PANITIA
5. Menghilang

55. INT. MOBIL AVANZA DIN JALAN DEPAN KANTOR DESA – SORE

Bima celingak-celinguk, memperhatikan rumah-rumah dan sekolah sekitar Kantor Desa.

Terlihat rumah-rumah warga dan sekolah di depan kantor desa yang tampak sepi.

Mobil Avanza yang dikemudikan Bima masuk ke area parkiran Kantor Desa dengan dua motor yang sama dengan ketika pertama kali Bima tiba di Kantor Desa.

Bima turun dari mobil Avanza menuju teras Kantor Desa.

BIMA

Assalamualaikum. Permisi.

 

VO PAK KHAIR

Walaikumussalam.

 

Pak Khair keluar dari ruang Kantor Desa.

 

VO PAK KHAIR

Eh, Mas…

 

BIMA

Bima, Pak.

 

PAK KHAIR

Oh, iya, kader PGB, ya?

 

BIMA

Betul, Pakde. Pak Rendranya ada?

 

PAK KHAIR

Wah, barusan saja pulang. Kalau tidak ada tamu, beliau biasa pulang pas jam lima. Ada apa toh, Mas? Barangkali saya bisa bantu.

 

BIMA

Euh, begini, Pakde.

(Menunjukan kamera yang menyelempang)

Saya perlu komputer untuk menyimpan video, karena memorycardnya ketinggalan. Jadi saya mau nitip dulu tadinya.

 

PAK KHAIR

Oh, begitu. Tapi komputer di ruang Pak Rendra pakai password, Mas. Saya tidak tahu. Kalau mau komputer di sekolah saja.

 

BIMA

Oh, ada di SD itu?

 

PAK KHAIR

Ada, Mas. Itu kan SD sekalian SMP juga sebagian bagunannya, karena di sini warganya tidak terlalu banyak. Ada lab komputernya kok.

 

BIMA

Wah, cocok kalau begitu, Pakde.

 

PAK KHAIR

Ayo, kalau begitu saya antar.

 

BIMA

Wah, terima kasih, Pakde. Maaf jadi merepotkan.

 

PAK KHAIR

Santai, Mas.

 

Pak Khair dan Bima berjalan menuju parkiran Kantor Desa.

PAK KHAIR

Sudah pada datang pesertanya?

 

BIMA

Belum, Pak. Baru H-1 nanti.

 

Pak Khair terlihat mengangguk sambil terus berjalan menuju jalan raya, dengan Bima yang mengikuti di belakangnya. 

Cut To

 

56. INT. RUMAH WARGA SEBERANG KANTOR DESA – SORE

Terlihat dari jendela rumah warga, Pak Khair dan Bima menyeberang jalan menuju sekolah.

Cut To

 

57. EXT. SEKOLAH SEBERANG KANTOR DESA – SORE

Pak Khair dan Bima berjalan di lapangan sekolah.

Pak Kahir dan Bima berjalan di koridor kelas.

Bima tertarik perhatiannya pada delapan orang anak kecil yang sedang latihan teater bersama Pak Guru untuk persiapan aacara ulang tahun PGB.

Terlihat raut anak-anak tersenyum kepada Bima.

Terlihat Bima tersenyum balik pada anak-anak dan mengangguk sapa pada Pak Guru.

PAK KHAIR

Hampir tiap hari mereka latihan. Sudah tak sabar ingin tampil, sepertinya.

 

BIMA

Wah, kalian luar biasa. Dilanjut adik-adik.

 

DELAPAN ANAK-ANAK

Iya, Om.

 

Pak Khair dan Bima melanjutkan perjalan di koridor kelas lalu Pak Khair membuka satu pintu bertuliskan Lab Komputer.

Cut To

 

58. INT. SEKOLAH SEBERANG KANTOR DESA – SORE

Pak Khair masuk ke dalam Lab Komputer, Bima mengikuti di belakangnya.

PAK KHAIR

Ini labnya, Mas. Silakan.

(Menekan tombol lampu di tembok dekat pintu)

Terlihat Lab Komputer jadi terang seketika, menampilkan jajaran 10 komputer siswa, dan satu komputer guru di bagian terdepan.

 

BIMA

(Tampak takjub tak menyangka akan bagusnya lab)

Wah, keren juga, Pakde.

 

PAK KHAIR

Iya, Mas. Kami dapat bantuan juga dari universitas yang mahasiswanya pernah magang di sini.

 

BIMA

(Mengangguk)

Pantes.

 

PAK KHAIR

Bisa kira-kira, Mas komputernya?

 

BIMA

Oh, bisa, Pakde. Aman.

 

PAK KHAIR

Kalau begitu saya tinggal, yah. Saya kembali ke Kantor Desa.

 

BIMA

Oh, iya, Pakde. Ini ngga dikunci kalau saya sudah selesai?

(Melakukan gerakan telunjuk melingkar)

 

PAK KHAIR

Nggak, Mas. Di sini aman. Cukup ditutup saja.

 

BIMA

Oh, siap, Pakde. Nanti saya matikan kembali dan tutup pintunya kalau sudah selesai.

 

PAK KHAIR

Baik, Mas. Saya tinggal.

 

BIMA

Enggeh, Pakde. Terima kasih.

 

Pak Khair mengangguk lalu berbalik badan menuju pintu Lab Komputer.

Bima berjalan ke komputer siswa terdekat, mencari tombol on pada CPU lalu menekannya ketika berhasil menemukan, kemudian duduk di kursi depan layar, melepas memorycard dari kamera.

Bima mengeluarkan ponsel dari sakunya lalu merekam diri sendiri dengan gaya ngevlog.

BIMA

Sekarang aku lagi di lab komputer sekolah dekat lokasi, berhubung memory card ketinggalan, jadi kita titip dulu file di sini, biar memory card bisa dipakai lagi. Mudah-mudahan ngga….

(Terpotong karena suara gaduh dari kejauhan yang terdengar samar)

 

Terdengar suara langkah kaki samar-samar, menarik perhatian Bima hingga menoleh ke pintu dan terlihat raut Bima mendengar dengan seksama.

Terlihat layar komputer menyala ke tampilan desktop, lalu Bima menyandarkan ponselnya yang masih merekam menhadap ke wajahnya, memasukan memory card ke slot di CPU lalu melakukan transfer data yang ternyata lambat.

BIMA

Wah, lambat ternyata, guys.

(Melihat ke komputer guru di depan kelas.)

Bisanya komputer guru lebih cepat, guys, kita coba yuk.

 

Bima bangkit dari depan komputer murid kemudian berjalan ke arah komputer guru, menekan tombol CPU, yang ketika nyala ternyata langsung membuat proyektor juga ikut menyala menerangi layar besar.

Terdengar suara jendela di ujung kelas, membuat Bima menoleh ke arah suara, membuatnya melihat daun jendela bergoyang seperti habis ada yang berusaha memasukan tubuhnya melalui jendela, kemudian Bima kembali menoleh ke cahaya di layar proyektor yang sudah menjadi gambar.

 Cut To

 

59. EXT. DEPAN PONDOK KECIL – MALAM

Terlihat Erna, Vivi, Ibad, dan Hendri duduk di depan api unggun dengan masing-masing memegang cangkir masing-masing dengan suara latar ombak dan obrolan Awi serta Pak Sule yang sedang merokok sambil berkelakar.

HENDRI

Mana nih si Bima belum balik juga.

 

VIVI

Iya nih, lagi ada api unggun begini malah ngga videoin. Padahal kan estetik sinematik cantik. Coba telepon, Hen!

 

HENDRI

Bentar.

(Mengeluarkan ponsel dari saku lalu menelpon Bima)

Nggak dapet sinyal. Punyamu gimana?

 

Terlihat Vivi melihat layar ponselnya lalu memperlihatkannya pada Hendri.

VIVI

Sama. Makanya aku belum posting apa-apa dari tadi. Sinyal kamu gimana, Na?

 

ERNA

Internet satu bar. Kalau telepon seluler sih masih bisa.

 

VIVI

Coba dong. Aku nggak ada pulsa kalau telepon biasa.

 

Erna menelepon Bima, tak lama menggeleng.

ERNA

Nggak bisa dihubungi. Gue coba telepon Pak Rendranya deh.

 

Terlihat layar ponsel Erna, jari mencari nomor Pak Rendra dari histori panggilan, lalu Erna menempelkan ponsel pada telinganya, terdengar suara menunggu panggilan.

 

VO TELEPON PAK RENDRA

Iya, Mba Erna?

 

ERNA

Iya, Pak Rendra. Maaf, Pak Rendra sedang sama Mas Bima?

 

VO TELEPON PAK RENDRA

Mas Bima?

 

ERNA

Yang bagian dokumentasi, Pak.

 

VO TELEPON PAK RENDRA

Oh, nggak Mba. Saya sudah di rumah sejak sore. Memang kenapa?

 

ERNA

Dia mau numpang nyimpen dataa video di komputer Kantor Desa katanya, Pak.

 

VO TELEPON PAK RENDRA

Sama siapa dia ke sana?

 

ERNA

Sendiri.

 

VO TELEPON PAK RENDRA

Saya ke Kantor Desa sekarang.

 

Terdengar suara panggilan berakhir, Erna terlihat melongo lalu menurunkan ponsel dari samping terlinganya.

VIVI

Apa kata Pak Rendra, Na?

 

ERNA

Bima nggak sama Pak Rendra. Tapi beliau mau ngecek ke kantor Desa.

 

Terlihat Vivi mengangguk lalu meminum kopi dari cangkirnya. dengan latar belakang Awi dan Pak Suleh.

Awi menghisap rokoknya lalu mengepulkan asap ke atas sambil tertarik perhatiannya ke pepohonan di dekat pantai, seperti melihat dua sosok manusia.

Pak Suleh melihat keterkejutan Awi.

PAK SULEH

Kenapa, Wi? Kaya melihat setan.

 

AWI

Euh, nggak Pak.

(Lalu melihat lebih jauh ke arah laut)

Itu lampu-lampu perahu nelayan ya, Pak?

 

PAK SULEH

Iya. Sekitar sini kan ada dermaga.

 

AWI

Tapi kaya dekat banget ke pantai sini, bukan ke tengah laut.

 

PAK SULE

Baguslah. Berarti dekat pulau ini banyak ikannya. Biar peserta senang di acara lomba mancing.

 

Awi mengangguk, lalu pandangannya mendapati gerakan lagi.

Terlihat samar sosok manusia masuk ke pepohonan di belakang Pondok Utama.

Erna melewati Pak Suleh dan Awi.

ERNA

Yuk, Pak, Wi, kita istirahat. Besok kita habis-habisan lagi.

 

PAK SULEH

Enggeh, Mba Erna

 

AWI

Iya, Mba, sebentar lagi saya istirahat.

 

Cut To

 

60. EXT. PARKIRAN PONDOK UTAMA – MALAM

Terlihat langit malam dengan bulan dan awan beriring suara debur ombak dan suara serangga malam lalu mengarah pada Pondok Utama.

Cut To

 

61. INT. KAMAR ERNA PONDOK UTAMA – MALAM

Terlihat Erna tidur berselimut lalu bergeser seolah menembus tembok Vivi tidur berselimut, Awi dan Ibad tidur, suara langkah kaki terdengar samar dari lantai dua.

Cut To


62. EXT. PARKIRAN PONDOK UTAMA – PAGI

Muncul teks H-5

Terlihat Erna dan Ibad keluar dari Pondok Utama berjalan ke arah restoran berpapasan dengan dua tukang yang membawa kaleng cat dan kotak perkakas.

Cut To

 

62. INT. RESTORAN PULAU SETENGAH – PAGI

Erna dengan raut panik dan Ibad yang murung masuk ke restoran yang sudah ada Vivid an Hendri sedang duduk di meja makan.

VIVI

Gimana, Na, ada kabar dari Bima?

 

ERNA

(Menggeleng lalu menempelkan ponsel pada telinga)

Belum, nih. Pak Rendra ngabarin kalau Bima nggak ada di Kantor Desa. Mobilnya juga nggak ada.

 

VIVI

Apa dia balik ke kantor yah? Merasa bersalah karena memory card ketinggalan, terus dia inisiatif pulang ke kantor buat ngambil.

 

ERNA

Masa iya nggak bilang. Lagi pula kata Pak Khair Bima ada kok ke Kantor Desa terus ke sekolahan, karena ada komputer di sana.

 

HENDRI

Terus di sekolah nggak ada juga?

 

ERNA

Nggak ada.

 

(Erna melepas ponselnya dari samping telinga)

Belum juga bisa ditelepon. Telepon seluler juga ngga bisa. Chat centang satu. Aku coba ke Kantor Desa dulu, deh. Vi, tolong handel dulu semua vendor yang bakal datang hari ini, yah.

(Beralih pandangan pada Ibad)

Bad, pastiin kerjaan di Pondok Utama beres sebelum makan siang. Kader-kader anak cabang arahin buat finishing pondok-pondok kecil. Biaya sewa perahu nelayan juga lunasin hari ini.

(Beralih pandangna pada Hendri)

Hen, track beres sore ini, yah. Besok udah harus uji coba.

 

Vivi, Ibad, dan Hendri mengangguk, sementara Erna berpaling ke Pak Suleh yang sedang merokok bareng Awi.

ERNA

Yuk, Pak Suleh.

 

Pak Suleh mematikan rokoknya ke asbak lalu berdiri.

Cut To

 

63. INT. MOBIL AVANZA DI JEMBATAN PULAU SETENGAH – PAGI

Terlihat dari arah berseberangan mobil vendor alat snorkling dan mancing mengurangi kecepatan karena menunggu mobil Avanza yang dikendarai Erna dan Pak Suleh melintas.

Cut To

 

64. INT. MOBIL AVANZA JALAN DARI PULAU SETENGAH – PAGI

Terlihat dari arah kursi tengah Erna melihat ke pepohonan di jalan menuju Kantor Desa lalu perhatiannya terarah pada gerakan sosok yang terlihat samar di balik pepohonan. sampai Erna membalikan tubuhnya agar tetap bisa melihat sosok itu.

Pak Suleh terlihat memperhatikan Erna.

PAK SULEH

Kenapa, Mba?

 

ERNA

(Menggeleng)

Nggak apa-apa, Pak.

 

Terlihat Erna mengetik pesan pada ponselnya.

Cut To

 

65. INT. MOBIL AVANZA JALAN DEPAN KANTOR DESA – PAGI

Terlihat dari kursi penumpang, Kantor Desa dengan Pak Rendra, Pak Khair, Pak Guru, dan dua warga desa usia tua baru keluar dari ruangan Kantor Desa.

Cut To


 66. EXT. PARKIRAN DEPAN KANTOR DESA – PAGI

Erna turun dari mobil Avanza langsung dihampiri oleh Pak Rendra dengan tergesa-gesa, namun pandangan Erna tetap pada Pak Khair dan dua warga di belakang Pak Rendra dengan raut cemas.

PAK RENDRA

Saya belum menemukan Mas Bima.

 

Pak Suleh turun dari balik kemudi mobil Avanza lalu menyalakan rokok di belakang Erna.

ERNA

Pak Khair juga nggak tau?

(Melihat ke arah Pak Khair yang mendekat) 


PAK KHAIR

Saya tinggal Mas Bima di Lab Komputer sekolah ketika magrib. Saya pulang ke rumah. Jam delapan malam saya lihat mobil masih di depan Kantor Desa. Saya tinggal tidur. Saya kebangun jam sepuluhan saya lihat mobil Mas Bima sudah nggak ada, Mba.

 

Erna melihat empat warga lain di belakang Pak Rendra dan Pak Khair.

ERNA

Waga sekitar nggak ada yang lihat?

 

PAK RENDRA

Tidak ada yang lihat. Tapi Pak Sadam yang tinggal di samping sekolah sempat dengar ada suara mobil lewat ke arah Barat. Dan itu bisa jadi ke arah pulau.

Suara deru motor terdengar medekat dari arah Barat.

Terlihat Hendri dibonceng Lukman dengan raut panik.

 

HENDRI

Mba, ada…

(Raut ragu)

Mba harus lihat sendiri.

(Sambil menggerakan tangan ke arah datang)

Raut Erna terlihat panik ke arah Hendri.

Cut To

 

67. EXT. SIRKUIT CROSS – PAGI

Terlihat kaki Erna, Hendri, dan Operator Eskavator Mini di depan lubang yang bari digali, lalu terlihat badan dan kepalanya dari belakang kemudian Operator Eskavator dan Erna turun ke lubang, keduanya melihat ke pinggiran tanah berpasir.

Terlihat kain lusuh tersibak kemudian tulang jari dari pinggiran lubang.

Terlihat raut Erna menatap tajam ke arah tulang jari itu.

Operator Eskavator mencoba merauk pinggiran tanah lebih dalam, kemudian tulang jari itu lebih menunjukan wujudnya yang berupa pergelangan tangan, membuat Operator Eskavator bergidik ngeri.

Erna naik dari lubang ke atas berjalan ke arah Pondok Utama diikuti oleh Hendri, sementara Operator Eskavator naik dari lubang lalu berdiri di pinggiran lubang.

ERNA

Belum ada yang tau, kan?

 

HENDRI

Belum, Mba. Makanya aku nggak lewat hate. Awi juga nggak tau.

 

ERNA

Minta operator jaga rahasia, dan lanjutkan penggalian, tapi jangan melebar ke arah tulang itu. Selesaikan hari ini juga. Cukup kita yang tau.

 

HENDRI

(Dengan raut takut namun mengangguk)

Oke, Mba.

Cut To

 

68. EXT. DEPAN PONDOK UTAMA PULAU SETENGAH – SORE

Terlihat mobil kader anak cabang hendak meninggalkan parkiran Pondok Utama.

VO ERNA

Terimakasih, Mas-mas semua. Sampai jumpa di hari-H.

 

VO TIGA KADER-KANDER ANAK CABANG

Oke, Mba.

 

Terlihat mobil kader anak cabang melaju ke arah jembatan bersama dengan dua motor tukang, disususul mobil bak pembawa motor cross.

Cut To

 

69. EXT. DEPAN PONDOK UTAMA PULAU SETENGAH – SORE

Seperdelapan lingkar matahari tenggelam di cakrawala lautan.

Suara burung camar fade in dan fade out dengan suara jangkrik dan tongeret, bercampur suara debur ombak.

Cut To

 

70. INT. KAMAR IBAD & AWI – MALAM

Terlihat Ibad tidur di kasur berdipan sementara Awi tidur di kasur tanpa dipan.

Terdengar suara langkah kaki di lantai dua, membuat Ibad membuka mata dengan raut mencoba mendengar dengan seksama.

Ibad membuka naungan selimuat dari tubuhnya lalu duduk, kemudian melihat ke arah Awi lalu mengambil ponselnya untuk melihat jam.

Terlihat ponsel Ibad menunjukan pukul 23:10.

Suara langkah kaki terdengar lagi kemudian lebih gaduh dengan suara tumbukan pada tembok dan lantai, membuat Ibad bangun dari kasur lalu berjalan ke arah pintu.

Cut To

 

71. INT. KORIDOR LANTAI SATU PONDOK UTAMA – MALAM

Pintu kamar Ibad dan Awi terbuka, Ibad keluar kamar dengan ponsel di tangan kanannya, kemudian berjalan ke arah tangga menuju lantai dua kemudian menapakinya.

Cut To

 

72. INT. KORIDOR LANTAI DUA PONDOK UTAMA – MALAM

Ibad sampai di koridor lantai dua, menoleh ke arah kanan kemudian kiri, melihat pintu kamar-19 terbuka sedikit.

IBAD

Mas, Bim?

(Sambil terus berjalan mendekati pintu kamar-19)

Mas, Bim?

 

Ibad membuka pintu kamar-19 lebih lebar lalu melihat bagian dalam kamar yang kosong kemudian lanjut berjalan ke arah balkon., melihat ke kanan dan kiri kemudian ke arah lebih jauh ke arah pepohonan yang bergoyang.

Suara teriakan Vivi terdengar dari lanti satu.

Cut To

 

73. EXT. KAMAR IBAD & AWI – MALAM

Vivi terlihat duduk di samping kasur tempat Awi berbaring sambil menangis kemudian Ibad terlihat masuk ke kamar dengan wajah panik.

Terlihat Ibad mendekati Vivi yang terisak-isak lalu teriak keras sekali lagi , lalu terlihat Awi yang terbaring mangap dengan bekas jeratan di leher, kemudian jendela yang terbuka. 

Erna, Hendri, dan Pak Suleh masuk kamar dengan bergegas.

Terlihat tubuh Awi dari atas kemudian terlihat semua orang di dalam kamar.

Dip to Black

 

74. INT. RUANG RESEPSIONIS PONDOK UTAMA – MALAM

Erna Vivi di ruang resepsionis dengan semua wajah murung saat Pak Rendra dan Mas Nazar masuk ke Pondok Utama, kemudian Hendri mengunci pintu Pondok Utama.

Ibad dan Pak Suleh datang bergabung dari lantai dua.

IBAD

Semua kamar sudah kami periksa, Mba. Kosong. Semua jendela juga sudah dikunci .

 

PAK SULEH

Apa kita lapor polisi saja, Mba?

 

Semua mata tertuju pada Erna yang berdiri terpaku dengan tangan bergetar sambil memegang cangkir berisi air hangat, dengan raut sedang berpikir.

ERNA

(Menghela napas dulu)

Kita pikir dulu masak-masak sebelum memutuskan.

 

HENDRI

Awi mati, Bima hilang, Mba!

 

ERNA

Aku tau, Hen!

 

Terlihat Hendri dan Vivi melihat ke arah Erna lebih tajam lagi, kemudian Erna melihat ke arah Pak Rendra lalu Bang Nazar.

PAK RENDRA

Sebelumnya, saya turut berduk atas kejadian ini. Tapi bagaimanapun kita harus tetap tenang dan waspada, karena bisa jadi pelakunya masih di sekitar sini. Saya serahkan kepada Mba Erna selalu ketua panitia, bagaiana baiknya, dan sebaiknya bersepakat dengan Mas Nazae selaku pemilik tempat.

 

Semua orang melihat ke arah Nazar.

NAZAR

(Menggeleng lalu melihat ke sekitar ruangan dan ke lantai dua, berkata terbata-bata)

Saya tidak menyangka… bakal ada kejadian seperti ini. Saya… berahap… Mba Erna bisa bijak mengambil keputusan, karena ini akan berkaitan juga dengna nama baik tempat saya.

 

HENDRI

Tapi ini sudah masalah nyawa, Mas! Ini ada pembunuhan!

 

ERNA

Hen, tenang! Kita semua shock!

(Terlihat semua terdiam)

Acara tinggal empat hari lagi. Kita harus pikirkan baik-baik. Bukan, bukan karena meremehkan kejadian ini, tapi ada tanggung jawab yang sebentar lagi selesai.

(Erna melihat Hendri dan Ibad yang gusar)

Aku bukan mau menutupi kejadian ini seterusnya, itu tidak mungkin!Tapi… acara ini harus tetap jalan, setelah itu…

(Raut berpikir sebentar kemudian melihat ke arah Vivi)

Vi, kamu butuh acara ini berlangsung kan. Pikirkan nasib anakmu. Kita terbuka saja…

(Melihat ke arah Hendri)

Kita sama-sama perlu uang dari budget lelah dari menjadi panitia.

(Melihat ke arah Ibad)

Bad, magangmu, kuliahmu juga harus selesai dengan selesai acara ini. Sekali lagi, bukan karena aku meremehkan nasib Awi dan Bima, tapi ini tinggal sedikit lagi.

 

Vivi, Hendri, dan Ibad terlihat menunduk diam.

ERNA

(Pandangan berpaling ke arah Pak Rendra kemudian Nazar)

Setidaknya sekarang kita tahu, ada yang berusaha menggagalkan acara kita. Ada orang yang tak ingin acara ini terwujud.

(Raut wajah Erna menjadisangat judes)

Mungkin Pak Rendra atau Mas Nazar tau sesuatu?


HENDRI

Iya, Pak. Waktu itu Pak Rendra pernah berpesan agar kami jangan pernah sendrian di pulau ini. Pasti karena ada sesuatu kan, Pak?


PAK RENDRA

Itu untuk kehati-hatian saha, Mas Hendri. Dan sebenarnya bukan ketika di pulau ini saja, tapi juga di perjalanan, bahkan di desa saya... Bukan cuma kita yang hidup di sini. Manusia, hewan liar....

(Seolah ingin mengatakan satu kata lagi)

karena ini daerah terpencil dan asing bagi kalian. Sebenarnya saya juga menyayangkan Mas Bima datang sendirian menjelang malam ke Kantor Desa…. Tapi… yah itu sudah terjadi.


HENDRI

Dan kita masih belum tahu nasib Bima!


PAK RENDRA

Kami akan coba terus cari.

(Melihat ke arah Erna)

Dan kalau Mba Erna memutuskan acara ini tetap berlangsung, sebaiknya fokus pada proses yang ada di sini. Tabahkan hati kalian. Tegarkan hati kalian. Saya sendiri akan ikut menjaga pulau ini bersama Mas Nazar.

 

Terlihat Nazar mengangguk bersunguh-sungguh.

PAK RENDRA

Acara ini berhubungan dengan nama baik saya juga.


Erna mengusap air matanya lalu mengangguk kecil kemudian melihat ke semua panitia.

ERNA

Kita lanjutkan. Tak akan aku biarkan ada yang menggagalkan acara kita. Sekarang kita pikirkan bagaimana menangani jenazah Awi sampai acara selesai.

(Menoleh ke arah Nazar)

Apa ada tempat untuk jenazah Awi, Mas?

Nazar terlihat mengagguk kecil.

Dip to Black

 



Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar