajang ta’aruf atau spesial akad nikah minimalis!
ARMAN
Ngaco, ah! Jadi sepakat ‘kan? Pukul delapan
kamu sudah ada di kafe! Jangan sampai
pengantinnya datang duluan, Im!
BAIM
Siap, Mas. Insya Alah!
CUT TO
4. EXT./INT. KAFE ARMAN – SIANG.
Cast: BAIM, PETUGAS SATGAS
Berawal dari sebuah papan nama DE KAFE ARMAN. Suasana sepi di luar kafe. Seorang petugas dari Satgas berdiri di dekat pintu kafe. Di sudut teras nampak perlengkapan protokol kesehatan (tempat cuci tangan, antiseptic pembersih dan kotak tisu dan sarung tangan plastik).
Kamera bergerak memperlihatkan keadaan di dalam kafe. Properti kafe yang tampak ‘di-istirahat-kan’, terkesan kafe telah ditutup; kursi disusun di atas meja, dikumpulkan menjadi satu.
Namun ada bagian yang tampak masih ‘hidup’. Sebuah ruang disisakan siap pakai untuk menyambut sebuah acara. Menjadi ruang akad nikah. Delapan kursi berjarak, melingkari sebuah meja.
BAIM siap menerima kedatangan tamu kafe dengan prokes lengkap; bermasker dan memakai face shield dan sarung tangan plastik. Namun agaknya tamu yang di nanti terlambat datang. Tampak BAIM mulai gelisah. Beberapa kali ia melihat jam tangannya.
CUT TO
5. INT. KAFE ARMAN - RUANG AKAD NIKAH – SIANG.
Cast: BAIM, DINDA, ODING (Adik tiri Dinda)
Yang ditunggu BAIM akhirnya datang juga. Tapi baru dua orang. Mereka adalah calon pengantin perempuan, selanjutnya akan kita kenal dengan nama DINDA (22 tahun). Dan wali nikahnya, ODING (20 tahun). Keduanya memakai protokol kesehatan lengkap.
BAIM antusias menyambut tamunya. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya di dada (isyarat berjabat tangan) DINDA dan ODING membalas dengan melakukan hal serupa. BAIM menempatkan diri sebagai ‘tuan rumah’ yang hangat dan ramah, tanpa mengurangi sikap sopan.
BAIM
Membawa tamunya ke meja yang telah diatur)
Mari! Silakan! Silakan!
ODING, DINDA
Serempak)
Terima kasih.
BAIM
Yang lainnya mana?
ODING
Nanti menyusul!
(Beralih ke Dinda)
Kak, saya mau hubungi mereka. Mungkin
mereka kena macet!
DINDA
Ya! Coba tanya mereka, kenapa belum sampai?!
ODING move ke arah teras, menjauh dari DINDA dan BAIM. Sambil berjalan ia sibuk dengan ponselnya (berusaha menghubungi seseorang)
DINDA ketika melihat BAIM, merasakan ada magnet yang membuatnya seakan telah mengenal dekat sosok BAIM, yang membangkitkan kenangan masa lalunya. Namun DINDA masih ragu. Prokes telah menyamarkan kejelasan wajah setiap orang.
DINDA
(Duduk sambil terus mencuri-curi mengamati Baim)
Maaf, apakah Anda Mas Oman? Kayaknya beda,
bukan Mas Oman!
BAIM
Oh ya! Saya gantiin Mas Oman. Saya Ibrahim
Arya. Panggil saja, Baim!
DINDA
(Terperangah. Terpana. Beberapa saat memandangi
Baim lebih teliti)
Saya pernah punya teman, namanya
Ibrahim, panggilannya juga Baim. Apakah
Anda pernah mengenal orang yang
bernama Dinda? (Yakin Baim temannya)
BAIM
Tersentak. Tapi masih ragu. Sesaat mengamati Dinda)
Maaf, apakah yang Anda maksud ia bernama
Dinda Kirana? Teman saya itu (mengingat)
waktu kelas delapan pernah kena duri pohon
bidara di halaman sekolah kami!
DINDA
(Syok. Terhenyak. Untuk beberapa saat pandangannya terpaku pada Baim)
Jadi kau Baim yang mencabut duri
dari jari telunjukku?! Baim! Apa kabarmu?
Ke mana saja selama ini, Im?
BAIM
(Terduduk tak berdaya. Membuka masker hingga
nampak jelas wajahnya dibalik face sield)
Aku kuliah di Yogya....
DINDA ikutan membuka masker. Namun Fece sield-nya tetap ia kenakan, sehingga terlihat jelas wajahnya.
Sementara BAIM jadi terpesona memandang wajah Dinda. Nyaris tak percaya, bahwa DINDA yang pernah sangat ia cintai kini ada di hadapannya.
BAIM (V.O)(CONT’D)
Aku tak mungkin mengenalnya, jika
ia tak memperkenalkan sebagai Dinda.
Dinda... kecantikanmu sungguh membuat
aku hampir tak mengenalmu. Alangkah
bedanya dengan Dindaku dulu!
DINDA
(Tak lepas juga terus menatap Baim)
Mbak Ayu, ikut ke Yogya?
BAIM
Mbak Ayu sudah menikah, kini tinggal di Depok...
Nyaris seperti gumam)
Dinda, jadi pengantin perempuannya itu kamu...?
DINDA
Baim, empat bulan sejak kau tak bisa kuhubungi,
aku tak pernah berhenti mencari kamu!
BAIM
Empat bulan?! Bagaimana aku tahu? Sementara
saat itu aku sudah tak bisa mengharapkanmu lagi?!
DINDA
Kamu tiba-tiba tak bisa dihubungi! Menghilang!
Kau tak pernah memberi kesempatan padaku
untuk menjelaskan!
BAIM
Kamu pernah bilang, tiga tahun lalu; malam
itu kamu memutuskan hubungan kita secara
sepihak. Aku yang tidak kau perbolehkan
menghubungimu lagi. Alasanmu, Dedi telah
menyiapkan masa depanmu dan keluargamu.
DINDA
Aku tak pernah melakukan itu! Dedi menolong
Ayahku, memang. Dan meski aku tahu dia
sangat menginginkanku. Aku tetap tepati
janjiku. Aku tetap pada ikrar kita!
BAIM
Ucapan itu mudah, tetapi tetap tidak
bisa mengaburkan fakta! Foto-fotomu,
lebih menjelaskan dari pada sekedar ucapan.
DINDA
Terus terang, aku dijebak! Aku difitnah!
Terserah, apa pendapatmu. Tapi aku ngomong
yang sebenarnya! Saat itu aku pergi ke
ultah Sella. Bahkan malam sebelumnya aku
minta izin ke kamu dan kamu memperbolehkan.
Waktu pulang, aku tak kuat lagi menahan
pusing kepalaku. Ketika pagi aku tersadar,
aku telah kehilangan ponselku.
BAIM (V.O)
Dulu, yang kusuka dari Dinda adalah
kejujurannya. Apakah ia masih tetap seperti itu?
DINDA
Saat itu aku masih menganggap kau yang
terbaik untukku. Sampai kau meninggalkan
aku dan dalam pencarianku! Ketika aku sudah
lelah mencarimu, aku limbung. Ketika Dedi
ingin memaksakan cintanya, pun aku
tetap mengabaikannya.....
BAIM
Aku fokus kuliah untuk melupakan kekecewaanku
(seperti ada penyesalan. Suaranya bergumam)
Sekarang aku terlambat!
DINDA tertunduk. Syok menghadapi kenyataan yang tak terduga, mendengar pernyataan yang tersirat dari ucapan BAIM.
DINDA menyimpulkan, bahwa ternyata BAIM juga masih menyimpan cintanya...
DINDA (V.O)
Andai pertemuan ini terjadi sepekan yang
lalu! Aku bisa menggagalkan taarufku.
Saat itu aku masih berpegang pada amanah Ibu...
BAIM
(Merendahkan suaranya)
Sebenarnya, semua yang terjadi bukan karena
aku tak menetapi amanah ibumu, Dinda.
DINDA (V.O)
Ibu...andai saja yang kuangankan bisa
menjadi kenyataan! Seperti keinginanmu dulu itu!
Mata DINDA yang basah air mata oleh kesedihan hatinya, menerawang dengan pandangan penuh kepedihan.
FLASH BACK
6. INT. RUMAH SAKIT, RUANG PERAWATAN – SORE.
Cast: DINDA, BAIM, ARUMI (ibu kandung Dinda)
DINDA sedang menjenguk ARUMI (45 tahun) yang sedang menjalani kemoterapi penyembuhan penyakit kankernya.
DINDA menyuapi jus buah sirsak kesukaan ibunya. Saat itu ARUMI memberi penilaian tentang pribadi BAIM.
ARUMI
Kenapa Baim enggak ikut kemari, Din?
DINDA
Baim sedang memberi les privat beberapa anak.
Tadi ia titip salam untuk Ibu. Semoga Ibu
cepat sembuh.
ARUMI
Amin. Entah kenapa, tiba-tiba Ibu kangen dia, Din.
DINDA
Kemarin ‘kan Ibu baru ketemu Baim?
ARUMI
Iya. Kalau Ibu lihat kalian selalu bersama,
ibu jadi senang, Din. Baim adalah pemuda
yang penuh kasih sayang dan jujur. Apapun
yang terjadi, jangan pernah putuskan persahabatanmu
dengan dia. Semoga Allah mengabulkan keinginan
Ibu, Baim menjadi jodohmu...
DINDA
Amin.
ARUMI
Kamu tahu, apa resep persahabatan itu agar
bisa langgeng?
DINDA
Menurut Ibu, apa?
ARUMI
Menjaga, memelihara, memahami dan saling
mengerti, resepnya. Persahabatan itu mirip
mengayuh biduk di luar kehidupan berumah
tangga. Tahukah, siapa sahabat sejati itu, Din?
DINDA
(Tersenyum dan menggeleng)
Ibu yang tahu...
ARUMI
Sahabat sejati itu ia yang bisa mencarikan
solusi atas kesulitan kita, tanpa kita
minta. Sahabat sejati itu ia yang bisa
ikut bersyukur ketika kita senang. Menampung
keluh kesah, gundah gulana, susah sedih
kita, sementara ia menjadi penghiburnya, hingga
yang menggelapkan dan menenggelamkan hati
kita itu berlalu.
DINDA
Baim hampir memiliki setiap kebaikan
yang Ibu katakan...
ARUMI
Baim yang Ibu lihat lebih dari yang kau
lihat. Sesungguhnya, Ibu melihat persahabatan
kalian telah tumbuh disertai perasaan
saling menyayangi. Ibu ingin menyaksikan
kebersamaan kalian akan diakhiri dengan
kebahagiaan dalam sebuah ikatan yang sakral.
Tapi, akhir-akhir ini Ibu sering ragu, Dinda.
DINDA
Kenapa Ibu ragu? Ibu yang paling berharap ‘kan?
ARUMI
Ibu sangat berharap. Semoga bukan harapan Ibu
yang tak sampai. Ibu khawatir tak bisa
menyaksikan persahabatan kalian yang akan
di akhiri kebahagiaan, seperti harapan Ibu.
DINDA
Ibu jangan membuat Dinda takut! Ibu jangan
pernah ragu! Ibu akan selalu mengiringi
setiap langkah kami dan menyaksikan
kebahagiaan kami! Karena Ibu yang
dukung persahabatanku dengan Baim!
Terdengar “Assalamualaikum” dari luar kamar. DINDA sangat paham suara itu.
DINDA
Masuk, Im!
BAIM masuk, menaruh keranjang parsel berisi buah-buahan lalu menyalami ARUMI, dan mencium takzim punggung telapak tangan ARUMI.
BAIM
Ibu, apa kabar?! Sehat ya, Bu?
ARUMI
Alhamdulillah, terima kasih telah
menjenguk dan mendoakan Ibu.
DINDA
Katanya hari ini banyak yang les? Pulangnya
malam. Kok bisa kemari?
BAIM
Ada dua anak yang berhalangan. Tapi bukan karena
itu aku ingin kesini. Ada yang mengganggu pikiranku.
DINDA
(Menyela. Penasaran ingin tahu)
Ada apa, Im?!
BAIM
(Membisikkan ke telinga Dinda)
Aku ke pikiran kamu nanti akan pulang naik
angkot sendirian, Din. ‘Kan sebentar lagi malam?
DINDA
(Sok sebel mendapat perhatian Baim)
Ah, kamu! Lebih posesif dari Ayahku!
Bawa helm, nggak?!
BAIM
Bawa! ‘kan tadi aku pulang dulu ke rumah,
ambil helm untuk kamu!
DINDA
Tuh, Ibu baru bilang, katanya kangen kamu, Im!.
BAIM
Iya, Bu? Kok sama! Saya juga kangan Ibu!
Sebetulnya saya kesini juga karena
itu. Alhamdullillah, ada anak yang berhalangan.
Jadi, saya bisa mengobati kangen Ibu.
ARUMI
(Tersipu)
Ternyata waktu tak mampu membatasi rasa
kangen kita, ya? Ibu mau bilang sama Baim,
titip Dinda. Tolong jaga Dinda, ya, Im....
Tiba-tiba DINDA merasakan suatu desiran tajam di dadanya. Rasa takut kehilangan ibunya menyeruak ke dalam dada. Perasaan DINDA menyeret pada makna sebuah firasat akan datangnya kesedihan karena kehilangan...
DINDA
(Wajahnya pias dan mendadak sedih)
Ibu, jangan ngomong begitu....
ARUMI
Kenapa, Din...? Bukankah Ibu belum pernah
menitipkan kamu pada Baim? Padahal sudah
sekian tahun kalian menjalin persahabatan?!
BAIM
(Sesaat menghela nafas)
Insya Allah, saya akan menjaga Dinda. Saya
tahu kekhawatiran Ibu. Dinda anak Ibu satu-
satunya. Tapi Ibu jangan khawatir, karena
Dinda dan keluarganya adalah keluarga saya
juga. Dinda adalah sahabat terbaik saya.
Saya berjanji akan menjaganya, Bu.
ARUMI
(Tersenyum senang)
Terima kasih, Baim. Sekarang Ibu merasa
tenang dan lega. Nah, Dinda, kenapa tadi Ibu
lihat Dinda tiba-tiba sedih? Atau Dinda takut
Ibu akan meninggalkanmu?
DINDA
Ibu tak ‘kan meninggalkan Dinda! Ibu akan
segera sembuh dan sehat seperti sedia kala!
ARUMI
Amin. Semoga, ya, Allah....
FADE OUT
FADE IN