INT. RUANG DISKUSI — MALAM
Sejumlah orang duduk di bangku, rapat. Kebanyakan orang Belanda, sebagian orang Hindia Belanda.
Selebaran SDOV, Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (Asosiasi Demokratik Sosial Guru) dibagikan diantara peserta.
Han salah satu yang duduk di tengah. Henk berdiri maju di depan, berpidato.
Han membaca selebaran itu, mengangguk-angguk. Pikiran demokrasi Henk dan SDOV ia terima, dan ia menandatangani berkas dan dokumen untuk bergabung dengan SDOV.
INT. RUANG TAMU RUMAH HENK — SIANG
Henk menjamu Tan dengan teh, dan kudapan. Mereka duduk di beranda teras yang terbuka, dengan pemandangan berbagai pepohonan besar yang rindang di halaman. Agak ke sana ada jalan besar, berbagai bendi, mobil, dan sesekali trem melintas.
HENK
Han mengangguk, wajahnya bersemangat.
HENK
Han memikirkan ucapan Henk.
HENK
Han mengangguk.
HAN (VO)
HENK
Kata Henk sambil tertawa.
Han ikut tertawa
HAN
Mereka kemudian menyeruput teh, sambil menikmati kudapan.
NOVEMBER 1919
INT. RUANG SDOV — SIANG
Semua orang berpakaian resmi. Di barisan depan ada yang memakai seragam wisuda. Kebanyakan yang hadir orang Belanda memberi tepuk tangan pada lulusan yang maju ke depan termasuk Han.
Han maju ke depan menerima ijazah kelulusannya yang tertulis hulpactie.
Setelah turun dari podium, Henk memeluknya erat.
HENK
HAN
HENK
Han mengangguk mantab.
Fenny mendekati mereka, bertegur sapa dengan Henk. Lalu Han mengajaknya menjauh ke taman samping SODV yang sepi.
Hanya ada berdua. Han menatap Fenny. Fenny menatapnya dengan tatapan dalam. Mereka saling bertatapan. Lalu Fenny menitikkan air mata. mereka jatuh cinta.
HAN
Fenny menangis. Mata Han berkaca-kaca.
INT. SEKOLAH ANAK KULI — SIANG
Deli, 1920
Ada dua puluhan anak-anak di sekolah, Han mengajar Bahasa Melayu di depan. Ia menulis: Bangsa Melayu, dengan kapur putih di dinding.
HAN
Anak-anak mengangguk mantab di bangku masing-masing.
EXT. PERKEBUNAN TEH — SORE
Perkebunan teh menghampar kehijauan di perbukitan. Udara sejuk. Han berjalan-jalan di perkebunan. Bayangan Fenny kembali teringat di wajahnya. Ia memendam perasaan kangen.
Tiba-tiba Han mendengar percakapan beberapa kuli dan mandor.
KULI
MANDOR
Han melihat hari memang sudah sangat sore. Matahari sudah bersemburat di ufuk barat. Ini hampir Maghrib mereka masih kerja. Dipaksa kerja.
Ia teringat akan rumah Mandor yang bertembok bagus, dan memiliki kereta dan sepeda juga. Kaya. Dan ia melihat sendiri kaum kuli kebun teh yang miskin, semua rumah mereka berdinding gedek, dan beralaskan tanah.
Han mau terlibat dalam omongan mereka, tapi langkahnya terhenti. Ia yakin Mandor itu tak mengerti. Han pilih bergegas pulang karena mendapat ide.
INT. KAMAR — MALAM
Di depan mesin ketik, Han kembali menulis.
Ia memberi judul "Deli Spoor" pada tulisannya berisi propaganda untuk para kuli agar bangkit melawan! Perbedaan mencolok kekayaan kaum kapitalis/kaya dan pekerja yang miskin, ia ketik sebagai kalimat selanjutnya.
Ia menyeruput teh dan kemudian meneruskan tulisannya. Bunyi tik ketik mesin ketiknya berdetik tanpa henti.
Montage: Han terus mengetik dengan latar kamar yang diterangi lampu karena malam dan jendela tertutup, kemudian berganti siang hari, dengan jendela terbuka lebar, dan diterangi sinar matahari dari luar. Ketikan terus menghasilkan banyak tulisan.
Esoknya pamflet-pamflet Deli Spoor beredar dari tangan ke tangan diantara kaum pergerakan. Juga tertempel di tembok-tembok, dan tiang-tiang kayu.
Han kemudian juga mengetik tulisan berjudul “Tanah Orang Miskin” (CU)
Tulisan-tulisan terus diketiknya tanpa henti. Tiap malam kamarnya berbunyi detak mesin ketik.
Lembaran-lembaran tulisannya terus beredar melalui tempelan-tempelan di dinding, di papan pengumuman, juga dimuat di lembaran-lembaran koran Sumatra Post.
Koran Sumatra Post (CU) memuat tulisan Han berjudul: Bangsa Merdeka!
Orang-orang pergerakan, para pejuang, mengedarkan tulisannya dari tangan ke tangan, dari organisasi ke organisasi.
1920-1921
EXT. GEDUNG VOLKDRAAD — SIANG
Dari gedung Volksraad, ada dua pemuda yang keluar. Mereka menjauhi gedung dan berjalan menuju delman yang terparkir di pinggir jalan.
Suasana di jalan agak ramai orang berseliweran. Ada penjual dawet mendorong gerobak, ada ibu-ibu memikul tenggok jualan ketela. Ada beberapa sepeda yang meluncur di jalan pelan-pelan. Ada seorang wanita berpakaian kebaya lusuh menggandeng anak kecilnya menyerang jalan.
Dua pemuda itu berjalan ke area yang agak sepi, di bawah Pohon Beringin yang rindang. Lalu keduanya berbincang, sambil duduk jongkok.
SOETARJO
HAN
SOETARJO
HAN
SOETARJO
Han terdiam, ia lalu teringat ucapan Henk.
HAN
Soetarjo terdiam. Wajahnya tampak tidak setuju.
SOETARJO
Han diam, ia sedikit sadar akan kekeliruannya. Ia mengangguk pelan.
HAN
1936.
INT. KAMAR — SIANG
Han tertegun, ia membaca koran Sumatra Post ada judul besar-besar : Petisi Soetardjo. Petisi yang mengusulkan kemerdekaan Indonesia. Petisi ini diajukkan karena makin meningkatnya perasaan tidak puas di kalangan rakyat terhadap kebijakan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal de Jonge.
Petisi itu diajukan kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen) di negeri Belanda.
Han tersenyum.
HAN (VO)