Cinta dari Fort de Kock
1. Mawar dan Salju yang Turun di Belanda
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

EXT. STASIUN LEIDEN — SORE

1915

Salju turun, para pengayuh sepeda melaju perlahan karena jalan licin. Kereta melambat, mendengung, dan mendesis. Uap kereta api mengebul ke udara.

Sekumpulan pemuda dan pemudi Belanda berombongan mengambil sepeda di tempat parkir, beberapa diantaranya merokok, dan minum. Mereka ngobrol sambil tertawa-tawa, uap dingin keluar dari mulut mereka.

Di sebuah sudut depan stasiun, di kursi tunggu, duduk seorang wanita Belanda, masih muda, jangkung, berambut pirang, cantik, tampak menunggu seseorang dengan gelisah.

 

FENNY

Verdomme, mana si coklat itu?

Katanya sambil membetulkan syalnya yang jatuh di bahu agar melingkari lehernya yang jenjang. Matanya celingukan melihat seantero halaman stasiun.

Di ujung jalan, seorang lelaki pendek mengerem sepedanya yang meluncur kencang, namun sayang, karena es salju, sepeda itu jadi tak terkendali. Wajahnya tampak pucat saat sepeda itu meluncur dan bergerak tanpa bisa ia kendalikan. Akhirnya terjungkalah dia, dengan sepeda ambruk, dan rodanya berputar tepat di depan Fenny.

Han

Sorry, mijn roos (maaf, mawarku)

Dahi dan lutut Han robek, berdarah.

Fenny jadi tak marah. Wajahnya tampak cemas.

FENNY

Ben je gezond? (kamu sehat?)

HAN

Ik ben gezond (ya aku baik-baik saja)

FENNY

Waarom ben je te laat? (kenapa kau telat?)

HAN

Mijn fietsband lekt (ban sepedaku bocor)

Fenny tertawa terbahak-bahak. Wajah Han lega.

HAN
Mumpung masih ada matahari, kau jadi ikut ke Wassenaar?

FENNY

Tentu saja, aku mau main gamelan.

HAN

Aku bukan orang Jawa.

FENNY

Tapi kau sebangsa dengan mereka, khan…

HAN

Tentu saja, dan kami akan merdeka.

FENNY

Woow, grote natie (bangsa besar) Ayo lekas. Kereta mau berangkat.

 

Mereka melangkah masuk stasiun. Sinar matahari bersinar lemah. Mendung kelabu.

Tan dan Fenny duduk berdampingan di dalam kereta yang melaju. Uap mendengus dari lokomotif.

Bau asap kayu sebagai bahan bakar dan batu bara menguar hingga ke hidung Han. Mengingatkan dia akan tanah air.

 

FLASHBACK

EXT. HALAMAN RUMAH GADANG MINANGKABAU — SORE

Ada sekitar dua puluhan remaja menonton (melingkari) sebuah pertarungan. Semua berbaju hitam-hitam. Mereka berlatih pencak silat.

Mereka menonton Han muda yang sedang berduel dengan salah seorang pemuda di sebuah desa di Kabupaten Lima Puluh Kota, Minangkabau, Sumatra Barat.

Asap kayu bakar membubung di api unggun dekat area pertarungan itu. Asap kayu sejenis itulah yang mengingatkan Han akan tanah air, baunya sama.

Seragam pencak hitam-hitam mereka khas, menunjukkan sikap ksatria.

Han berkelit saat musuhnya menendang. Han memukul namun musuhnya pandai menangkis.

Musuhnya menyerang Han dengan rangkaian serangan bertubi-tubi, menendang, memukul, secara beruntun. Han keteteran, sebuah tendangan mengenai dagunya, ia terjengkang ke belakang. Jatuh berdebum di tanah, yang langsung memunculkan debu berterbangan.

Sorak sorai penonton membahana. Riuh. Han bangkit dengan sempoyongan. Musuh memberi jeda Han untuk tegak berdiri. Pertandingan tampak fair. Wasit, dan si guru mereka, mengawasi dengan tenang di samping kanan.

Matahari senja memerah di ufuk barat, Han memasang kuda-kuda, dan menghirup napas dalam-dalam. Ia kemudian melakukan serangkaian serangan yang beruntun, satu, dua, satu, dua, satu, dua…. Batinnya setiap kali menyerang dengan pukulan dan tendangan.

Musuh berkelit, dan pandai menghindar, namun sebuah tendangan Han berhasil mendarat di ulu hatinya.

Musuh Han terjengkang, roboh.

"Aduuuuuuh", teriaknya keras.

Lalu diam tergeletak, pingsan.

Sorak-sorai penonton riuh kembali. Namun itu hanya sesaat, setelah guru mereka mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

Diam, semua diam, hening. Tubuhnya digoyang-goyangkan, tak bergerak- seperti mati.

Han bingung, matanya berkaca-kaca, ia takut membunuh teman seperguruannya itu. Ia ingin jadi dokter saat itu juga agar bisa menolongnya.

 

CUT BACK TO

INT. KERETA YANG MELAJU DEN HAAG — SIANG

Fenny mengeluarkan kapas dan obat merah.

HAN

Dasar mahasiswi kedokteran!

Fenny tertawa. Ia sedikit tahu makna kias bahasa malayu. Ia juga tahu, Han sedikit mengoloknya dengan bahasa itu agar dia tak tahu, tapi fenny tahu. Fenny tersenyum.

FENNY

Agar luka kau tak infeksi.

Han sedikit kaget.

HAN

Ngakulah? Pertama kali darimana kau pandai cakap bahasa Malayu?

FENNY

Aku tak bodoh, hahahaha.

HAN

Kau mencuri bukuku?!

FENNY

Meminjam, tanpa bilang.

Fenny tertawa terbahak-bahak.

Han mencubit pipi Fenny gemas. Fenny ganti memukul paha Han, namun pukulan itu kelewat keras, sehingga Han memekik sakit.

Orang-orang di sekitar mereka yang duduk tenang di kereta menatap mereka, dan semua jadi ikut tertawa.

HAN

Malu, kita jadi tontonan...

FENNY

Ya tak apa-apalah, kau yang berisik.

HAN

Aduh!

Fenny sengaja menutulkan obat ke dahi Han dengan keras. Fenny tersenyum nakal. Han meringis kesakitan.

Kincir angin terlihat di luar kereta. Kincir besar yang berputar pelan di tengah area pertanian yang hijau membentang.

Han melihatnya, dan ia teringat dengan para petani di negerinya yang bersimbah peluh, sering kecewa karena tengkulak membelinya dengan murah.

Mereka tiba di stasiun Den Haag.

Han dan Fenny turun

FENNY

Kita naik bendi?

HAN

Jalan kaki saja, agar sehat.

FENNY

Dingin begini? Apa orang seperti kau kuat? Kau orang tropis.

HAN

Berada di sampingmu ya kuat.

FENNY

Jij verleider (dasar perayu)

Han tersenyum kecut.

FENNY

Ngaku saja kau tak punya duit, mahasiswa kere.

Han tersenyum makin kecut. Dia tahu Fenny hanya mengoloknya. Fenny adalah mahasiswa berhaluan kiri liberal, yang mendukung negara-negara terjajah untuk merdeka.

Dia bertemu dengannya di sebuah diskusi tertutup tentang kebijakan Eropa yang mulai terbuka, masa pencerahan.

Saat itu Fenny tampak berapi-api menyuarakan tentang keadilan bagi bangsa-bangsa terjajah, dan sejak itu Han beserta beberapa mahasiswa dari Hindia Belanda bersimpati padanya.

Han berjalan menyusuri jalan. Fenny disampingnya. Han tampak menahan dingin saat angin menyapu. Fenny meraih tangan Han menggandengnya.

Han kaget, namun kemudian tersenyum.

Mereka berjalan sambil bergandengan tangan. Hati mereka hangat, tampak dari wajah mereka yang memancar bahagia.

 

 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar