Ranum
8. 8. Kini Kembali Gelap

45 EXT. DI LUAR CAFE – SIANG HARI 

Rea membuka pintu cafe. Ia menyisir rambutnya ke belakang dan tersenyum semangat sembari mengeratkan jemari pada tas selempangnya. Ia lalu berjalan ke timur, menuju ke halte bus.

46 INT. DI DALAM CAFE – SIANG HARI

Rival bertanya kepada Devi yang sedang menyajikan minuman kepada pelanggan.

RIVAL

Mau ke mana Rea? Jam kerjanya habis? Ini masih siang perasaan.

DEVI

Ah, dia mau ke kantor penerbitan, Pak. Ada tawaran kerja nulis skrip.

Rival terlihat terkejut.

RIVAL

Dia penulis?

DEVI

Iya, Pak! Nggak kelihatan, ya? Emm, emang wajah-wajah tengil gitu lebih cocok jadi pemandu karaoke daripada penulis, sih.

RIVAL

(Tertawa kecil) Buku apa yang dia tulis? Eh, kamu duduk aja, nggak enak saya ngomongnya kalau kamu berdiri.

Devi mengangguk dan mengambil duduk di depan Rival.

DEVI

Buku yang dia tulis ya, Pak? Banyaaak! Dari cerpen majalah, joki tugas buat puisi atau cerita anak SMA, sampai joki pidato atau apa sih itu istilahnya … mc, ya? Ya pokoknya mc nikahan juga dia bisa. Cuma setahunan ini dia nulis buku anak-anak, Pak. Dibayar 400 ribu soalnya bukunya nggak laku. 

RIVAL

Yakin cuma segitu bayarannya?

DEVI

Iya. Kalau bukunya laku di pasaran, kadang Rea dapet tambahan cuan, sekitaran 400 ribu juga. Tapi, jarang. Padahal kalau ngomongin duit, dia kekurangan banget, Pak. Hidup sama adiknya, harus biayain adiknya sekolah, belum lagi emak-bapaknya di Solo, tiap bulan harus transfer buat obat jalan bapaknya Rea.

RIVAL

Makanya ibu saya terima dia kerja di sini?

DEVI

Dia bukannya mau ngejual cerita sedih ke Bu Gina, tapi waktu itu emang keadaan dia serba sulit. Lulusan sarjana, tapi ditolak banyak perusahaan. Dipecat dari Indomaret karena dituduh nyuri duit, padahal mah itu fitnahan aja, Pak. Rea orangnya jujur kok. Waktu itu, satu-satunya gaji dia cuma dari penerbitan. Padahal minggu depan adiknya udah harus bayar SPP. Bu Gina kasihan, terus diterima kerja di sini, nemenin saya. 

Rival terlihat berpikir, Ia memasang wajah sulit dibaca.

DEVI (CONT’D)

Aduh, maaf, Pak, malah jadi cerita begini.

RIVAL

Nggak papa, santai aja. Oh, ngomong-ngomong saya penasaran, tadi kenapa dia nangis di depan cafe?

Devi memutar bola mata, lalu mengalihkan pandang ke arah lain. Ia terlihat menghindari pertanyaan Rival karena takut Rea akan marah apabila masalah pribadi menyebar.

DEVI

Eee … itu … itu … anu , Pak …

RIVAL

Saya ngerti kalau kamu nggak mau jawab. Toh ini juga bukan urusan saya.

Devi tersenyum tidak enak. Bersamaan dengan itu ada pengunjung datang. Devi berdiri dari kursi.

DEVI

Kalau gitu saya balik kerja dulu, Pak. Permisi.

Rival mengangguk. Beberapa menit kemudian, ia memanggil Devi.

RIVAL

Devi!

Devi balik badan.

DEVI

Iya, Pak?

RIVAL

Saya pengin baca bukunya Rea. Saya bisa beli di mana?

DEVI

Ah! Bukunya Rea? Itu (menunjuk rak buku) di rak buku bagian bawah, ada bukunya Rea, Pak, beberapa juga majalah yang muat tulisannya dulu. Nama penanya “Ranum”.

Rival mengangguk dan tersenyum. Setelah Devi berbalik, ia berjalan ke arah rak buku yang disediakan di cafe tersebut. Ia mengambil salah satu majalah lalu berhasil menemukan sebuah cerita pendek yang Rea buat dengan nama pena “Ranum”. Rival membacanya dalam hati.

CITA-CITA (CERITA PENDEK)

Sewaktu kecil, aku pernah ditanya Ayah apa cita-citaku. Seperti anak kecil lainnya, aku bilang saja mau jadi dokter. Tanpa tahu menjadi dokter harus sekolah yang tinggi, masuk universitas yang bagus, punya uang banyak. Karena seperti pemikiran anak lainnya, yang kutahu jadi dokter hanya bertugas mengobati pasien yang terluka. Lalu aku sadar sewaktu jatuh dari sepeda. Aku tidak akan pernah bisa jadi dokter, karena luka yang ada di lututku pun, tak bisa aku obati sendiri. 

Memasuki remaja, aku kembali ditanya Ayah apa cita-citaku. Aku jawab seperti temanku yang lain, menjadi astronot. Teman-temanku ingin melihat angkasa luar, kupikir aku juga bakal sama. Ternyata tidak. Karena bagaimana aku ingin melihat angkasa kalau yang sebenarnya ingin aku lihat adalah rumahku yang berubah jadi indah, tidak lagi reyot, tidak lagi bocor ketika hujan, tidak lagi perlu kedinginan karena jendela yang tak bisa ditutup ketika menjelang malam. 

Aku selalu jawab apa cita-citaku, tapi sebenarnya aku tidak punya cita-cita. Sesuatu yang ingin kuraih, sesuatu yang ingin kugapai, aku tidak tahu. Aku tidak takut gagal. Tak apa melihat teman-temanku sudah jadi dokter atau astronot ketika aku belum jadi apa-apa. Mungkin memang belum saatnya. Ya, aku tidak takut gagal, aku hanya takut mengecewakan. 

Sekarang, ketika aku telah dewasa, Ayah lagi-lagi bertanya apa cita-citaku. Aku jawab tidak tahu. Karena yang kuingin saat ini, hanyalah membunuh isi kepalaku, yang sibuk bertanya: “Sebenarnya aku ini ingin apa?”

Dan jauh dalam lubuk hatiku, ketika melihat Ayah yang terlihat kecewa akan jawaban itu, aku sungguh tidak tahu harus berbuat apa. Aku sungguh merasa telah gagal, dalam artian yang sebenarnya.

Rival menatap jalanan di depan. Ia lalu membaca tulisan yang di bawahnya.

RIVAL

Ranum. Cerita yang menarik. (mengangkat bibir, tersenyum)

47 INT. DI DALAM ANGKUTAN UMUM

Angkutan umum yang rea tumpangi berhenti di jalan karena terhalang kemacetan. Rea menilik jam di pergelangan tangan. Ia mengipasi wajah dengan tangan karena cuaca yang terik dan terasa panas. Berkali-kali ia melihat dari jendela, tapi kemacetan justru semakin parah.

REA

Bang, masih lama nggak ya kira-kira?

SUPIR ANGKOT

Waduh, Neng, macet begini mah paling cepet juga sejaman. 

Rea menghembuskan napas. Para penumpang yang lain juga ikut lemas mendengar jawaban supir. Ia akhirnya memilih untuk turun dari angkot.

REA

Maaf ya, Bang, saya turun di sini. Buru-buru. (Menyerahkan uang)

SUPIR ANGKOT

Yah, si Eneng, nggak mau nunggu bentar lagi?

Rea menggeleng sembari menerima uang kembalian. Ia lalu menyeberangi jalan. Lantas sedikit berlari di trotoar untuk sampai di kantor Garut. Meski ia tahu, ia sudah sangat terlambat.

48 E/I. KANTOR PENERBITAN GARUT – SIANG HARI

Rea memegang dadanya yang naik-turun karena kecapekan setelah berlari. Ia lalu mengambil napas tiga kali dan menata rambutnya yang berantakan. 

Rea membuka pintu. Di saat yang bersamaan, ia berpapasan dengan pegawai kantor penerbitan Garut bernama Bunga Larasanti (23).

BUNGA

Kak Rea!

REA

(Tersenyum) Hai, Bung! Kabar baik?

