Undangan Lingsir Wengi

Malam ini, papa mama memutuskan untuk menginap di rumah mbah buyut. Joglo tua yang pernah menjadi tempat tinggalku saat bayi dahulu, sebelum akhirnya kami pindah. Sampai malam ini, hujan masih sangat deras. Bahkan seperti derasnya tadi sore, hanya saja tadi sore, beserta angin kencang lalu menumbangkan pohon di dekat rumah buyut ini, beruntung bukan mengenai rumah. Salah satu alasan yang membuat kami harus menginap, karena kejadian sore tadi telah menjebak kami untuk mau tak mau harus menginap.

Hujan di luar masih saja deras, lamat-lamat terdengar suara tembang lingsir wengi dari kamar buyut. Itu pasti papa yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk memutar radio sekaligus CD tua di kamar buyut. Tembang yang hanya itu-itu saja, lebih tepatnya hanya tembang lingsir wengi yang tersisa.

Lingsir wengi, sepi durung bisa nendra...

Di luar, hujan masihlah deras. Entah kenapa tembang justru lebih keras terdengar, aku lalu bermaksud mendatanginya. Seharusnya papa tak menyetelnya sekeras ini malam-malam. Jika hujan reda, suaranya bisa mengganggu tetangga.

Suara tembang semakin jelas, sebab aku pun sudah mendekati kamar buyut. Tembang yang berasal dari radio tua itu akhirnya telah berada di dekatku. 

Ceklek.

"Jangan dibuat mainan!"

"Nggak kok, yut. Sudah malam aja, jangan keras-keras." Jawabku pada buyut.

Meski awalnya aku hanya ingin menurunkan suaranya, tembang itu telah berhenti, mungkin aku telah menekan tombol matinya.

"Nanti aku hidupin lagi lagunya, tapi jangan buat mainan, ya?"

"Nggak buat mainan, yut." 

Aku berusaha menegaskan lagi pada buyut, aku tak memainkan radionya. Kulihat buyut yang duduk tersenyum di tepian ranjang, mengamati radionya. Dan ternyata papa mama yang juga sudah berdiri di tengah pintu, menatap buyut begitu sendu. Mama lalu mendekati buyut.

"Mbah, tolong jangan begini, ikhlaskan cicitmu."

"Tadi dia masih mainin radio, kok. Masih suka godain aku putramu, tuh."

Aku masih mengamati mereka, apa yang dimaksud sebenarnya? Lalu papa juga ikut mendekati buyut, papa memegang lututnya. 

"Mbah, biarkan cicitmu tenang, kita harus ikhlas, tak ada yang salah, apalagi pohon di dekat rumah itu, dan tadi sore menjatuhi cicitmu, itu sudah takdir."

Jadi? Aku terkejut mendengarnya. Sekarang aku sadar, buyut tak melihatku dari tadi, juga mama dan papa. Ya, aku sudah tertimpa pohon yang tumbang tadi sore.

20 disukai 13 komentar 6.7K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
mantap 👍🏻👍🏻
Wadhuh ... endingnya serem juga
@alwindara : hehe, terima kasih Kak
Waduh gak kuat lah kalo udah lingsir wengi...
Go. Go go. Go
@halimun : Waduh, hehe
Gimana rasanya jadi orang mati heheheh
@damardanarto : Terima kasih, hehe.
Merinding juga
@dianadia : Oh, ternyata, hehe.
Saran Flash Fiction