"Dea! Percepat larimu! Dasar lamban!" teriak Zeila seraya mendudukkan diri di reruntuhan bangunan.
"Lamban katamu? Siapa tadi yang menyuruhku memakai gaun ini, hah?" ujar Dea kesal sembari merobek bagian bawah gaunnya agar ia leluasa dalam berlari.
"Ya, mana kutahu bakal ada orang-orang itu! Kalau tahu, aku tidak akan memaksamu ikut 'Putri Sekolah' ini," balas Zeila.
Dea tak bicara lagi. Ia sibuk mengawasi sekitar, waspada jika salah satu dari 'mereka' ada di sini. Namun, mendadak Dea merasa ada yang hilang.
"Zei, Ida di mana?" tanya Dea saat menyadari salah satu kawan baiknya tidak bersama mereka.
"Eh? Iya, ya? Dia ke mana?" Zeila dengan cemas segera beranjak dari duduknya.
"Bukannya tadi kalian berdua lari bersama mendahuluiku?"
"Oh, ya? Lantas, apa kau lihat Ida lari bersamaku dari belakang?"
Dea terdiam. Ia tak memerhatikan sebenarnya. Sementara itu, Zeila sudah kalang kabut di tempat. Ia berusaha mengingat kapan terakhir kali Ida bersama mereka.
BUMMM!!! DORRR!!
"TIARAP!" teriak Dea sambil menarik tubuh Zeila ke bawah sebelum kepala mereka berdua bocor karena tembakan itu.
Tak lama, muncul beberapa orang dari balik reruntuhan sekolah. Mayoritas dari mereka adalah pria berotot besar. Sisanya pria cungkring beserta wanita yang sedang memegang senjata aneh semacam pistol.
"Sejak kapan mereka ada di sana?" tanya Zeila gemetar.
"Kau tidak berpikir aku tahu jawabannya, 'kan," ujar Dea dengan mata menatap tajam sekitar.
Orang-orang itu nampaknya sedang bersiap-siap melakukan serangan lagi. Gawat! Dea maupun Zeila tak tahu cara menghadapi mereka.
DORRR!!!
"MENUNDUK!" teriak Dea, tapi kali ini ia lupa menarik Zeila juga.
Dea menoleh. Namun, ia tak mendapati Zeila. Zeila ke mana? Bukankah tadi dia ada di sampingnya?
DORRR!!!
"Akhh!" Dea meringis saat peluru itu mengenai mata kanannya.
Begitu perih dan sakit, tapi anehnya tidak berdarah. Hal yang lebih aneh lagi, ia tiba-tiba melihat orang-orang yang ada di sini seperti memiliki bulu lebat dengan berbagai warna di beberapa bagian tubuh.
TUING!!!
Sesuatu tiba-tiba melompat ke tubuh Dea. Seekor makhluk kecil, bulat serta berbulu kebiruan. Dea tak tahu apa itu, tapi ia terlihat imut.
"Itu Zeila," ujar seseorang yang Dea kenali suaranya.
"Ida? Bagaimana kau–"
"Aku bagian dari 'mereka'. Maaf, aku tak memberitahumu," ucap Ida sembari mengambil permen dari sakunya. "Dea, kalau kau memakan ini, matamu akan kembali seperti semula. Zeila juga makanlah, agar tubuhmu berubah."
Meski ragu, Dea memasukkan permen itu ke mulutnya. Tak lupa pula, menyuapi makhluk yang katanya 'Zeila' itu.
Perkataan Ida benar. Zeila kembali. Mata Dea juga tidak melihat bulu itu lagi. Namun, sekarang Dea dan Zeila sedang menatap Ida tajam. Mereka menuntut penjelasan. Apa maksud perkataan Ida bahwa ia bagian dari 'mereka'?
"Ehm ... penjelasannya terlalu panjang, dan aku malas menjelaskan," ujar Ida sambil memberikan senyum terbaiknya agar ia tak perlu berbicara banyak tentang ini.
"Singkatnya saja," kata Dea dan Zeila kompak.
"Singkatnya, manusia-manusia yang ada di sekolah ini bukan manusia. Mereka disebut monster. Kalian dan aku juga termasuk monster. Bedanya kita masih bisa 'diperbaiki' agar menjadi manusia. Makanya orang-orang ini datang untuk memisahkan kita dari monster lain."