BUNGA

(Memutar bola mata) Seperti yang dilihat, selalu sibuk sama naskah baru yang super-duper penuh kesalahan PUEBI.

Rea menganggukkan kepala.

REA

Argh … anak remaja?

BUNGA

Lebih parah. Orang-orang kuliahan semester akhir! 

BUNGA (CONT’D)

By the way, kok tumben ke kantor, Kak? Mau ketemu siapa?

REA

Bos kamu yang pelit itu. Ada di ruangannya?

Bunga mengernyitkan kening. Ia lalu mencoba mengingat-ingat sesuatu.

BUNGA

Kak Rea yakin ke sini nyari Pak Garut? Dia baru aja pergi, katanya mau teken kontrak─

REA

Nah itu, tuh! Teken kontrak buat aku!

BUNGA

Hmm? Masa sih, Kak? Tapi kok perginya sama Kak Tyas, ya?

REA

Tyas? 

BUNGA

(Menganggukkan kepala) Hmm. Baru aja. Katanya teken kontrak buat skrip gitu.

Rea berhenti tersenyum. 

REA

Thanks infonya, Bung.

BUNGA

Santai aja, Kak. Oh iya, aku balik kerja dulu, ya?

Rea mengangguk. Ia lantas duduk di sebuah kursi panjang yang ada di kantor penerbitan kecil milik Garut. Dengan cepat ia menelepon Garut untuk mengonfirmasikan kabar dari Bunga tersebut.

GARUT 

Ei, Rea! 

REA

Lo bilang nawarin kerjaan skrip buat gue. Tapi kenapa teken kontraknya sama Tyas?

GARUT

(Berdeham) Sorry, Rea, tapi setelah gue pikir ulang, skrip ini lebih cocok dikerjain sama Tyas. Basic dia juga pernah nulis skrip buat web series iklan. 

REA

Rut!

GARUT

Jangan marah dulu, Re! Lo juga bakal mikir hal yang sama kalau ada di posisi gue 'kan? Lo tetep bisa nulis cerita anak-anak juga 'kan? Nggak rugi dong? Halo? Rea?

REA

Lo udah janji ngasih kerjaan itu ke gue!

GARUT

Aduh, lo jangan marah dulu dong!

REA

Gue nggak ngerti mau bilang apa lagi. Lo jahat banget sama gue, lo sadar itu 'kan?

GARUT

Re, masih baik 'kan gue kasih lo kesempatan posisi buat jadi writer di tempat gue? Kita buka-bukaan ajalah, ya, tanpa lo juga percetakan gue nggak bakal bangkrut. Penjualan buku lo yang malah nyentuh angka deficit. Anggaran buat naik cetak udah nggak ada lagi, tapi gue tetap baik ngasih lo kerjaan. Jadi kurang baik apa gue , Re?

Rea menyisir rambutnya ke belakang karena frustasi.

GARUT (CONT’D)

Re? Halo?

REA

Maksud lo anggaran nggak ada apa? Terus cerita gue yang baru nggak bakal diterbitin? Cerita lama-lama gue gimana? 

GARUT

Cerita baru lo bakal gue pending dulu penjualannya, cerita lama lo bakal gue tarik dari daftar penjualan. Toh, akui ajalah, Re, selama ini buku lo cuma nangkring di perpus SD, toko buku kecil yang bahkan sepi pengunjung. Sampai nantinya Tyas dapet gaji dan gue juga dapet percikan untungnya, buku lo baru gue terbitin. Tapi untuk kali ini, gue angkat tangan. Gue nggak bisa.

REA

(Menghela napas) Heh, Kambing, kalau dari awal lo nggak mau ngasih kerjaan ini ke gue, jangan buat janji dan harapan palsu. Lo tahu keadaan gue susah, dengan keputusan lo ini, gue jauh lebih susah lagi!

GARUT

(Tertawa sinis) Lo manggil gue apa? Kambing?

REA

Iya! Lo adalah orang paling nyebelin yang pengen gue bunuh, gue cekik, gue tendang, tapi gue sadar lo juga ladang penghasilan gue! Dasar, Kambing!

Rea mematikan telepon sepihak. Tangannya gemetar memegang ponsel, dadanya naik-turun menahan amarah, sedang pandangan matanya kosong.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar