Cinta dari Fort de Kock
2. Fort de Kock
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

1908

INT. EXT. SEKOLAH DI MINANGKABAU— SIANG

Han kecil sekolah di Kweekschool (sekolah guru negara), seorang guru Belanda di depan kelas mengajar. Murid-murid duduk di bangku, salah satunya Han yang sedang mancatat.

Guru mengajukan pertanyaan, dan Han mengacungkan jari, menjawab dengan jelas. Guru membenarkan dan memuji kecerdasan Han.

Saat mengumpulkan tugas, Han lupa belum mengerjakan. Dia disuruh maju, dan meminta maaf karena kurang patuh.

HORENSMA

Discipline, volg de regel (taat aturan)!

Han mengangguk dengan air muka yang takut.

HORENSMA

Morgen (besok)

HAN

Klaar meneer De vriendelijke leraar (siap Tuan guru yang baik hati)

Bel bunyi.

Murid kelas Han berlarian ke Ruang Ganti. Han mengambil kaos olahraganya dan berganti seragam olah raga. Kemudian mereka berlarian di lapangan untuk pertandingan bola.

Han menempati posisi di depan, ia seorang penyerang, striker.

Musuh Han sekelas adalah kelas lainnya. Pertandingan persahabatan tapi juga seru. Han pandai bermain, bahkan setelah ia menerima umpan teman, ia berhasil menendang bola hingga jantung gawang, dan

GOOOOLLLLLLLLLLL

Teriak seru membahana. Han berputar-putar senang, teman-teman memeluknya erat.


1913

INT. RUMAH GADANG — SORE

Ada 5 orang tetua adat berkumpul, semua berpakaian adat tradisional. Datuk-datuk sedang bermusyawarah. Mereka duduk melingkar. Sajian makanan dan minuman terhidang di dekat mereka.

Sambil minum dan menikmati sajian, mereka bermusyawarah.

DATUK 1

Han, sudah khatam Al Qur’an. Dan di sini belum ada guru dari kampoang kita.

DATUK 2

Iya, dia yang paling cerdas diantara anak-anak kita. Paling bagus nilainya, kemauan belajarnya sangat tinggi.

DATUK 3

Kita mestinya bisa membuatnya sekolah jadi guru. Namun biayanya bagaimana?

DATUK 4

Untuk sekolah guru di Belanda butuh ongkos banyak.

DATUK 5

Bagaimana kalau kita mengumpulkan dana untuk menyekolahkan Tan ke Belanda…

Semua mengangguk-angguk. Mereka kemudian meminum teh, dan menikmati sajian makanan.

 

INT. RUMAH GADANG — PAGI

Tampak ramai orang di sekitar Rumah Adat. Hari ini akan diselenggarakan upacara gelar datuk. Banyak datuk hadir, termasuk para tetua adat lain. Rumah dihias menarik. Termasuk pepohonan dan tanaman di sekitar Rumah Adat. Ada janur, bunga sepatu, dan tanaman bunga lain.

Ibu-ibu memasak di dapur. Ramai. Anak-anak kecil menikmati tontonan tari piring, yang disajikan 4 gadis cantik.

Tetabuhan berbunyi. Upacara dimulai. Semua menikmati tarian, tampak wajah-wajah yang berdecak kagum, terpesona oleh kecepatan, serempaknya para penari yang lincah, yang membuat piring seakan bisa melayang, terbang, dan tak pecah.

Para penari bergeser menuju tanah yang di atasnya ada pecahan-pecahan piring yang sengaja dipecah dan ditaruh bertaburan di tanah. Mereka kemudian berpindah ke situ.

Mereka menginjak-injak-injak pecahan beling itu sambil menari cepat seperti biasanya. Ajaib.

Penonton tampak menahan napas, ngeri. Tampak tak ada sedikitpun kaki mereka yang terluka. Mereka terus menari dengan lincah, dan serempak, dengan piring-piring di tangan mereka yang berputar, berganti haluan, terbang, melayang, kemudian mereka tangkap kembali, seakan piring dan tangan mereka punya mata masing-masing, dan punya lem perekat yang tak kelihatan.

Tarian selesai. Semua bertepuk tangan, wajah-wajah yang ceria dan senang, semua tampak gembira. Suara tetabuhan berhenti. Tarian ikut berhenti.

Ketua Adat bersuara, pidato. Semua menunduk takzim, hormat. Semua orang mengikuti upacara tradisi itu dengan khidmat.

Han maju ke depan.

Bapak Ketua Adat menyerahkan samir dan hiasan adat ke Han. Ia diberi gelar Datuk.

Seorang gadis, tersenyum di belakang. Ia tampak senang. Han menatapnya, dan kemudian ikut tersenyum.

Han menggeleng saat Tetua adat mengatakan soal perjodohan.

TETUA

Nak, tak mao perjodohan, hanya gelar datuk sajo

HAN mengangguk

Upacara selesai. Semua duduk lesehan, hidangan disajikan, semua makan dengan nikmat. Han bersama Tetua makan dengan lahap.

Han menatap gadis itu, bukan gadis yang dijodohkan yang sudah didandani di sebelah kanan panggung, tapi gadis yang duduk di pojok.

HAN (VO)

Syarifah….

Gadis itu tersenyum malu. Wajah Han merona merah, ceria.

 

1907

FLASHBACK

INT. KWEEKSCHOOL SEKOLAH GURU BELANDA — SIANG

Ada sekitar 20 siswa, diantaranya Han yang duduk paling depan. Hanya ada seorang wanita yang jadi siswa dialah Syarifah Nawawi.

Han diam-diam memerhatikannya.

Han jatuh cinta untuk pertama kali padanya. Ia mengirimnya surat-surat cinta, lewat temannya atau penjaga kebun sekolah.

Sayangnya Syarifah selalu membuang surat-surat itu. Ia membuangnya di kotak sampah sekolah, menyobeknya jadi kertas-kertas kecil agar tak dibaca orang lain.

Han kecewa, cintanya ditolak.

SYARIFAH

Aku tak suka dia

Katanya pada temannya.

TEMAN

Kenapa, dia punya gelar datuk, dia cendekia juga….

SYARIFAH

Entahlah, hatiku hanya menganggapnya sebagai teman, dan menghormatinya sebagai cendekia yang cerdas

 TEMAN

Kau menipu dirimu sendiri!

SYARIFAH

Apa maksudmu?

TEMAN

Aku tahu kau memendam cinta juga buatnya.

 

1 tahun kemudian

EXT. HALAMAN RUMAH GADANG — SIANG

Beberapa pemuda duduk ngobrol di bawah pohon rindang. Han marah-marah. Ada beberapa kawannya saat itu, mereka habis main bola. Sebuah bola ada diantara kaki mereka.

HAN

Sial, feodal busuk! Wiranata feodal!!

KAWAN HAN 1

Sudah, tak baik cakap itu. Dia sudah dikawin sama lelaki tua itu.

HAN

Kasihan Syarifah. Jadi istri ke-2, dimadu bangsawan feodal!

KAWAN HAN 2

Aku dengar Syarifah bersedih hati, kecewa, dia sering menangis sendiri.

HAN

Aku ingin dia bebas.

KAWAN 1

Apa perlu kita culik?

Han kaget atas usulan kawannya itu.

KAWAN 2

Ngawur kamu!

KAWAN 3

Aku yakin mereka akan bercerai.

KAWAN 2

Iya kudengar begitu.

HAN

Apa berita itu benar?

KAWAN 1

Iya, ibuku juga bilang.

HAN

Dasar feodal bengis. Habis dapat perawan, bah sepah dibuang!!

Dua bulan kemudian berita Syarifah menjadi janda tersiar ke seluruh masyarakat Minangkabau.

Tapi Han telah pergi ke Belanda.

KAWAN 1

Sejak cintanya direbut Feodal itu, Han jadi komunis! Dia anti feodal karena dendam pribadi!

KAWAN 2

Sosialis, bukan komunis, tapi benar juga pikiran Han. Jaman akan membuat semua manusia itu sejajar, sama tinggi, sama rendah!

KAWAN 3

Semua sama, sederajat, yang membedakan adalah iman.

Kawan 1

Betul, hehehehe.

Kawan 2

Alhamdulillah.

Mereka kemudian tertawa berbarengan.

KAWAN 2

Apa perlu kita surati Han?

Kawan 3

Wah sampai Belanda, kapan itu?

KAWAN 2

Iya pasti lama.

KAWAN 3

Ah, nanti malah ganggu pikiran dia yang sedang belajar.

KAWAN 1

Iya, hahaha, nanti bukannya jadi guru, malah main bola lagi sama kita, hahahaha

Semua tertawa lagi.


CUT BACK TO

EXT. JALAN WASSENAAR AMSTERDAM — PETANG

Fenny dan Han bergandengan tangan, menyusuri jalan-jalan Waseenaar yang basah. Pepohonan di samping kanan dan kiri mereka besar-besar, lebih besar dari kebanyakan pohon di tanah air.

Hujan tak lebat, namun suhu sangat dingin. Mendekati nol derajat. Salju belum ada, karena memang suhu cuaca belum minus, di bawah nol.

Pohon-pohon besar tampak seperti raksasa, sebagian berwarna hijau karena lumut. Sebuah lonceng gereja berdentang.

Mereka berbelok, melewat gereja itu. Hanya mereka berdua yang jalan ketika hujan begini. Sepi, lengang.

Rumah-rumah besar menjorok ke belakang dengan halaman dan taman yang luas di depan. Rumah-rumah besar.

FENNY

Itu rumah-rumah pembesar VOC yang sudah kenyang dapat hasil bumi dari negerimu.

HAN

Ciih, sial!

FENNY

Oooo begitu ya cara mengumpat orang Melayu.

Han

Bukan, ini cara orang Betawi.

FENNY

Betawi, mana lagi itu?

HAN

Batavia, orang asli di Batavia.

FENNY

Banyak juga suku kau.

HAN

Iya, terlalu banyak.

FENNY

Iya itu potensi, kau tahu?

Han diam. Ia memegang dadanya, lalu batuk-batuk.

FENNY

Hoesten… (batuk) moet naar een dokter (harus cek dokter)

HAN

Jij bent mijn dokter (kamu dokterku)

Fenny tersenyum.

FENNY

Geneeskundestudenten zijn nog geen doktoren (mahasiswa kedokteran belum jadi dokter)

Han berhenti melangkah. Ia memegang kembali dadanya, sesak.

FENNY

Adem in (tarik napasmu)

Fenny mengaba-aba Han untuk menarik napas panjang-panjang. Han melakukan perintahnya, menarik napas panjang-panjang.

FENNY

Je borst doet pijn? (dadamu sakit?)

Tan mengangguk. Fenny kaget, wajahnya tampak pucat.

FENNY

We moeten ons haasten naar het zikenhuis (kita harus segera ke rumah sakit)

Han memegang dadanya lagi, wajahnya pucat. Udara sangat dingin, gerimis turun. Petang telah menjadi kelabu. Pemandangan makin gelap. Suara lonceng gereja telah berhenti.

Angin menghempas, udara tambah dingin begitu angin datang. Pepohonan bergoyangan, bagai raksasa yang bergerak, latar langit sudah kelabu dan pemandangan jadi gelap.

FENNY

Jij rust hier eerst, ik zoek een telefoon (kau istirahat di sini dulu, aku cari telepon)

Han mengangguk, lalu duduk di tepi jalan. Fenny berlari, ia mencari rumah, mau pinjam telepon. Sekitar 5 menit kemudian ia memerolehnya, seseorang membolehkannya. Ia menelpon rumah sakit.

Han tak kuat duduk, ia selonjor, matanya mulai terpejam.

Fenny berlari mendekat, wajahnya tampak pucat saat melihat Han pingsan. Gerimis berjatuhan di wajahnya. Fenny menitikkan air mata.

Gelap telah datang, lampu merkuri mengguyur paras Fenny yang cemas (CU). Han terdiam, tubuhnya diraba Fenny, terasa dingin. Fenny kalut. Ia celingukan ke kanan ke kiri.

Fenny berlari ke sana ke mari (masih di sekitar tubuh Han yang tergeletak) melongok rumah-rumah sudah tertutup rapat semua. Fenny makin gugup.

Di kejauhan terdengar sirine ambulan datang.

 

INT. BANGSAL RUMAH SAKIT — SIANG

Han tergeletak di dipan. Di sampingnya Fenny menunggu. Dokter datang didampingi seorang wanita perawat berpakaian putih membawa map berisi hasil foto.

Dokter mengambil foto itu.

DOKTER

Pleuritis...

Fenny mengangguk. Han hanya bisa terdiam.

Dokter memeriksa suara jantung dan pernapasan lewat stetoskop. Dan kemudian mencatat sesuatu di notenya.

FENNY

Longziekte (sakit/Radang di paru-paru)

Han mengangguk lemah.

HAN

Fenny Dank je.. (menatap mata Fenny dengan tatapan dalam)

Fenny tersenyum, dan mengangguk.


INT. KAMAR — SORE

1 bulan setelahnya

Han membaca buku-buku Karl Marx, Friedrich Engels, Dan Friedrich Nietzshe. Tiga buku itu tergeletak di samping lampu bacanya.

Ia mengetik dengan mesin ketik, mulai menulis artikel.

Berjam-jam Han menulis tentang tanah airnya: Hindia Belanda, ditandai oleh siluet cuaca yang berubah dari sore, senja, kelam, lalu gelap, ia terus mengetik, menulis tentang bangsanya.

Han menghidupkan lampu. Ia membaca buku, dan dari buku-buku itu ia mulai membenci budaya Belanda, dan terkesan oleh masyarakat Jerman dan Amerika. Han merobek bendera Belanda yang kecil yang ada di depannya, dan mulai memegang bendera Jerman dengan tatapan hormat. Ia juga tampak suka dengan bendera Amerika, bendera kecil itu dipasangnya di atas meja tulis.

Tapi bagi Han, Jerman paling hebat. Bendera kecil Jerman dipasangnya lebih tinggi dari pada bendera Amerika, di atas meja di atas tumpukan buru-buku.

Han terobsesi menjadi Tentara Jerman. Ia mendaftar ke militer Jerman. Ia menyiapkan berkas, mengumpulkan surat sekolah dan kuliahnya. Ia mengetik permohonan malam itu juga, esok mau berangkat naik kereta ke Jerman.

 

EXT, KERETA — PAGI

Han sendiri ke Jerman. Ia sengaja tak mengajak Fenny, yang pasti menolak rencananya ikut tentara Jerman.

Ia menghadap ke sebuah kantor kongsi militer Jerman, dan memberikan berkasnya.

Administrasi Militer memeriksa berkasnya, dan langsung menolaknya.

PETUGAS

Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing.

Han kecewa, namun tak bisa tidak ia harus kembali. Jiwa perwira dalam tubuhnya bergolak.

Dalam kereta menuju pulang, ia duduk dengan orang Belanda.

Kawan sebangkunya mengajak kenalan dan bercakap.

Lelaki Sebangku

Kenalkan Tuan, aku Henk Sneevliet

Han mengangguk hormat

HAN

Tuan Henk, aku Tan...

HENK

Kau orang Hindia belanda?

HAN

Tuan bisa cakap Melayu?

Henk tertawa

HENK

Tentu saja.

Han ikut tertawa.

HENK

Aku pernah di sana, 3 tahun, kerja di jawatan kereta.

HAN

Di mana?

HENK

Batavia.

HAN

Oh…

HENK

Tuan sendiri?

HAN

Aku dari Bukittinggi.

HENK

Fort de Kock?

Han mengangguk.

Henk tertawa terbahak lagi.

HENK

Rokok?

Henk menawari rokok pada Tan.

Han menerima satu batang. Henk menggeret korek apinya.

Han mengajukan rokok di mulutnya, ke api yang digeret Henk.

Han menghisapnya, ia agak terkejut.

HAN

Rokok Hindia Belanda?

HENK

Benar, enak khan, hahahaha

Han mengangguk, dan menghisapnya dalam-dalam.

HAN

Nikmaaaaatttttt….

Kata Han sambil mengembuskannya perlahan.

Namun sekejap kemudian ia batuk. Batuk-batuk lagi. Lebih dasyat batuknya. Han memeriksa tasnya, dan mengambil obat.

Henk kaget. Ia memberi botol air minumnya. Han segera meminum obat itu.

Han bersandar di kursi kereta. Henk membiarkannya sejenak.

Han memejamkan mata, dan mencoba bernapas pelan dan teratur.

Kereta melaju melewati area pertanian dengan beberapa kincir angin yang berputar.

HAN

Saya lupa, saya kena sakit paru-paru

Henk mulai bisa tersenyum.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar