EXT. PASAR — SIANG
Han melewati sebuah pasar yang ramai orang jualan. Ia melihat pedagang bunga. Ada berbagai bunga yang ia jual, bunga sepatu, edelwais, melati, dan mawar.
HAN
PENJUAL
Han teringat pada Fenny, dan ia membeli bunga mawar itu.
Wajah Fenny terbayang di pelupuk matanya sepanjang ia pulang.
Di sepanjang jalan itu pula, ia melihat hidup bangsanya masih seperti budak. Tanpa sandal, bertelanjang dada, memakai pakaian lusuh. Ngemis. Banyak yang tubuhnya kurus ceking.
Jalan rusak, rumah-rumah berdinding bambu reyot.
Terlihat seorang pribumi naik delman tanpa menoleh sedikit pun pada keadaan, dia asyik mengobrol dengan orang Belanda di sampingnya, melewati bangsanya yang miskin dengan acuh.
Han geleng-geleng,
HAN
Han menjauh sambil mengumpat-umpat.
INT. KAMAR — MALAM
Han memasukkan bunga mawar di dalam wadah bening dari gelas kaca yang ia isi dengan air.
Ia taruh bunga mawar itu di meja kerjanya. Ia buka laci meja, dan mengambil sepucuk pistol, dan kemudian ia lap dengan kain. Han membuka, dan memeriksa: masih lengkap peluru di dalamnya. Ia kemudian menaruh pistol itu ke dalam laci.
Han mendekati mesin ketik, dan mulai mengetik judul: "Patjar Merah"
Sebuah Revolusi…… tik tik tik bunyi ketik menghiasi suara malam itu hingga subuh/fajar menyingsing.
Han menulis semalam suntuk, tanpa tidur.
Setelah ia membenahi ratusan halaman yang ia bendel dengan jepitan. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, dan mulai memejamkan mata, terlelap tidur, diiringi bunyi kokok ayam yang bersahut-sahutan.
EXT. JALAN — SIANG
Muncul pamflet, selebaran, bertuliskan Revolusi Berdarah, dengan nama penulis: "Patjar Merah".
Sebagian pamflet dan selebaran terbang terembus angin, terjatuh di tanah, dan diambil anak-anak. Dibaca mereka dengan antusias, dan cermat. Lalu diberikan pada para pemuda yang lewat di sekitarnya. Para pemuda membaca, bergolak hatinya, tampak wajah mereka jadi bersemangat!
Orang-orang menyebarkan selebaran itu, bahkan membagi, dan menempelkannya di tembok secara sukarela.
Musik bertalu-talu mengiringi selebaran yang mulai menyebar ke seantero nusantara, diproduksi oleh mesin-mesin cetak sederhana, dan muncul di sejumlah koran harian rakyat.
HOS Tjokroaminoto menerima selebaran itu dari anggota Sarekat Islam, keningnya berkerut.
TJOKRO
AGUS SALIM
SOEKARNO
KARTOSOEWIRJO
Semua mengangguk.
EXT. PELABUHAN — SIANG
Gerombolan buruh dan kuli bangunan tampak duduk-duduk di sebuah halaman kantor pelabuhan. Lalu seseorang yang memimpin mereka berdiri, berorasi. Semua jadi berdiri, bersemangat.
Naikkan upah! Naikkan upah!! Gerechtigheid (keadilan)!!
Terjadi pemogokan buruh dan kuli pelabuhan.
Demonstrasi menjalar ke mana-mana. Selebaran Patjar Merah telah membangkitkan perlawanan pada kolonial Belanda.
Buruh-buruh kebun teh mogok. Mereka berkelompok di depan pabrik dan kantor berdemo dan menuntut perbaikan hidup.
Naikkan upah! Naikkan upah!! Keadilan, kami minta keadilan!
GERECHTIGHEID (keadilan)!!
Tampak beberapa orang di warung yang sedang menyantap makanan berbincang.
PEMBELI 1
PEMBELI 2
PEMBELI 3
PEMBELI 4
PEMBELI 1
Orang-orang di warung berhenti bicara, pada melihat orang-orang berduyun-duyun berdemo, unjuk rasa, dengan teriakan:
“Naikkan upah! Naikkan upah! Naikkan upah!!!”
Pabrik-pabrik tutup.
EXT.INT. RUMAH DARSONO — MALAM
Dua mobil melaju berisi sejumlah polisi dan tentara Belanda. Mereka berhenti di depan rumah Darsono.
Polisi-polisi itu langsung turun dan masuk rumah. Ibu Darsono kaget, melihat mereka menenteng senjata berupa senapan, dan sebagian mengacungkan pistol.
Darsono mengintip dari balik jendela kamarnya. Dia segera berlari mendekat ke kamar Tan, mengetuk-ketuk dindingnya. Dinding kamar Tan terbuat dari triplek jadi mudah didengar. Darsono berbisik ke balik dinding itu.
DARSONO
Han mendengar bisikan itu, ia mengambil cepat pistolnya, dan sekuntum bunga mawar. Juga dua bendel kertasnya. Memasukkan semua ke dalam koper, dan menambahnya dengan baju. Ia kemudian mendekati dinding triplek, menempelkan pipinya.
HAN
Han melompat lewat jendela, namun naas, seorang polisi Belanda melihatnya.
Sebagian polisi yang sudah masuk mengobrak-abrik rumah Darsono. Mereka langsung mendobrak pintu kamar.
Ada teriakan:
Mana Patjar Merah?! Mana penghasut itu?!
Mana Patjar Merah?! Mana penghasut itu?!
Pot bunga ditendang, dan kaca pintu dipecahkan. Ibu Darsono pucat wajahnya, ketakutan, apalagi saat melihat para polisi Belanda itu berhasil memasuki kamar suaminya.
Sebuah pukulan dan tendangan mengenai Darsono, muncul teriakan mengaduh darinya.
“Aduuuuuh! Aduuuuuh!”
Ibu Darsono semaput, dan pingsan.
Tendangan dan pukulan kembali bertubi-tubi mengenai tubuh Darsono.
HAN
Terdengar teriakan dari luar, suara Han. Pukulan dan tendangan itu langsung berhenti, mereka berlarian keluar.
DARSONO
Teriak Darsono sembari meringis kesakitan.
Han lari ke sebuah pekarangan tetangga yang penuh semak belukar. Seorang polisi yang tadi melihatnya langsung mengejar, diikuti para petugas Belanda lain.
Polisi itu berhasil melihat Han di sebalik semak, dan menembakkan pistolnya.
Han memekik, kakinya nyeri minta ampun. Ia melihat darah merembes dari celananya. Peluru itu menyerempet mengenai kakinya.
Ia terpincang-pincang lari menjauh.
Beberapa polisi terus mengejar, berlari cepat.
Tetes-tetes darah di tanah menjadi jejak pelarian Han.
Semak belukar yang tinggi menyelamatkannya dari kejaran. Han menyelinap ke gerumbulan semak, sebagian duri semak membuatnya tertusuk, ia jadi meringis kesakitan, namun Han menahannya dan terus berlari.
Han merasa sudah aman. Ia mencopot celananya, dan merobeknya. Kain robekan itu ia ikatkan ke luka kakinya, agar darah mampat. Wajah Fenny kembali terbayang.
HAN
Han membuka koper, dan berganti celana baru.
Ia berjalan terus menuju area yang lebih sedikit semaknya, sesaat ia mendengar bunyi delman. Han segera mencegat. Ia meminta kusir bendi menuju pelabuhan.
HAN