Silam

Bertahun-tahun aku telah melaluinya tanpa merasa lelah sedikitpun. Hingga lupa rasanya ketika mengaduh seperti orang lain. Tiap hari kegiatanku hanya tidur, lalu bangun dan kemudian bermain hingga tak kenal waktu. Dua musim telah kurasakan bersama yang lainnya seperti biasa. Tampaknya aku sudah mulai terbiasa hidup begini. Hidup sebagai anak kecil yang masih nakal-nakalnya dan sering kali merengek hanya untuk mendapatkan perhatian dari orang tuaku.                               

Hanya saja ada satu hal yang membuatku semakin terasa amat kesepian walau semua orang yang aku sayangi berada di hadapanku. Namun tak tahu pasti apakah itu hanya perasaanku saja, atau mungkin memang aku anak yang aneh. Begitu kata kebanyakan orang menilaiku, bahwa aku terlahir memang ditakdirkan begini apa adanya. Tapi tetap saja aku belum menghetahui maksud mereka mengatakan itu untuk apa. Karena aku sendiri sebenarnya sudah memahami makna takdir sesungguhnya walaupun usiaku masih delapan tahun. 

Oh iya, satu hal tersebut tidak lain adalah mengapa aku berbeda, ya, aku tahu setiap makhluk yang diciptakan-Nya memang tidak ada yang sama. Hanya saja rasanya hidup seperti tidak adil bagiku, jika saat-saat aku benar-benar memikirkannya. Terkadang pula ketika begitu aku berusaha semaksimal mungkin untuk menghibur diriku sendiri. Apa saja, yang terpenting membuat hati kembali merasakan ketenangannya. 

Menangis sekencang mungkin pun tidak ada yang tahu dan mendengarnya. Ku ajak bicarapun seperti lebih baik aku bicara sendiri atau mengadu pada boneka beruang yang sama sekali tidak bisa berbicara sebab dia benda mati. Sehingga aku terbiasa tidak menangis, walau sedang seperti saat ini. Memandang sosok Bunda yang setiap sore pasti mencariku di sini. Tapi dia bukan menatapku lalu mengatakan, "Ayo pulang, Nak. Ini sudah sore dan saatnya mandi agar tidak kedinginan nantinya," bukan, bukan begitu. Bunda terus mengusap batu nisan berkeramik hitam itu sembari menangis dan berkata bahwa katanya ia sangat merindu. 

Aku tidak bisa berbuat apa-apa jika sudah begini. Memeluknya? Itu mustahil. Pun aku juga hanya merasakan sesak yang amat menyakitkan. Rindu yang begitu besar untukknya selalu hadir dalam tiap ingatanku. Ia akan abadi selamanya hingga akhir nanti dipertemukan kembali lalu aku bisa dengan mudah mencarinya serta langsung memeluk dan mencium pipinya dengan berlinang air mata yang amat deras. 

Lagi-lagi aku menyalahkan atas takdir yang sudah ditetapkan, tapi sepertinya itu hal yang salah. Yang paling penting, mungkin Tuhan memberikan keringanan agar aku tidak lagi merasakan sakitnya jarum suntik yang menusuk kulit juga pahitnya obat penghilang rasa sakit. 

Mungkin aku memang anak-anak saat lima tahun yang lalu akan tetapi dapat kupastikan kali ini tidak sama seperti dulu. Aku telah berubah menjadi anak baik, Bunda. Aku bukan lagi anak perempuan yang merengek hanya untuk meminta permen loli yang di jual keliling oleh Abang bertumbuh tinggi, berhati baik. Yang sering pula memberiku permen gratis. 

Namun apa boleh buat? Aku bukan lagi manusia, dan melainkan sosok arwah yang kebanyakan kepercayaan orang arwah yang tidak tenang. Sebenarnya tidak sepenuhnya salah, yang benar itu aku yang memang ditakdirkan untuk menunggu hingga waktunya tiba. Aku menunggumu, Bunda. 

15 disukai 5.2K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction