Ranum
16. 16. Rasa

92 INT. RUANG TAMU – RUMAH KAMAL 

Cast: Ibu Gina (Ibu Rival), Devi, Rival

Bu Gina berjalan ke ruang tamu. Devi langsung berdiri.

BU GINA

Loh? Kamu nggak buka toko?

DEVI

Emm, begini, Bu. Saya ke sini, mau izin dulu hari ini. (menyerahkan kunci)

BU GINA

(Menerima kunci) Kamu sakit? Kenapa mendadak izin? 

DEVI

Jadi, Ibu belum tahu? 

BU GINA

Tahu soal apa?

Rival masuk ke ruang tamu dengan setelan jas dan menenteng tas.

DEVI

Ayahnya Rea meninggal, Bu, tadi malam. Saya baru aja (tercekat)… dikabarin adiknya pagi ini. Saya … Saya takut Rea kenapa-kenapa, Bu.

BU GINA

Ayahnya meninggal? (menutup mulut dengan kedua tangan)

Bu Gina tiba-tiba oleng. Devi dan Rival cekatan menangkap tubuhnya agar tidak jatuh.

RIVAL

Ma? Mama nggak papa?

BU GINA

(Menggeleng) Nggak papa. Rival … Mama harus ke Solo. Mama mau ketemu sama Rea. Dia pasti terpukul. Mama bisa bayangin perasaannya. Rival …

Rival menatap wajah Bu Gina. Ia lalu mengangguk mantap.

RIVAL

Biar aku yang anterin Mama ke Solo. Sekalian kamu Devi (menatap Devi), Rea butuh sahabatnya.

Cut to.

93 INT. DI RUMAH REA – SOLO – PAGI HARI

Cast: Rea, Ibu Rea, Kia, Saudara Rea 

Rea dengan rambut acak-acakan duduk di sebelah Kia yang terus menangis. Ibu Rea sedang berbicara kepada tetangga.

SAUDARA REA

Kamu iki, Re, mbok ya pakai baju yang pantes dikit, rambutnya disisir! Pakai kerudung yang bener! Citra ayahmu ki lho, mesakno. Ninggal mati waktu masih susah, yang ditinggal nggak bisa urus diri. Sedih itu boleh, tapi yo sewajare to!

Rea tetap terdiam. 

SAUDARA REA (CONT’D)

Haduuuh, cah perawan saiki. Dikasih nasihat malah meneng wae. Punya mulut to kamu?

KIA

Budhe jangan ngomong gitu ke Kakak. Kita semua lagi sedih

SAUDARA REA

Kamu iki taunya opo! Masih bayi nggak usah ikut-ikut. Masih baik Ibumu kui Budhe kasih utang, kalau enggak, ayahmu itu udah sekarat dari dulu.

REA

Budhe! (Suara tinggi)

Beberapa orang menoleh, termasuk Ibu Rea. Ibu Rea mendekat.

SAUDARA REA

Opo? Meh nesu kamu sama Budhe? Lha bener to, kalau tanpa Budhe, ayahmu ki udah mati dari dulu, nggak tertolong. 

REA

Kalau Budhe ngomong gitu lagi di depan Kia, aku juga bakal ngomongin hal ini ke Budhe. Budhe nggak inget, siapa yang reala ngejual sawah cuma karena Budhe ngemis-ngemis di kaki ayah waktu anak Budhe dipenjara? Pemerkosaan? Pembunuhan? Uang tebusan itu kalau bukan dari ayah, terus dari siapa lagi?! (mata melotot marah)

SAUDARA REA

Yha! (bersiap menampar Rea)

Rea menutup mata. Bersamaan itu, Rival datang dan mencengkeram tangan saudara Rea yang ingin menampar.

REA

(Membuka mata perlahan) Pak ...

Ibu Rea mendekat dengan mata menahan tangis. Kia langsung memeluk Ibunya.

IBU REA

Saya bakal kembaliin uangnya, Mbak. Saya bakal lunasin hutang budi saya ke Mbak. 

Saudara Rea menatap marah kepada Rival yang tidak juga melepas tangannya.

SAUDARA REA

Lepas! (melepas tangannya) Denger kamu Rea, selamanya, saya nggak akan sudi memanggil kamu keponakan saya!

REA

Maaf, Budhe. Tapi saya juga nggak akan memaafkan orang yang semena-mena terhadap keluarga saya, sekalipun Budhe orangnya.

Saudara Rea pergi. Banyak orang yang menonton. Rea ikutan pergi berlari.

IBU REA

Rea! (ingin mengejar)

RIVAL

Biar saya aja, Bu. (menatap ibunya dan Devi) Mama sama Devi di sini aja.

94 EXT. DI BAWAH POHON BESAR – SOLO 

Cast: Rea, Rival

Rea menangis sesenggukan di sana. Rival datang dari belakang. Ikut berjongkok di sebelah Rea.

RIVAL

Apa kamu emang sering gini?

Rea yang sedang menangis menoleh.

RIVAL (CONT’D)

Nangis, pergi dari masalah, kabur. Kamu hobi kayak begini?

REA

Iya. (Menghapus air matanya) Saya selalu kabur. Saya nggak mau menghadapi itu. Emang kamu pikir untuk apa saya kerja di Jakarta kalau nggak kabur dari orang-orang? Dari ayah saya yang sekarang udah meninggal, dari ibu yang selalu nyuruh saya nikah, dari kenyataan kalau saya gagal banggain orang tua saya. Kamu masih mau ngehakimi saya dan kasih nasihat-nasihat nggak jelas supaya saya nggak lari dari masalah? Basi. Saya udah dengar itu ribuan kali.

Rival menatap Rea dengan kaget, tapi wajahnya menunjukkan rasa prihatin.

REA (CONT’D)

Hah … (tertawa kecil) Mata kamu (menunjuk)… tatapan ini yang selalu buat saya kabur. Saya nggak suka dikasihani! Mending kamu pergi, biarin saya sendiri di sini. Saya mau nangis.

RIVAL

Saya temani.

REA

(Menatap Rival lama) Saya lagi nggak mau bersopan-santun. Jadi kita langsung aja, kamu tuli? Saya nyuruh kamu pergi, kamu nggak dengar? Kamu nggak paham?! Saya lagi sediiiih, Rival!

RIVAL

(Memeluk Rea) Kamu yang nggak paham, Re. Orang sedih bakal lebih tenang kalau ditemani. Sekalipun kamu nyuruh saya pergi, saya bakal terus datang, saya bakal tetep di sini. 

Rea menangis sesenggukan di pelukan Rival. Rival menepuk-nepuk pundak Rea.

95 E/I. RUMAH REA – SOLO 

Rea pulang ke rumah ditemani oleh Rival. Kia yang melihat langsung berlari dan memeluk Rea.

KIA

Kakak! 

Ibu Rea ikut memeluk Rea.

REA

(Menangis) Maaf …

IBU REA

(Menggeleng) Ibu tahu. Nggak papa. Kamu masuk ya, sekarang?

Rea mengangguk. Rea dan Kia masuk. Langsung disambut oleh Ibu Rival dan Devi yang memeluknya.

Ibu Rea menatap Rival.

IBU REA

Terima kasih, Mas. Rea … Rea memang paling dekat dengan ayahnya, jadi pasti sulit buat dia terima kenyataan. Saya berterima kasih sekali lagi. (sambil menunduk)

RIVAL

(Menunduk) Nggak papa, Bu. Saya tahu rasanya kehilangan ayah. Rea ngingetin saya sama Sera, almarhumah adik saya. Saya cuma takut Rea bakal berakhir sama dengan Sera. Nggak bisa ikhlas terima kenyataan, lalu memilih bunuh diri. Saya nggak mau ada orang ngalamin hal yang sama.

IBU REA

(Membuka mulut sedikit karena kaget) Jadi … 

RIVAL

(Mengangguk) Iya, Bu. Nggak papa, sudah lama kejadiannya. (Menghembuskan napas) oh ya, (berdeham) saya dengar dari Devi kalau Rea bakal terus menetap di Solo?

IBU REA

Ya. Rumah neneknya di Jakarta udah dijual, bakal lebih sulit buat Rea kalau ngontrak di Jakarta. Apalagi dia harus nyekolahin adiknya.

RIVAL

Mungkin waktunya emang kurang tepat kalau diomongin sekarang, tapi saya rasa, masa depan Rea ada di Jakarta, Bu.

Ibu Rea mendongak dan menatap Rival.

RIVAL (CONT’D)

Ibu pernah baca buku-bukunya Rea? Atau cerpennya di koran-koran? Dari beberapa yang pernah saya baca, Rea mungkin penulis paling beda, Bu. Dia juga supel, rajin, ramah ke semua orang. Saya pernah liat dia nangis di parkiran depan kafe tempatnya kerja, saya nggak tahu karena apa, tapi setelah liat saya, dia langsung senyum. Dia langsung pinter nutupin kesedihannya. Rasanya nggak adil kalau masa depan yang selama ini dia kejar, harus terpaksa berhenti.

IBU REA

Maksudnya? Saya nggak ngerti.

Cut to. 

96 EXT. FLASHBACK ON – DI BAWAH POHON – SOLO 

Rival menatap Rea yang sedang mengelap air mata.

RIVAL

Jadi itu alasan kamu ke Jakarta? Karena ayah kamu?

REA

(Mengangguk) Iya. Ayah yang selama ini dukung saya terus nulis walaupun gajinya sedikit. Saya tahu gimana ayah berharap besar ke saya. Sulung, perempuan lagi. Ayah pasti ingin yang terbaik, tapi ayah lupa kalau yang terbaik dari saya pun cuma ngeluh. Nggak ada yang bisa diharapin dari anak kayak saya. Sampai hari itu, hari waktu saya memutuskan buat pergi ke Jakarta. Saya kabur ninggalin janji ke ayah, kalau saya bakal sukses, saya bakal biayain Kia sekolah, dan sebelum hari itu tiba, saya nggak bakal pulang.

RIVAL

Dua tahun nggak pulang ke Solo karena itu?

REA

Kamu pinter nebak, ya? (tersenyum getir)

REA (CONT’D)

Pacar saya orang kaya. Kita pernah punya mimpi yang sama. Dia yang suka sekali bilang bakal bantuin saya, kita nikah, punya rumah, punya anak, terus pulang ke Solo dengan keadaan saya yang sudah jauh lebih baik. (Menggeleng pasrah) Itu cuma mimpi. Lima tahun saya sama dia, semuanya udahan karena kita nggak direstuin. Saya nggak ingin kehilangan dia, tapi dia lebih baik kehilangan saya daripada orang tuanya. (Tertawa miris) Kalau diinget, kami berdua putus nggak baik-baik. Saya maki-maki dia, dia kecewa sama saya. (Menghela napas) Huh … saya nggak tahu kalau nasib saya bakal begini waktu dewasa.

Rival menatap Rea. Ia tersenyum.

RIVAL

Kamu cukup cerita ini ke saya aja, Re. Jangan orang lain.

REA

(Menoleh) Kenapa?

RIVAL

Kalau kamu mau, dan kalau ibumu mengizinkan, saya pengen lanjutin mimpi kamu. 

REA

Mimpi saya? Yang mana?

Rival tersenyum penuh arti.

Flashback off. 

96 EXT. RUMAH REA – SOLO 

Rival kembali berbicara dengan Ibu Rea.

RIVAL

Saya pengen Rea kembali ke Jakarta. Saya pengen dia jadi script writer saya. Kalau Rea mau dan kalau Ibu mengizinkan. 

Rival tersenyum kepada Ibu Rea. Ibu Rea terlihat sedang berpikir.

IBU REA

Tapi, nanti Rea bakal tinggal di mana?

RIVAL

Ibu tenang aja. Saya punya satu apartemen yang belum saya tempati, nanti Rea bisa tinggal di situ, sekalian sama Kia. Kalau mereka berdua takut ngerepotin, saya bisa minta Devi buat temenin mereka. Mubadzir juga kalau apartemen itu kosong.

IBU REA

Ibu mau saja, Mas … Ibu mau yang terbaik buat Rea. Tapi … kalau boleh tahu kenapa, ya? Kenapa Mas sampai segininya sama anak saya? Apa mungkin … Rea punya hutang sama Mas?

Rival menggeleg dan tertawa kecil.

RIVAL

Bukan itu. Rea nggak ada salah dan hutang sama saya. Saya juga nggak tahu saya kenapa. Rasanya kalau lihat Rea, saya ingat adik saya. Saya … jadi ingin melindungi Rea. Apa diizinkan, Bu?

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar