Cinta dari Fort de Kock
4. Pertemuan Para Revolusioner
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

EXT, STASIUN SEMARANG — SIANG

Kereta melambat. Peluit tanda berhenti dibunyikan. Kereta mendengus, mengeluarkan asap.

Han turun dari kereta di stasiun Semarang. Ia membawa sebuah koper.

Tak lama berjalan, Han disambut Darsono, ketua lokal Sarekat Islam Semarang. SI Merah. Orang-orang hilir mudik di stasiun, sebagian penjual menawarkan dagangan.

Terdengar suara

“Kacang rebus, ketela godhok, kacang-kacang!”

Sebagian pedagang menghalangi langkah Han sehingga ia pilih sedikit memutar.

“Kacang rebus, ketela godhok, kacang-kacang!”

“Kacang rebus, ketela godhok, kacang-kacang!”

Suara-suara penjual mengiringi langkah Han.

DARSONO

Lelah, bung?

HAN

Iya

DARSONO

Sudah makan?

HAN

Lapar? tanya balik.

DARSONO

Boleh…

HAN

Baik. Kita ke warung dulu.

Mereka kemudian masuk warung di seberang stasiun. Tak banyak orang yang makan di warung, hanya mereka berdua. Dua piring nasi segera tersajikan di depan mereka, yang segera mereka makan dengan lahap.

Di jalan banyak orang ngemis, juga orang jalan bertelanjang dada, berjalan tanpa alas kaki. Seorang pengemis korengan kakinya dirubungi lalat-lalat yang berterbangan.

DARSONO

Bangsa kita sudah jadi budak.

Han mengangguk.


INT. RUANG SEKOLAH RAKYAT — SIANG

Han bersama Darsono mendirikan plang bertuliskan: “Sekolah Rakyat”. Beberapa orang membantu pemasangan plang itu. Dua orang menyemen tiang plang agar kokoh.

Gedung sekolah tampak sederhana. Ada dua kelas yang bisa digunakan. Satu kelas diajar oleh Han, satunya oleh Darsono.

Han kemudian tampak mengajar. Muridnya banyak, ada sampai 50 siswa. Dua kelas berarti sekitar seratus siswa. Kebanyakan adalah anak-anak kuli dan buruh pelabuhan.

Terkadang bunyi peluit kapal terdengar hingga ruang kelas mereka.

Darsono mengajar di kelas lain, dengan pelajaran Bahasa Melayu.

Di sela waktu mengajar, Han menulis. Mengetik tiap malam. Ribuan dan jutaan kata-kata telah dia hasilkan dalam lembaran-lembaran kertas lewat mesin ketik. Kertas-kertas keluar dari mesin ketiknya sudah penuh dengan curahan pikirannya.

DARSONO

Besok kita bertemu dengan Agus Salim.

Han mengangguk.

 

INT. RUMAH — SORE

Han mengangguk hormat, dan bersalaman dengan Agus Salim. Darsono melakukan hal yang sama.

Mereka kemudian duduk di beranda, seorang wanita berjilbab/berkerudung menyajikan teh panas, dan makanan kecil untuk hidangan di atas meja.

HAN

Serikat Islam adalah satu-satunya partai massa terbaik yang aku ketahui.

Agus Salim mengangguk-angguk sambil mengelus-elus janggotnya.

AGUS SALIM

Adakah kritik buat SI?

HAN

Kalau boleh ijin berkata, SI tak punya tujuan dan taktik yang jelas sehingga terpecah.

Agus Salim tersenyum, dan memandang Darsono. Darsono tersenyum.

Mereka kemudian menikmati makanan dan teh panas yang telah dihidangkan.

DARSONO

Bagaimana kabar Tuan Cokro?

AGUS SALIM

Alhamdulillah, Tuan Cokro sehat selalu. Kemarin agak sakit, biasa masuk angin dan batuk. Tapi sekarang sudah sembuh. Oiya, bagaimana dengan Tuan?

DARSONO

Alhamdulillah, saya juga sehat, berkah doa Tuan….

Darsono tersenyum. Agus Salim juga tersenyum. Han ikut tersenyum.

AGUS SALIM

Lama tak pulang kampung, Tuan Han?

HAN

Iya, Tuan juga khan? Kampung kita dekat, kalau ke Bukit tinggi, samo jaraknyo…

AGUS SALIM

Iya, kira-kira sama ya, jadi Bukittinggi ada di tengah-tengah, diantoro kampong kito.

Mereka kemudian menikmati makanan dan minum teh lagi. Lalu berbincang-bincang tentang apa saja.

Setelah cukup lama berbincang, Darsono dan Han pamit. Agus Salim memeluk erat-erat Han dan Darsono, bergantian.

 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar