Ranum
14. 14. Sorak Isi Kepala

79 INT. DI RUMAH IBU REA – SOLO 

Rea sedang berbicara dengan Ibunya di kamar sambil mengeluarkan baju dari tas ransel.

REA

Aku nggak bakal pergi ke Jakarta lagi. 

IBU

Kerjamu piye

REA

Mmm, nanti juga ada jalan. 

Ibu Rea menatap Rea tidak percaya. Ia lalu menyentil jidat Rea. 

REA (CONT’D)

Aw! (Memegang jidat kesakitan) Ibu!

IBU

Bocah kok pikirane pendek banget to? Kerja serabutan di Solo itu akeh, Re. Tapi gajine iku lho. Pengeluaran kita ini banyak. Adikmu harus sekolah, obat jalan Ayah. Kreditan Ibu juga ada yang belum lunas. Gaji Ibu kerja pabrik nggak cukup kalau buat─

REA

Cukup, Bu. 

Rea berhenti menatap baju. Ia menghembuskan napas dan duduk di sebelah ibunya. Ia menggenggam tangan ibunya.

REA (CONT’D)

Aku udah hubungin notaris buat ngurus rumah Uti. Uangnya bisa buat bayar hutang-hutang, bayar sekolah Kia, bayar pengobatan Ayah. Aku juga dapet pinjaman dari ibu tempat kerja. Untuk pindahan Kia, biar aku yang urus. Nanti aku juga dibantu sama temen di Jakarta. Untuk kerjaan di Solo, aku udah kontak Kak Intan. Ibu inget Kak Intan? 

Ibu Rea mengangguk. 

REA

Aku bakal diusahain magang jadi guru Bahasa Inggris di SMA tempat ngajarnya Kak Intan, Bu. Kia nanti bisa ikut pindah sekolah ke sana.

IBU REA

Kamu yakin?

REA

Maksudnya?

IBU REA

Jual rumah Uti, pindah ke Solo … Maksud Ibu, kamu nggak papa? 

Rea terdiam lama. Ibu Rea tersenyum.

IBU REA (CONT’D)

Ibu nggak mau kamu terkekang, Re. Ibu mau kamu jalani hidup itu seneng-seneng aja. Ibu nggak mau ngerepotin kamu. Tugas Ibu menjaga anaknya. Kalau kamu ngerasa sedih, Ibu ngerasa gagal jagain kamu. (Mengusap tangan Rea) Seberapa sedih kamu waktu putus sama Kamal? Seberapa sedih kamu waktu dipecat kerja? Ibu tahu rasanya. Ibu tahu, karena seorang ibu, sebaik-baiknya orang yang mengenal anaknya sendiri.

Rea menatap Ibunya. Air matanya menetes. Rea buru-buru menghapusnya.

REA

Aku nggak papa (memeluk Ibunya), asal ada Ibu, aku bakal baik-baik aja.

Rea melepas pelukan. Ibu Rea menatapnya jahil.

IBU REA

Jadi piye? Habis putus sama Kamal, kamu udah nggak laku lagi to

REA

Ibu! (Matanya membesar) Ibu mau aku ceritain nggak waktu makan malam itu?

IBU REA

O ya kamu itu kudu cerita! Biar Ibu besok yang bales ucapan nyelekit ibunya Kamal itu! 

Rea tertawa. Ia mulai cerita.

80 INT. DI DEPAN RUANGAN UGD – MALAM HARI

Rea menghampiri pamannya.

PAMAN REA

Ibumu ora ke sini?

REA

(Menggeleng) Kasihan Ibu kalau terus-terusan jaga Ayah. Aku lihat mata pandanya item banget. Jadi, aku bilang ke Ibu biar yang jaga malam Ayah ini aku aja.

PAMAN REA

Paklik pulang dulu, yo? Kamu tenanan nggak papa sendiri?

REA

Apa sih! Dikira aku masih bocah! 

Paman Rea tertawa kecil. Rea menyalimi tangan pamannya.

Rea duduk di kursi depan UGD setelah pamannya berjalan keluar. Ia mengeluarkan ponselnya dari tas. Ia menghidupkan ponselnya yang mati.

Ponselnya yang sudah hidup menampilkan deretan telepon dari Devi. Rea tersenyum kecil. Ia menelepon Devi.

Fx: suara telepon tersambung.

DEVI

Halo? (suaranya lemah dan serak-serak seperti orang sedang tidur)

Rea tertawa kecil.

DEVI (CONT’D)

Halo? Siapa ini?

REA

Heh, Kue Apem, udah tidur?

81 INT. KAMAR TIDUR DEVI – JAKARTA – MALAM HARI 

Devi sedang tertidur di kamarnya. Lampu kamarnya mati dan keadaan gelap. Ia segera membelalak kala tahu yang menelepon adalah Rea.

DEVI

Upil Kuda lo! Bikin gue khawatir aja! Nggak mau tau, pokoknya gue marah sama lo! 

REA

Astaga …

DEVI

Astaga-astaga! GUE yang harusnya bilang gitu! Ke mana sih lo sebenarnya, Princess? Ke Solo apa hilang di Antartika? Nggak ada kabar apa-apa, tau-tau keluar kerja, nggak bisa dihubungin!

Rea tertawa kecil.

82 INT. RUMAH SAKIT – SOLO – MALAM HARI

Rea berdiri dan berjalan ke arah jendela. Lalu menatap ke bawah di mana ada taman dan kolam ikan.

REA

Makasih ya, Dev. Lo udah ngawatirin gue, lo udah telfon gue berkali-kali, spam whatsapp, thank you, ya. (Menghembuskan napas) Gue jadi sadar, nggak papa temen gue dikit, asal ada lo, gue tahu gue bakal baik-baik aja. (Menangis)

Devi dan Rea terdiam lama. 

DEVI

Gimana kabar Om Heri? Apa kata dokter?

REA

Jantungnya kena. Mungkin … cuma bisa bertahan beberapa bulan … (tercekat) Gue yakin Ayah nggak selemah itu. Dokter pasti salah ‘kan?

DEVI

Iya … Om Heri pasti bakal kuat. Lo tahu, ketabahan Om Heri itu nurun ke lo. 

83 INT. KAMAR DEVI – JAKARTA – MALAM HARI

Devi terduduk di kasurnya.

DEVI (CONT’D)

Lo yang bahkan masih sempet-sempetnya bagi gue roti waktu maag gue kambuh, padahal lo nggak ada duit sepeser pun buat beli makan siang. Lo yang rela hujan-hujanan karena cuma punya satu paying dan lebih milih dipinjemin ke bapak-bapak tukang parkir. Lo yang nggak ngelawan waktu dipecat. Lo yang selalu pasang muka baik-baik aja waktu Garut bilang penjualan buku lo defisit. Gue kagum banget sama lo, Re. Lo pasti bahagia. Lo pasti akan dapet kebahagiaan yang luar biasa dari Tuhan. 

84 INT. RUMAH SAKIT – SOLO – MALAM HARI

Rea mengelap air matanya dengan tangan.

REA

Thanks buat doanya. Thanks ya, Dev.

Fx: suara suster.

SUSTER RUMAH SAKIT

Keluarga saudara Heri Akbar?

Rea menoleh. 

REA

Gue dipanggil suster. Gue tutup teleponnya, ya? Lanjutin tidur, gih!

DEVI

Oh … iya-iya! Kabarin gue selalu, oke?

Rea menutup teleponnya. Ia berjalan ke arah suster.

SUSTER RUMAH SAKIT

Keluarga Heri?

REA

Saya, Sus! Saya anaknya. Ayah saya kenapa, ya?

SUSTER RUMAH SAKIT

Bapak Heri sudah siuman, Mbak. Saya mau minta tanda tangan buat obat baru.

REA

(Membulatkan mata, tersenyum) Saya boleh masuk, Sus?

SUSTER RUMAH SAKIT

Untuk saat ini belum, Mbak. Menunggu jadwal. Boleh tanda tangan dulu, Mbak?

