Rintik hujan membasahi dedaunan dan ranting-ranting dari pepohonan—pinus, karet, mahoni, dan lainnya—tumbuh secara acak. Bukit pemisah dua kampung itu sering berkabut. Aneh memang, tapi tampaknya, keadaan itu sengaja diatur oleh sesepuh kedua kampung. Sudah ratusan tahun tidak ada manusia bertandang sekadar mencari kayu bakar. Namun, tak disangka-sangka, pada hari itu, puluhan pasang kaki akhirnya menjejak tanah Bukit Wadasgeni.
Aroma amis yang menguar dari dalam selubung kain kafan, seperti memancing kabut-kabut tebal untuk mendekat dan menyelubungi keranda dari tubuh terpotong-potong itu. Untuk pertama kalinya di kawasan itu, doa-doa dilantunkan, selain untuk mengiringi jasad yang malang, tetapi juga untuk menghalau serangan penunggu bukit yang bersemayam. Rasa-rasanya, ada teriakan yang sahut-menyahut, yang anehnya, terdengar lirih dan lembut, tetapi telinga para pengantar jenazah terasa kayak dicabik-cabik.
[]
Berminggu-minggu kemudian. Purnama tengah memerah. Ya, sebagian wilayah Indonesia mengalami gerhana bulan darah.
“Berasnya bawa sini, Ketumbar!”
“Ambar, woy!” Perempuan berkulit putih dengan tompel di sudut mata kiri dan berambut panjang bergelombang yang lepek itu itu, mengoreksi namanya. “Sek!” Lalu mendekati karung goni berisi bermacam-macam keperluan ritual—ditaruh di atas dedaunan kering yang menutupi tanah—lima setengah meter dari makam bagian tenggara. Tak lama, Ambar mengambilnya dan memberikan kepada pemuda bertubuh kurus berkulit putih pucat setinggi dua meter itu. “Yakin, bisa?”
“Wes, tenang wae! Percaya, Tum—”
“Ambaaar!”
“Alaaah! Podo!”
Ambar mencebik, kesal. Namun, kesalnya luntur saat melihat pemuda itu mulai membentuk oval dari beras yang mengelilingi makam Ustaz Mentari.
“Darahnya! Buruan, Nduk!”
Ambar tersenyum bahagia. Kadang-kadang kekasihnya memang suka bertingkah aneh-aneh, satu di antaranya, memelesetkan namanya. Dia lekas mengambil darah dalam kantong plastik dari karung itu. Sebenarnya Ambar tak tahan dengan bau dan kentalnya darah korban. Namun, demi ritual, menumbalkan satu sosok setidaknya itu setimpal.
“Kamu yang nyiram makamnya, Tum!”
Ambar dibuat kesal lagi, tapi ketimbang waktunya habis untuk berdebat, dia langsung menyiram darah ke permukaan makam hingga darah itu meresap dalam tanah makam.
“Tulang-belulangnya!” perintahnya.
Ambar menggapai tumpukan tulang-tulang dalam kresek hitam, yang juga berada dalam kaung. Itu tulang dari sosok yang ditumbalkan. Sesaat Ambar mengingat momen dirinya membantai si korban. Ambar menggorok leher hingga suara erangan kesakitan keluar dari mulut korban. Baginya, erangan penderitaan itu sangat mengganggu, Ambar lekas mengoyak perut korban dan mengeluarkan seluruh organnya.
“Kepalanya ndak sekalian, Har?” tanya Ambar sambil menebar tulang-belulang di atas makam.
Haru lantas mendekati karung itu.
“Har, sekalian air ritual ….” Ambar tak lanjut bicara karena melihat Haru mengangkat karung dengan semua isinya.
Haru melafalkan mantra ritual seraya meletakkan kepala itu di atas makam. Ambar juga hafal mantranya, tetapi dia tidak tahu maknanya.
Dari kejauhan, bulan tampak lebih merah, tetapi tidak lama kemudian, awan tebal menutupinya. Kabut tebal di kala gelap memang sulit dilihat dengan mata telanjang, tetapi rupa-rupanya ikut melingkupi ritual. Dan lolongan anjing hutan bak mencengkeram malam.
Suara menyalak yang memekak telinga tidak menghilangkan konsentrasi Haru. Dia lantas merogoh saku dan mengeluarkan pisau lipat, lalu menyayat telapak tangannya dan mengucurkan darahnya ke atas permukaan makam sahabatnya yang telah dia anggap saudara.
“Saya tak mungkin membiarkan fitnah itu merenggut hidupmu, Bro.”
Suasana hutan kian mencekam. Mantra masih terus dirapal, angin berembus, dedaunan berjatuhan dari rantingnya, langit tampak kian menghitam, pendar merah rembulan rupanya tak mampu menembus gelapnya awan yang mengiringi kedatangan sosok tak kasatmata.
Mendadak ada suara dari samping kanan telinga Haru. “Bro ….”
Ambar yang juga mendengar, lantas mengedarkan pandang, tetapi tidak melihat sosok dari suara yang memanggil kekasihnya. Sedangkan Haru yang telah berhenti merapal mantra, bisa melihat sosok sahabatnya, Ustaz Mentari.
“Alhamdulillah, ritual dengan tumbal seekor babi berhasil membangkitkanmu.” Haru kian lekat memandang wajah pucat sang sobat, yang tubuhnya potongan kecil-kecil yang menyatu oleh perekat.
Sementara itu, Ambar mencari sosok yang dilihat kekasihnya. Namun, mendadak tubuhnya kaku. Haru beralih pandang pada kekasihnya.
“Maafkan saya, Ambar.”
Untuk pertama kalinya Ambar merasa ada kejanggalan mendapati sang kekasih menyebut namanya. Ambar bergidik ngeri. Dan dengan air mata yang tak mampu dibendung lagi, lehernya berputar hingga wajahnya menghadap belakang. Ambar tumbang sebagai tumbal kebangkitan. []
-TAMAT-