Hati Palasik

Bau darah itu semakin kuat menusuk hidungku. Setelah terus kutelusuri, bau itu bersumber dari dalam bak penampungan sampah di ujung jalan. Segera aku masuk kedalamnya. Sepertinya inilah darah perawan yang aku cari. Aku nikmati bau segarnya. Tak sabar lidah ini untuk merasakannya.

Tak henti-hentinya kepala ini mencari sumber bau darah itu. Hingga aku menemukan kantong plastik hitam yang terikat rapat. Segera aku merobeknya dengan taringku. Di dalamnya terdapat sebuah pembalut yang dipenuhi dengan darah segar. “ini dia yang kucari, dengan darah ini tubuhku akan tetap terlihat cantik dan awet muda di mata langgananku.” Gumam hatiku. Aku melahap habis darah haid perawan itu. Rasa dahaga di leher segera hilang saat darah itu mengalir di tenggorokanku.

Setelah tidak ada satu tetes darah pun tersisa, kuputuskan untuk menyudahi perburuanku malam ini. Aku harus segera kembali ke rumah kosong di dekat sawah. Semoga saja Mas Tarjo masih terlelap tidur setelah puas bersetubuh denganku. Jangan sampai dia menyadari tubuh tanpa kepala dan organ dalam yang aku tinggalkan di bawah tempat tidur.

Sial, saat aku keluar dari bak penampunngan, ternyata masih ada orang siskampling. Sebelum mereka menyadari keberadaanku, aku segera melayang menjauhi mereka.

“Palasik…!”, teriak salah seorang dari mereka.

“Ayo tangkap, jangan sampai lolos!” sahut temanya menimpali.

“Tong..tong..tong.. tong.. tong…” bunyi kentongan yang mereka pukul tak henti-hentinya memenuhi udara. Semakin banyak warga yang keluar rumah setelah mendengarkan bunyi alat sialan itu. Aku harus segera mendapatkan tempat yang aman sebelum bias kembali ke tubuhku.

“Palasik sialan… ayo tangkap..!”

“kejar terus jangan sampai lolos”

Teriakan warga terdengar semakin keras dan bringas. Mereka membawa obor, senter, parang, bahkan ada yang membawa senapan. Selagi matahari belum terbit, senjata apapun tidak masalah bagiku. Walaupun demikian aku harus tetap bersembunyi, jangan sampai mereka melihat wajahku.

Setelah aku berhasil masuk perkebunan warga, kuputuskan bersembunyi di bagian atas pohon kelapa. Rimbun dan tingginya sudah cukup untuk menyembunyikan kepala dan organ dalamku.

Benar saja, mereka tidak dapat menemukanku. Mereka terus berjalan menyusuri kebun sambil beberpa kali mengumpat.

“sial, dimana dia bersembunyi, awas saja kalau nanti ketemu, tak bakar smapai habis,”

Setelah mereka jauh dariku, aku kembali terbang melayang-layang menuju rumah kosong tempat aku meninggalkan tubuhku.

Betepa terkejutnya aku, tubuhku telah tiada di rumah itu. Begitu pun dengan Mas Tarjo. Tiba-tiba..

“tong tong tong tong tong tong tong” bunyi kentongan terdengar dari depan rumah.

“woi Laras.. palasik sialan.. keluar kau, kami sudah tahu kau ada di dalam, kalau kau tidakeluar akan kami bakar rumah ini”

Aku mengintip keluar. Telah banyak warga yang sedang mengepungku di luar. Tubuhku mereka ikat dan tergeletak di tanah. Di antara mereka terlihat juga Mas Tarjo yang menggendong anakku, Ningsih. Hatiku tercabik-cabik saat melihat Ningsih menangis memanggil-manggil diriku. Aku tidak mungkin menemui anakku dalam kondisiku yang seperti ini. Hatiku menjerit sekeras-kerasnya. Mereka tidak tahu isi hatiku, yang mereka tahu aku hanyalah palasik.

“sudah ..ayo bakar saja..!” teriak salah satu dari mereka.

Bau bensin seketika terhirup begitu tajam di hidungku. Kemudian api menyala begitu cepatnya membakar rumah kayu ini. Aku hanya terdiam dan tetap melihat anakku yang semakin kencang menangis dan memanggilku.

“Mamaaaaaa……!”

8 disukai 2 komentar 6.6K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@gitafarhah21 : terima kasih kak, sudah berkenan membaca...
jleb dari awal, dag dig dug dari awal, bikin penasaran terus. pengemasan cerita dari penulis bikin pembaca ngerasain cerita itu
Saran Flash Fiction