Kalau bukan lebaran atau idul adha, tiga orang di dalam rumah sederhana, yang atapnya hanya menunggu satu kali gempa bakal roboh, mereka tidak akan menyantap olahan daging-dagingan maupun ikan.
“Belum lebaran, Mak,” komentar Adil lirih.
“Weslah, dimakan aja!” Asri pun melahap paha ayam goreng, dengan menahan hatinya yang sakit banget.
“Dapet bonus apa dikasih sama bos di pasar?” tanya Samsul, suaminya yang malas kerja, 'pengangguran tingkat dewa'.
“Tinggal makan banyak nanya,” ketus Asri.
Seandainya Asri punya sedikit saja keberanian untuk mengambil keputusan, untuk kesehatan mentalnya, mungkin saat ini dia tidak akan duduk di hadapan anaknya yang sangat dia sayangi, tetapi Adil, jauh lebih dalam menyimpan kekaguman pada lelaki yang dianggapnya ayah terbaik, hanya karena selalu ada di kala Adil sedih maupun bahagia.
[]
Esok malamnya, Asri tengah berada di dalam kamar berbau penguk. Di atas ranjang kamar itu, lelaki gagah tengah telanjang bersimbah keringat. Lelaki itu memandang Asri yang tengah berganti pakaian.
“Nggak nyangka koe mau muasin saya, Sri.”
“Yang penting aku dapet duit darimu.”
“Kenapa tak dari dulu?”
Asri tak balas bicara, sebenarnya hampir bilang sesuatu, tetapi dia tahan. Pikirnya dengan duit yang dia dapat dari mantan kekasihnya yang tak pernah bisa move on, dia bisa membahagiakan anaknya dan bisa merebut hati Adil yang terlampau jauh diraihnya.
Tanpa banyak basa-basi, Asri pulang ke rumahnya. Ketika sampai dan masuk, Asri melihat Adil tengah tidur memeluk sang suami yang baginya tidak tahu cara menjadi pemimpin keluarga. Di sudut kamar, Asri menitikkan air mata karena merasa dirinya tidak akan pernah mampu merenggut hati anaknya. []
-TAMAT-