REA

Iya, Sus.

Rea tersenyum. Setelah tanda tangan, ia mengeluarkan ponsel lalu, mengetik pesan untuk ibunya.

REA (PESAN SINGKAT)

Bu, Ayah siuman.

Rea lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. Tak lama kemudian ponselnya bergetar.

Fx: suara nada ponsel.

DEVI (PESAN SINGKAT)

Gue lupa bilang. Fans yang lo kira waktu nulis di kertas kalau cerita lo bagus itu Pak Rival. Udah itu aja, gue mau lanjut tidur. Bye, Princess.

Rea mengerutkan kening. Ujung bibirnya lalu menarik ke atas, ia tersenyum. 

85 INT. RUMAH SAKIT – SOLO – PAGI HARI

Rea dan Kia menatap Ayahnya yang sudah bangun.

KIA

(Tersenyum) Ayah … Aku udah takut Ayah kenapa!

Ayah Rea tertawa dan mengelus puncak kepala Kia.

AYAH REA

Ayah ini kuat, lho! Waktu kemarin, Ayah teruuus kepikiran dua anak Ayah yang cantik-cantik (mencubit pipi Kia), terus Ayah bertekad. Demi Kia, demi Rea (menatap ke arah Rea), Ayah harus sehat! 

KIA

(Tersenyum) Ayah jangan sakit lagi, ya … (mulai menangis) Aku nggak mau lihat Ayah sakit. (menghapus air mata) Jadi, Ayah nggak boleh sakit. 

Ayah Rea menghapus air mata Kia dan mengangguk. Rea menatap Ayahnya.

REA

Ayah masih sakit dadanya? 

AYAH REA

Sedikit. Tapi, wis, nggak papa. Jam besuknya mau habis to? Kia, (menatap Kia) Kia keluar dulu, Ayah mau ngomong sama Ibu sama Kakakmu.

KIA

Haaaa (mengerucutkan bibir) Nggak mau! Aku masih mau sama Ayah …

REA

Kia! 

KIA

Apa?!

REA

Jangan kayak anak kecil! Jangan jadi anak yang dikit-dikit ngambek! Malu. Ini rumah sakit. Udah sana! Gantian sama Ibu!

Kia memasang wajah merajuk dan menatap ayahnya. 

AYAH REA

Nanti sore ada jam besuk lagi, kamu bisa cerita-cerita sama Ayah lagi. Ngalah dulu, ya?

Kia menghembuskan napas kesal. Ia akhirnya mengangguk dan keluar.

REA

Ayah mau ngobrol penting?

AYAH REA

Iya. Tunggu Ibumu dulu.

Cut to.

Setelah beberapa saat.

Ibu dan Rea saling tatap.

IBU REA

Ibu nggak setuju.

REA

Aku juga.

AYAH REA

Ayah iki tahu, umur Ayah udah nggak lama.

REA

Itu 'kan kata dokter, Yah. Dokter bukan Tuhan. 

AYAH REA

Orang yang hidupnya nggak bakal bertahan lama pasti tahu, Rea. Ayah bisa ngerasain.

IBU REA

Udah. (Membetulkan selimut) Ayah capek. Makanya ngomongnya jadi ngelantur kayak gini.

Ayah Rea memegang jemari Ibu. Ibu terdiam. Mata Rea mulai memanas.

IBU REA

Selama masih ada waktu, kita manut apa kata dokter, Yah. 

AYAH REA

(Tersenyum) Bakal lebih menyenangkan kalau di sisa umur Ayah ini, dihabiskan di rumah. Sama Rea, sama Kia, sama Ibu. Kumpul kayak dulu. Daripada harus ketemu mati di rumah sakit, di kasur UGD, bau obat-obatan. Ayah mau, punya kenangan sama keluarga, sebelum Ayah dipanggil nanti.

Rea menatap ke arah lantai rumah sakit. Air matanya menetes. Ia merasakan genggaman tangan ayahnya semakin menguat.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar