No Way Out

Langkah terhenti tepat di hadapan sebuah dinding yang saling mengepung. Dengan satu gerakan cepat, badan berbalik menghadap ke sang pengejar. Nafas saling memburu, mencoba mengembalikan semua oksigen yang terkuras. Pistol saling terarah, mengabaikan keringat yang membuat perih memar dan cedera akibat pertarungan semenit yang lalu.

“Sudah cukup! Kau tidak akan bisa lari. Menyerahlah dan berikan data itu padaku. Dengan begitu aku mungkin akan membiarkanmu pergi—kenapa kau tersenyum?!” pria itu mengubah nadanya drastis pada kalimat terakhir.

“Haha, maaf. Aku seharusnya tidak menyelamu. Tapi aku tidak tahan,” jawabku mencoba menahan tawa. “Serius, deh. Kau berpikir aku lari untuk kabur darimu?”

“Diamlah!!” ia menegakkan badan dan todongan pistolnya.

Tanganku membalas arahan pistolnya dengan ancaman serupa. “Kau tidak ingat aku bilang bahwa percuma jika kau lari? Dan sekarang kau berpikir aku akan membalik ucapanku sendiri?” ujarku tetap tenang.

Lawanku itu menggeram, menahan amarahnya sekuat tenaga.

“Bung, jika aku memang ingin kabur darimu, aku sudah melakukannya tanpa harus bertarung selama itu tadi. Apa kau tidak berpikir sejauh itu?”

Ia tertegun, baru menyadari arah pertarungan kami. Namun sebelum ia bereaksi pada pertanyaan barusan, sebuah suara menghentikannya.

“Sid Abner! Jatuhkan senjatamu dan menyerahlah! Kami sudah mengepungmu!” detektif Grennan mengarahkan pistolnya pada pria yang menjadi incaran kami itu.

“Keparat!!” umpat Sid tepat kearahku, mengabaikan para polisi yang mengepungnya, bahkan dari atas gedung yang dindingnya mengurung kami. Dari ekspresinya, jelas ia marah telah masuk ke perangkap yang tak disangkanya ini. Pertarungan selama beberapa menit demi merebut data penggelapan uang perusahaannya percuma sudah. Senyum lebar saat berpikir berhasil memojokkan mangsanya, kini sirna tak berbekas.

“Turunkan senjatamu!” Grennan meninggikan nadanya.

Sid Abner tidak bergerak, matanya masih terpaku padaku. Amarahnya seakan hendak meledak dalam beberapa detik lagi.

“Sepertinya kau tidak akan menyerah jika belum menghabisiku. Baiklah,” kuhela nafasku, lalu menurunkan ancamanku. “Tembak aku,” kataku santai.

Target kami itu menatap heran. Tapi emosinya langsung mengambil alih, membuatnya menarik pelatuk pistol yang digenggamnya itu.

Dor dor dor!!

Mata Abner membelalak, lalu memandang pistol yang baru saja ia aktifkan itu.

 “Kau pikir aku meleset saat membidikmu?” senyum tenangku kembali terpasang. “Pistolku memang hanya berisi peluru hampa. Itulah kenapa aku sengaja membiarkanmu merebut pistolku dan mengejarku. Kau akan merasa aman karena ada senjata yang menggantikan revolvermu. Itu cukup untuk membuatmu lengah dan mengikuti rencana kami, hingga tak sadar jika aku hanya mengulur waktu sampai polisi datang.”

“Gadis sialan!!” umpatnya untuk kesekian kalinya.

“Ngomong-ngomong, peluru pistolmu asli, kan? Apa kau tidak pernah diajarkan agar tidak memakai barang milik orang lain seenaknya? Apa aku harus membalasnya?” kuacungkan revolvernya yang berhasil kusambar saat akan berlari tadi.

“Cukup, Robbin. Kami ambil alih dari sini,” Grennan melangkah menghampiri si tersangka. Ia merampas pistol Abner dan mengamankannya dengan pantauan para polisi yang membidik target.

Abner yang sudah tidak bisa melawan, hanya terdiam dan mengikuti semua arahan kepolisian, hingga ia berjalan dengan tatapan kosong ke mobil polisi.

“Kerja bagus. Sekarang kau harus membersihkan badanmu dan tulis laporannya,” Grennan mengamankan revolver rampasanku. “Kita sudah ditunggu di kantor, Detektif!”

Tak ada balasan dariku, hanya tersenyum menyudahi tugas penyamaranku dan bergabung masuk ke mobil rekanku. 

8 disukai 3 komentar 4.3K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@uripwid69 : Thanks! :)
nice story
Saran Flash Fiction