PANITIA
7. Menggantikan

87. INT. RUANG RESEPSIONIS PONDOK UTAMA- MALAM

Ibad, Vivi, dan Hendri di ruang resepsionis.

Ibad menelpon Erna lalu menggeleng tanda panggilan gagal.

IBAD

Belum bisa juga. Pak Suleh juga nggak bisa ditelepon.

HENDRI

Telepon biasa juga?

 

IBAD

Sama, Mas. Telepon WA malah ga bisa dari awal saya di sini. Terakhir bisa di Kantor Desa.

 

VIVI

Selama di sini kamu nggak pake WA?

 

IBAD

Iya, Mba. Saya pakai telepon seluer dan SMS kaya zaman dulu.

 

VIVI

Pintu udah dikunci, Hen?

 

HENDRI

Udah. Cuma jendela-jendela di atas belum aku cek, kalau-kalau ada tukang yang ke atas.

 

IBAD

Atas udah beres dari kemarin. Harusnya sih nggak ada perubahan.

 

VIVI

Nggak ada salahnya dong kita cek lagi. Kita cek bertiga, biar nggak ada yang sendiri.

Cut To

 

88. INT. RUANG PENYEKAPAN - MALAM

Terlihat Erna dengan tangan terikat dan menggantung siuman dari pingsan lalu sadar sedang berada di ruangan gelap dan berantakan.

Terdengar suara lebih dari tiga orang berbincang menggunakan Bahasa Jawa dengan kata-kata yang tak bisa Erna dengar jelas, lalu suara perbincangan terdengar membentak, disusul suara gebrakan meja dan bentakan lainnya.

Erna berusaha membebaskan diri dari ikatan hingga tubuhnya berputar lalu terkejut melihat tubuh Pak Suleh yang juga menggantung dengan banyak darah dan luka.

Erna mendengar suara langkah kaki mendekat, membuatnya berhenti bergerak dan memejamkan mata lalu tirai di ujung ruangan tersibak hingga tampak sosok yang tak sempat Erna lihat.

Cut To

 

89. INT. LANTAI DUA PONDOK UTAMA - MALAM

Vivi menunggu di depan kamar sementara Hendri memastikan jendela ujung koridor sudah terkunci, lalu Ibad keluar dari kamar terujung, mengunci kamar dengan salah satu kunci dalam rencengan kunci.

IBAD

Jendela kamar sudah aman, Mba.

 

Hendri terlihat memandang keluar jendela karena melihat seberkas cahaya senter di luar.

Terdengar suara berdegub di bawah, membuat Hendri, Ibad, dan Vivi berpaling pandangan ke arah tangga, lalu Hendri memimpin langkah ke arah tangga, diikuti Ibad dan Vivi.

 

90. INT. RUANG RESEPSIONIS PONDOK UTAMA - MALAM

Hendri, Ibad, dan Vivi, turun tangga dengan wajah mengarah ke pintu keluar Pondok Utama. Vivi melambatkan langkahnya ketika sadar ada sosok terbaring di teras depan pintu. 

Hendri dan Ibad melambatkan langkah menuju pintu keluar.

HENDRI

Bad, ambil apa aja yang bisa jadi senjata.

 

Ibad tampak berpikir lalu beranjak ke kamarnya.

VIVI

(Dengan raut panik dan bersandar pada tembok tangga)

Siap itu, Hen?

 

Hendri lanjut melangkah lambat ke arah pintu kaca lalu meraut keterkejutan ketika sadar bahwa itu Bima.

HENDRI

Bima.

 

Ibad mendekat dengan berlari ke belakang Hendri dengan balok dan gunting di kedua tangan lalu memberikan gunting pada Hendri.

Hendri membuka kunci pintu keluar dengan perlahan lalu memutar tuas pintu dengan tangan memegang gunting semakin meninggi untuk waspada, melangkah mendekati tubuh Bima lalu terkejut saat melihat mata Bima terbuka dengan leher tersayat, membuat Hendri tersentak mundur disusul jerit Vivi.

Cut To

 

91. EXT. PARKIRAN PULAU SETENGAH - MALAM

Terlihat dari atas Pondok Utama dan sekitarnya menunjukan suasana sepi mencekam.

Cut To

 

92. INT. RUANG RESEPSIONIS PONDOK UTAMA - MALAM

Vivi duduk di sofa dengan gelisah sementara Hendri sambil memegang gunting berdiri bersandar pada pegangan tangga sementara Ibad bersandar pada dinding ujung koridor sambil memegang balok kayu.

VIVI

Harusnya ada yang ngesave nomor Pak Rendra kemarin.

 

HENDRI

Nggak ada yang nyangka bakal begini, Vi.

 

VIVI

Jangan ada yang tidur, yah malam ini.

 

HENDRI

Aku nggak bakal bisa tidur.

 

Terlihat jam dinding di ruang resepsionis menunjukan pukul 22:15

 

VIVI

Kita biarin Bima begitu aja, Hen?

 

HENDRI

Mau diapakan lagi, Vi? Terlalu berbahaya!

 

VIVI

Ditutup atau diapakan gitu!

 

Hendri merautkan berpikir.

 

HENDRI

Bad, tolong ambil selimut, yah.

 

IBAD

(Dengan raut takut)

Oke, Mas.

 

Ibad berjalan menyusuri koridor menunju kamarnya.

Cut To

 

93. INT. RUANG PENYEKAPAN - MALAM

Sosok msisterius yang baru masuk ke ruang penyekapan berjalan ke arah tubuh Pak Suleh yang menggantung lalu melepaskan ikatannya hingga tubuh Pak Suleh terjatuh.

Terlihat Erna terperanjat karena suara jatuh tubuh Pak Suleh namun menahan diri untuk tidak bersuara.

Sosok misterius menyeret tubuh Pak Suleh kelur ruangan.

Terlihat mata Erna terbuka untuk mengintip keadaan, ketika tirai tersibak Erna melihat sosok Pak Khair sekilas, kemudian tirai tertutup lagi membuat Erna berusaha melepaskan ikatan dari tangannya namun gagal.

Suara obrolan di ruang sebelah terdengar lagi.

Cut To

 

94. INT. KAMAR IBAD PONDOK UTAMA - MALAM

Ibad membuka pintu kamar lalu masuk, melihat ke arah kasur Awi dan melihat utaian kawat yang menjadi senjata pembunuh kemudian melihat ke arah jendela.

Ibad mendengar suara samar langkah kaki di balik jendela, membuatnya waspada dengan balok di tangan kemudian terdengar suara jendela berusaha dibuka dari luar, membuat Ibad langsung merambat selimut dari kasurnya kemudian berlari ke arah pintu, mengambil kunci, keluar, menutup pintu dan menguncinya.

Cut To


95. INT. RUANG RESEPSIONIS PONDOK UTAMA - MALAM

Hendri sedang melihat ke luar melalui kaca pintu Pondok Utama saat Ibad datang membawa selimut.

HENDRI

Aku buka pintu, kita keluar, kamu tutup Bima, lalu masuk lagi.

 

Terlihat raut Ibad yang panik lalu mengangguk.

IBAD

Iya, Mas.

 

Tangan Hendri memutar kunci yang menggantung, memutar tuas pintu, mendorong pintu sambil keluar disusul Ibad yang melangkah cepat ke teras ke arah tubuh Bima lalu menutup bagian atas tubuh Bima dengan selimut, kemudian langsung melangkah mundur sambil tengok kanan dan kiri.

Hendri menutup lagi pintu ketika Ibad sudah kembali masuk lalu mengunci pintu dengan cepat.

Ibad menoleh ke arah kamarnya ketika berjalan mendekati sofa tempat Vivi sedang duduk dengan kaki naik ke sofa dan raut ketakutan.

IBAD

Kita tetap bertahan untuk tidak menelepon polisi, Mas, Mbak?

 

Terlihat Hendri dan Vivi saling tatap.

Cut To

 

96. INT. RUANG PENYEKAPAN - MALAM

Erna tergangtung denga tangan terikat lalu tirai tersibak membuatnya terperanjat.

Terlihat Pak Khair masuk ke ruang penyekapan membawa pisau dengan langkah perlahan dan wajah bengis terus menatap ke arah Erna.

ERNA

(Terisak-isak)

Kenapa, Pak? Bukannya Pak Khair bersama Pak Rendra? Pak Rendra janji bakal membantu saya. Kenapa, Pak?

 

PAK KHAIR

Memang. Tapi kami tak bisa menahan.

 

Pak Khair mengayunkan tangannya.

 

Dip to Black

 

97. INT. RUANG RESEPSIONIS PONDOK UTAMA - MALAM

Terlihat jam dinding menunjukan pukul 01:50.

Wajah Vivi terlihat lelah menahan kantuk sambil duduk di sofa, sementara Hendri duduk di sebelahnya dengan gunting di tangan yang terlunglai di sandaran tangan samping sofa, sementara Ibad duduk di bawah bersandar pada pinggiran tangga dengan balok tergeletak di sampignya.

HENDRI

Bima tidak dibunuh di hari dia hilang, karena tubunya belum membusuk. Siapapun yang membunuh Bima, dia baru melakukannya nggak lama sebelum menyimpan mayatnya di sini.

 

VIVI

Apa yang dia mau sampai harus menaruh mayatnya di sini?

 

HENDRI

Pembunuhnya tidak mau kita melanjutkan acara ini. Atau dia nggak mau kita di sini.

 

Vivi, Hendri, dan Ibad tampak lelah dam berpikir.

VIVI

Tiga hari lagi. Kita harus lalui ini. Apapun yang terjadi pada Erna, kita harus melanjutkan perjuangannya untuk acara ini.

 

HENDRI

Sudah sejauh ini. Setidaknya nanti peserta sudah berdatangan.

 

VIVI

Bad, siapa aja yang datang hari ini? Kamu tau kan jadwalnya?

 

IBAD

Semua vendor sudah beres, Mba, kecuali katering yang datang lagi besok pagi untuk makan siang peserta di hari kedatangan. Tim medis katanya datang siang nanti, tapi nggak tau kalau Mba Erna nggak update mungkin mereka nunggu kabar, karena tadinya mau dijemput Pak Suleh.

 

VIVI

Itu dia. Erna terlalu memporsir dirinya. Seolah kita nggak bisa diandalkan. Harusnya dia share lebih banyak soal vendor dan relawan.

 

Ibad terlihat menatap Vivi karena terkejut dengan pernyataannya.

 

HENDRI

Yang aku tahu seharusnya siang nanti Erna kordinasi terakhir dengan Pak Rendra soal relawan dari warga desa yang akan mengurus keamanan dan parkiran peserta.

 

IBAD

Iya, saya juga dengar itu, Mas.

 

VIVI

Kalau begitu pagi ini kita ke Kantor Desa.

 

HENDRI

Naik apa? Kita nggak ada kendaraan.

 

VIVI

Mau nggak mau kita jalan kaki.

 

Terlihat raut Hendri yang murung.

 

Dip to Black


Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar