Ranum
9. 9. Muda

49 EXT. DI LUAR KANTOR PENERBITAN GARUT – SIANG HARI

Rea berjalan keluar dengan wajah kusut dan bahu merosot. Tatapannya kosong, rambutnya acak-acakan. Tangan kanannya membawa ponsel. Beberapa panggilan masuk dari Garut, tapi ia tak mengangkatnya. Ketika ia berjalan, tanpa sengaja ia menabrak laki-laki dengan es kopi di tangan. Minuman itu tumpah di kemeja Rea.

REA

(Kaget) Aduh! (Spontan mundur dan memegangi kemejanya yang ketumpahan kopi)

Laki-laki yang menabrak Rea saling bertatapan. 

LAKI-LAKI PENABRAK

Maaf, Mbak! Maaf, saya nggak tadi buru-buru.

REA

(Tersenyum sambil mennggeleng) Nggak papa, Mas, salah saya juga nggak lihat jalan.

LAKI-LAKI PENABRAK

Itu … (menunjuk baju Rea) bajunya gimana, Mbak?

REA

(Melihat ke arah bajunya) Nggak papa, cuma sedikit. 

LAKI-LAKI PENABRAK

Maaf, Mbak, sekali lagi.

Rea tersenyum dan melanjutkan berjalan. Namun, tiba-tiba muncul seorang Kamal persis di hadapannya. Kamal mengeluarkan tangan dari kedua saku, lalu melihat ke arah baju Rea yang terkena kopi. Mata Rea membulat karena terkejut.

REA

Kamal?

Kamal berjalan melangkah ke arah Rea. Ia melepas jasnya dan mengikatkan lengan jasnya pada tubuh Rea, menutupi bagian kemeja Rea yang terkena kopi. Sementara itu, Rea menahan napas.

KAMAL

Kelihatan. Aku nggak mau kamu jadi tontonan orang-orang.

Rea menatap Kamal yang juga sedang menatapnya. 

KAMAL (CONT’D)

Kamu baik-baik aja?

REA

(Mengangguk kecil) Iya … (suara tercekat)

Kamal melihat Rea. Ia memeluk Rea. 

REA (CONT’D)

(Mata membulat, kaget) Mal … Mal, lepas!

KAMAL

(Menggeleng) Bentar, (mengeratkan pelukan) bentar aja, Re. 

Rea ragu mau membahas pelukan Kamal.

KAMAL (CONT’D)

Aku kangen. 

Rea meneteskan air mata. Ia membalas pelukan Rea.

REA

Aku nggak baik-baik aja.

KAMAL

(Mengangguk) Aku tahu. Nggak papa, aku ada di sini.

50 EXT. ROOFTOP PERUSAHAAN KAMAL – MENJELANG SORE

Kamal memberikan botol cola yang sudah dibuka tutupnya kepada Rea. Rea yang sedang duduk menatap gedung-gedung menoleh. Tangannya terjulur menerima cola itu.

REA

Makasih.

KAMAL

(Duduk di sebelah Rea. Menatap ke botol cola yang dipegang Rea) Jangan cuma bilang makasih.

Rea kembali menoleh.

KAMAL (CONT’D)

Diminum juga cola-nya. Biar enakan.

Sontak Rea menatap ke arah minuman yang tergenggam. Ia menyesapnya sedikit. 

KAMAL

(Berdeham) Kamu nggak mau cerita─

REA

Mal. 

Rea menatap Kamal.

REA (CONT’D)

Ini semua salah.

KAMAL

Re, plis jangan bahas ini.

REA

Aku juga nggak mau bahas ini, tapi mau sampai kapan, Mal? 

KAMAL

(Menggeleng) Sampai kapan pun.

REA

Aku nggak bakal kuat selama itu. Kamu tahu aku ini perempuan nggak punya masa depan─

KAMAL

Rea, plis aku minta sama kamu─

REA

Kamal! Dengerin aku dulu! (Menghembuskan napas) Aku nggak punya apa-apa buat ngeyakinin orang tua kamu kalau aku pantes dapetin kamu, Mal. Aku cewek yang sama kayak apa yang diomongin Mama-Papa kamu. Akhirnya aku cuma bisa nyusahin kamu.

KAMAL

Aku nggak keberatan disusahin sama kamu!

REA

Tapi aku enggak!

Kamal langsung terdiam dan tidak jadi melanjutkan ucapannya. Ia meletakkan botol cola-nya dan menatap Rea.

KAMAL

Terus kamu maunya gimana?

Rea tanpa pikir panjang langsung menatap Kamal dengan wajah serius.

REA

Aku mau putus. 

Kamal mengelap bibirnya dengan lidah.

KAMAL

Re─

REA

Apa pun yang bakal kamu ucapin ke aku, bahkan kalau kamu kasih aku apa aja yang aku butuh, mauku tetap sama. Aku mau putus. Aku mau kehidupan yang baru, yang tanpa kamu. 

Rea berdiri dari duduknya sambil menatap Kamal.

REA (CONT’D)

Maaf, Mal. Tapi aku nggak mau bikin kamu tambah nggak dengerin orang tua kamu, cuma karena aku. Aku nggak sepadan sama orang tua kamu, Mal.

Kamal berdiri dan menatap Rea lekat.

KAMAL

Kalau kamu putus sama aku cuma gara-gara Mama sama Papa, aku nggak mau. Kamu mau putus silakan, tapi aku nggak mau.

Kamal menggenggam kedua tangan Rea. Ia menundukkan badan untuk menyejajarkan tinggi badannya dengan tinggi Rea.

KAMAL (CONT’D)

Me and you, versus the world. 

REA

Gimana mau versus the world kalau versus Mama kamu aja aku nggak bisa?

KAMAL

Ya makanya kita bareng-bareng.

REA

(Menggeleng tegas) Aku ini pengecut, Mal. Alasan kenapa aku nggak pernah berani pulang ke Solo karena aku tahu betapa banyak orang yang bakal ngehina ibuku. Anaknya belum sukseslah, belum nikahlah. Dan sekarang, kalau kamu ngajak aku bareng-bareng versus the world, aku nggak bisa. Lebih tepatnya, aku nggak mau.

KAMAL

Sebenarnya kamu sayang sama aku nggak sih, Re? Lima tahun ini kamu anggap hubungan kita ini apa? Aku bakal perjuangin kamu, asal kamu juga mau berjuang sama aku. Egois ahu nggak, kalau kamu minta dingertiin perasaannya gara-gara orang tuaku nggak suka sama kamu, tapi kamu juga nolak berjuang bareng aku.

REA

(Menghela napas) Oke, oke … sebut aku emang egois. Tapi pernah nggak kamu coba mikir kalau ada di posisiku? Kamu tahu gimana sakitnya hati aku waktu Mama sama Papa kamu bilang itu? Pernah nggak kamu coba sekali aja flashback ke masa kita dulu, di mana aku ditolak banyak perusahaan, dipecat, gimana aku berjuang biar bisa setara sama kamu! Pernah nggak mikir gitu? Kenyataannya enggak, Mal. Kamu nggak pernah lihat gimana aku nyoba menyejajarkan kasta kita berdua karena aku tahu, Mal, aku tahu bakal berakhir kayak gini. Ini sebabnya juga 'kan kamu baru ngenalin aku setelah lima tahun pacaran? Iya 'kan? Karena jauh dalam hati kamu juga udah bisa nebak! Tapi kamu nggak mau mikir ini dan berterus terang ke aku, kamu pura-pura bahagia, tanpa beban, karena kamu juga tahu ini bakal kejadian.

REA (CONT’D)

Kalau selamanya yang orang tua kamu lihat dari aku adalah kemiskinan, sampai kapan pun juga bakal sama. Karena kalau aku nikah sama kamu pun, yang mereka lihat dari aku, hanyalah istri yang cuma bisa morotin harta suaminya. Aku nggak mau. Kenapa? Karena aku memang sepengecut itu. 

Kamal tertawa miris. Ia menatap Rea tidak percaya.

KAMAL

Kurang ya, Rea, apa-apa yang aku beliin buat kamu? 

REA

(Mengalihkan pandang) Aku bakal balikin itu secepatnya.

KAMAL

(Menggeleng) Nggak perlu. Nggak perlu dibalikin. Biar aku bisa lihat seberapa bisa kamu tanpa aku, seberapa sengsara kamu kalau udah nggak sama aku. Toh, aku juga nggak begitu yakin kamu bisa beli barang-barang itu.

Rea menatap Kamal. Sudah ada air mata di pelupuk matanya. Sorot mata Kamal menyiratkan kekecewaan. Rea mundur selangkah.

KAMAL

Thanks, Re. Lima tahun ini kamu berhasil nyadarin aku, kalau kamu nggak pantes aku perjuangin. Kamu nyerah sebelum bertanding. Mungkin ini juga yang bikin kamu sampai sekarang nggak punya kerjaan.

Kamal membalikkan badan dan langsung berjalan pergi. Rea menghembuskan napas. Ia menatap langit-langit gedung dan mengusap air matanya.

51 INT. DI DALAM LIFT – PERUSAHAAN KAMAL

Rea menekan tombol agar pintu lift tertutup. Ia berjongkok di dalam lift dan langsung menangis sesenggukan. Beberapa menit setelahnya, ponselnya bergetar. Ada pesan dari Devi.

DEVI (PESAN SINGKAT)

Gimana tawaran kerjanya? Jadi lo ambil? 

Rea menyeka air mata dan ingus di hidungnya. Ia mulai berdiri.

DEVI (PESAN SINGKAT)

Nggak usah khawatir sama kafe, biar gue yang urus. 

Rea menutup matanya pelan. Ia lantas menghubungi Devi.

REA

Halo? Dev? Iya. Apa? Enggak-enggak. Gue cuma … (berdeham) ijin lagi nggak bisa ngurus cafe. Gue kayaknya bakal langsung pulang. Lo nggak papa? (Mengangguk) Oke, makasih ya.

Rea menatap ke depan lift. Menatap wajahnya yang sembab yang terpantul di dalam lift. 

52 I/E. LIFT PERUSAHAAN KAMAL – SIANG HARI

Pintu lift terbuka. Menampikan dua wanita, Inggitania Majid dan Lala Danita (22), artis muda yang sedang melejit namanya. Inggit memakai setelan jas berwarna putih, sedangkan Lala memakai rok dengan panjang di atas lutut dengan kemeja berwarna merah. 

Inggit menoleh ke arah Lala sesaat setelah pintu lift terbuka.

INGGIT

Ayo.

Lala hanya balas mengangguk dan tersenyum tipis. 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar