Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
9
Di Barisan Belakang
Horor
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Hari sudah beranjak malam. Ruang-ruang kelas sudah benar-benar kosong. Sekolah sepi. Hanya ada aku yang masih bertahan di ruang guru, menyelesaikan berkas-berkas persiapan akreditasi bulan depan.

Untuk mengusir pengap dan lelah, aku melangkah keluar sejenak, menikmati langit malam. Angin berhembus sepoi-sepoi. Sunyi, tetapi menenangkan. Genap sebulan aku berada di tempat yang baru.

Saat kembali menuju ruanganku, entah mengapa, ayunan kakiku berhenti di depan kelas 6. Papan tulisnya penuh coretan berisi nama-nama siswa. Pecahan kapur berserakan di lantai, seolah pelajaran baru saja selesai.

Aku tersentak ketika menoleh ke barisan bangku paling belakang. Seorang murid duduk, diam tak bergerak, dengan kepala menempel ke meja. Aku segera masuk dan menghampirinya.

“Kenapa kamu belum pulang? Menunggu orang tuamu menjemput?” tanyaku.

Ia menggeleng. Wajahnya tampak lesu, seragamnya kusut dan tidak tertata.

“Bapak antar kamu pulang, ya.” Aku meraih tangannya. Dingin. Berat.

Namun, ia tetap duduk, lalu menunjuk ke arah papan tulis. “Tapi nama saya belum disebut. Kata Bu Guru, yang namanya belum disebut, belum boleh pulang.”

Tidak mungkin. Tidak ada guru di sekolah ini yang akan membiarkan muridnya menunggu sampai larut malam.

“Baiklah. Siapa namamu?”

“Banyu,” jawabnya seraya menegakkan posisi duduk.

Aku mencari namanya di daftar itu. Tiga kali kuperiksa. Tidak kutemukan.

Aneh. Mungkin ada yang salah. “Benar kamu kelas 6? Kenapa namamu tidak ada di sini?”

“Jadi saya tidak bisa pulang, Pak? Saya harus tetap di sini?” suaranya lirih, penuh kesedihan.

Aku lekas menulis namanya, lalu menyebutnya dengan lantang. Banyu berdiri, dan bersedia kuantar pulang.

Sepanjang perjalanan, tubuhnya limbung. Aku sempat menawarkan berhenti untuk membeli makanan, tetapi ia menolak. Ia hanya ingin cepat sampai di rumah.

“Masih jauh dari sini?”

“Sudah dekat, Pak. Itu yang warna biru.”

Aku memarkirkan motor di depan rumahnya sambil melihat sekeliling. Semua orang sepertinya sudah tidur.

“Benar yang ini?”

Banyu mengangguk. Ia memilih bertahan di atas jok motor, seakan ragu untuk turun. Takut, mungkin.

Aku mengetuk pintu berkali-kali. Tidak ada yang menjawab.

Seorang tetangga keluar dari rumahnya. Aku menjelaskan sedang mengantar Banyu pulang. Tatapannya berubah, semacam terkejut—tetapi kurasa bukan.

Tanpa berkata apa-apa, ia masuk ke dalam rumah itu. Beberapa saat kemudian, ia keluar bersama seorang ibu.

Banyu tidak ada di sini,” kata si Ibu.

“Iya, Bu. Justru maksud saya… Banyu…”

Saat aku melihat ke belakang, Banyu tidak ada. Menghilang begitu saja.

Ibu Banyu langsung menangis tersedu-sedu. Aku hanya bisa berdiri terpaku, tidak memahami yang membuatnya bereaksi seperti itu.

Tetangga di sampingnya akhirnya angkat bicara. Suaranya pelan, memilih kata dengan hati-hati. Ia menceritakan Banyu sudah meninggal setahun lalu. Anak itu terjatuh ketika kursi yang hendak ia duduki ditarik teman-temannya saat bercanda.

Sejak kejadian itu, banyak sekali orang yang mengetuk pintu di malam hari, membawa cerita yang sama.

***

Setiap selesai mengajar, setelah kelas-kelas sepi, aku selalu menyisihkan waktu ke ruang kelas 6. Menulis nama Banyu di papan tulis, dan menyebutnya, agar ia bisa pulang sendiri.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Rekomendasi