Penantian

Pekatnya malam masih menyelimuti tempat ini, hanya cahaya temaram dari lampu usang yang kugenggam, menemaniku tatkala dinginnya embusan angin masih terus menampar tubuhku tanpa ampun.

Sungguh aku tidak menyukai ini, tapi mereka menugaskanku untuk melakukannya.

Berdiri, sendiri menanti kedatangan makhluk yang selalu saja mengeluarkan suara bising, mengganggu penduduk desa ketika cakrawala sudah menghitam.

Dan malam ini, tepat malam Jumat, ketika makhluk besar itu pasti datang dan akan mengganggu desa ini lagi.

Tangan kananku masih menggenggam erat benda mirip raket, bersiap untuk kejadian yang mungkin akan terjadi, sementara tangan kiriku terus gemetar, menahan lentera yang semakin lama semakin memudar cahayanya.

Pet!

Aku kehilangan satu-satunya sumber cahaya temaramku, hanya Sang Luna yang masih setia menemani, melimpahkan cahayanya meskipun malu-malu dan menerangi tempat raga ini berdiri.

Grrrrr!

Suara gemuruh itu mulai terdengar, bahkan peraduanku ikut bergetar tatkala satu matanya yang ada di tengah menyorot ke arahku, sinarnya agak memusingkan.

Aku menghela napas, bersiap untuk mengayunkan senjata satu-satunya yang saat ini kumiliki.

Grrrrrrrrr!

Suara gemuruhnya makin menjadi-jadi saat makhluk itu mendekat.

Aku pun bersiap, mengayunkan raket yang sedari tadi kupegang.

Grrrrrrrrrrrrrrr!

Suaranya semakin mendekat, getarannya pun semakin terasa.

Boaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!

Makhluk itu lalu berteriak, begitu memekakkan telinga siapapun yang mendengarnya.

Kutarik napas dalam-dalam, seraya terus mengayunkan raketku.

“Stop Pak Stop!” teriakku, “rel di depan longsor!”

Seketika suara regenerative dan static brake Lokomotif besutan General Electric bermesin 7FDL-8 itu pun berbunyi, menghentikan lajunya sesegera mungkin.

 

9 disukai 1 komentar 6.6K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
gak paham. 😔 maaf. 🙏
Saran Flash Fiction